Jawaban

.
.

Disclaimer : Naruto selamanya akan menjadi milik MK. Kalau Naruto milik Fay SasuNaru sudah Fay nikahkan dan mereka hidup bahagia selamanya.

.
.

Heart No kokurega : Natsume Isaku

.
.

Warning : yaoi, Shounen ai, BL , boy x boy, AU, gaje, abal, typo/miss typo, diksi berantakan, OOC dll.

.
.

Pair : SasuNaru

.
.

Rate M tapi untuk sekarang T dulu.

.
.

I warn you! Don't like don't read !

.
.

Pertemuan pertamaku dengannya adalah sekitar 10 tahun yang lalu. Saat itu aku baru pulang dari kerja sambilanku di kedai ramen, waktu menunjukkan pukul 8 malam. Aku berjalan kaki menyusuri gang apartemen murahan di distrik Konoha menuju apartemen sederhanaku. Jalan yang setiap hari aku lalui untuk pulang dari kerja sambilanku di kedai Ichiraku.

Aku Uzumaki Naruto 18 tahun, tahun ini adalah tahun terakhirku duduk dibangku SMA. Aku hanya tinggal bersama ibuku Uzumaki Kushina, ayahku telah meninggal sejak aku duduk dibangku SD. Dan aku hanyalah seorang anak tunggal. Semenjak duduk di bangku SMA, aku mulai bekerja sambilan untuk membantu ibuku membiayai hidup dan sekolahku. Aku tidak pernah pilih-pilih pekerjaaan. Kerja sambilan apa saja aku lakukan, asalkan menghasilkan uang. Ibuku adalah segalanya bagiku. Dia satu-satunya yang paling berarti untukku, hanya dia yang aku punya. Bagi ibuku pastilah sangat berat beban hidupnya, seorang wanita yang harus menjadi seorang janda dan menghidupi seorang anak sendirian. Karena itulah aku bersikeras bekerja meski ibu melarangku. Aku ingin meringankan bebannya dan membahagiakannya. Itulah impianku.

Cukup perkenalannya, kembali ke cerita. Ketika aku berjalan menyusuri gang sepi di tempat pembuangan sampah aku mendengar ada baku hantam. Mau tidak mau rasa penasaran membuatku ingin melihatnya. Ada apa sebenarnya? Saat itulah aku melihat ada seorang anak SMP yang terkapar diantara tong-tong sampah yang terguling. Dalam hatiku terbesit tanya. Kenapa ada anak SMP yang masih berkeliaran malam-malam begini? Kulihat ada 2 siswa lain yang berdiri didepannya dan mengeroyoknya, kelihatannya pelipis anak itu berdarah dan seragamnya koyak. Meski tidak terlalu jelas karena keadaan yang remang-remang.

"Brengsek kau! Kau berani melawanku? Cepat serahkan uangmu!"

Aku melihat salah seorang anak menendang kakinya dan meminta uang padanya. Aku menggelengkan kepalaku, heran, sungguh tidak mengerti dengan anak zaman sekarang masih anak ingusan saja sudah berlagak jadi preman dan sok jagoan. Jadi apa jika mereka dewasa nanti? Koruptor?

Aku hanya melihat dari sisi gang saja tanpa mau memasuki gang gelap itu. Anak-anak itu tidak melihatku karena berdiri membelakangiku.

"Kalian minta uang padaku, huh? Enak saja! Memang kalian siapa? Minta sana sama ayahmu! Atau jangan-jangan kau tidak punya ayah, ya? Anak haram, huh?" Siswa SMP yang terkapar masih sempat mengejek dan terkekeh meski keadaannya babak belur. Membuat anak yang lainnya geram.

"Apa kau bilang?! Kau yang anak haram, sialan!" Dan dia menendang siswa itu bertubi-tubi dibantu oleh temannya.

Aku melihat siswa itu hanya pasrah saja, memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Meski terlihat ingin melawan, kulihat dia benar-benar sudah lemas dan tidak memiliki tenaga. Sementara kedua siswa itu tetap memukulinya dengan brutal. Kalau dibiarkan dia akan ...

"Hey! Berhenti kalian!" teriakku.

Ketiga siswa itu langsung menoleh bersamaan. Saat itulah bisa kulihat siswa yang terkapar itu dengan jelas. Rambut raven melawan gravitasi, gakuran koyak dengan kancing atasnya lepas, cairan merah mengalir dari pelipis turun ke pipi putihnya yang pucat, sebagian poninya basah oleh darah, tasnya terlempar jauh.

"Kau tidak usah ikut campur orang dewasa!" hardik salah satu siswa pengeroyok.

"Tidak usah ikut campur? Kalau kalian terus-terusan memukulinya dia bisa mati, goblok! Mana mungkin aku tidak ikut campur. Sekarang cepat kalian pulang! Apa-apaan anak SMP masih berkeliaran malam-malam dan bertingkah seperti preman!" Aku berkacak pinggang dan memasang wajah garang.

"Memang apa yang bisa kau lakukan? Mau menghajar kami, huh?"

Aku memijit pelipisku, sebenarnya aku mau saja menghajar anak-anak itu, itu hal yang mudah untukku. Begini-begini aku jago karate. Tapi aku tau ini buang-buang waktu. Aku sudah capek dan yang kuinginkan hanyalah pulang dan istirahat. Ah, aku punya ide!

"Baiklah kalau kalian tidak mau melepaskan anak itu dan pulang. Kalian tau ada pos polisi didepan kompleks, bukan? Aku hanya tinggal menelpon mereka dan menyuruh mereka datang kemari lalu menangkap kalian, brandalan kecil sok jagoan." Aku menyeringai dan mulai mengambil handphone di dalam sakuku.

Kedua siswa itu memucat, mereka saling berpandangan satu sama lain. "Baiklah, baiklah... kami akan pergi. Jangan panggil mereka kesini ya kakak yang baik."

Sekarang mereka memanggilku kakak yang baik, huh? Dasar bocah ingusan penjilat.

Mereka membenahi seragam mereka dan mengambil tas-tas mereka yang teronggok di lantai, mulai beranjak pergi. Saat masih diujung gang. "Hey! Awas ya kalian kalau besok-besok berbuat ini lagi. Aku tidak akan segan-segan memanggil polisi untuk menangkap kalian!" teriakku.

Mereka menoleh memandang pucat kearahku. "Iya-iya kami berjanji ini yang terakhir kali. Besok-besok tidak akan kami ulangi lagi. Beneran!" Mereka langsung lari meninggalkan gang sempit yang gelap ini.

.
.

- - - o0o - - - o0o - - - o0o - - - o0o - - -

.
.

Shappireku beralih kearah anak yang bersandar pada tong sampah didepanku. Dengan wajah babak belur dia terdiam dengan nafas terengah. "Hey, kau tidak apa-apa?" tanyaku.

Anak itu mendecih remeh. "Harusnya kau pergi saja, tidak usah ikut campur."

"Lalu membiarkanmu mati membusuk di tempat ini, huh? Begitukah ucapan terima kasihmu pada orang yang sudah menyelamatkanmu?" Aku mengulurkan tanganku hendak menolongnya berdiri. Tapi tanganku ditepis. Benar-benar tidak sopan!

"Aku kan tidak minta bantuanmu, untuk apa aku berterima kasih? Asal kau tau saja aku masih bisa menghajar mereka dengan tinjuku. Kalau kau tidak datang pasti mereka sudah habis kuhajar." sombongnya, membuatku menaikkan alis. Anak itu berdiri sempoyongan dan mulai meninju udara, tapi tinjuan itu malah membuat dia kembali jatuh terkapar menabrak tong sampah.

Bruk! Klontang ... klontang !

Aku terkekeh pelan merasa lucu dengan sikap bocah di depanku ini. "Menghajar mereka dengan tinjumu, huh? Sombong sekali! Berdiri saja kau tidak bisa! Tidak usah keras kepala, bocah. Lukamu harus segera diobati!"

Dengan sedikit kasar aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju klinik terdekat. Menghiraukan iris onyx nya yang menatapku sebal.

.
.

o0o - - - o0o FayRin D Fluorite o0o - - - o0o

.
.

"Hanya luka sobek di pelipis, dan beberapa memar di tubuh. Aku sudah membersihkan dan menjahitnya. Lukanya harus rajin dibersihkan dan diganti plesternya. Suruh dia minum obat ini sesuai resep dalam beberapa hari pasti sembuh, anak seusia dia sangat mudah penyembuhannya," ujar seorang wanita dewasa berkuncir 2 yang memiliki ukuran dada diatas rata-rata.

"Baik, Dokter Tsunade." Aku mengambil obat yang disodorkan dokter seksi itu, membaca resepnya sekilas.

"Dimana kau menemukannya, Naruto? Kenapa ada anak SMP yang masih kelayapan malam-malam begini?" Dokter Tsunade menatap ke arah belakangku dimana anak SMP itu tengah duduk disana. Sementara aku duduk di depan meja dokter.

"Aku menemukannya di gang pembuangan sampah, dia di keroyok 2 siswa yang sama-sama masih SMP. Kelihatannya mereka memalaknya tapi lucunya dia diam saja. Tidak melawan tapi juga tidak menyerahkan uangnya. Jadilah dia babak belur."

Tsunade menatap lekat anak itu. "Ck, kelakuan anak zaman sekarang! Tapi sepertinya aku pernah melihatnya. Oh ya Naruto, siapa nama anak itu?"

Aku mengangkat kedua bahuku bersamaan. "Aku tak tau, dia hanya diam saat aku tanyai," kataku menengok ke bangku duduk belakangku menatap anak SMP yang memasang wajah stoic.

"Hey, bocah. Siapa namamu?" tanya Tsunade.

Anak itu menatap Dokter Tsunade sejenak. Dengan ragu dia membuka mulut. "Uchiha Sasuke."

Dokter Tsunade menaikkan sebelah alisnya. "Uchiha? Apa kau anak politisi Uchiha Fugaku yang tinggal tidak jauh dari sini?"

Tatapan tajam langsung menyergap dari iris anak itu, menatap dokter Tsunade dengan pandangan yang sulit diartikan. "Ya."

"Begitu rupanya?" Dokter Tsunade kembali menyandarkan diri di kursinya. Tidak bertanya lagi.

Aku menatap anak itu dengan pandangan tidak percaya. Rupanya bocah ingusan ini anak orang kaya? Anak seorang politisi yang wajahnya sering malang melintang di tv. Lalu kenapa dia berkeliaran seperti gelandangan malam-malam begini?

"Naruto, antar anak itu pulang. Dia tinggal di blok E. Rumah besar yang terdapat gerbang naga di depannya," ujar Dokter Tsunade.

"Ohh... rumah yang itu! Aku beberapa kali lewat didepannya. Rumah megah itu rumahmu? Hebat! Rumah besar 3 lantai yang ada patung naganya! Aku dengar pemiliknya memelihara harimau. Apa itu benar?" Aku duduk disebelah anak itu dan mengguncangkan bahunya antusias.

Anak itu menepis tanganku dan memutar bola onyx nya. "Itu bohong. Semua itu cuma bualan, tidak ada harimau disana. Semua cuma gosip yang dibuat orang-orang."

Tanpa sadar aku membuat mimik cemberut. "Wahh... cuma gosip ya? Sayang banget padahal aku ingin melihatnya. Ya sudah, ayo kuantar pulang. Orang tuamu pasti cemas."

.
.

~ o0o ~ o0o FayRin D Fluorite o0o ~ o0o ~

.
.

"Jadi kau ini anak politisi Uchiha Fugaku yang terkenal itu, huh? Lalu kenapa kau berkeliaran malam-malam begini?" tanyaku saat kami berjalan menuju blok E yang hanya berjarak 800 meter dari klinik.

"... " dia membisu.

"Hey, kalau ada orang yang lebih tua bertanya kau harus menjawab. Dasar bocah tidak tau sopan santun."

"... " Dia hanya memalingkan wajahnya ke samping. Enggan memandangku.

Aku berhenti berjalan, sebelah tanganku berkacak pinggang. Iris biruku memandang sebal bocah keras kepala di depanku, yang ternyata juga berhenti berjalan. "Kau ini kenapa, sih?"

Sejenak mata hitamnya menatapku lalu mendengus. "Jangan banyak bertanya hal yang bukan urusanmu."

"Wah... wah... sopan sekali. Apa begini sikap seorang anak politisi terhadap orang yang lebih tua? Apalagi dengan orang yang sudah berbaik hati menolongmu."

"Apa sih? Berhenti bilang politisi, politisi terus! Yang politisi itu ayahku, bukan aku! Terserah aku mau bersikap bagaimana!" Dia berteriak dengan nada emosional. Kedua tangannya mengepal. Dari sikapnya terlihat jelas dia tipe anak yang pemberontak. Sepertinya dia tengah memiliki masalah dengan keluarganya.

"Kau sedang bermasalah dengan keluargamu, bocah?"

Dia terdiam, memandang sepatu pantofelnya yang berpijak di aspal. Kepalan tangannya mengendur.

Aku menghela nafas, sepertinya tebakanku benar. "Aku tidak tau apa masalahmu. Tapi sebaiknya kau tidak berkeliaran malam-malam begini sendirian di jalan, apalagi kau masih anak dibawah umur. Bisa saja besok-besok kau jadi korban bullyan lagi."

"Biarkan saja! Toh, tidak ada yang peduli."

Aku kembali mengangkat kedua alisku, heran. "Apa maksudmu?"

Dia menatapku tajam dengan kedua onyx kembarnya yang pekat. "Sudah kubilang jangan banyak bertanya hal yang bukan urusanmu!"

Aku menggeleng kesal, bingung menghadapi anak keras kepala seperti dia. "Ya sudah, sebaiknya kita teruskan jalannya. Sudah larut, sebaiknya kau cepat pulang kerumah."

"Tidak perlu! Kau tidak usah mengantarku, aku tidak mau pulang!" Dia berbalik ke arah berlawanan dari rumahnya di blok E. Lalu berlari menembus kegelapan malam.

Aku terbelalak. "Hey! Kau mau kemana? Bukan kesitu arahnya. Hey, bocah kembali!" Aku mencoba memanggilnya, tapi anak itu tidak berhenti. Dia justru semakin mengencangkan larinya tanpa menengok lagi. Meninggalkanku di depan mini market 24 jam ini.

"Hah... dasar bocah! Merepotkan saja." Aku hanya berdiri tidak berniat mengejarnya.

Aku membuang nafasku kasar, maklum menghadapi tingkah labil anak SMP. Aku hanya ingin menolong dan mengantarkannya pulang. Alih-alih berterima kasih, sikapnya malah membuatku agak menyesal sudah menolongnya. Tapi sudahlah, anggap saja aku beramal baik. Lagipula aku iklas menolongnya dan memang tidak mengharapkan pamrih.

Aku memandangi jalanan lalu menengok ke arah kiriku, mumpung sudah di depan mini market aku melangkahkan kakiku memasukinya dan belanja untuk kebutuhan makanku dan ibu besok, lalu pulang ke apartemen sederhanaku.

.
.

- - - o0o - - - o0o - - - o0o - - - o0o - - -

.
.

Selama seminggu penuh, aku tidak bertemu lagi dengan bocah itu. Meski setiap hari aku lewat gang tempat pembuangan sampah tempatnya di keroyok dulu. Aku lega mengetahui tidak ada lagi perkelahian di sana. Rupanya anak-anak SMP berandalan itu menepati janjinya untuk tidak memalak orang lagi.

Malam ini seperti biasa aku pulang dari kerja sambilanku sekitar pukul 8 malam. Pemilik tempat kerjaku memang memberi keringanan padaku karena aku masih berstatus pelajar yang sebentar lagi ujian. Aku bekerja dari pulang sekolah sampai jam 8 malam. Sementara pekerja lain pulang jam 11 malam saat kedai tutup, pengecualian untukku karena statusku. Pekerja lain memang sudah lebih dewasa dariku.

Aku bersiul-siul kecil, menenteng kantung plastik berisi dua porsi ramen. Paman Teuchi, pemilik kedai ramen tempatku bekerja memberikanku ini. Dia memang sering memberi ramen gratis untuk pekerjanya secara bergantian. Dia sengaja memberikanku dua porsi karena tau aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Tentu saja aku merasa sangat senang, apalagi ramen memang makanan favoritku. Malam ini aku tidak perlu belanja lagi karena sudah ada ramen ini.

Saat aku melewati perempatan kompleks aku berbelok ke kanan, saat itulah aku melihatnya bersandar pada pagar besi sebuah rumah di belakangnya. Bocah itu masih memakai gakuran, tasnya ditenteng di bahu. Rambut raven dan mata onyx nya masih seperti pertama kali aku melihatnya.

"Kau..."

"Aku lupa bilang sesuatu padamu," ujarnya menatapku lurus. Membuatku menaikkan salah satu alis pirangku.

"Terima kasih."

Ekspresi wajahnya saat mengucapkan terima kasih begitu manis di mataku. Benar-benar kekanak-kanakan. Tidak kusangka dia bisa bersikap seperti itu. Kupikir dia cuma anak bengal yang tidak tau sopan santun, ternyata dia tau balas budi, buktinya dia kembali hanya untuk berterima kasih.

Aku tersenyum menghampirinya lalu mengacak surai ravennya. "Kau sengaja menungguku disini untuk mengucapkan terima kasih? Wah... rupanya kau bisa juga bersikap manis."

Aku terkekeh saat dia memandangku dengan tatap kesal, tangan pucatnya berusaha menepis tanganku yang mengacak surai ravennya.

"Apa sih? Jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku sudah kelas 3 SMP, tau?" Onyx nya mendelik tajam.

Aku makin terkekeh mendengar kata-katanya. "Kelas 3 SMP itu masih kecil, bocah."

Dia mendecih. "Aku bukan bocah! Namaku Uchiha Sasuke. Siapa namamu?"

Tanpa sadar shappireku membulat mendengar pertanyaannnya. "Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Aku Naruto, Naruto Uzumaki. Kau bisa memanggilku Naruto-nii." Kuberikan cengiran lima jariku padanya.

Dia mencibir, menata rambutnya yang aku acak-acak. "Tidak mau, kau bukan kakakku. Aku hanya akan memanggilmu Naruto-san. Dimana rumahmu?"

Aku kembali tersenyum. "Rumahku di blok B di kompleks apartemen sederhana di depan bengkel mobil. Oh ya, kenapa kau masih saja keluyuran malam-malam memakai gakuran? Jangan-jangan kau belum pulang kerumah, ya? Aku kan sudah bilang jangan suka keluyuran malam-malam sendirian. Beruntung tidak ada preman hari ini."

Dia terdiam, matanya melihat ke selokan yang entah apa menariknya. Pikirannya terlihat mengawang. "Biarkan saja. Tidak ada yang peduli juga," ujarnya lirih.

Lalu manik kelamnya menatap cepat kearahku. "Apa malam ini aku boleh menginap di rumahmu?"

Tunggu dulu, apa dia bilang? Aku terlalu terkejut mendengar permintaannya.

"HEE?"

Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

.
.

TBC

.
.

Hai ketemu lagi dengan Fay. Maafkan Fay yang malah membuat cerita baru padahal fic lama masih belum selesai. Sebenarnya kemarin- kemarin sempat pontang panting karena gak bisa publish fic lagi lewat HP. Tapi setelah nemu jalan tikus buat publish malah kena writter block.

Sekarang mumpung punya mood nulis, Fay turuti saja ditengah writter block yang lagi melanda. Cerita ini terinspirasi dari manga BL berjudul Heart No Kokurega, bagian JinMomo. Fay mencoba bikin fic dari sudut pandang orang pertama. Kali ini dari Naruto POV. Gomen kalau aneh.

Oh ya, Jangan nanyak soal update, jangan berharap Fay cepet update ya... soalnya Fay cuma nulis klo lagi mood aja * ditimpuk. Tapi klo banyak yang minat Fay usahakan cepet kok updatenya.

.
.

Terakhir Fay menunggu apapun bentuk apresiasi kalian. Tapi Fay minta tolong kalau review, isinya jangan cuma lanjut, lanjut atau next-next melulu ya :""D Flame diterima asal flame membangun.

Terima kasih sudah membaca ^^

Solo 30 april 2016