Tidak banyak manusia yang rela menyempatkan waktunya untuk sekedar berpikir, telah berapa lama bumi ini hidup? Semua sibuk mengurus apa saja yang ingin mereka urus. Sangat sadar, bahwa hidup di bumi tidaklah gratis dan lepas dari pengorbanan. Menjadikan hidup, sebagai pengabdian bagi hidup. Hingga tidak jarang, cara apapun akan dilakukan demi tercapainya sebuah tujuan.
Namun, sangat jarang yang menyadari, kalau hidup di dunia yang tidak gratis ini, harus dibayar dengan harga mahal. Bahkan, berjuta mata uang tidak dapat menggantikannya. Betapa banyak seorang kaya raya yang selalu merasa miskin, seorang pejabat yang selalu haus kedudukan, seorang rakyat yang sombong, dan berbagai macam hal egois pada manusia.
Penipuan, penjarahan, korupsi, penyuapan, pencurian, dan berbagai tindak kriminal lain yang masih bersembunyi di dalam otak-otak jahat dari manusia. Pikiran-pikiran tidak terduga yang keluar begitu saja dari otak seseorang. Dan bagi yang tidak menginginkannya, ia akan binasa. Karena, inilah hidup. Hidup yang terbagi antara baik dan buruk.
Sama halnya hidup, manusia pun terbagi menjadi dua, baik dan buruk. Namun, masing-masing pihak, akan pernah merasakan keduanya. Kedua sisi dari kehidupan. Karena manusia itu hidup. Hidup di bumi yang semakin tua.
.
-NaruHina-
.
Disclaimer
Naruto : Masashi Kishomoto
Story : Me
Warning : OOC, AU, pseudonym OC, and other
.
Happy reading!
.
Sebuah limousin hitam metalik, tampak melaju membelah jalanan kota London. Dua mobil yang sama berjalan beriringan di depan dan belakangnya. Menuju pada rumah bagai istana yang berdiri kokoh di tengah pekarangan luas nan indah yang berada di puncak bukit.
Seorang bodyguard berambut cokelat gelap panjang ikat satu, turun dengan gaya formal dan segera membukakan pintu tengah tempat sang majikan duduk, setelahnya, ia menunduk hormat dan sopan pada seseorang yang telah menjadi tempatnya menyerahkan kesetiaan.
"Sudah sampai, Tuan Muda..."
"Hn."
Sang majikan pun menurunkan kakinya yang dibalut sepatu sport hitam putih dari dalam mobil. Rambut pirangnya sedikit bergoyang lembut karena terpaan angin. Tiga garis tipis bekas luka, tampak menghiasi masing-masing dari kedua pipinya.
Sebelum melangkahkan kaki, matanya yang tertutup sebuah kaca mata hitam tampak bergerak liar pada pemandangan sekitar. Tidak ada ekspresi berarti yang ia berikan, kecuali tatapan rindu bercampur kesedihan yang mendalam. Ia lalu menghela napas sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana dan melangkah pada pintu besar di seberang jembatan.
.
.
.
.
.
"Paman, apa benar, ini rumah Tou-san?"
"Ya, Tuan Muda... Minato-sama yang memang asli London bahkan telah membangunnya sebelum Beliau menikahi Nyonya."
Pemuda itu menghela napas sejenak. Memahami perkataan dari sang bodyguard yang ia panggil paman. "Heh, menyedihkan sekali. Semua hidangan pesta hanya dimakan oleh satu orang." Ia lalu melepaskan kaca mata yang ia pakai dan menggantungnya di saku jaket. Kedua iris sapphire tampak jelas bersinar dan redup dalam waktu bersamaan.
Dia adalah Naruto Namikaze. Rambutnya berwarna kuning cerah, juga dengan garis wajah yang memang mirip orang Eropa kebanyakan. Anak dari Minato Namikaze, seorang pengusaha Inggris ternama yang melambung dan sangat dikenal namanya sekitar lima belas tahun yang lalu.
"Tuan Muda... kalau memang satu orang itu tidak sanggup memakan semuanya, maka dia dapat mengundang orang lain untuk datang dan makan bersama."
Kalimat dari sang bodyguard membuat lamunan singkatnya terhapus. Sebuah senyum tipis, mau tidak mau mengalir apa adanya dari bibir sang pemuda. Dadanya sedikit naik dan turun demi memompa setumpuk oksigen yang entah kenapa tiba-tiba menjadi sulit diatur. Bagunan lama yang kini ia singgahi, bukannya tidak ada yang memiliki. Hanya saja, ayahnya, sang pemilik utama, telah lama meninggalkan dunia.
"Mungkin. Aku akan mengundang seorang ratu dan anak-anak kemari."
"Hmm, semoga undangan Anda dipenuhi, Tuan Muda..."
"Tentu saja, Paman. Aku sangat yakin itu!" ujar Naruto optimis.
Sang bodyguard setengah baya itu terlihat merenung sekilas. Sebuah senyum simpati ia bagi dengan penuh ketulusan. Pamuda yang telah ia dampingi selama lima belas tahun, kini telah tumbuh dewasa dan bersahaja. Tidak dapat dipungkiri, hatinya telah menganggap, sang majikan bagaikan anak kandungnya sendiri.
"Anda sangat mirip dengan Minato-sama..."
.
"Sudah waktunya makan siang, Anda ingin makan di mana, Tuan Muda?"
"Makan di sini saja sudah cukup. Lagipula, jangan memanggilku seperti itu kalau sedang tidak ramai begini. Aku jadi tidak selera makan."
Pemuda berusia dua puluh dua tahun itu, langsung menghempaskan dirinya ke sebuah ranjang yang masih terlihat bagus karena penjagaan yang dilakukan para pelayan di villa. "Ahhh, kenapa tempat ini sangat indah?"
"Tuan Mu-"
"-Sudahlah, aku tidak mau makan!"
Sang bodyguard mengusap kedua telapak tangannya sembari menghirup napas dalam-dalam. "Baiklah, mari makan, Naruto-kun..."
"Hn, oke! Hehe..."
.
.
.
.
.
Seorang gadis belia berdiri di depan cermin berbentuk lingkaran sambil menatap pantulan dirinya dalam tatapan datar. Wajahnya tidak berubah sedikitpun saat berbagai macam dress pesta ia sampirkan ke tubuh. Dari yang tertutup hingga yang terbuka. Semua dress tidak terlihat berbeda di mata putihnya yang selalu menatap dalam kekosongan.
"Whether you're done, lady?"
Seorang pelayan berbaju formal tampak menunduk hormat di depan sang gadis. Namun tidak dihiraukan sama sekali olehnya. Butik besar ini tidak ubah bagai neraka baginya.
"It's." Dengan wajah dan suara datar, gadis itu menyerahkan sebuah gaun pesta selutut berwarna hitam dengan renda yang mengikat bagian pinggang, serta kerah memanjang yang menutupi bagian leher. Matanya tidak lepas dari seorang wanita setengah baya yang juga sama-sama memilih baju tidak jauh darinya.
Setelah membayar gaun, gadis bertubuh tinggi semampai dengan rambut panjang lurus berwarna biru gelap itu keluar dari butik. Pandangan kosong yang tajam, mengarah ke segala arah dengan tenang. Sangat tidak terlihat kalau ia tengah memantau keadaan sekitar.
"Yes, she's," bisiknya pada sebuah alat telekomunikasi yang menggantung di telinganya. Matanya menatap datar pada sebuah mobil yang terparkir rapi di sekitar butik.
Beberapa detik setelahnya, sebuah teriakan terdengar melengking keras dari mobil yang sedari tadi telah menjadi target. Baginya, memasuki butik dan membeli sebuah gaun hanyalah sebuah motif. Dan beberapa detik setelahnya, bergerombol manusia terlihat berdatangan memenuhi lokasi dengan wajah panik.
Kaki jenjang sang gadis berkaos biru dengan rok merah kembang itu melangkah tenang namun lebar. Tangan kirinya bergerak pelan menutupi sebagian wajahnya dengan sebuah topi rajut. Melangkah panik mendekati lokasi kejadian.
Semua orang yang hadir, terlalu sibuk pada kejadian langka di depan mereka, membuat mereka tidak menyadari satu pergerakan kecil yang tengah dilakukan oleh seorang gadis muda di tengah mereka. Ia telah berhasil memungut sebuah amplop cokelat dengan santai sambil memeriksa nadi korban dengan serius.
Semua perhatian kerumunan manusia langsung terperangah sadar saat mendengar suara datar dari gadis tersebut.
"She's death."
.
.
.
.
"Paman, bagaimana kalau kita berhenti terlebih dahulu? Sepertinya bumi ini memang sempit dari kekacauan."
"Baik, Tuan Muda..."
Limousin hitam itu berhenti tapat di depan kerumunan. Naruto turun dari mobil dan langsung menerobos masuk ke dalam kerumunan dengan tergesa. Mengabaikan larangan keras dari bodyguard di belakangnya.
"Tuan Muda!'
.
"What's happened?" tanya Naruto saat telah sampai pada kerumunan paling ujung. Iris birunya langsung melebar melihat sebuah pemandangan miris di depan. Seorang wanita paruh baya tergeletak tidak bernyawa di kursi kemudi dengan bekas tembakan di dada sebelah kiri.
"She was killed," ujar gadis bertopi di sebelahnya datar.
Pandangan mereka bertemu dalam beberapa detik, namun tidak ada ekspresi apa-apa bagi keduanya. Sangat datar dan tidak bermakna. Hingga kedunya berpisah sama-sama menjauhi kerumunan.
"Aneh..."
.
"Tuan Muda, apa yang terjadi?"
Naruto mengerutkan dahi pada sang bodyguard. "Pembunuhan," ujarnya singkat. Kerutan di dahinya belum hilang sembari matanya melirik liar pada sekitar. Mencari keberadaan gadis yang semenit lalu ada di sampingnya.
"Ini sangat aneh."
"Apa maksud Anda?"
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Iruka!"
"Oh? ya, baiklah, Naruto-sama..."
.
.
.
.
.
Beberapa lemari buku tampak memenuhi ruangan nan luas itu. Sisi dinding kaca bagian sebelah timur terlihat terang dan berwarna. Sebuah meja melingkar tampak berdiri kokoh di tengah ruangan. Dua tumpuk buku tebal tergeletak di sisi kiri dari meja, begitu pula dengan sebuah layar monitor yang terletak di tengah meja. Seorang lelaki paruh baya, tampak berdiri diam di depan dinding kaca. Menatap seisi pemandangan di bawah dengan tatapan yang penuh harap.
"Good evening, Master..."
Seorang gadis dengan topi rajut berdiri membungkuk di depan pintu. Tangan kanannya tengah memegang sebuah amplop berwarna cokelat.
"Please, Hyene."
Dengan wajah sumringah, sang majikan duduk tenang di kursinya. Matanya yang sudah berkerut, menatap penuh keyakinan pada sebuah amplop yang dipegang sang gadis bernama Hyene di depannya.
"Mission succes, Master..." ujar Hyene datar. Gadis itu lalu menunduk dan menyodorkan amplop yang ia pegang ke atas meja.
"Good job. Tomorrow is a holiday for you."
"Thank you, Master... excuse me..."
"Hn."
Dengan perlahan, Hyene memundurkan dirinya ke arah pintu dan keluar setelah menunduk sekilas.
.
.
.
.
.
"Paman, apa gunanya aku datang ke acara itu? Bukannya lebih baik kalau kita melanjutkan penyelidikan ini? Kita tidak bisa bersantai-santai!"
Naruto melemparkan stelan baju pesta di tangannya ke atas ranjang. Baju itu baru saja diantar oleh salah satu pelayan untuk acara yang akan ia hadiri esok hari. Dengusan tidak suka berkali-kali keluar dari hidungnya. "Aku tidak akan datang!"
"Tuan Muda... Profesor Orochimaru adalah teman dekat ayah Anda. Semua lukisan yang akan di pajang nanti adalah karyanya sendiri. Mungkin Anda pernah mendengar istilah, 'Musuh dalam selimut'."
Mata bening, beriris biru sapphire itu melebar sedetik. "A-aa." Mulut Naruto hanya dapat membuka dan menutup mendengar penjelasan sang bodyguard.
"Saya hanya menyampaikan pendapat, Tuan Muda..."
"Hmm, kata-kata paman memang benar. Kalau seandainya rumus matematika telah dipahami, soal tersulit pun akan selesai dalam waktu sekejap. Tidak ada yang mustahil."
Sang bodyguard pun menunduk sekilas. "Anda harus berhati-hati dalam menjaga identitas. Saya tidak akan berada di samping Anda besok."
"Hah, kenapa paman tidak bersamaku?"
"Karena Profesor sangat mengenali wajah ini."
Helaan napas pasrah terdengar jelas dari sang Tuan Muda. "Baiklah..."
"Istirahatlah, Naruto... besok, penyelidikan akan kita mulai."
"Hn."
Bodyguard setengah baya itu lalu mengundurkan dirinya dan keluar dari kamar Naruto. Meninggalkan pemuda yang sejak kecil telah menjadi majikan baginya seorang diri.
Kaki Naruto melangkah pelan mendekati jendela kamar. Kepalanya mendongak menatap pada bulan terang dengan ribuan bintang yang terlihat jelas di langit kota London.
Seumur hidup, baru kali ini ia merasa telah menginjakkan kaki di London dalam kesepian. Dulu, sewaktu kecil, ia pernah tinggal di London bersama kedua orangtuanya. Sungguh, sebuah kota yang dulunya penuh kenangan manis. Namun, dalam dunianya yang sekarang, Kota London tidak ada apa-apanya. Karena hidupnya sudah tidak sempurna, semenjak kedua orangtua tiada.
Mau menangis pun, tidak ada gunanya. Air mata telah kering sejak bertahun-tahun yang lalu. Kedatangannya ke Kota ini pun bukanlah tanpa alasan.
Kematian ayah dan ibu yang tidak normal. Kehilangan seluruh anggota keluarga. Tinggal hidup seorang diri dengan beberapa bodyguard yang menemani. Semuanya cukup menjadi alasan serius baginya untuk mendatangi Kota ini. Tempat berlangsungnya kehidupan awal bagi kedua orangtuanya.
Iris sapphire itu menatap hampa pada pamandangan indah di atasnya. Terkadang, memori kehidupannya dengan kedua orangtua, akan terpeta jelas saat keberadaannya yang sedang menyendiri. Senyum miris ia tujukan pada langit malam.
Namun, tidak lama setelahnya, lamunan memori tentang kenangan dengan kedua orangtuanya lenyap secara tiba-tiba saat ingatannya kembali pada kejadian siang tadi di sebuah mall. Kejadian yang sangat mirip dengan pembunuhan. Juga, seorang gadis aneh yang berbicara dengannya dengan pandangan tidak lazim. Tajam dan hampa, seperti tatapannya. Namun, kabut kegelapan tak berujung, terlihat jelas menaungi sang gadis.
"Siapa dia?"
.
Sama halnya dengan Naruto, Hyene yang tengah berada di kamarnya, juga menatap hampa pada langit malam. Jikalau pandangan Naruto adalah setajam pisau, maka pandangan Hyene adalah setajam samurai. Dan jika pandangan Naruto sehampa ruang kosong, maka pandangan Hyene adalah sehampa ruang angkasa. Lebih tajam dan lebih hampa.
Gadis itu, dia bahkan tidak tahu, siapa dirinya.
.
.
.
.
.
To
Be continued...
.
Author: Haduh, kenapa bahasa Inggris saya sangat jelek begini? Hiks...
Sasuke: Dobe!
Naruto: Tenang saja! Kalau kita berusaha terus, pasti akan berhasil! Karena kita sama!
Sai: Sama-sama bodoh, ya...
Author dan Naruto: SAI!
Sakura dan Kakashi: Hay hay...
Terjemah singkat:
Whether you're done, lady? : Apakah Anda sudah selesai, Nona?
Good job. Tomorrow is a holiday for you : Kerja bagus. Besok adalah hari libur bagimu
