Title: Dear My Friend
Chap: 1
Genre: Friendship, Angst
Casts: 9 member HSJ dan 1 ex-member HSJ.
Summary: Jangan bilang warna pelangi 7 jika kau bukanlah sahabatku.
Warning: Chinen centric

-o-O-o-

Grade A, pandai menari, jago olahraga, pintar segalanya. Itulah aku. Setiap aku merasa jatuh atau terpuruk, selalu itulah yang kuingat. Membuatku bangkit dan berteriak dalam hati 'aku yang terbaik'. Lahir dalam keberuntungan membuatku tampak begitu sempurna dari luar. Senyum yang memukai, mata yang berkilau, aura yang hebat, seluruh temanku akan memandang kagum kepadaku. Bahkan saat kumenoleh, pasti ribuan pasang mata tak akan bisa berpaling dari pesonaku yang kelewat bersinar. Aku sadar, aku seorang bintang. Datang ke dunia ini dengan jutaan mimpi dan ribuan harapan, hatiku teguh mengatakan bahwa aku seorang bintang. Bintang selalu bersinar dengan caranya sendiri. Dan itulah aku. Chinen Yuuri.

Aku mengetukkan jariku di atas meja briefing, menunggu teman segrupku datang.
"Chii. Sudah hafal koreo?" Sebuah suara membuatku menoleh.
"Aa, sudah yuto. Sedikit." Jawabku.
"Pasti hafal. Kamu kan pintar." Yuto melempar senyum singkat ke arahku sebelum akhirnya kembali pada kertas lirik di tangannya.
"Ohayou~!"
"Ohayou Yabu-kun." Sapaku dan Yuto berbarengan.
"Ne, aku baru beli tamagotchi. Keren kaan? Hahaha!" Pamer Yabu sambil menunjukan tamagotchi barunya yang berwarna pink tersebut.
"Bagus apanya?" Balas Yuto ala kadarnya seolah tak peduli. Memang dia tidak peduli.
"Haha." Aku hanya tertawa melihat wajah kecut Yabu yang kecewa mendengar ucapan ketus Yuto yang tidak seperti biasanya, Yuto akan selalu tampak bersahaja dan bersahabat.
"Aku punya dua di rumah." Selaku begitu saja ketika tiba-tiba suasana menjadi hening.
"Dua? Untuk apa? Kau maniak tamagotchi ya?" Tebak Yabu asal-asalan.
"Tidak. Aku hanya iseng saja membelinya, karena warnanya keren." Jawabku sambil tersenyum simpul.
"Warna apa? Warna warni? Warna pelangi?" Kini Yuto yang mulai menebak-nebak.
"Bukaaan...hehe. Tapi warna hijau dan kuning. Yang hijau Aku suka warnanya, tapi kalau yang kuning Aku suka bentuknya. Bentuknya itu anak naga." Kataku secara cepat.
"Kau memakai keduanya?" Tanya Yabu lagi, kini dia sedang melahap bakpau.
"Tidak. Yang satu rencananya ingin kuberikan kepada orang lain. Tapi bingung. Siapa ya?" Kataku sok berangan-angan.
"Berikan pada siapa? Bagaimana kalau ke yuya?" Usul Yuto.
"Aha! Kasih aja ke Saaya!" Usul Yabu ngaco.
"Mana cocok. A! Aku tahu, aku akan berikan kepada Ryutaro." Ucapku santai tanpa ekspresi.
"Hm? Hahaahahaha!" Yabu tertawa terpingkal-pingkal seakan yang baru kukatakan adalah lelucon paling konyol yang pernah dia dengar.
Aku juga tertawa. Tapi hatiku berkata aku serius. Aku membelinya dulu untuk kuberikan pada Ryutaro saat ulang tahunnya yang ke 11. Saat kami sama-sama masih menjabat sebagai trainee, tapi hadiah teman-teman untuknya saat itu terlampau bagus, jadi aku mengurung hadiah itu hingga kini. Masih terbungkus rapi dalam laci lemariku. Seandainya dia tahu bahwa dia teman yang paling membuatku simpatik, pasti dia tidak akan menjauh seperti sekarang.
Seketika aku memandang sedih ke arah arlojiku. Jarumnya terus bergerak maju. Mendesak pembuluh darahku dan mengingatkanku bahwa waktu tidak pernah berhenti. Bahkan ketika aku mencoba menutup mata, waktu akan terus menari. Tak pernah peduli akan keinginanku untuk menghentikan waktu karena sakit hati ini telah benar-benar mencabikku. Membuatku lupa bahwa aku dibutuhkan untuk tetap berdiri di sini. Waktu kejam.

-o-O-o-

"Tadaima." Ucapku saat membuka pintu rumah. Dan Ibuku sudah menyambutku di sana.
"Okae...ri." Ibuku segera berlari ke sampingku, dengan kedua tangannya dia meremas pipiku pelan. Sementara aku memandang datar ke arahnya.
"Kau sakit? Kamu panas Yuuri." Katanya lemah. Dia memandang cemas ke arahku.
"Aku hanya lelah, Ibu." Balasku sambil tersenyum singkat.
"Aa. Baiklah."
Aku melangkah masuk ke dalam kamarku. Menutup pintunya rapat dan menguncinya dari dalam. Masih dengan mata yang terasa berat, kubuang tubuhku di depan pintu. Kemudian memeluk lututku sendiri agar aku bisa membenamkan wajahku sendiri di antara kedua lututku.
Tidak seperti kebanyakan, aku tidak menangis dalam kondisi seperti itu. Aku hanya lelah. Lelah karena rasa rindu terhadap sahabatku. Lelah karena dia terlalu sibuk berputar dalam pikiranku. Aku merindukannya.
"Mau ibu siapkan air panas?" Ujar Ibuku lembut dari balik pintu kamarku.
"Tidak usah." Jawabku letih.
Kemudian aku mendengar langkah kaki ibuku yang pergi menjauh.
Aku berdiri untuk melangkah dan berbaring ke ranjangku. Di atas sana kupejamkan mataku lagi. Pikiranku kosong. Tidak memikirkan apapun. Bumi, angin, hujan, bunga. Diamlah. Semuanya tak pernah kupusingkan.
Tiba-tiba tanganku terulur menuju rak buku dekat ranjangku. Meraih sebuah majalah berbasis shoujo edisi september tahun 2010. Begitu melihat covernya, aku tersenyum miris. Dengan begitu kubuka majalah tersebut mencoba menilik dalamnya.
"Ha." Aku tertawa kilat begitu merasakan hatiku membuat drama kembali saat aku menyaksikan kumpulan gambar kebersamaan kami. Group JUMP yang selalu bersepuluh. JUMP yang selalu kurindukan.
"Menyenangkan ya?" Ucapku seraya memandang kosong ke arah langit-langit kamarku.

Flashback

"Baka! Jangan kelitiki aku! Aku-tidak-suka! Menyebalkan!" Suara seraknya mengalun di telingaku.
"Gomen." Aku tertawa canggung seraya mencoba membujuknya.
"Aku tidak peduli!" Dia malah pergi meninggalkanku sendirian.
Aku mengejarnya masih terus berusaha memaksakan senyumku walau hatiku mulai cemas, karena si sulung morimoto itu terlihat membenciku saat ini.
"Gomen..." Ucapku lagi. Namun dia hanya memandang sinis ke arahku dan menghiraukanku.
Saat di latihanpun begitu, ketika keito memintaku untuk mengajarinya beberapa gerakan sederhana di dalam koreo yang tidak dia hafal, ryutaro turut memandang benci ke arahku. Membuatku semakin sedih menyaksikannya. Dan aku pun semakin yakin bahwa dia benar-benar tidak menyukaiku, tidak seperti saat hikaru menjahilinya, dia tidak akan semarah ini pada hika. Tapi denganku, ryutaro seperti ibu tiri.
Waktu istirahatpun datang, dan aku memutuskan untuk menghampirinya lagi dan membicarakan masalah di antara kami baik-baik.
"Ryu, aku tau yang kulakukan salah. Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf." Kataku sambil menundukkan wajahku sungkan.
"Tidak chinen-kun. Aku tahu kenapa kau mengusiliku. Itu karena kau tahu seberapa diperlukannya kau bagi group ini, sementara aku hanya anak bungsu yang akan selalu memintamu melindungiku dengan sinarmu. Bagimu, aku ini hanya anak ingusan yang bisa kau perlakukan seenakmu. Tapi kenapa kau melakukan itu? Apa kurang solo part yang kau dapat? Apa kurang bagimu untuk terus mendominasi? Apa kurang nilai A yang kau dapat? Aku tidak pernah mengusili masalah itu. Aku tahu itu tidak adil, tapi aku tidak pernah mencoba untuk mempedulikannya. Karena bagiku kita semua sama. Kita semua sama-sama berjuang untuk menjadi group yang baik. Tapi ternyata kau lebih picik dari yang kukira. Kau masih saja menyerangku, si anak bawang yang tidak pernah mendapat bagian." Katanya cepat dengan suara yang rendah. Dia tidak mau suaranya didengar yang lain. Tentunya juga pernyataannya membuatku terkejut.
"Kenapa kau berpikir begitu? Aku hanya menjahilimu biasa tidak lebih." Kataku panik. Aku ketakutan sekarang. Aku takut kehilangan teman yang paling berarti dan selama ini menjadi teman yang selalu bisa membuatku bersyukur akan apa yang kumiliki.
"Aku membencimu."
Aku terpaku di tempatku. Memandang tidak percaya padanya. Apa dia...cemburu? Dia iri akan diriku? Iyakah? Tapi kenapa padaku? Kenapa tidak pada Yamada? Apa karena Aku lebih kecil darinya?
"ISTIRAHAT HABIIIIS!" Teriak Yabu ke seluruh penjuru ruangan.
"Berisiiiik!" Balas Hikaru.
Yabu tertawa mendengarnya lalu mengarahkan member-member lainnya untuk berdiri pada posisinya.
"Heh, jangan cemberut terus." Goda Yabu saat dia mengantar Ryutaro ke tempatnya. Namun Ryutaro tidak menggubrisnya sama sekali.
"Dia kenapa?" Tanya yabu kepadaku yang kini tengah mengekori Ryutaro karena memang posisiku dalam formasi tepat berada di samping Ryu untuk lagu ini.
"Biasa." Jawabku sambil tersenyum kecut.
Yabu hanya menjawabku dengan isyarat 'O' yang dia buat dengan mulutnya lalu berlari ke depan para member untuk mengecek kelengkapan formasi.
"Fokus latihan. Jangan hiraukan. Mereka hanya bercanda." Ujar Yabu samar-samar sambil menepuk pundak ryutaro ketika dia berlari kembali ke posisinya.
Aku meniliknya, Ryutaro mengangguk pelan masih dengan bibirnya yang merengut. Penuh dengan rasa simpatik aku tersenyum.
"Apa kau lihat-lihat?" Tiba-tiba Ryutaro mengancamku dengan tatapan kesalnya.
Aku hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Dalam hatiku aku melompat kegirangan. Dia telah kembali normal.
"Jadi mau kan memaafkan aku?" Tanyaku kepadanya.
"5 piring sushi." Jawabnya cuek.
"Hargamu semurah itu?" Ledekku. "Aww!" Tiba-tiba sebuah spidol mendarat tepat mengenai dahiku.
"WOY! Nyanyi! Jangan ngobrol!" Ternyata hikaru yang melempariku dengan spidol. Dan dia sedang berdiri tengil di depan seperti penjaga pantai.
"ELU juga ngapain disituu? Bukannya balik formasi!?" Inoo melempari hikaru dengan botol minum yang ada di dekatnya.
Kami semua tertawa melihat pertengkaran Inoo dan Hikaru yang garing, kecuali Ryu, dia hanya tersenyum masam menahan tawanya.

-End of Flashback-

Aku tersenyum mengingatnya. Menyaksikan kejadian masa lampau dari balik pintu waktu yang semu.
Tanpa sengaja aku menjatuhkan majalahku ke lantai dan tak terasa mataku mulai terpejam hingga akhirnya aku bisa tertidur sesaat sampai tiba-tiba handphoneku berdering dengan nyaringnya.
Dengan malas kuangkat panggilan itu masih dengan mata tertutup karena kantuk.
"Moshi-moshi. Chinen Yuuri desu." Jawabku lesu.
Beberapa detik kutunggu namun tiada jawaban balik, hanya desir angin dan suara hembusan nafas yang memburu begitu kudengar.
"Halo? Kalau hanya iseng jangan meneleponku! Aku sibuk!" Ucapku kasar.
Namun begitu ingin kujauhkan smartphoneku dari telingaku, sebuah isakan samar-samar terdengar dari seberang sana. Menandakan bahwa orang yang sedang menelepon tengah menangis sekarang.
Aku begitu terkejut mendengarnya, dengan tangan gemetar kuangkat handphoneku dan mengecek siapa kiranya yang meneleponku sambil bangkit dari tidurku.
Mataku membesar 1,5 kalinya. Shintarolah nama pemanggil yang terpampang di layar smartphone mungilku.
"Ha halo? Shintaro? Kenapa? Kenapa menangis? Halo? Kau bisa bicara?" Kataku panik sementara shintaro masih terus menangis kian kencangnya.
"Shin! Jangan bercanda! Apa yang kau lakukan? Maksudku kenapa kau menangis? Lalu meneleponku? Ada apa, dik?" Desakku lebih panik lagi. Bahuku mulai gemetar dan nafasku memburu. Telingaku seakan berdengung dan kepalaku nyeri begitu hebat.
"Ha...a...anjing khem..bah..li. Hiks! Keh..kandang..hiks..hiks.." Ucap Shin terputus-putus di dalam tangisnya. Membuat kata-katanya terdengar tidak jelas.
"Apa maksudmu? Shin! Bicara yang jelas!" Bentakku karena aku hanya bisa mendengar dia menggumam bukannya berbicara, dan itu membuatku semakin ketakutan.
"HAAA! Senpai!" Semakin lama, Shintaro menjerit. Menangis sambil menjerit. Menangis dengan begitu dahsyatnya hingga aku ikut ingin menjerit. Pening rasanya saat aku mendengar Shintaro menangis makin hebat di tiap detik berikutnya. Tangisan sesenggukan yang begitu menyedihkan. Mengempiskan rongga dadaku saat ketakutan menyelubungi belenggu.
"SHINTARO! BICARA YANG JELAS! !" Akhirnya aku tidak bisa menahan emosiku, aku menjerit seraya ingin membanting handphoneku ke luar jendela kalau saja tidak kuingat shin sedang butuh aku di saluran telepon ini.
Aku tidak mendengar jawaban. Tiap detik yang bergulir dan terbuang sia-sia, aku hanya mendengar tangisnya yang semakin menggila. Membutakan logika dan melenyapkan kebijaksanaan. Aku berdiri kaku di depan pintu kamarku. Menanti sebuah kalimat penjelas yang ingin kudengar dari bibir adik Ryutaro Morimoto ini.
"Aniki...hiks, aniki...! Huuu! Anikiii! !" Sekian lamanya dia membisu, hanya satu kata itu yang dia ucapkan. Aniki. Sebuah kata singkat yang membuat jemariku membeku di dalam sakuku.
Aku menunggunya merampungkan kalimatnya. Jadi aku membiarkannya dengan kalimat yang tergantung.
"Dia..sudah tidak ada." Jawab Shintaro setengah berbisik. Ketika dia mengucapkannya, Aku tidak merasakan sebuah aura kehidupan dalam suaranya. Yang kudengar hanyalah suara anak putus asa yang telah kehilangan hasrat dan mimpinya.
"Tidak ada apa maksudmu?!" Desakku penasaran. Bulu kudukku berdiri. Berdiri karena aku merasa begitu takut. Takut dan...ingin mati.
"ARGH!" Shintaro berteriak seperti menahan sakit yang teramat perih dari sebuah luka yang semakin meradang.
"Shin...katakan..." Kataku memohon halus kepadanya.
Masih sambil menangis dia mulai membentuk kata dengan lidahnya. Menyimpulnya menjadi sebuah kalimat pendek yang mematikan.
"Dia tidak ada. Dia mati! DIA BUNUH DIRI! JELAS?!"
"Astaga..."
Tanpa kusadari aku terjerembab di lantai. Kepalaku membentur tiang penyanggah ranjangku. Namun Aku tidak merasakan sakit sama sekali. Dan mulai saat itu juga, aku tidak bisa melihat apapun. Sama sekali tidak bisa, hingga aku merasakan kepalaku perlahan terasa berat dan tubuhku berubah menjadi dingin. Air mata yang jatuh dari kelopak matakupun terasa tajam seperti es dan membuatku menggigil. Dari jauh, Aku mendengar suara wanita menjerit. Suara yang rapuh dan menakutkan. Dia menjerit begitu nyaring hingga rasanya gendang telingaku dapat robek mendengar penderitannya yang terkandung dalam jeritannya. Sebuah jeritan yang berasal dari ponsel yang jatuh tepat di sampingku, merupakan satu-satunya suara yang dapat kudengar ketika akhirnya aku kehilangan kesadaranku.

-o-O-o-

Ibuku langsung memelukku begitu Aku sadar dengan plester kompres di dahiku. Tubuh Ibuku bergetar hebat dan air mata sedikit demi sedikit membasahi kelopaknya, walau terus dia hapus, tapi tetap saja air mata itu terus ada.
"Ini bukan akhir nak...Sabar Yuuri. Ryu tenang di sana kalau kau bersabar." Ucapnya sambil mengelus punggungku.
Sementara aku masih berdiam diri di ranjangku. Aku masih terlalu shock untuk bereaksi berlebihan. Karena ternyata kematian Ryutaro bukanlah bualan konyol. Semuanya nyata. Karena air mata yang jatuh dari pipiku saat ini, adalah air mata yang nyata.
"Tidak apa-apa. Aku ingin istirahat." Aku menarik selimutku dan membenamkan seluruh tubuhku.
Tak berapa lama, aku mendengar suara pintu kamarku yang ditutup dan orang tua beserta kakakku telah meninggalkanku sendirian.
Di dalam selimut, aku merasakan kehangatan yang tidak biasa dan mengganggu. Aku hampir terbakar di sana. Oleh kemarahan, penderitaan, dan keputusasaan. Ryutaro pergi. Tapi kenapa? Kenapa dia pergi? Kenapa dia begitu cepat pergi?
"Kenapa Shintaro meneleponku?" Untuk kesekian kalinya, aku menangis. Ah...ini menyita.

~".'~U_U~^._.^~".'~

TSUDZUKU!

Gomen ne winter(?) Tadinya mau oneshot tp apa daya? Alay kyknya kalo oneshot huahahahaha!