7 Satsuki's Favorite Things

Story by Titania aka 16choco25

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Summary : Daiki tidak pernah tahu Satsuki menyukai 7 hal yang benar-benar tidak ia sangka sama sekali. Dan ia hanya selalu berharap bahwa salah satu hal yang disukai Satsuki adalah dirinya, yang apa adanya dan selalu mencoba menjadi yang terbaik di mata Satsuki.

.

.

Aomine Daiki melemparkan bola itu ke dalam ring basket di hadapannya. Dengan tubuh tingginya, mudah saja bagi bola basket itu memasuki ring. Sesuai tebakan Satsuki, bola basket itu masuk dengan sempurna. Lelaki itu kembali mengatur napasnya, mencoba men-dribble bola, melirik ring basket di hadapannya, dan kembali melemparkan bola ke dalam ring basket itu. Lagi-lagi masuk sempurna. Satsuki melemparkan botol air mineral ke arah lelaki itu dan langsung diambil dengan tangkapan kosong.

Satsuki berdiri dan menyerahkan gulungan handuk pada Daiki.

Daiki hanya tersenyum seperti biasanya. "Terima kasih," katanya.

Ia meneguk air mineral itu dan dengan cepat menuangkan sisa air mineral dalam botol ke kepalanya, mengusir rasa panas yang menghantui kepalanya sejak tadi. Ia hanya mencoba bermain basket di lapangan basket Shibuya dan siapa sangka bahwa cuaca sangat tidak bersahabat. Tokyo mendadak sangat panas. Keringatnya sudah berkucuran dengan riangnya. Dan tentu ia kasihan pada Satsuki yang mungkin saja kepanasan menungguinya bermain basket.

Satsuki menyipitkan matanya. Sinar matahari begitu terik.

"Kalau kau bosan menungguku," ujar Daiki sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk yang tersampir di lehernya. "Kau bisa pergi berjalan-jalan. Daerah Shibuya ini cukup ramai. Banyak toko yang menjual pakaian bermerek. Kau pasti suka," sambungnya, walau ia tidak tahu selera mode Satsuki seperti apa. Satsuki menegakkan posisi duduknya dan mendengus.

"Tapi aku tidak terlalu suka berbelanja," timpal Satsuki dengan cepat.

Daiki menoleh heran. "Sungguh?"

Satsuki mengangguk mengiyakan. "Lagipula hanya buang-buang uang saja. Aku malas membuang-buang uang untuk sesuatu yang tidak berguna," lanjut Satsuki sambil menyatukan ujung-ujung jarinya. Daiki hanya menyeringai begitu mendengar kata-kata Satsuki barusan. Ia mengambil tempat di sebelah Satsuki dan melirik gadis itu.

"Buang-buang uang, atau memang kau ini tidak punya uang?" ledek Daiki sambil tertawa kecil.

Satsuki hanya menatapnya gemas.

"Kalau kau memang tidak punya uang, kau bisa memakai kartu debitku, kok. Lagipula kau ini aneh. Mana ada perempuan yang tidak suka berbelanja," kata Daiki heran, namun dengan tawa kecil yang ada di akhir kalimatnya. Satsuki hanya merengut begitu melihat tawa Daiki yang seperti itu.

"Sungguh. Buang-buang uang seperti itu tidak akan ada gunanya. Lagipula, kau tidak menyangka bukan, kalau aku tidak suka berbelanja seperti gadis-gadis normal yang biasanya. Apalagi berbelanja pakaian bermerek. Pakaianku masih banyak yang bagus walaupun tidak bermerek," katanya dengan nada kesal sambil berkacak pinggang.

Daiki hanya terkekeh mendengar nada kesal dari bibir azalea itu.

"Kalau kau menjadi istri, suamimu pasti akan senang. Kau hemat sekali dalam menggunakan uang," timpal Daiki sambil kembali men-dribble bola. Satsuki tidak menjawab. Daiki hanya tertawa dan kembali menyibukkan dirinya dengan bola basket di tangannya. Satsuki bangkit dari duduknya, dan Daiki melemparkan bola itu ke arahnya. Ia langsung kembali melempar bola itu kembali ke tangan Daiki.

Daiki men-dribble bola itu, berputar-putar, dan melemparkan bola basket itu ke dalam ring. Masuk lagi untuk yang kesekian kalinya. Daiki tertawa girang.

Satsuki kembali duduk di pinggir lapangan basket itu. Satsuki mengeluarkan lunch-box dari tas kecilnya dan membuka isinya. Cokelat bulat buatannya sendiri. Awalnya Satsuki belajar membuat cokelat untuk momen Valentine, namun ia gagal dan akhirnya Satsuki berhasil menemukan resep yang mudah untuk dicobanya dan menurutnya cukup lezat.

Daiki selesai dari permainan basketnya dan menghampiri Satsuki. "Kau membawa apa?" tanya Daiki sambil melongok ke lunch-box Satsuki. Matanya mendapati beberapa potong cokelat berbentuk bulat dan ia duduk di sebelah Satsuki. "Cokelat? Buatanmu sendiri?" Daiki mencomot cokelat itu dari lunch-box Satsuki.

Satsuki mengangguk. Membiarkan tangan Daiki mencomot cokelat yang ia buat sendiri.

"Enak, terima kasih," ujar Daiki, yang mulutnya masih dipenuhi cokelat. Satsuki belum saja tertawa begitu melihat mulut Daiki yang belepotan cokelat seperti anak kecil. Ia buru-buru mengambil tisu dari tasnya dan disekanya dengan cepat bekas cokelat yang berkeliaran di wilayah sekitar bibir Daiki. Daiki menatapnya sebentar, dan kembali tersenyum. "Terima kasih."

"Dasar kau ini, Dai-chan. Makan cokelat saja sampai sebegitunya, seperti anak kecil saja."

"Biar."

Dasar keras kepala. Satsuki tidak bicara lagi. Sebab, ia selalu kalah bila berdebat dengan Daiki. Lelaki itu selalu punya jawaban dan mungkin saja perdebatan mereka akan berlangsung sangat lama. Satsuki benci kekalahan, dan ia benci pula bila harus kalah dari Daiki, apalagi ia hanya kalah dalam kasus berdebat. Kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya ia sudah banyak menerima kekalahan dari Daiki. Dan ia harus membalas kekalahan itu.

Lihat saja. Lelaki itu lebih tinggi darinya kira-kira sepuluh sentimeter. Keunggulan kedua, Satsuki selalu kalah bila hanya berdua bertanding basket dengan Daiki. Ketiga, Daiki selalu dengan mudahnya melupakan masalah, dan ia tidak seperti Daiki. Keempat, Daiki selalu bisa mematahkan argumen yang telah ia susun sebaik mungkin untuk berdebat dengan lelaki pemain basket itu. Dan kelima, lelaki itu selalu berhasil meledeknya untuk hal sepele. Dan yang terakhir, ia tidak sehebat dan seberuntung Daiki.

Tapi Satsuki berpikir kembali. Apa hebatnya seorang Aomine Daiki? Ia hanya seorang pemuda yang cukup beruntung karena dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan, memiliki wajah yang—tampan, jago basket, dan memiliki sikap yang bersahabat. Ia bukan orang yang menemukan lampu, atau menemukan telepon, bukan pula orang yang menemukan tenaga mesin. Daiki hanyalah seorang pemuda yang cukup beruntung atas hidupnya. Satsuki tahu itu.

Satsuki mencomot cokelat itu, dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Cokelat itu perlahan meleleh, dan Satsuki menikmati sensasi ketika cokelat itu mulai berasa agak pahit dan sedikit manis. Menurutnya sensasi itu membuatnya sangat merasa nyaman. Daiki kembali mencomot cokelat yang dibuat Satsuki. Membiarkan mulutnya kembali belepotan cokelat. Satsuki meliriknya.

"Dai-chan, tahu bagaimana rasa cokelat?"

"Manis, sedikit pahit," jawab Daiki asal. Lagipula untuk apa Satsuki menanyakan hal yang tidak penting seperti itu?

"Kata orang, cokelat itu seperti cinta. Bittersweet, manis, namun sedikit pahit. Dan cokelat adalah salah satu hal dari tujuh hal yang kusukai dari dunia ini," ujar Satsuki sambil mengunyah cokelatnya dan membiarkannya kembali meleleh di mulutnya. Daiki hanya menatap Satsuki dalam seperti biasanya. Dan ia kembali melirik cokelat di lunch-box Satsuki.

Tinggal satu.

"Hei, Satsuki. Menurutmu seperti apa definisi cinta itu?" tanya Daiki tiba-tiba. Satsuki langsung memandangnya kaget dan ia buru-buru menjelaskan maksud perkataannya. "A-aku hanya ingin tahu pendapatmu. Kau mungkin saja lebih tahu. Perempuan lebih peka tentang cinta dibanding laki-laki, bukan?" katanya asal. Satsuki mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya. Mencoba mencari kata-kata yang harus ia lontarkan.

"Menurutku cinta itu seperti bunga. Mekar saat waktunya," jawabnya singkat, namun begitu melihat Daiki yang tertawa, ia sudah tahu bahwa lelaki itu pasti akan kembali meledeknya. Dengan ini, sudah dua kali lelaki itu meledeknya untuk hal sepele. Satsuki memajukan bibir depannya kesal.

"Berarti, Satsuki, menurutmu cinta itu seperti bunga, yang dapat dengan mudahnya layu, tidak kekal, dan mudah dirusak bahkan bila kau mencabutnya. Kelopaknya dapat dengan mudahnya terkoyak oleh sedikit sentuhan. Berarti definisi cinta menurutmu tidak kekal," ujar Daiki sambil disertai tawa kecil diujung kalimatnya.

"Enak saja. Kalau begitu, menurut Dai-chan, cinta itu apa?" tantang Satsuki kesal. Nah, lihat, siapa yang terlebih dahulu memulai perperangan? Daiki, bukan? Ia yakin, jawaban Daiki pasti akan jauh lebih absurd dibandingkan jawabannya.

Daiki memajukan dagunya. "Bagaimana kalau begini," katanya pelan. "Cinta itu anugerah dari Tuhan untuk makhluknya yang sempurna. Cinta itu tidak perlu logika dan tidak terdefinisikan, namun cinta yang dapat mendefinisikan dirinya sendiri melalui perasaan manusia," jawabnya lancar. Satsuki melongo begitu mendengar jawaban Daiki yang seperti itu. Ia sendiri tidak akan menyangka Daiki akan bicara seperti itu.

1 - 0.

Namun ia tidak akan kalah. Apalagi hanya kalah dari seorang Aomine Daiki. Satsuki mencoba mencari celah kembali. "Bagaimana dengan benda? Cinta dapat didefinisikan olehmu dengan benda apa, Dai-chan?" tanyanya tidak mau kalah. Daiki memegang dagunya, terdiam. Ia mencoba berpikir sejenak. Dan ia tiba-tiba saja tersenyum dan Satsuki langsung tahu, pasti lelaki itu sudah menemukan jawabannya.

"Cinta itu seperti cokelat. Bittersweet, manis, namun sedikit pahit," kata Daiki, memutarbalikkan ucapan Satsuki barusan dengan kekehan kecil khasnya. Satsuki mengepalkan tangannya kesal. Sial, lelaki itu malah memakai kalimatnya sendiri. Tapi memang ia yang salah. Harusnya ia tidak bilang seperti itu, bukan? Oke, kesempatan terakhir kalinya. Bila ia kalah lagi, maka ia akan memberikan cokelatnya yang tinggal satu itu pada Daiki. Ia menarik napas dalam-dalam.

2 - 0.

"Bagaimana dengan orang? Siapa yang menurutmu cocok untuk definisi cinta?" tanya Satsuki lagi.

Daiki mengulum senyumnya. "Kau sendiri, Satsuki."

Astaga, skakmat. Satsuki akhirnya menyerahkan cokelat terakhir itu pada Daiki dengan wajah memerah.

3 - 0.

.

.

To be continued.