Fic pertama dari fandom Shingeki no Kyojin.

Terinspirasi dari anime Shingeki no Kyojin (terutama episode 22 yang haru biru me-lang-lang-buana), film drama Korea My Sassy Girl, dan semua doujinshi Rivetra yang bertebaran dimana-mana (dan selalu berhasil bikin Feel Trip T.T)

Credit : Shingeki no Kyojin by Isayama Hajime, (all about) Shingeki no Kyojin Facebook Page, Google, all owner of images..

DISCLAIMER : Shingeki no Kyojin, Petra Ral, Levi, Hanji, Erwin Smith, Ayah Petra, Erd Gin, Auruo B, Gunter adalah milik Isayama Hajime-sama. Sisanya adalah OC yang tiba-tiba eksis saat fic ini dibuat (kecuali George yang saya bayangkan seperti Tamaki Suoh dari serial Ouran High School Host Club)

Please, go easy on me : typo, plotless, OOC, no meaning story, no feel

Fic ini saya buat untuk menghilangkan momen-momen 'what if' nya Petra dan Levi yang sudah berhasil membuat saya gak bisa menjalani kehidupan normal selama berbulan-bulan karena kebawa FEEL TRIP couple favorit saya ini.

Thanks buat Isayama Hajime yang telah membuat sebuah karya mengagumkan! O*.*O Anime ini adalah anime pertama yang bikin saya kebawa emosi. Padahal didunia nyata saya cukup dingin kayak Levi (?) #abaikan

Bias di Shingeki no Kyojin : Jean Kirschtein 3

Favorite Couple(s) : Levi x Petra ; Sasha x Jean ; Eren x Annie ; Eren x Mikasa ; Historia x Ymir ; Hanji x Mike

~ Just enjoy, don't think~


Hari itu aku terus berlari.

Terus berlari.

Aku tidak mempedulikan sakitnya kakiku saat itu. Mataku berlinang air mata dengan tatapan terus ke arah depan –mencari sebuah jalan yang dapat kulalui dan lolos dari semuanya-. Ingin rasanya mulutku ini berteriak, tapi entah mengapa lidah ini terasa kelu. Yang bisa kulakukan hanya berlari, tanpa menengok ke belakang.

BRUUUK!

Aku jatuh saat itu. Saat aku mencoba bangkit, aku ingat bagaimana mengerikannya sosok yang mengejarku sejak tiga menit sebelumnya. Saat aku menengok ke belakang, aku melihat sosok itu berdiri dibelakangku. Ada palu besar yang diangkatnya tinggi-tinggi dan aku yakin kalau dia akan mengarahkan palu itu ke arahku.

Aku tidak sanggup bergerak. Kakiku rasanya sakit sekali. Aku dapat merasakan bagaimana mataku bergetar menatap sosok itu. Yang bisa aku lakukan hanya duduk terdiam dengan tubuh gemetaran sembari memanjatkan doa dalam hati. Aku berdoa agar ayah akan hidup panjang dan semoga kematianku tidak akan terasa sakit.

Benar saja. sosok itu mengarahkan palunya kepadaku. Aku menutup mata agar merasa lebih siap untuk mati. Tapi saat itu, ia muncul.

Aku melihatnya. Saat aku membuka mata, aku melihat seorang pria berdiri membelakangiku. Aku melihat bagaimana ia berusaha menahan palu besar dengan sebuah pedang besar dikedua tangannya. Kurasa penjahat yang membawa palu dan pria itu sama kuatnya. Mereka berdua terus menahan senjata masing-masing.

"Woi, apa yang kau lakukan?! Cepat lari!" ujar cowok itu sembari menengok ke arahku.

Aku baru mengerti. Cowok bermata sipit yang kini berdiri dihadapanku ternyata sedang mencoba menolong.

"Cepat lari, bodoh!" ujar pria itu lagi.

"Eh? I.. iyaa…," aku segera berdiri dan berlari ke balik sebuah tembok. Entah mengapa aku tidak lari lebih jauh. Dari tempat itu aku melihat bagaimana pria pendek yang menolongku itu masih terus menahan palu si penjahat. Tidak berapa lama, aku melihat pria itu melepaskan dirinya dan mundur beberapa meter. Penjahat yang tadi mengejarku berlari dan hendak menyerangnya. Akan tetapi, pria itu dengan cepat segera melompat tinggi, memijak kepala penjahat itu dan menggoreskan satu bilasan pedang pada bagian belakang lehernya sembari melompat untuk kembali memijakkan kaki ditanah.

Sepertinya bilasan pedang itu begitu parah karena penjahat itu langsung roboh.

TAP.

Suara sepatu pria itu saat ia mendarat indah sehabis melompat tadi. Setelahnya ia berdiri dan berjalan mendekati penjahat yang baru saja dikalahkannya. Kurasa ia hendak memastikan apakah pria besar dengan palu itu masih hidup atau tidak. Setelah ia yakin kalau penjahat itu benar-benar mati, ia melihat ke arahku.

Tatapan matanya yang tajam membuat aku merasa gugup. Ekspresi wajahnya juga sangat datar sehingga membuatku salah tingkah. Beberapa menit yang lalu ia mengusirku dan sekarang ia mendapati diriku bersembunyi dibalik tembok, memperhatikan pertarungannya sejak tadi.

Pria itu masih terus menatapku. Tidak lama, ia berbalik dan berjalan dengan tenang.

Sementara aku masih disana dan terus memandanginya dari belakang hingga bayangannya pergi dari mataku.

Hari itu, adalah hari pertama aku bertemu dengannya, pria yang telah menyelamatkanku…


Setahun kemudian,,

"Pasukan Pengintai akan pergi ke luar tembok!"

"Be..benarkah? Mereka akan berhadapan secara langsung dengan para titan! Kau dengar kabar terakhir? Jumlah dari mereka yang gugur banyak sekali saat menolong para petani garam memasuki gerbang setelah panen!"

Semua orang di kota membicarakan Pasukan Pengintai hari itu. Rasanya tidak ada spot didalam dinding yang tidak membicarakan Pasukan Pengintai. Sore itu, semua masyarakat mengiringi Pasukan Pengintai yang akan pergi ke luar gerbang. Semua orang. Ramainya orang-orang yang mengiringi jalan membuat Petra yang baru saja selesai membeli beberapa bungkus kopi ikut masuk ke dalam keramaian. Dari tempatnya berdiri ia dapat melihat satu per satu anggota Pasukan Pengintai yang melewati kerumunan dengan rapi dan gagah berani. Dari semua anggota pasukan yang lewat, ada satu orang yang sangat mencuri perhatiannya.

Levi Rivaille, seorang kopral muda yang dijuluki sebagai Humanity's Most Powerful Soldier.

Petra masih ingat betul kalau orang itu adalah orang yang dulu menyelamatkannya dari pria pembawa palu. Kini mata Petra tidak bisa berkedip mengingat kalau dulu dirinya pernah ditolong seorang kopral dari divisi Pasukan Pengintai. Petra benar-benar speechless.

"Ayah, aku pulang~," ujar Petra saat memasuki rumahnya yang sekaligus kedai kopi dimalam hari.

Petra menyimpan kantung belanja berisi beberapa bungkus kopi dimeja dan melihat ke sekeliling. Ia belum mendengar sapaan balik dari ayahnya yang harusnya sudah ia dengar sejak beberapa detik yang lalu.

Petra berjalan ke arah dalam rumahnya untuk mencari sang ayah.

"Ayah?" panggil Petra saat ia menemukan ayahnya sedang berada didepan pintu gudang.

"E..eh? Petra, kapan kau kembali?" tanya ayahnya dengan mata sembab saat melihat Petra.

Petra memandang ayahnya yang terduduk didepan pintu gudang. Petra juga melihat ada sebuah foto yang dipegang oleh ayahnya saat itu.

"Itu foto siapa, yah?" tanya Petra.

Ayah Petra menggugup. "Ah, ini ibumu, Petra. Namanya Gloria," jawab ayah Petra dengan sendu.

"Ibu? Jadi, seperti ini ya ibuku?" Petra bertanya balik dengan wajah kemerahan. Seumur hidupnya ia tidak pernah melihat wajah ibunya sama sekali. Bahkan melalui foto. Ayah Petra selalu mengatakan kalau ibunya Petra meninggal ketika Petra masih berumur 3 tahun, tidak mengatakan penyebabnya.

"Ya, ini ibumu.. lihatlah, dia manis bukan?" ujar Tuan Rall saat menunjukkan foto seorang perempuan berambut karamel yang menggunakan jubah hijau Pasukan Pengintai.

"Ibu…. Seorang anggota Pasukan Pengintai?" gumam Petra tidak percaya.

"Dan salah satu yang terbaik," tambah ayahnya.

"Jadi,,, apa ibu meninggal karena…"

Ayah Petra murung dan terdiam sejenak.

"Ayahlah yang harus disalahkan disini, Petra. Gara-gara ayah, kau tidak dapat bersama dengan ibumu dalam waktu lama. Maafkan ayah. Harusnya ayah mencegah dia pergi hari itu," gumam ayah Petra.

Mata Petra mulai berbinang. "Apa ibu meninggal saat bertugas?"

Ayah Petra mengangguk seraya mengelus keningnya dengan kuat.

Untuk pertama kalinya, Petra tahu siapa ibunya –walau sedikit. Semua yang ia dengar sore itu membuat perasaannya campur aduk. Pertama, ia merasa bangga kepada ibunya karena ia adalah salah satu anggota Pasukan Pengintai. Yang kedua, ia merasa sedih karena bayangannya mengenai bagaimana ibunya meninggal –ia meninggal karena dimakan titan-.

"Ibu… meninggal karena dimakan titan, ayah?" tanya Petra yang mulai mengucurkan air mata.

Tuan Rall mengangguk dengan sedih.

Dengan erat, Petra memeluk foto ibunya. Sore itu suasana di kediaman Rall penuh dengan kesedihan. Petra tidak menyangka kalau ibunya pergi meninggalkan keluarga mereka dengan cara yang amat berguna namun juga tragis.


"Mereka kembali! Mereka kembali!"

Hari itu suasana di dalam tembok kembali ricuh manakala terdengar kabar kalau pengambilan garam dari luar tembok berjalan tidak sesuai rencana. Ratusan orang yang pergi untuk memanen garam dan hanya puluhan yang kembali siang itu.

Petra yang juga mendengar kabar kembalinya para relawan pemanen garam segera berlari menuju alun-alun kota. Disana ia melihat kerumunan orang-orang yang memperhatikan kembalinya para relawan sejak memasuki gerbang.

Petra ada disana, ikut memperhatikan sekaligus mencari seseorang. Dari tempatnya ia melihat bagaimana muram dan sedihnya para rombongan pemanen garam. Beberapa diantara mereka ada yang masih terlihat shock. Ada juga yang kembali dengan perban disekujur tubuh, tangannya hilang satu, matanya buta, tanpa kaki, dan lain-lain. Selain tiga kereta kuda garam yang mereka bawa, mereka juga membawa dua kereta yang berisi mayat-mayat teman mereka. Dilihat dari jumlah orang yang selamat dan jumlah mayat yang diangkut, ada lebih banyak mayat yang tidak bisa mereka bawa, hilang, atau mungkin dimakan titan.

Petra mengikuti para pemanen garam itu ke sisi kota, tempat dimana garam diolah agar menjadi tahan lebih lama. Begitu sampai disana, Petra segera menghampiri Joseph, seorang pemimpin ekspredisi.

"Tuan Joseph?" sapa Petra.

Joseph yang sedang berbincang dengan salah satu pengolah garam melirik ke arah Petra. Pria bertubuh besar dengan kepala botak itu memiliki tampang yang tegas dan aura pemimpin yang kuat. Namun bagaimanapun kuatnya, Petra dapat merasakan kesedihan yang dialami Joseph akibat kehilangan banyak anak buah.

"Maaf, saya mengikuti anda sejak anda memasuki gerbang. Saya hanya ingin bertanya, apakah George bersama dengan anda?"

Joseph tidak menjawab. Ia hanya mengarahkan kepala dan pandangannya pada salah satu kereta kuda yang berisi mayat-mayat. Disekeliling kereta mayat itu banyak sekali teman, kerabat, saudara, keluarga, bahkan kekasih dari mereka-mereka yang telah menjadi mayat sekarang.

Melihat arah pandangan yang diarahkan Joseph membuat bulu roma Petra berdiri.

'Jangan-jangan…..'

Petra segera berlari menuju kereta itu dengan hati hancur dan mata berlinang. Dalam hatinya ia berharap Joseph salah memberikan arah.

Saat sampai di kereta yang dimaksud, Petra mencari-cari sosok yang ia kenal. Beberapa lama ia mencari, ia tidak menemukan George yang ia maksud.

Disana ada dua orang pria berkumis yang sedang sibuk menurunkan mayat-mayat dari kereta kuda. Petra memutuskan untuk bertanya kepada mereka.

"Permisi, tuan? Apa anda mengenal George Switzer? Dia ikut ekspedisi memanen garam bersama kalian."

Salah satu pria terlihat melunak. "George Switzer? Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

"Namaku Petra Rall. Aku…"

Belum selesai Petra bicara, pria itu memberikan satu buah amplop dan satu buah kalung salib dari tasnya pada Petra.

Melihat dua hal yang diberikan pria itu, terutama kalung salib yang banyak dibercaki darah membuat hati Petra semakin berdebar. Matanya tidak bisa lagi menahan air matanya. Petra menerima kedua barang itu.

"Aku Milles, teman George selama ekspedisi ini. Dia teman terdekatku. Dia pria yang berani dan tangguh, penuh semangat dan percaya diri. Waktu itu ada salah satu teman kami yang dikejar oleh titan. Mungkin dia merasa bertanggungjawab atas teman-temannya karena kami tahu kalau dia pernah mengikuti latihan militer. Tanpa kami duga, dia tewas karena tertangkap titan. Aku masih sedih melihat bagaimana kematiannya yang mengerikan. Dia sering bercerita tentang dirimu : Petra yang cantik, selalu bernyanyi dipagi hari, membuatkan kopi dan memberinya senyum setiap hari. Dia selalu bersenandung tentang dirimu. Sebelum dia pergi menyelamatkan teman kami, dia memberikan amplop itu. Kalung salib itu diambil oleh teman yang ia selamatkan. Dan kini, ia juga sudah tewas."

Petra menangis histeris mendengar cerita dari Milles. Teriakan Petra begitu memilukan dan semakin menyayat hati Milles yang masih sedih karena kehilangan sahabatnya.

"Aku turut berduka, Petra," ujar Milles.


Dua bulan berlalu sejak Petra tahu kalau pacarnya kini sudah tidak lagi berada didunia. Petra lebih sering murung dan bernostalgia memikirkan saat-saat menyenangkannya dulu bersama George, teman semasa kecil yang berubah menjadi kekasihnya.

Petra larut dalam kesedihan. Ayahnya yang melihat kondisi putrinya pun ikut merasa sedih.

Suatu hari Petra mendapat kabar bibir mengenai pendaftaran militer. Beberapa orang merasa takut saat memutuskan untuk bergabung dengan militer, bahkan ada yang tidak mau sama sekali. Tapi tidak dengan Petra.

Sore itu Petra menemui ayahnya dan menyampaikan keinginannya untuk bergabung dengan militer. Saat Tuan Rall mendengarnya, Tuan Rall marah besar. Ia memukul meja dengan kuat.

"APA MAKSUDMU?! MILITER APA?! KAU TAHU APA AKIBATNYA JIKA KAU BERGABUNG DENGAN MILITER?!"

Petra dengan gugup menjawab. "Ya, aku tahu."

Tuan Rall memukul meja lagi.

"LALU KENAPAAA?!"

Sejenak Petra terdiam. "Aku… aku ingin melupakan semuanya."

"Apa maksudmu, Petra?" ayah Petra menahan emosinya kuat-kuat. Suaranya serak dan berat sekali untuk keluar.

Petra mengepal kedua tangannya kuat-kuat.

"Aku ingin membalaskan kematian ibu dan George! Semuanya gara-gara titan diluar sana! Karena mereka kita kehilangan orang-orang yang kita cintai! Aku tidak bisa begini terus, ayah! Aku ingin membalas mereka!"

"Jangan bodoh! Kau itu perempuan dan tidak mungkin kau dapat membunuh titan-titan itu!"

"Lalu kenapa ibu bisa?! Kenapa ibu bisa menjadi yang terbaik sebagai perempuan?!"

Ayah Petra tidak bisa menjawab. Petra kemudian pergi ke kamarnya dan menangis selama semalam disana. Pagi dinihari, Petra kabur dan mendaftarkan diri untuk ikut pelatihan militer.