Aku terjatuh. Hawa dingin yang begitu menusuk mengelilingiku, membuat napasku tercekat, tanpa membuka matapun aku bisa memastikan kalau arus laut membawa tubuhku kian dalam ke dasar laut. Sekujur tubuhku kaku. Tapi saat kupikir aku akan mati beku di lautan yang ternyata begitu menyeramkan ini, genggaman tanganmu menyelamatkanku. Saat kubuka mata, tak ada kegelapan dasar laut yang menyambutku. Tetapi ribuan helai rambut biru keperakan yang berpendar di bawah sinar bulan. Kulit pucat seputih salju, dan kecantikan luar biasa yang aku yakin bukan berasal dari dunia ini. Ada rasa lega yang begitu besar tiba-tiba menyeruak dalam diriku. Sejak pertama kali merasakan kehangatan dari genggaman tangan itu, aku tahu dalam situasi terburuk yang tak pernah terbayangkan sekalipun-seperti saat ini contohnya- aku tahu aku bisa mempercayaimu. Kaulah orangnya.


Negeri Rakuzan. Raja Reo, yang menduduki tahta ketika berusia sembilan belas tahun, adalah raja terbaik yang diinginkan oleh rakyatnya. Dia berhasil membawa negerinya menjadi salah satu negeri paling disegani sejak periode beberapa tahun belakangan. Kelihaiannya dalam memimpin dikatakan telah melebihi ayahnya, sang raja terdahulu. Berkat kemampuannya sebagai penguasa negeri, rakyat dapat menjalani hari-hari mereka dengan damai, tak terkecuali seorang pemuda bersurai merah yang baru saja masuk ke salah satu kedai minum paling digemari di negeri itu-yah walaupun sebenarnya dia tidak dapat dimasukkan kedalam golongan rakyat biasa.

"Teh hijau dan pancake tanpa gula seperti biasa, Yang Mulia?" Pemuda bersurai merah itu tersenyum kepada pelayan wanita yang menyambutnya dan mengangguk, sebelum menyapu pandang ke seluruh kedai untuk mencari tempat yang kosong. Dia lalu mengeluarkan buku catatan kecil dan pena dari ranselnya dan meletakkannya diatas meja begitu duduk.

Aroma roti yang baru selesai dipanggang, bau minuman anggur yang begitu menyengat, harum daun teh dan sari biji-bijian yang sangat disukainya semerbak memenuhi kedai ini, salah satu hal yang membuat si pemuda selalu datang kembali ke tempat ini. Pemilik kedai ini adalah seorang wanita paruh baya yang pernah bekerja menjadi koki di istana sebelum akhirnya pensiun beberapa tahun lalu dan mendirikan kedai ini, masakan buatannya sudah tak perlu diragukan lagi kelezatannya. Mungkin itulah alasan lainnya. Tapi alasan utama dia rela berjalan jauh dari istana-ya kalian tidak salah baca, dia memang penghuni istana-ke kedai ini adalah tempat inilah posisi terbaik untuk memuaskan hobinya mengamati orang.

Letaknya tepat di tengah kota, juga merupakan kedai yang paling dekat dengan pelabuhan, hal ini membuat kedai inilah tempat pertama yang dilihat oleh para pendatang yang ingin melepas lelah. Tak heran tempat ini begitu ramai, tak hanya dipenuhi oleh wajah-wajah penduduk sekitar, tetapi juga bermacam-macam orang dengan segala macam perbedaan berkumpul di tempat ini sekedar untuk melepas lelah, ataupun keperluan-keperluan lainnya yang sepertinya tak perlu disebutkan di paragraf ini.

'Hari ini ada banyak sekali orang yang sepertinya menarik dijadikan pion-pion untuk negeriku.' batin si pemuda bersurai merah.

Secangkir teh hijau dan sepiring pancake tiba-tiba terhidang diatas mejanya. Akashi mendongak lalu tersenyum, "Terima kasih banyak, Fiona." ujarnya kepada si pelayan wanita-yang bernama Fiona-yang pipinya langsung diwarnai semburat merah menerima senyuman dan suara lembut dari si pemuda.

"Apa yang akan kau tulis hari ini, Yang Mulia?"

Si pemuda-yang dipanggil dengan sebutan 'Yang Mulia', yang sebenarnya adalah pangeran kedua negeri itu-mendongak untuk menatap Fiona sesaat, "Entahlah,"

Hembusan angin yang tiba-tiba menyapu seluruh ruangan seperti mengingatkan Fiona kalau masih banyak pekerjaan yang menunggunya, seperti banyak meja yang menunggu untuk dilayani, dan seharusnya dia bukannya berdiri menatap lelaki tampan yang duduk di depannya ini untuk membuang-buang waktunya terpesona. Sang pangeran hanya tersenyum mengiyakan ketika dia pamit untuk kembali bekerja dan menjauh dari meja.

Seijuro Rakuzan, adalah adik kandung dari Reo Rakuzan, otomatis membuatnya menjadi pangeran kedua negeri ini. Hanya segelintir orang yang pernah bertatap muka dengannya, karena itu tak banyak yang mengetahui wajahnya. Bahkan diantara para pekerja istana, hanya sedikit orang yang mengenalinya. Pangeran misterius yang hebat tetapi penuh kerahasiaan. Itu adalah julukan para pekerja istana kepada Seijuro.

Sesekali dia akan menyelinap keluar dari istana ketika pengawal pribadinya lengah dan berjalan-jalan menyusuri ibukota, dan tempat terakhir yang dikunjunginya selalu adalah kedai ini. Disini dia akan menulis semua hal menarik yang ditemukannya sambil menikmati teh hijau dan pancake favoritnya yang selalu dihidangkan oleh pemilik kedai semasa kecilnya-saat dia masih bekerja sebagai koki istana-dulu. Mengamati puluhan pengunjung kedai berinteraksi sebut saja sebagai bonus.

"Sudah kuduga kau ada disini, Akashi."

Akashi-nama panggilan Seijurou yang diberikan oleh ayahnya-mendongak menatap pemuda berbadan besar yang tanpa permisi menempati kursi kosong di hadapannya, nada suaranya terdengar lelah. "Oh Taiga, hari ini kau menemukanku beberapa menit lebih cepat dari biasanya." seru Akashi, tidak tampak terkejut sedikitpun seperti telah menduga kalau pemuda berambut merah lebih gelap dari miliknya ini sewaktu-waktu akan muncul.

Pemuda yang bernama lengkap Kagami Taiga hanya menghela napas mendengar kalimat pangerannya ini. Ini sudah kesekian kalinya Akashi menyelinap keluar dari istana untuk bolos kerja, atau yang selalu Akashi sebut dengan 'inspeksi kota'. Yah kali ini memang sebagian besar kesalahannya karena ketiduran ketika seharusnya mengawasi sang majikan. Tetapi untungnya, bertahun-tahun menjadi pengawal pribadi Akashi membuatnya banyak belajar.

"Kakakmu akan pulang malam ini, kurasa sebaiknya kita segera kembali."

Mendengar itu, Akashi tak perlu berpikir panjang untuk menyudahi kegiatan 'inspeksi kota'-nya hari ini. Sudah hampir satu bulan dia tidak bertemu kakaknya. Saat Akashi kembali dari perjalanan diplomatiknya dua hari lalu, sang raja sedang berkunjung ke negeri tetangga. Ada begitu banyak hal yang harus dibicarakannya dengan Reo, dia harus bertemu dengan kakaknya secepatnya. Dan benar saja, malam itu Akashi tidur pulas dengan-sedikit-senyum menghiasi wajahnya, setelah puas berbincang ini-itu dengan sang kakak selama berjam-jam.

Tapi tak jauh dari tempatnya terlelap, seorang pemuda terbangun dari tidurnya. Terbaring di sekitar bebatuan di pinggir pantai tanpa sehelai kainpun melindungi tubuhnya dari dinginnya angin malam. Pikirannya terlalu lelah untuk mempertanyakan bagaimana dirinya bisa sampai pada situasi seperti ini, tak lama sang pemuda kembali tak sadarkan diri. Hal terakhir yang diingatnya adalah suara langkah kaki yang mendekat dan harum pasir yang entah mengapa terasa begitu asing baginya.


A/N: Ini fanfiksi pertama saya dalam fandom ini dan fanfiksi kedua yang saya publish. So please have mercy on me... *sembah*