Disclaimer : Masashi Kishimoto dan James Cameron (nyuri ide ceritanya) penulis ditimpukin bareng-bareng.
WARNING : banyak typo dan mungkin alur cerita yang gak jelas. Saya newbie di sini, harap maklum (mencoba berdalih). Enjoy it!
Inggris, April 1912
Kapal itu terlihat begitu megah dan mewah. Terbuat dari material mahal yang tidak ternilai harganya. Hanya orang kaya yang kekayaannya berlimpah yang bisa membuat kapal semegah itu. Dan hanya orang-orang yang punya harta yang berlimpah juga yang bisa menaiki kapal itu dengan mudah. Tidak semuanya. Karena orang dari kalangan bawah pun punya kesempatan untuk menaiki kapal yang akan mengarungi Samudra Atlantik menuju ke benua seberang itu. Kalangan bawah pun bisa menaiki kapal itu, dengan mempertaruhkan semua harta mereka yang berharga, untuk bisa naik ke kapal mewah yang sangat besar ini.
Tulisan besar yang terbuat dari besi metal yang ditempel di sisi kapal itu, semakin mengesankan betapa megahnya kapal ini. Titanic. Itulah nama kapal besar yang kini berlabuh di pelabuhan Southampton itu.
Seorang pria muda turun dari kereta kuda dengan sebuah lambang kipas berwarna merah putih di depannya, dan menatap kapal besar di depannya itu dengan wajah tanpa ekspresi. Pria muda itu bernama Sasuke Uchiha, seorang pria berkebangsaan Jepang yang berasal dari klan Uchiha. Uchiha adalah salah satu klan bangsawan yang disegani di kota itu, selain klan Hyuuga yang juga sangat disegani. Sasuke mengenakan kimono hitam putih yang ditutupi dengan hakama warna hitam yang di punggungnya bergambar lambang keluarganya. Bangsawan Uchiha adalah salah satu bangsawan yang sangat menjunjung tinggi klannya. Di manapun mereka berada, semua orang harus tahu bahwa mereka berasal dari klan Uchiha.
Sasuke berjalan tanpa menoleh ke belakang, mengabaikan keberadaan seseorang yang turun dari kereta kudanya, sesaat setelah dia turun tadi.
"Sasuke-kun! Kenapa kau berjalan tanpa memperdulikan Nona Hyuuga? Dia 'kan tunanganmu, seharusnya kau menunggunya dan menuntunnya.." suara ibunya yang terdengar di belakangnya, menghentikan langkah Sasuke untuk terus berjalan menuju kapal di depannya.
Dia menghela napas panjang, menoleh ke belakang, dan menatap seorang gadis berparas manis yang berdiri di belakangnya sambil menunduk. Hinata Hyuuga, gadis dari klan Hyuuga, yang juga tunangannya. Paling tidak, sejak dua hari yang lalu. Hinata mengenakan kimono berwarna ungu muda yang sangat cantik. Rambut panjangnya yang berwarna indigo digelung ke belakang, dan di atas kepalanya, dia mengenakan topi putih yang menutupi sebagian rambutnya.
Sasuke mengulurkan tangannya ke arah gadis muda itu, dan dengan tersipu malu, Hinata menerima uluran tangan pemuda itu sambil berjalan di sampingnya. Sandal kayunya berbunyi saat bersentuhan dengan tanah di bawahnya. Mereka berdua berjalan beriringan menuju kapal mewah yang sebentar lagi akan berlabuh itu.
Di suatu kedai kumuh di pelabuhan Southampton, terlihat beberapa orang sedang sibuk membawa kartu dan melihat ke arah kartunya dengan cemas. Seorang gadis berambut merah jambu pucat, mengenakan yukata pink kumal, sedang menatap gemas ke arah pemuda berambut blonde yang duduk di depannya.
"Naruto.. Kalau kau tidak memenangkan taruhan kali ini, kau akan kubunuh!" bisiknya dengan nada mengancam pada pemuda itu. Naruto, nama pemuda yang sedang duduk sambil membawa kartu itu, langsung menelan ludahnya dengan susah payah.
"Ba-baiklah.. Sakura-chan.." sahutnya. Gadis yang dipanggil dengan nama Sakura itu langsung berdiri dengan tegak di belakangnya.
Lalu dia kembali berkonsentrasi pada kartu-kartunya. Tiga orang yang bertaruh di depannya, masing-masing sudah mengeluarkan kartunya dan menumpuknya di meja. Naruto memandang kartu-kartu itu dengan ketakutan.
"Maafkan aku, Sakura-chan.." kata Naruto kemudian, dengan nada pelan.
"Eh? Kita kalah?" Sakura langsung mencengkeram kerah baju Naruto dengan kencang sekali. Naruto yang merasa tercekik dan kehabisan napas langsung terbatuk-batuk.
"Maafkan aku.. Tapi kita harus segera berangkat supaya tidak ketinggalan kapal! KARTU AS! Kami menang!" Naruto berdiri dari kursinya dan membuka kartunya dan langsung melemparnya di meja di depannya.
Sakura langsung berteriak kegirangan. Dia langsung melompat dan memeluk leher Naruto dengan teramat kencang.
"Akhirnya.. Aku bisa bertemu dengan orangtuaku!" seru Sakura girang.
"Kita tidak boleh di sini saja. Kau dengar, peluit sudah dibunyikan. Kita akan terlambat!" kata Naruto. Dia langsung menyambar karung uang taruhan di dekatnya, mengabaikan tatapan kesal orang-orang yang kalah taruhan di depannya. Dia langsung menarik lengan Sakura dan mereka berdua langsung berlari dengan sangat kencang menuju kapal pesiar yang sudah hampir berlabuh itu.
Kaki mereka yang memakai sandal kayu berbunyi saat berlari menuju kapal itu. Raut kebahagiaan terpancar di wajah mereka.
Kapal sudah mulai berlayar di tengah lautan Atlantis yang luas ini. Beberapa pelayan tampak sibuk menyiapkan ruang yang akan dipakai Hinata untuk menginap. Ruangan megah yang sama seperti hotel kelas atas yang ada di London. Hinata melihat para pekerja membereskan kamarnya, sementara Sasuke terlihat berjalan mengelilingi kamar itu dengan raut wajah datar seperti biasa. Hinata menghela napas panjang.
Jika bukan karena perjodohan yang sangat dipaksakan ini, dia juga ingin menolak perjodohan ini. Dia tidak mencintai pemuda ini. Begitu juga dengan pemuda yang baru dikenalnya sebulan yang lalu itu. Jika bukan karena hubungan bisnis kedua keluarga bangsawan itu, Hinata akan menolak perjodohan ini. Tapi mau bagaimana lagi. Memang takdirnya dilahirkan di keluarga bangsawan seperti ini. Dan takdirnya juga, harus menuruti semua kata-kata ayahnya.
"Kapal ini memang benar-benar mewah, ya? Kau harus segera ganti pakaian. Setelah ini akan ada jamuan keluarga di dek makan.." Ibunya berkata di sampingnya, seraya mengusap bahunya dan tersenyum ke arahnya.
Hinata membalas senyuman ibunya dengan lebar. Walaupun dalam hati dia merasakan sakit yang tidak bisa dia ungkapkan pada siapapun.
"Sasuke-kun juga.. Siapkan dirimu.."
Sasuke hanya menoleh ke arah Ibu Hinata tanpa mengucapkan apapun. Hanya sebuah anggukan pendek.
Hinata berjalan menuju kamarnya dan diikuti beberapa pelayan yang akan membantunya ganti baju.
Sakura Haruno terlihat sedang menikmati senja di geladak utama, dan menyandarkan dirinya pada sandaran besi yang berfungsi sebagai pembatas dek. Rambut merah jambu pucat sebahunya berkibaran dimainkan angin laut. Mata hijau emeraldnya menatap lautan luas di depannya dengan pandangan kagum. Kata orang-orang yang ada di pantu asuhan, tempatnya ditampung selama ini, kedua orangtuanya ada di Amerika. Sejak kecil, dia dan Naruto hidup di salah satu panti asuhan yang ada di London. Tapi panti asuhan itu akhirnya tutup beberapa tahun yang lalu, karena tidak ada dana sosial yang masuk lagi. Dan terpaksa dia dan Naruto harus hidup di jalanan. Berjudi, bekerja serabutan, apapun mereka lakukan agar bisa hidup. Satu-satunya impian Sakura adalah bisa bertemu dengan orangtuanya lagi. Berbeda dengan Naruto. Pemuda itu menginginkan kehidupan yang lebih baik dari ini. Dia ingin menjadi bangsawan. Agar kelak dia bisa membangun sebuah panti asuhan yang bisa menampung banyak anak-anak terlantar sepertinya.
"Hai.." sebuah sapaan lembut membuyarkan lamunan Sakura.
Sakura menoleh ke sampingnya dan mendapati seorang gadis berambut pirang panjang dan bermata hijau sedang berdiri di sampingnya. Dan menatapnya dengan pandangan ingin tahu.
"Hai.." balas Sakura dengan ramah.
"Kau.. orang Jepang?" tanya gadis itu, seraya menatap yukata yang dikenakan Sakura.
"Iya.." jawab Sakura.
"Wah.. Aku juga. Ayahku orang Jepang. Namaku Ino. Yamanaka Ino.." gadis berambut panjang itu mengulurkan tangan ke arah Sakura. Sakura menerima uluran tangannya dengan pandangan ragu. Orang Jepang? Tapi gadis itu mengenakan pakaian khas orang Eropa. Gaun panjang warna coklatnya yang sudah pudar itu berkibaran diterbangkan angin.
"Sakura. Haruno Sakura.." jawab Sakura seraya menerima uluran tangan gadis berambut pirang pucat itu. Ino tersenyum lebar ke arahnya. Membuat kelopak matanya menyipit dan menutupi mata hujau pucatnya.
"Aku suka warna rambutmu. Mengingatkanku pada musim semi di Jepang.. Yang penuh dengan bunga sakura yang mekar.." kata Ino.
Sakura tersenyum pahit. Dia tidak ingat seperti apa Jepang. Dia dibawa ke Inggris sejak dia masih kecil sekali. Entah sudah berapa tahun sejak dia dipaksa ikut dengan saudagar kaya dari Inggris dengan kedua orangtuanya, dan menjadi budak di ibukota, bekerja pada salah seorang bangsawan Inggris. Sampai akhirnya orangtuanya harus dipindahkan ke Amerika dan terpaksa dia dititipkan di panti asuhan kumuh. Di sana dia bertemu dengan Naruto, yang memiliki nasib yang sama dengannya. Dan dari pertemuan mereka itulah, hubungan dan ikatan batin mereka jadi benar-benar dekat. Sampai Sakura merasa bahwa Naruto adalah saudaranya sendiri.
"Apa keinginanmu setelah sampai di Amerika nanti?" tanya Ino.
"Aku.. Ingin bertemu dengan kedua orangtuaku.." jawab Sakura.
"Mereka di sana?" tanya Ino dengan penuh ingin tahu.
Sakura mengangguk pelan. Meskipun dalam hati dia tidak yakin kedua orangtuanya ada di mana. Meskipun dia tidak yakin akan bertemu dengan mereka sesampainya dia di sana.
"Ino sendiri? Apa yang membuatmu ingin pergi ke Amerika?" tanya Sakura, menoleh ke arah gadis di sampingnya.
Ino kembali tersenyum lebar kepada Sakura.
"Aku.. Ingin menjadi artis di sana.." jawabnya kemudian.
Sakura terbelalak menatapnya.
"EHH?" katanya kaget.
Ino tersenyum geli melihat ekspresi kaget di wajah Sakura.
"Kenapa? Apakah itu kedengaran aneh?" tanya Ino.
"Tidak, sih.. Hanya saja.. Kedengaran tidak biasa.." Sakura tersenyum geli.
Angin kembali menerbangkan rambut pendek sebahunya dan membuat wajahnya tertutup poni. Sakura menyibakkan rambutnya ke belakang. Dan saat dia menyibakkan rambutnya ke belakang dengan tangannya, pandangan matanya menangkap sesosok orang yang sedang berjalan melewati geladak, diikuti dengan seorang laki-laki bertubuh kekar di belakangnya. Untuk beberapa saat Sakura hanya terdiam melihat sosok laki-laki itu berjalan di sepanjang geladak utama dan berhenti di salah satu ujung geladak, mengamati lautan luas di depannya sambil bersandar pada pegangan besi.
Laki-laki berwajah pucat itu tampak tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Mata hitam pekatnya menatap sekelilingnya dengan pandangan dingin dan tanpa ekspresi. Rambut hitamnya tampak berkibaran diterbangkan angin laut dan dia masih berdiri di sana dengan sikap kaku. Hakama-nya yang berwarna hitam dengan lambang kipas berwarna merah putih di belakangnya, tampak berkibar dengan elok.
"Ehem.. Kau juga tertarik padanya?"
Suara Ino tiba-tiba membuyarkan pandangan Sakura. Sakura langsung menoleh ke arah Ino, tanpa sadar wajahnya tiba-tiba merona merah.
"Ap-apa?" tanyanya.
"Lebih baik kau jangan terlalu lama mengamati laki-laki sepertinya.." kata Ino.
"Eh? Kenapa?" tanya Sakura.
"Karena orang dari kalangan menengah ke bawah seperti kita, tidak mungkin menarik perhatiannya. Dia adalah Sasuke Uchiha. Anak bungsu dari bangsawan Uchiha yang terkenal itu. Pernah mendengar namanya?" Ino mengedikkan kepalanya ke arah laki-laki muda yang kini membalikkan badannya dan berjalan menjauh dari pinggiran dek.
Uchiha? Sakura membatin. Sepertinya dia sudah pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Tapi sepertinya itu tidak penting untuknya sekarang.
Saat laki-laki yang mengenakan hakama dengan lambang kipas itu berjalan melewatinya, dia menoleh sekilas ke arah Sakura dengan mata hitamnya yang menyorot tajam. Pandangan matanya bertemu dengan Sakura. Hanya beberapa detik sebelum akhirnya dia kembali melihat jalan di depannya tanpa ekspresi. Tapi berbeda dengan Sakura. Dia merasakkan jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Wajahnya memanas seketika. Dan dia hanya menatap punggung yang mengenakan hakama itu berjalan menjauhinya. Dia mengabaikan tatapan Ino yang menatapnya dengan senyum menggoda yang tersungging di bibirnya.
Hinata merasa tidak tahan lagi. Dia tidak tahan hidup dalam lingkungan seperti ini. Dia merasa tersiksa lahir dan batin. Dia merasa tidak bebas dengan kehidupannya yang sekarang. Seolah hidupnya sudah tidak dihargai lagi. Dia tidak diberi kesempatan untuk memilih. Dia selalu dan akan selalu mengikuti peraturan keluarganya. Mereka tidak akan peduli meskipun gadis ini terluka di dalam hatinya. Mereka tidak peduli gadis ini sudah menangis berapa kali dalam semalam hanya karena tidak bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Bukankah lebih baik dia mati saja daripada hidup dengan siksaan seperti ini?
Hinata berlari di sepanjang dek menuju buritan kapal. Tidak peduli dengan tatapan heran orang-orang yang melihatnya berlari sambil menangis. Rambutnya yang tadinya digelung ke belakang, sekarang tampak mencuat ke sana kemari. Hinata berlari dengan mengangkat kimono berwarna ungu cerahnya sampai ke lututnya. Sandal kayunya berbunyi dengan nyaring begitu dia berlari menginjak lantai kapal.
Sesampainya di buritan kapal, Hinata langsung bersandar pada pegangan besi dan menatap lautan di bawahnya dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya.. Apakah hidupnya akan berakhir di lautan luas ini? Ya, ini adalah keputusannya.
Hinata mulai melangkahkan kakinya naik ke salah satu besi penyangga itu. Kakinya bergetar hebat saat dia melihat lautan luas di bawahnya.
"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan main-main dengan pegangan besi itu..."
Seseorang tiba-tiba berujar di belakang gadis itu. Hinata tersentak dan hampir melepaskan pegangan tangannya dari besi peyangga itu.
Dia langsung menoleh ke belakang dan melihat seorang pemuda asing sedang menatapnya dengan kedua mata biru safirnya yang terang. Hinata tercengang. Pemuda berambut blonde itu mempunyai paras Jepang sepertinya.
"Siapa kau?" tanya Hinata dengan suara bergetar.
"Naruto Uzumaki. Penumpang kelas bawah.." jawab pemuda itu, seraya tersenyum lebar kepada Hinata.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Hinata lagi.
"Aku? Hanya melihat-lihat.." jawab Naruto dengan sekedarnya.
Hinata menggeleng tidak percaya. Dia kembali memegang pegangan besi itu dengan erat. Pandangannya beralih pada lautan luas di bawahnya.
"Kau yakin kau akan turun ke bawah?" Naruto kembali bertanya pada Hinata.
"Iya. Dan apa urusanmu?" Hinata menyahut dengan setengah kesal.
"Tidak ada. Hanya saja.. Air di bawah sana sangat dingin dan kau akan langsung membeku begitu jatuh ke sana. Rasanya seperti ada ratusan kerikil yang dihujamkan ke tubuhmu.." kata Naruto.
Hinata membuang napas dan kembali menoleh pada Naruto dengan kesal.
"Itu bukan urusanmu.." katanya dingin.
"Memang. Baiklah.. Lanjutkan saja apa yang ingin kau lakukan, Nona.." kata Naruto.
Hinata terkesiap. Naruto menyandarkan tubuhnya di pegangan besi di samping Hinata dan menatap air laut di bawahnya dengan sikap santai. Hinata menatap pemuda itu dengan tatapan tak percaya. Entah kenapa, rasanya keinginannya untuk mengakhiri hidupnya tadi langsung menguap begitu saja.
"Kalau kau ingin terus turun ke bawah sana, artinya kau tidak lulus ujian. Dan kalau kau menarik dirimu ke atas lagi, artinya.. kau akan masuk tes berikutnya. Dan kau bisa melanjutkan hidupmu dengan tenang. Kau tidak ingin menjadi seperti itu, Nona? Melakukan yang terbaik untuk hidupmu? Setidaknya, tidak menyalahkan takdir.." pemuda berambut pirang itu kembali menatap Hinata dengan tatapan lembut.
Hinata mengerjap beberapa kali. Rambut panjangnya yang mencuat dari gelungannya berkibar.
"Kenapa kau begitu peduli?" tanya Hinata.
"Karena.. Aku tidak suka melihat orang menangis.." jawab Naruto pendek.
Hinata tidak segera menjawab.
Pegangan tangannya di penyangga besi itu mulai mengendur. Dia menurunkan salah satu kakinya ke bawah. Jauh di lubuk hatinya, dia memang tidak ingin segera mengakhiri hidupnya. Dia masih muda. Masih banyak hal yang ingin dia lakukan. Tapi mengingat semua yang dilakukan keluarganya, dia menjadi semakin putus asa. Dan tidak kuat lagi dengan semua beban keluarga ini.
Tapi pemuda di sampingnya ini membuatnya berpikiran lain.
Saat kaki Hinata akan turun ke bawah, kakinya tidak sengaja menginjak kimononya sendiri dan membuatnya terpeleset jatuh ke belakang.
Dengan gerakan sigap, Naruto langsung menangkap tubuh Hinata agar tidak jatuh terjengkang ke belakang. Tubuh Hinata langsung ambruk ke dada Naruto. Untuk beberapa saat, mereka berdua saling bertatapan satu sama lain tanpa kata. Hinata merasa tatapan pemuda bermata biru safir itu menatapnya dengan penuh kekaguman. Hinata tidak pernah merasakan sebuah sensasi kehangatan yang melanda perasaannya dengan tiba-tiba seperti ini. Tidak pernah ada yang menatapnya dengan tatapan seperti ini. Tatapan yang begitu.. manusiawi.
"Nona Hinata.. Kami mencari Anda ke manapun.."
Sebuah suara dengan nada cemas terdengar di belakang mereka. Naruto segera melepaskan pelukannya dan Hinata segera menjauhkan dirinya dari pemuda itu..
Mereka menoleh ke belakang dan mendapati beberapa orang sudah berdiri di sana. Seorang wanita paruh baya segera menghampiri Hinata dan menutupi tubuhnya dengan kain hangat yang tebal
Hinata terbelalak saat melihat Sasuke juga ada di sana. Berdiri di antara pengawalnya dan menatap Hinata tanpa ekspresi seperti biasa.
"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Hinata? Semua orang menanyakan kehadiranmu.." ujarnya dengan nada datar.
"Sasuke-kun.. Aku.. Maafkan aku. Aku hanya.."
"Dan kenapa kau berpelukan dengan pemuda rakyat jelata itu? Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?" tanya Sasuke, dia menatap Naruto dengan tatapan merendahkan.
Hinata kelihatan tercengang mendengar kata-kata itu. Dia menoleh ke arah Naruto.
"Tidak seperti yang kau pikirkan, Sasuke-kun.. Aku.. Aku hanya merasa pusing dan hampir pingsan. Lalu laki-laki ini menangkapku.. agar aku tidak jatuh.." jawab Hinata dengan terbata. Sungguh, dia tidak pandai berbohong.
Sasuke menatap Hinata dengan penuh selidik.
"Pusing? Berjalan sampai ke buritan dan bertemu dengan pemuda jelata ini? Lalu dia menangkapmu karena kau akan pingsan. Ini tidak bisa menjelaskan semuanya. Tangkap pemuda miskin itu!" Sasuke memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Naruto.
Dua orang pengawalnya langsung mencengkeram lengan Naruto dengan erat.
"Lepaskan aku! Apa yang kalian lakukan? Aku tidak melakukan apapun!" Naruto berseru dengan protes.
"Sasuke-kun.. Lepaskan dia. Pemuda ini tidak ada hubungan apa-apa.."
"Katakan itu pada ibumu, Hinata.. Bawa pemuda itu!" sahut Sasuke dengan dingin.
"Sasuke-kun.."
"Naruto! Apa yang terjadi di sini?"
Saat kedua pengawal itu membawa paksa Naruto, tiba-tiba terdengar sebuah seruan kaget di belakang mereka. Semua orang berbalik ke arah suara, tidak terkecuali Sasuke. Seorang gadis berambut merah muda pucat berdiri di sana. Dengan yukata merah yang warnanya sudah pudar berkibaran ditiup angin laut, sedang menatap kaget ke arah mereka. Matanya terbelalak.
"Sakura-chan!"
"Apa yang kalian lakukan pada Naruto?" tanya Sakura, mengernyitkan dahi menatap dua pengawal itu.
"Dia melakukan tindakan asusila pada anak bangsawan Hyuuga.." jawab pengawal itu.
"Mana mungkin? Naruto tidak akan melakukan hal seperti itu. Lepaskan dia!" perintah Sakura pada kedua pengawal itu.
"Apa hakmu untuk memerintah pengawalku, Nona?" tanya Sasuke akhirnya.
Sakura menoleh ke arahnya dan langsung tercengang. Bukankah dia adalah pemuda yang tadi siang dia temui?
"Karena aku adalah sahabat Naruto. Aku tahu dia tidak bersalah. Jadi, lepaskan dia.." kata Sakura.
"Apa itu bisa menjamin? Dia sudah terbukti memeluk tunanganku, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Apa masih perlu bukti lain?" kata Sasuke.
Sakura tercengang kaget mendengar ucapannya. Dia menoleh ke arah Naruto.
"Aku bisa menjelaskannya. Keadaannya bukan seperti itu. Dasar bangsawan brengsek! Nona itu hampir terjatuh, jadi aku menangkapnya. Coba aku tidak ada dan dia terjatuh," kata Naruto, mencoba membela diri.
"Apapun alasanmu.. Kau telah menyentuh putri bangsawan Hyuuga dengan sembarangan. Kau pikir kau siapa? Kau hanya rakyat jelata yang tidak memiliki apapun. Kau sudah mengotori putri Hyuuga dengan tangan kotormu. Apa kau masih mau membela dirimu?" Sasuke menatap Naruto dengan pandangan menghina.
"Sasuke-kun.. Cukup.. Ini keterlaluan.." kata Hinata.
"Bukankah semua yang aku katakan tentang rakyat miskin benar? Mereka hanya menyusahkan. Hidup dari meminta-minta kepada para bangsawan. Dan kata-kata yang kau lontarkan itu.. Sangat tidak pantas diucapkan. Apa orangtuamu lupa cara mengajarimu tata krama. Pantas saja.."
PLAK!
Sasuke langsung terdiam. Begitu juga dengan semua orang yang ada di sana. Semua terdiam dan tercengang melihat Sakura yang telah berdiri di depan Sasuke. Tangannya baru saja dia gunakan untuk menampar wajah Sasuke dengan keras. Airmata keluar dari matanya dan mengalir di pipinya. Dia menahan tangis sekuat tenaga. Dia merasa marah, kecewa dan sedih dengan kata-kata yang baru saja diucapkan pemuda yang beberapa saat lalu dikaguminya, berubah menjadi pemuda sombong yang kata-katanya begitu membuatnya tersinggung.
"Cukup menghina rakyat jelata seperti kami. Cukup menghina orangtua kami. Kau tidak tahu apapun tentang kami. Jadi jaga bicaramu! Atau aku yang akan memaksamu tutup mulut!" seru Sakura penuh amarah.
Sasuke mengerjapkan matanya menatap gadis yang kini berdiri di depannya dan sedang menatapnya dengan mata berlilnangan air mata itu. Dia tercengang melihat mata itu. Mata yang begitu terluka dan menyimpan banyak kesedihan di dalamnya. Sasuke tidak pernah melihat wajah seperti ini. Gadis ini jelas sekali sedang berusaha untuk kuat, tapi dia tidak bisa menahan perasaannya lagi. Sasuke bahkan sampai mengabaikan rasa nyeri di pipinya akibat tamparan gadis itu.
"Kau boleh mencaci kami sepuasmu. Tapi kami juga punya harga diri. Jadi saat kalian menghina kami, kami punya hak untuk membalasnya. Bahkan lebih dari sekedar tamparan seperti tadi. Apa kau pernah mencoba untuk mengerti keadaan kami?" Sakura kembali menatap Sasuke dengan tatapan marah sekaligus terluka.
Dia lalu berbalik dan berjalan membelakangi Sasuke.
Langkahnya menjauh dari kerumunan orang itu.
"Lepaskan dia.." ujar Sasuke kemudian kepada kedua pengawalnya yang masih mencengkeram lengan Naruto dengan kuat sekali. Tapi matanya masih tidak bisa melepaskan pandangan dari punggung Sakura yang menjauh dari tempat itu.
