Scarlet Snow

Chapter 1 (This Arc's Ending is Stated Somewhere Here)

5 orang duduk di sekitar meja kayu lonjong. Kabin itu tidak begitu luas, hanya cukup untuk meja lonjong tersebut yang berada di tengah kabin, 7 kursi yang mengitarinya, dan beberapa kursi lain yang diletakkan berpasangan mengelilingi meja dan ketujuh kursinya. Lentera-lentera minyak tempel di dinding dan satu lentera gantung tepat di atas meja menerangi kabin.

"Bagaimana situasi sekarang di pulau Borneo, Azuri ?" kata seorang lelaki berjanggut dan berambut putih dengan kacamata bundar kecil. Wajahnya yang pucat meneteskan keringat ke seragam angkatan darat kerajaan Griffen yang ia pakai.

"Boulton, bisa santai sedikit ? Kapal ini takkan tenggelam malam ini, tahu." jawab wanita paruh baya yang ditanyai sambil melirik ke kertas catatannya. Rambut coklat auburnnya yang panjang dikuncir karena iklim Borneo yang panas dan lembab. "Chester dan aku mendapatkan informasi-"

"-bahwa di pemukiman hulu sungai, penduduk lokal dari suku Dayak dan para pedagang Orient sudah bentrok." lanjut Chester yang duduk di sebelah Azuri tanpa melirik kertasnya sedikit pun. Kumis hitamnya bergoyang setiap kali ia bicara. "Penduduk lokal menyerbu dan menjarah sebuah toko Orient. Ketika kaum Orient yang lain datang, mereka membalas dengan mengunci para penjarah dalam toko tersebut, lalu membakar semuanya hidup-hidup."

"Hmph. Bagus. Kaum Orient sudah lama mendominasi perdagangan di sini, kapal-kapal dagang kita tak bisa bersaing. Tapi semua itu takkan penting lagi, asalkan kita memastikan pasukan Griffen bisa masuk dengan mulus ke Borneo. Devide et impera !" komentar lelaki lain berkemeja safari. Kepala botak dan keriput muka menunjukkan umurnya yang sudah besar. Hanya ia yang tak terlihat seperti tentara di rapat ini, selain Azuri dan Chester yang memang mata-mata.

"Terima kasih, Descant." Boulton berdiri dan berjalan ke jendela, memandang ke siluet hitam daratan di kejauhan. "Bagaimana dengan kota Bekantan sendiri ?"

"Kudengar lusa wakil-wakil suku Dayak dan kaum Orient akan bertemu di pulau Danan beberapa ratus kilometer dari sini. Mereka tak sebarbar yang kukira." jawab Descant setengah bercanda.

"Apa informasimu bisa dipercaya, Descant ? Kau pedagang, bukan mata-mata." sergah Chester dengan senyum mengejek.

Descant berdeham dan pura-pura membaca kertas di tangannya dengan serius seolah tak mendengar.

Sosok kelima, seorang lelaki dengan kumis gaya Chaplin dan rambut hitam klimis yang disisir ke belakang angkat bicara setelah diam sekian lamanya. " Jadi... perlukah kita... kalian tahu, 'campur tangan' di pertemuan itu ?" katanya dengan suara rendah, seolah sedang menceritakan lelucon jorok, meski wajahnya serius. Keempat orang lain hampir melupakan kehadirannya, tapi begitulah ciri khasnya yang jarang bicara tetapi selalu menyatakan pernyataan-pernyataan mengejutkan.

Semua menyeringai, kecuali Chester yang berubah muram.

"Bagaimana menurutmu, Chester ?" tanya lelaki berkumis Chaplin itu.

"Herr Himmler." mulai Chester dengan hati-hati sambil memelintir kumis hitamnya. "Wakil dari kaum Orient adalah Baba Ong, dari suku Dayak adalah tuan Danum Bakumpai. Keduanya orang yang berpikiran logis dan tenang. Tak bisa tidak, jika kita ingin perang pecah antar kedua suku, perlu ada... 'campur tangan'." Rasa jijik mewarnai pengucapan dua kata terakhir.

"Tapi kali ini, tidak bisa dengan 'pelenyapan'. Bila kita membunuh salah satu, yang lain akan curiga." sanggah Azuri sambil melirik Chester. Chester makin tertekan, karena tahu Azuri sebenarnya mendukung rencana pelenyapan.

"Hal terakhir yang kita inginkan adalah kedua suku berpaling melawan kita. Serdadu yang ada di Borneo sekarang hanya cukup untuk keperluan penjagaan infrastruktur milik Griffen." komentar Chester, setegas yang ia bisa. "dan itu buruk untuk perdagangan." tambahnya, melirik Descant si pedagang.

"Persis. Untuk membunuh ular, kau memotong kepalanya dengan satu tebasan cepat. Tambah lagi alasan untuk melaksanakan 'pelenyapan'." seringai Himmler.

"Sudahlah, kalian. Azuri benar." potong Boulton yang sedari tadi memandang siluet hitam daratan yang ia rindukan. Ia sulit percaya bongkahan kayu berbobot ton bernama kapal bisa mengapung di air. "Selesaikan pertemuan ini dalam beberapa kalimat, aku sudah mulai mabuk laut." Nada tegasnya berlawanan dengan kekonyolan pernyataannya, keempat orang lain berusaha menahan senyum masing-masing.

Sudah puas menguji argumen Chester, Azuri memutuskan argumen Himmlerlah yang benar. "Aku setuju. Asalkan kita tak terlihat sebagai pelaku nantinya. Kau tak perlu kuajari apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan kan, Himmler ?"

Merasa diremehkan, Himmler menggebrak meja. "Sekali lagi kau bermain-main, nona Azuri, lebih baik kau keluar. Ini ruang rapat, bukan ruang kerjamu."

Azuri bersandar, dan melawan dengan santai. "Hoo, jangan langsung sombong karena usulmu diterima kali ini. Biasanya kau tak lebih dari pesuruh komite ini kan ?"

"Oya ? Aku tak melihatmu bekerja, nona."

"Mungkin kerjaku terlalu cepat dan praktis, tak sepertimu, maaf."

Himmler berdiri dengan kesal sampai-sampai kursinya terjatuh ke belakang. Azuri mengangkat satu tangan untuk menenangkan.

"Cuma bercanda." katanya dengan senyum kecil. "Lakukan seperti biasa."

Himmler kembali tenang dan duduk. "Buat seperti kecelakaan kan, nona ?"

Sementara itu, di pelabuhan tampak rombongan Orient yang akan berangkat ke pulau Danan sedang bersiap-siap. Seorang lelaki gempal berjubah satin merah mengawasi kuli-kuli bertelanjang dada memuat makanan ke kapal. Kumisnya tipis dan panjang, janggutnya yang mencapai setengah perut buncitnya merupakan lambang kebijaksanaan yg senantiasa dielus-elusnya. Tiba-tiba ia merasakan tarikan pada lengan jubahnya.

Baba Ong melihat ke bawah dan menemukan sesosok anak kecil berjubah putih kusam yang terengah-engah sehabis berlari. Ibunya mengikuti dari belakang, berjalan cepat.

"Oh, Lin !" seru Baba Ong ketika mengenali sang ibu. "Ada apa ?"

"Suamiku Zhun sudah pulang ?" tanya sang ibu lugas. Matanya jelas memancarkan kecemasan. Aneh. Seharusnya setelah setengah tahun ditinggalkan suami berdagang entah ke mana, Lin sudah terbiasa dengan rasa cemasnya, pikir Baba Ong.

"Belum, kapalnya belum merapat ke sini sejak berangkat. Ini anakmu ?"

"Ya. Namanya Feng. Tolong bawa dia."

Baba Ong memandang kemiripan orang tua dan anak sebagai sesuatu yang lumrah, tapi tetap lucu. Feng dan Lin sama-sama berambut hitam, dan meski gaya rambut mereka berbeda jauh —dikonde dan shaggy pendek— keduanya tetap memancarkan aura yang sama; ketenangan, tanggung jawab, dan keberanian. Yah, bercampur dengan aura peragu, plinplan, dan lain lain sih.

Baba Ong melempar pandangan bertanya; pasti ada suatu masalah dan ini adalah upaya menjauhkan Feng darinya. Lin memalingkan muka dan menggeleng pelan. Melihat itu Baba Ong mengangguk sekenanya. Ini adalah permintaan istri teman baiknya; alasan di balik permintaan ini tak begitu penting.

Perjalanan rombongan Orient berjalan lancar. Angin malam yang berhembus dari darat ke lautan mendorong layar kapal Jung berukuran kecil itu. Kerap digunakan pedagang Orient, ujung haluan dan buritannya yang lancip serta layar segi empatnya mudah dikenali dari jauh.

Karena yakin tak ada ancaman bahaya, Baba Ong mengijinkan seluruh anak buahnya beristirahat kecuali satu orang yang bertugas memegang kemudi berupa dengan dayung raksasa di buritan dan beberapa orang lainnya sebagai teman mengobrol di bawah obor yang dipasang di dinding bilik kemudi. Malang baginya dan untung bagi pasukan khusus Griffen yang mendekati kapal itu dengan sekoci dan memanjat ke atas dengan kait. Langit tak berbulan, seolah para dewa menutup mata terhadap pertumpahan darah di bawah hidungnya atau bahkan mengijinkan tindakan kotor pasukan berbaju serba hitam itu.

Anak buah Baba Ong yang berkumpul di sekitar kemudi kapal diberondong peluru senapan. Sisa awak kapal yang naik dari palka kapal dalam keadaan setengah mengantuk setengah gelagapan dibantai senapan yang sudah menunggu. Beberapa awak berhasil menerobos sergapan itu dan melawan para penyusup dari dekat dengan parang. Karena jumlah senapan yang membidik lubang ke palka kapal berkurang, makin banyak awak berhasil naik dan membantu kawannya yang sudah merintis pertempuran. Perlahan, bunyi tembakan berkurang digantikan desingan parang dan pedang yang beradu. Himmler yang meminpin penyerbuan itu tersenyum puas dari tempatnya di kemudi kapal. Tinggal membunuh semua orang yang tersisa dan melobangi dasar kapal, pikirnya. Penggunaan peledak dihindari pada misi ini karena dapat menyebabkan kebakaran dan menarik perhatian.

Baba Ong pun ikut bertarung melawan penyusup-penyusup itu, tetapi ia berusaha tak jauh-jauh lubang palka. Feng ada di bawah sana, pikirnya. Apa yang dapat kukatakan pada teman baikku ketika ia pulang dan menemukan anaknya sudah menjadi mayat ?

"Baba..." Feng menyembulkan kepala dari lubang palka.

Baba Ong buru-buru menginjak kepala Feng kembali masuk. "Jangan keluar ! Tetap di sana." perintahnya tanpa mengalihkan pandangan dari seorang penyusup yang mendekat.

Feng sekarang hanya bisa mendengarkan derap kaki di atas geladak yang bertalu-talu tak beraturan dan teriakan orang-orang yang menjadi korban besi dingin, mengamuk dan menebas di atas mayat kawan-kawannya yang sudah terbunuh timah panas dari awal pertempuran. Pikirannya dipenuhi seseorang di kemudi kapal yang tak ikut bertarung dan hanya mengawasi. Mungkinkah ia pemimpin lawan ?

Setelah menarik napas dalam, Feng memanjat ke atas geladak dan merebut pisau kecil yang tersarung di pinggang Baba Ong.

"HEI— FENG !"

Ia tak mempedulikan teriakan itu, dengan hati-hati ia setengah berlari menembus kerumunan yang sedang beradu pedang menuju kemudi kapal. Pisau yang ia rebut dipegang di belakang punggung supaya tersembunyi. Mereka takkan tega membunuh anak-anak, pikirnya. Jangan bergerak terlalu cepat, tunjukkan kau masih anak-anak, dan pedang mereka akan berhenti sejenak. Sejenak yang menentukan hidupku, cukup untuk menjauh dari jangkauan pedang. Semoga.

Himmler yang mengawasi jalannya penyerbuan menyadari sosok kecil yang bergerak perlahan menuju tempatnya. Ia mengokang pistolnya membidik Feng yang sudah di dasar tangga menuju bilik kemudi. Wajahnya yang dingin bagai batu tak menunjukkan keraguan maupun belas kasihan pada anak yang mendekat dengan mata setengah terbelalak dan jantung berdegup kencang karena tegang.

Secara ajaib, angin kencang menyebabkan debu masuk ke mata Himmler. Meski tembakannya meleset sedikit ke samping, lutut Feng melemas mendengar letusan pistol.

Karena mati adalah ketakutan terbesar manusia, bisiknya pada diri sendiri, bahkan ketika ia terduduk lemas dengan mata tetap terpaku pada Himmler. Feng setengah menyeret diri menaiki tangga dengan tangan yang masih bebas, dan setelah kakinya mendapatkan kekuatan kembali, pisau di tangan satunya ia ayunkan sembarangan sembari memaksa diri menekan maju.

Himmler tahu mengisi peluru lagi takkan sempat, maka ia mencabut pedang dari pinggang dengan tangan kiri. Tetapi salah satu tebasan liar Feng sempat memotong urat nadi tangan kanan Himmler yang memegang pistol, baru ia terlempar tebasan pedang Himmler ke laut. Luka tebasan menyerong dari pinggang ke bahunya terasa panas, kemudian menyengat ketika disambut air laut yang asin.

Feng tercebur dan tak terlihat lagi di air laut yang hitam.

Dan mati adalah sederhana, bisiknya lagi pada diri sendiri sambil tersenyum puas, menyerahkan diri pada dasar laut terdalam dan segala makhluk halus yang menghuninya.

Entah berapa lama Feng berpegangan pada papan kayu yang mengapung itu. Aneh, papan itu terasa baru dan halus tak berlumut. Samar-samar, dengan pandangan kabur Feng melihat sebuah kapal di kejauhan. Matahari telah tinggi dan terasa terik di wajahnya.

"Ada orang di sana !" teriak awak kapal.

Bersamaan dengan menghilangnya kesadaran, Feng mendengar perintah-perintah untuk menaikkannya ke kapal.

~ Chapter 1 end ~