Life happens. Shit happens. And it happens a lot. To a lot of people. – Colleen Hoover


Jongin and Kyungsoo
by : SirenSpecies
Cover by SirenSpecies

God, Rest of Casts, Me

Mature

Alternative Universe | Romance | Angst | Real-life reflection | Endless obstacles | Forbidden love

5,4K words

a/n : Based on Radit dan Jani

Curse/Swear

Concealed sexual content

Violence/Crime deed

Drugs abuse

Withdrawal syndrome


©2014


Chapter 1 : Fraction
Warn! Mention of sexual members


Di pertengahan oktober, angin berhembus cukup lembut dan membelai bagai kapas. Menunjukkan tanda bahwa musim gugur beranjak tak lama lagi, dan bersambung dengan musim dingin yang akan membuat Seoul menjadi salah satu kota terindah di dunia. Jalanan menuju pinggiran Seoul makin lenggang di kala sore. Pepohonan dan tebing menjadi pemandangan yang paling mudah digapai sepanjang perjalanan.

Nowon, salah satu distrik pinggiran Seoul dengan jumlah kepadatan penduduk cukup tinggi. Kisaran manusia bertaraf menegah keatas menempati posisi dominan—namun tak jarang pekerja pendapatan minimum juga mendiami beberapa area. Harga sewa standar dengan fasilitas 'cukupan' menjadi satu alasan yang membuat mereka tetap bertahan.

Mencari tempat tinggal merupakan kebutuhan yang sulit dipenuhi bila hidup di metropolitan, maka pinggiran merupakan jalan keluar terbaik untuk lepas dari jerat ekonomi yang membelit, namun tetap dapat merasakan perlakuan khusus dari pemerintah Ibukota. Apartemen, lapak, toko ditawarkan dengan harga rendah, tentu hal itu tak lepas untuk menarik minat masyarakat kebawah. Kekurangan membatasi segalanya.

"Jongin, kau membawaku kemana?"

"Nikmati perjalanannya saja, sayang. Tidurlah, maka kau akan membunuh waktu yang tersisa."

Lengannya bersedekap di depan dada, "Pantatku rasanya panas harus duduk berjam-jam dan kau masih bersikeras tidak memberitahuku soal tempat yang akan kita datangi."

Pemuda di balik kursi kemudi menoleh lantas tersenyum saat satu tangannya berhasil menggapai kepala pemuda di sebelahnya, mengelus-elusnya. "Pindahlah kebelakang jika kau lelah."

Beberapa waktu setelahnya, mobil itu berhenti di sebuah area halaman pemukiman. Kyungsoo sudah terjaga sejak setengah jam lalu sebelum kembali duduk di kursi penumpang. Jongin membukakan pintu untuknya dan melarang Kyungsoo membuka mata. Saat mereka berjalan kaki, Kyungsoo terus mengoceh karna penglihatannya dibatasi. Sesekali ia tersandung kerikil dan Jongin menertawakannya sambil tetap menutupi kedua mata Kyungsoo dengan tangannya.

"Satu, dua…, tiga!"

Kyungsoo mengerjab pelan di depan sebuah pintu mahoni berwarna cokelat yang dipernis lembut. Ia menatap Jongin penuh tanya.

"Selamat datang di rumah masa depan kita!" Jongin mengecup pipinya singkat lalu tertawa geli. "Aku tau ini sederhana, tapi butuh negosiasi yang panjang untuk bisa memiliki rumah ini. Bagaimana denganmu?"

Kyungsoo mengamati bentuk serambi yang memanjang dengan dua buah kursi di ujung. Tepat di sebelah rumah terdapat satu pohon besar yang sedia melindungi dari silauan cahaya matahari. Sederhana…, namun sempurna!

"Apa kau sungguh menyewakan rumah ini untukku?" Kyungsoo menoleh. Kelihatan masih ragu meski akan sangat mengejutkan jika Jongin menjawab 'iya'. Dan yang diberikan Jongin adalah anggukan mantap.

"Aku mencintaimu." Kyungsoo menghambur pada tubuh tinggi yang terkekeh berkat kelakuannya. Satu tangan Jongin menyinggung tubuh mereka dan yang lain menelusup rambutnya agar lebih dekat untuk ia dekap. Kecupan lembut mendarat di kepalanya berulang kali.

Mereka memutuskan mengeluarkan barang dari bagasi dan memasukkannya secara kolektif ke dalam rumah. Kyungsoo kembali terhempas dari alam sadar begitu melihat isi ruang utama. Namun hal itu segera berakhir ketika Jongin menemukannya tersenyum takjub dengan rahang terjuntai. Ia menutup pintu di balik punggung.

"Masih ada banyak waktu bagimu untuk mengagumi ruangan ini. Sekarang aku ingin menunjukkan tempat dimana kita akan menghabiskan malam kita," Jongin menggenggam pinggang Kyungsoo dan menggiringnya sebelum ia sempat menolak. Koper di tangannya terjatuh karna Jongin begitu bersemangat.

Klek.

Satu ranjang besar, sebuah nightstand, dua buah almari yang tak begitu tinggi dan sebuah meja kerja sederhana beserta kursi memenuhi sudut kamar di situ. Lagi-lagi Kyungsoo merasa takjub hingga tak menguasai dirinya selama beberapa waktu. Jongin benar-benar mencintainya dan ini adalah salah satu cara bagaimana ia membuktikannya. Pilihan mereka memang tepat, melarikan diri dari orang tua dan memutuskan untuk tinggal bersama.

Bersama-sama dengan orang yang dicintai. Mereka yang tak mengerti hanya akan menilai dengan sebelah mata. Terus mendesak bahwa hubungan sejenis itu takkan berakhir lama dan berujung dengan ketidakpastian statusnya. Bahwa homoseksual pada akhirnya tak akan diterima dalam substansi masyarakat. Hingga akhirnya mereka harus menikahi kaum Hawa dan menafkahi anak-anak mereka.

Jongin tidak mau, Kyungsoo apalagi. Mereka berbagi perasaan dan membuat komitmen untuk saling menyayangi, membutuhkan dan bertahan pada sesuatu yang telah menanti di depan. Karna mereka yakin hubungan mereka tidaklah salah, hubungan mereka hanya sedikit berbeda.

"Kyungsoo?" Jongin berbisik lembut di ceruknya.

"Hm?"

"Aku penasaran jika ranjang ini meminta kita untuk mengujinya." Jongin membalik bahunya lalu mendorong Kyungsoo hingga tersandung ujung ranjang. Mereka jatuh terjerembab dengan Jongin menguasai tubuhnya. Tangan Jongin menahan pergelangan Kyungsoo di atas kepala ketika menghadiahkan ciuman beringas yang mendadak memenuhi bibir Kyungsoo. Selanjutnya ada banyak cinta dan keringat yang mereka bagi. Suara derit ranjang yang bergoyang berpadu dengan desahan dan erangan kecil di sela-sela nafas keduanya.

Setelah ini, hidup mereka tak akan sama lagi.

.

.

.

Seperti keluarga pada umumnya yang tak menerima kenyataan bahwa salah satu anggotanya mengalami penyimpangan, keluarga Kyungsoo adalah satu dari mereka dengan keluhan yang sama. Bagi mereka, Kim Jongin adalah pelaku nomor satu penyebab putranya suka membangkang, hidup selebor dan memperparah kelainan orientasi seksualnya.

Mereka selalu meneriakkan keburukkan Jongin di depan Kyungsoo. Menyadarkannya bahwa lubang kelam akan datang suatu saat untuk melahap masa depannya bila tak segera dihentikan. Kyungsoo memiliki banyak pilihan namun Jongin hanyalah pilihannya. Mereka menyalahkan Kyungsoo hanya untuk berdalih atas dasar cinta, cinta, dan cinta. Mereka menyalahkan Kyungsoo karna cintanya untuk Jongin, menyalahkan Kyungsoo atas jalan hidup yang diambilnya.

Ia melepaskan semuanya.

Jongin di sana ketika semua orang menjauh. Jongin membantunya bangkit di saat banyak yang menginginkannya jatuh. Jongin adalah alasan Kyungsoo bertahan di atas perasaan yang keluarganya anggap kelainan. Hanya Jongin yang memahami bahwa Kyungsoo normal.

"Jongin?" Kyungsoo bergumam di selanya menghirup banyak udara. Menetralkan rasa panas yang masih merambat di wajah keduanya berkat kegiatan mereka sebelumnya. Jongin merentangkan tangan supaya Kyungsoo dapat bersandar di lengannya dan menciumi keningnya.

"Ada apa?" Sahut Jongin.

Kyungsoo meremas selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. "Kita akan terus hidup seperti ini kan?—maksudku, aku hanya ingin tahu jika kau tak akan meninggalkanku."

"Tentu." Satu kecupan mendarat di hidung. Kyungsoo merasa sedikit lebih nyaman.

"Kalau begitu, apa kau keberatan jika aku ingin menikah lari?"

Jongin menggerakkan bahunya ketika menerawang. "Entahlah, aku lebih suka seperti ini. Tapi jika kau menginginkannya, aku akan mempertimbangkannya." Ia membalas tatapan sayu Kyungsoo yang begitu dekat. Tersirat keraguan meski menutupinya dengan senyum.

"Kita tidak butuh perspektif mayoritas. Kau meragukan hal itu?"

"Aku," Jongin merasa ditebak. "Kurang lebih. Aku sudah melangkah sejauh ini denganmu, tak ada kesempatan untuk mundur kan? Kita akan menikah suatu saat nanti, percayalah. Aku akan membuatmu bahagia." Jongin mengeratkan tubuh mereka. Kyungsoo diam selagi memandangi langit-langit kamar. Jongin mencintainya dan ia tahu itu. Membuat keputusan memang mudah, namun di belakang itu ada banyak tanggung jawab dan segala permasalahan rumah tangga yang harus dihadapi. Termasuk bertahan dari opini miring tentang hubungan terlarang.

"Mau mandi?" Kyungsoo bertanya untuk memecahkan keheningan. Jongin menggeleng sembari beranjak duduk. Ia melangkah keluar kamar tanpa sehelai benang dan kembali bersama dua puntung rokok utuh. Salah satunya ia berikan pada Kyungsoo.

"Mana pemantiknya?" Kyungsoo bersandar pada kabin. Masih menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut.

Jongin menghisap rokoknya, membagi api dari bibir ke bibir. Kyungsoo membiarkan asapnya membumbung tinggi seolah ia begitu menikmati waktu santainya berdua. Jongin menepuk bahunya meminta Kyungsoo supaya bersandar dan ia melakukannya.

.

.

.

Meski tak memiliki bukti ikatan secara resmi, Jongin masih harus bertanggung jawab atas hidup mereka. Kebutuhan tak datang dengan sendirinya seperti ketika hidup bersama seorang wanita dan pria yang saling mengikat—orang tua atau semacamnya. Kyungsoo kadang menjadi penyanyi lepas di Cafe-Cafe pelosok kota dan Jongin merupakan penari di sebuah bar bersama kelompoknya semenjak kuliah. Mereka saling membahu untuk menunjang kebutuhan hidup bersama.

"Jangan genit pada orang lain. Jangan pulang larut dan berhati-hatilah di jalan. Aku sampai di rumah melebihi jam biasa." Jongin memesan walau terdengar cuek. Kekesalannya muncul jika melihat Kyungsoo tertawa akan dirinya—atau sikapnya.

"Apa yang patut ditertawakan?"

Kyungsoo tergelak, "Kau terdengar seperti orang yang takut dicampakkan."

"Memang begitu."

"Ohh, nada itu. Apa kau tengah memikirkan sesuatu untuk menghukumku sepulang nanti?" Kyungsoo mengerlingkan sebelah matanya, menggelitik Jongin dengan rayuan maut.

Jongin menyeringai sekilas, "Jadilah murahan hanya di hadapanku, tidak laki-laki lain."

Kyungsoo mencium bibirnya sebentar sebelum keluar dari tumpangan mobil Jongin. Tepat di hadapannya adalah Cafe dimana Kyungsoo akan mengais tunjangan kehidupan.

"Sampai bertemu di rumah, tuan Jongin."

.

.

.

"Oh, apa seseorang perlu memastikan beberapa hal agar kau tidak selalu ketinggalan sesuatu?"

Sehun mematikan speaker yang menyala begitu Jogin tiba dengan rambut tak teratur. Tatapannya nanar dan tubuhnya tak terlihat berkoordinasi dengan baik.

"Aku ingin menghisap, berikan aku beberapa. Tolong…" Jongin terduduk meringkuk di pojokan. Sambil meracau tentang bagaimana bajingan seperti Jongin haus di saat mereka belum latihan membuat Luhan, salah satu sejawatnya memberinya cuma-cuma. Tak ada yang tak tahu perilaku Jongin.

"Kita akan berada di bar sampai pukul tiga pagi. Empat jam menari dan sisanya minum-minum." Sehun tertawa sambil bertepuk dengan Yixing—bagian dari mereka berempat—lalu dengan Luhan.

"Ada yang punya putaw?"

"Tidakkah ilegal berbicara hal itu di saat kita hanya membahas pekerjaan? Berapa kali kukatakan supaya mengurangi kadar pemakaianmu. Kau bisa hilang kesadaran saat menari nanti." Yixing berceloteh seolah itu adalah hal biasa yang ia lakukan pada Jongin. Ini menggelikan. Belum apa-apa wajah Jongin memucat dan bibirnya sedikit mengering.

"Lupakan itu. Ayo latihan, jangan berikan apapun lagi pada Jongin atau ia akan muntah di lantai." Yixing berdiri bersama Luhan bersiap mengulang latihan selama lima belas menit terakhir. Jongin akhirnya mau bangkit setelah diimingi traktir minum oleh Sehun.

"Apa kau terus membawa mobilmu?" Luhan masuk ke bagian belakang mobil bersama Sehun. Yixing duduk di kursi penumpang. Jongin memasang sabuknya sebelum memutar setir menuju bar yang akan mereka sambangi.

"Begitulah. Tapi takkan lama."

"Mengapa?" Yixing mengalihkan wajahnya dari spion.

"Ayahku yang bejat terlilit hutang karna meniduri banyak wanita, tak lama lagi akan muncul debt collector untuk menyita mobil ini dan setelahnya, bang!—aku tak memiliki apa-apa lagi." Jongin menatap lurus pada jalanan di depan. Sesekali mengulum bibir bawahnya yang kembali kering.

"Ibu yang mengharapkan perceraian, Ayah bejat, Anak yang menyimpang, keluarga macam apa yang kulihat ini?" Kata Sehun terbahak. Luhan segera menghentikannya sebelum Jongin berhasil memukul kepalanya.

"Kudengar kau melarikan diri." Yixing beralih. Jongin melirik sekilas sebagai jawabannya.

"Aku tinggal bersama Kyungsoo di Nowon sekarang."

"What an actual fucked-up."

Jongin menyeringai kecil.

.

.

.

Bekerja sebagai penari di bar bukanlah hal yang sulit maupun mudah. Terkadang seseorang akan mempermalukan dengan meminta tarian yang ia inginkan atau jika ia wanita maka hanya akan ada dua pilihan; Dia akan memberikan tip karna menyukai tariannya atau dia memberikan tip dan bonus lainnya karna menginginkan foreplay atau one night stand.

Jongin terlanjur menyimpang untuk mengakui bahwa hal itu yang diidamkan seorang pria pada umumnya. Dia lebih memahami soal anal daripada vagina. Entah mengapa ada suatu hal tentang vagina yang tak ingin ia ketahui bagaimana cara kerjanya.

"Hai."

"Um, hai?"

Sapaan itu terlontar begitu saja ketika seorang wanita dengan balutan skinny jeans menatap nakal kearahnya, dua buah kancing teratasnya tak saling mengait sehingga kain half cup bra menjadi pemandangan erotis pertama Jongin malam ini. Ia duduk di samping Jongin yang tengah bersantai di counter. Satu hal yang Jongin benci dari tiga bedebah itu adalah kelenyapan mereka secara misterius dan bersamaan di saat Jongin butuh.

"Kau tidak menari lagi?"

"Kau mau aku menari?"

Wanita itu meraba bahu Jongin, semakin turun ke dadanya dan mengelus-elus daerah itu. Ia mengartikan senyuman Jongin sebagai kode bahwa mereka mungkin memerlukan sedikit pemanasan. Jongin berbisik di wajahnya. "Apa yang kudapatkan jika menurutimu?"

Dia terkikih manja dengan jari di antara giginya, "Aku akan memberikan apapun yang kau minta."

"Kau menarik." Jongin menajamkan sudut bibirnya. Tapi dadamu menarik kembali ucapanku. Tambahnya di dalam.

Jongin merupakan yang paling menonjol dalam hal menari. Sesekali ia melakukan single namun tak lama ia akan meraih bahu sang wanita sambil merapatkan tubuhnya. Wajah mereka begitu dekat namun terkadang jauh ketika Jongin menarik ulur pandangannya. Wanita itu tak lantas tinggal diam, tangannya merambat pelan di pinggang Jongin. Dan ketika ia telah puas pada apa yang dilihatnya, tangan wanita itu menyelipkan sesuatu di saku Jongin sebelum beranjak meninggalkannya.

Gerakan Jongin tinggal menyisakan seringaian. Wangi parfum ikut memudar mengikuti kepergian wanita tadi. Selembaran uang tip beserta kartu nama tersisa di sana.

"Dia benar-benar tertarik padaku." Jongin menahan diri untuk tak bersiul kagum melihat jabatan yang tertera dalam kartu nama itu. Yang barusan menggodanya adalah seorang manager dari perusahaan yang mana cukup berpengaruh di industri Korea. Hal yang mengejutkan baginya adalah penampilannya dengan skinny jeans yang terlampau biasa untuk mencerminkan citra dirinya sebagai seseorang di posisi tinggi. Well, Semua kalangan bisa berbaur dalam satu malam di sini.

Sehun dan yang lainnya kembali dan di saat itulah Jongin dapat memaki ketiganya. Mereka minum puas berkat Sehun yang mendapat uang tip jauh lebih besar malam ini. Paling tidak, uang gaji dan tip Jongin dapat digunakan untuk bersenang-senang bersama Kyungsoo nanti.

.

.

.

"Kenapa tak pernah bilang padaku, sialan?!"

Berkali-kali Kyungsoo menendang punggung Jongin yang tak terbalut apa-apa. Sesekali Jongin mengaduh dan berteriak kalau ini masih pagi dan bukan urusan kekasihnya untuk mengganggu di saat ia masih terpejam. Namun Kyungsoo adalah tipikal pekerja keras yang tak akan membiarkan Jongin lepas semudah itu.

"Apa maumu?" Jongin menyingkap selimutnya kasar. Memperlihatkan bagian dadanya yang polos dengan pandangan kesal.

"Mau tahu apa yang kumaksud dengan mauku? Tebak siapa yang mengganggu waktu tidurku sepagi ini. Siapa lagi jika bukan orang aneh yang terus berdiri di depan rumah sambil bertanya 'dimana tuan Kim, dimana tuan Kim'!" Kyungsoo merebut selimut di kaki Jongin untuk menggulung tubuhnya sendiri. Ia berbalik memunggungi kekasihnya yang masih diam dengan tatapan jengkel. Namun Jongin segera sadar suatu hal akan memburuk jika tak ada satu yang menyerah.

Jongin menahan napas, lalu membuangnya halus. "Oke, jangan marah, sayang. Biar ku urus yang itu." Jongin mengecup pipi Kyungsoo dan mengelus lengannya yang menggeliat tak nyaman sambil mencibir. "Oh, tentu. Kau akan melakukannya."

"Apa kami berhadapan dengan putra tuan Kim dari perusahaan Gu Seon Group?"

Jongin menghampiri dengan penampilan urakan, hanya memakai kembali kemeja yang ia pakai kemarin malam. Tak peduli apakah ia harus terlihat sopan karna kedua tamunya ini juga datang tak tahu waktu. Jongin menganggapnya impas.

"Kau ingin menyita mobilku? Apa ini sudah tenggatnya?" Ia sadar sepenuhnya begitu melihat surat kuasa dan beberapa catatan hutang yang ditulis atas nama Ayahnya. Kini tak berarti bagi Jongin jika Kyungsoo marah dan mengamuknya. Mungkin dia kecewa menjadi satu-satunya yang tak mengetahui soal ini. Mobil adalah harta mereka yang paling berharga.

"Anda tahu, tuan Kim rupanya terlibat dalam manipulasi saham ilegal oleh seorang pria asal Daegu. Dan komisi yang selama ini digunakan untuk menghidupi keluarganya merupakan hasil pencucian uang." Jelas salah satu pria di sana.

Jongin mengangguk peduli di atas kemuakkannya. Urusan Ayahnya tak ada sangkut-pautnya dengannya lagi. Ia bahkan tak peduli jika secara tak langsung pernah ikut mencicipi uang haram milik Ayahnya. Jongin mengembalikan kertasnya sambil memandang jengah.

"Kalian datang hanya untuk mobilku kan? Tak perlu menjelaskan banyak soal masalah tuan Kim itu, tak akan berpengaruh padaku," ucapan Jongin membuat dua orang di sana melirik bersamaan. "Seberapa banyak tanggungannya?"

Pria satunya mencari-cari catatan yang bercampur dengan kertas lainnya, "Sangat banyak," katanya. Jongin menunggu pria itu membaca setiap baris tulisan di kertas itu. "Jika ditotal, maka itu sama dengan mobil, rumah, saham dan beberapa apartemen milik keluargamu di Apgujeong."

Jongin menahan diri untuk tak muntah di hadapan mereka. Rasanya semua minuman yang ia telan kemarin mulai menimbulkan efek samping keesokan paginya. Isi perut Jongin seperti diguncang. Ia tak dapat membayangkan berapa jumlah uang yang terhitung. Crap. Ayahnya tak lebih dari seorang keparat.

"Bagaimana kalian menemukan tempat ini?"

"Plat mobil menjelaskan semuanya."

Oh itu.

Pintu kembali tertutup setelah dengan berat hati Jongin menyerahkan kunci kendaraannya. Ia contoh orang yang buta hukum, jadi tak banyak melakukan perlawanan. Selain itu, Jongin sudah mengantisipasi datangnya hari ini, namun sama sekali tak mengira semuanya terjadi lebih awal. Jongin tak memiliki persiapan apa-apa sekarang.

Tubuhnya berjalan gusar menuju sebuah nakas, mengobrak-abrik isinya hingga menemukan sebotol kaca bening berukuran kecil. Ia mengeluarkan setidaknya dua atau tiga butir lalu kembali duduk di sofa. Pikirannya kacau dan hal ini membuatnya tak fokus. Segera tanpa hitungan waktu butiran berwarna putih di tangannya kini berpindah ke tubuhnya.

Paru-paru Jongin berburu udara. Kekalutannya memudar seiring berjalannya menit. Dia tersenyum seraya menyandarkan kepalanya yang ringan lalu menutup mata, rasa nyaman mulai menggerogotinya pelan-pelan.

"J-Jongin?"

Atensinya menumpu pada sekat yang memisahkan dengan ruang makan dimana Kyungsoo menyembulkan sebagian sosoknya di sana. Kedua alisnya menaut gelisah dan—sialan Kyungsoo hanya mengenakan kaus pendek dan celana yang senada. Dengan keadaan seperti itu, ia bahkan berani menunjukkan ekspresi gelisah di hadapan Jongin yang mulai sedikit—bergairah.

"Apa orang tadi berhasil mendapatkan mobil kita?" Dia bertanya begitu lembut dan ragu, sungguh berbeda dengan Kyungsoo beberapa saat sebelumnya. Kyungsoo yang amat Jongin sukai.

"Kemarilah," Jongin menepuk pahanya. Ia dapat melihat ada bagian dari diri Kyungsoo yang kecewa. Kyungsoo melangkah pelan kearahnya lalu duduk di pangkuannya sambil terus menunduk. Jongin mendekapnya dengan hujaman bibir di sekitar bahu. Lembut dan teratur.

"Maaf belum memberitahumu, aku tak tahu secepat ini jadinya." Berkali-kali Jongin mengusap punggung sempit di tubuhnya. Kyungsoo menenggelamkan seluruh wajahnya di dada Jongin menikmati perlakuannya sambil sesekali bergumam.

"Kau menggunakannya lagi?" Tiba-tiba wajahnya mendongak.

"Hm?"

"Kau menggunakan ekstasi, Jongin."

Jongin tersenyum lembut, "Bagaimana kau tahu?"

"Itu. Matamu." Kyungsoo menunjuk diafragma Jongin yang mengecil dan merah di sekitarnya. Jongin bergumam menyetujuinya dan mulai menjamahi leher Kyungsoo. "Berhentilah—berhenti mengorbankan nyawamu pada benda itu, Jongin,"

Jongin masih menikmati tiap inci tubuh pasrah di pangkuannya. Kyungsoo tak melakukan tindakan penolakkan dan terus berbicara. "Aku—ingin kau mengubahnya meski sedikit. Setidaknya berikan aku sebuah alasan untuk membelamu di depan Ayah." Kyungsoo memekik kecil saat merasakan gigi Jongin menginvasi pertemuan antara lehernya. Lelaki itu mengabaikan dan terus menggumam acak. Kedua tangan Kyungsoo tak kuasa untuk berdiam dan membalas yang ia bisa.

Jemari Kyungsoo membuka kancing kemeja Jongin satu-persatu. Sementara lainnya yang masih sibuk di kisaran leher kini turun menuju bahu. Kerah kaus Kyungsoo ditarik kebawah untuk diperlihatkan polesannya. Masih ada ruam kemerah-jambuan dari malam lalu yang Jongin ciptakan. Kini ia tekan lagi untuk memperbarui warna-warna itu.

"Jongin." Kyungsoo mengerang, menghentikan kegiatan Jongin di tubuhnya. Kekasihnya membalas dengan pandangan kebingungan. "Kau tidak mau?" Jongin melongo, sepintas melirik kemeja lusuhnya yang terbuka setengah. "Kau bahkan sudah ikut memulai." katanya terkekeh—atau memuji.

Kedua tangan Kyungsoo di bahu Jongin melemas, wajahnya menunduk menyembunyikan secercah kemerahan yang timbul. Ia menatap jauh kedalam mata Jongin, "Aku mencintaimu, Jongin. Aku tak ingin melihatmu kecanduan."

Jongin mengecap bibirnya pelan, secara tak langsung telah meminta Kyungsoo agar tak mencemaskannya. Seringainya muncul begitu pandangan mereka bertemu. "Aku sudah kecanduan lalu apa yang harus kuperbuat?"

Kyungsoo mengernyit heran, "Kecanduan apa yang kau mak—hei Jongin!" Tubuhnya tiba-tiba terangkat tanpa berganti posisi. Kyungsoo memeluk leher Jongin erat serta kedua kakinya melingkari pinggul berusaha bertahan agar tak jatuh. Kenyataannya, ia memang tak terjatuh karna Jongin menggendongnya cukup kuat.

"Aku kecanduan oleh semua yang ada padamu."

Kyungsoo tertawa pelan, "Lucu sekali. Turunkan aku, Idiot." Ucapnya datar. Namun Jongin bukanlah anak yang patuh pada perintah jadi ia membopoh Kyungsoo sepanjang perjalanan ke kamar sambil tertawa.

"Apa kau tahu kalau morning sex bagus untuk kesehatan?"

"Ya Tuhan, Jongin."

.

.

.

Setelah ini, hidup mereka tak akan sama lagi…

Benar-benar tak sama.

Semua bergulir begitu cepat tanpa ditelisik. Hubungan keduanya berjalan begitu mulus layaknya aspal sepanjang trotoar yang tak berbatu, tak memiliki hambatan, dan tak memiliki ujung maupun arah. Hidup mereka adalah gambaran impian semua pasangan. Kebahagiaan atas kebersamaan, bebas dari pengikat, rentetan peraturan dan larangan—bahkan orang tua, yang mungkin juga bahagia karna sedikit banyak bebannya terangkat.

Kyungsoo mendapati Jongin lebih sering ingin bermasyuk, kadang tawanya akan mengundang tawa Kyungsoo, dan tawa mereka akan menghasilkan suasana erotis yang berakhir dengan cekikikan dari balik selimut dalam keadaan kamar remang. Jongin membawa Kyungsoo ke Game Station ataupun naik ke atap gedung untuk sekedar melihat sunset di kala Rabu dan Kamis. Menonton kaset film yang Jongin seludupkan dari toko kaset dengan jagung berondong di antara mereka di malam Jumat, lalu pergi ke club dan menghabiskan sisa akhir pekan untuk berhura. Dan bukanlah suatu rahasia apabila salah seorang di sana mengenali wajah mereka.

Jongin sering mengunjunginya tiap bulan untuk memasok kebutuhan hasratnya. Menukarkan uangnya demi benda maksiat yang katanya merupakan penyambung hidup. Jongin sudah bahkan hampir merasakan semua yang disebut sumber kenyamanan semu. Tapi tak satu kalipun perasaan menyesal hinggap dan munculnya keinginan untuk berpaling. Jongin positif kecanduan.

"Bodoh! Berapa kali aku menukas hingga uratku putus, aku tak ingin kau mati sia-sia oleh sampah itu!" Kyungsoo sekali mengomel hebat dan membuang sebotol cairan morfin yang di temukan dari balik tumpukan baju. Jongin menyembunyikannya bersama beberapa puntung rokok serta benda menyerupai alat suntik.

Kyungsoo begitu telaten mengurus Jongin meski kekasihnya tak memperhatikan tubuhnya sendiri. Ia akan mencengkram kedua tangan Kyungsoo dan menyudutkannya untuk meredam amarahnya. Namun Kyungsoo terbilang ngotot untuk seukurannya hingga berusaha memaksakan kekuataan untuk melawan. Kenyataannya, walau mereka bertengkar sehebat apapun, Kyungsoo akan sangat lemah dalam jeratan Jongin. Karna ia mencintainya, karna mereka saling mencintai meskipun Jongin selalu menjadi biang yang memicu perdebatan.

Jongin memiliki emosi yang tak stabil, dan Kyungsoo sebagai satu-satunya penyabar yang bisa mengatasi harus menyadarkan Jongin pelan-pelan pada kenyataan. Suatu kali isi kantung mereka ludes untuk makan di restoran mahal demi memperingati hari jadi di tahun ketiga, sementara malamnya Bibi penyewa mendesak tagihan yang telah menunggak dua bulan. Jongin menebas seluruh peralatan di atas meja bukannya berpikir mencari jalan keluar bersama-sama. Kyungsoo sudah terduduk lemah di sofa mengamati Jongin sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. Kalau si Kim-sialan-Jongin tidak pernah mengendap-endap dan mencuri uang simpanan miliknya, mungkin mereka sudah terlepas dari ikatan semu yang menjerat batin ini.

"Sehun, aku kekurangan uang untuk bayar sewa rumah."

Sebenarnya bukan kurang, namun memang tidak ada sama sekali. Jongin harus rela mempertaruhkan harga dirinya di hadapan Yixing dan Luhan yang terpingkal-pingkal saking gelinya. Menonton Jongin memohon seperti anjing merupakan hiburan tersendiri bagi para biadab itu.

"Aku melakukannya karna Ayahku konglomerat dan kau hanya kebetulan berada dalam daftar orang yang perlu kutolong. Jadi jangan berpikir jika aku memperlakukanmu dengan baik. Kita sama-sama bajingan, ingat itu."

Kyungsoo menunggu dengan peluh berkucuran, ketidakpastian Jongin mendapatkan bantuan membuatnya sedikit banyak merasa gusar. Jongin kan brengsek, bisa saja uang yang ia dapatkan justru digunakan untuk hal berlawanan. Kyungsoo selalu berusaha berpikir realistis mengenai kekasihnya.

Seluruh harapan Kyungsoo ditebas oleh penantian yang berbuah sesal. Sekarang ia benar-benar yakin Jongin adalah orang paling bangsat yang amat ia cintai. Kyungsoo ingin mematahkan lehernya jika mampu lalu menyetubuhinya kasar sebelum kemudian membunuhnya.

"Sayang, tadi aku dijegal di perjalanan. Orang yang tempo lalu kuhutangi menagih janjinya." Adu Jongin ketika sampai di depan pintu dengan napas tersenggal. Kondisinya sungguh berantakan seolah habis terlibat pertikaian.

Kyungsoo mendelik penasaran, "Kau pernah berhutang apa?"

"Opium."

.

"Kyungsoo, lihat aku."

Semangat Jongin tak pupus untuk mengguncang pelan tubuh di sampingnya. Berusaha keras supaya perhatian kosong pada TV itu kembali tercurah padanya. Jongin ditambah Kyungsoo yang sedang marah dapat secara ajaib mengubahnya seperti anak kucing yang mendadak haus kasih sayang.

"Maafkan aku. Aku akan memikirkan cara lain untuk membayar sewa rumah ini. Jangan khawatir. Oke? Hm?"

Bersama-sama selama tiga tahun belakangan membuat Jongin mengerti sedikit banyak mengenai cara memenangkan hati kekasihnya. Kyungsoo tak pernah tahan pada perlakuan manis seperti kebanyakan orang. Bukan dengan memberinya bunga atau kartu ucapan permintaan maaf. Namun dengan Jongin yang suka bermanja.

"Kau menerima permintaan maafku, kan?" Jongin merengkuhnya dalam kungkungan hangat seraya mengusapkan pipinya pada bahu Kyungsoo. Berulang kali hingga pemuda itu merasa jengah dan menggeliat tak nyaman.

"Aku membencimu, brengsek." Sungut Kyungsoo. "Kau adalah orang paling brengsek dari semua orang brengsek yang kutemui."

"Tapi kau hanya mencintai si brengsek ini kan?"

Kyungsoo menggeleng dan itu cukup membuat Jongin masam melihatnya.

"Aku akan berusaha mendapatkan uang tip lebih banyak." Jongin beranjak menuju kamar. Ada sedikit penyesalan mencuat ketika melihat ekspresi Jongin yang merasa bersalah. Walaupun kenyataan bilang begitu. Kyungsoo takkan sanggup.

.

.

.

Jongin tak pernah mengambil waktu banyak untuk berpikir membahagiakan Kyungsoo, namun perlu berpikir berulang-ulang untuk mengecewakannya. Oleh sebab itu, hari dimana ia menggantungkan harapannya di bar, Jongin berusaha menepati janjinya. Paling tidak, Jongin dapat membuktikan bahwa Kyungsoo pantas bersanding dengannya.

Jongin melirik jam yang tertera dalam ponselnya. Pukul satu dini hari. Yixing dan Sehun masih menjajakan service pada pelanggan. Luhan meraih segelas champagne lalu mendudukkan diri di sebelahnya. Pelanggan terakhir Luhan merupakan langganannya yang baru dilayani dua puluh menit lalu.

"Sesuatu mungkin terjadi. Jongin yang banyak berpikir bukanlah Jongin yang kukenal."

Jongin menggeleng sebagai balasan dan Luhan bisa melihat wajah Jongin yang agak murung meski ditutupi pemuda itu dengan baik.

"Simpan saja jika itu urusan pribadi," Luhan tak seperti Sehun dan Yixing. Ia tak akan menyalak dan memaksa Jongin bercerita mengenai masalahnya. Satu poin plus dari seorang Luhan. "Biar kutebak. Ini melibatkan Kyungsoo di dalamnya kan?"

Jongin membeku di tempat saat Luhan menembak tepat sasarannya.

"Dia baik-baik saja. Kami berdua baik-baik saja."

Luhan mengangguk paham, menepuk bahunya pelan begitu melihat seorang wanita melambai kearahnya, pelanggan baru. "Kau stres, kupikir kau butuh minum. Jika kau memerlukan yah, kau tahu. Aku ada di dance floor jika kau ingin meminta beberapa." lalu bergegas.

Jika Luhan benar kalau ini hanyalah stres, bisa jadi ini bukan stres biasa. Yang tidak akan hilang tak peduli seberapa banyak gelas yang dia minum. Jongin begitu tersiksa hanya memikirkannya. Uang tip yang didapatkannya tak seberapa namun sedikit lebih banyak dari yang lalu. Paling tidak masih tersedia harapan dari hasil kerja Jongin selama ini. Hidupnya selalu bergantung pada frasa 'paling tidak'.

Jongin memutuskan memesan minuman atas saran Luhan. Perutnya geli menemukan fakta lainnya bahwa ternyata hidupnya juga tergantung atas saran Luhan. Jongin menambah tiap gelas yang telah kosong, ia begitu perih hingga membutuhkan begitu banyak.

Jongin limbung sesaat. Efek alkohol rupanya bekerja lebih cepat di tubuhnya malam ini. Jongin meletakkan gelas berisi Heart of Mexico yang tersisa setengah di atas counter lalu menjumput rokok dalam sakunya, menyematkan ujungnya di bibir sambil berusaha menyalakan pemantik milik Bartender yang sialnya tak kunjung menyala.

Jongin terus bergelut hingga sosok berbadan besar tiba-tiba menyinggungnya. Tak sengaja menjatuhkan pemantik dari tangan Jongin yang tak bertenaga. Rahangnya terjatuh tak percaya diikuti sebatang rokok yang mencium lantai.

"Kau begundal, menyingkirlah jika sudah tak kuat."

Tawa berat terdengar di antara musik top4 yang tengah diputar. Jongin berjengat memandang wajah pria itu lalu melirik ke bawah. Rokoknya diinjak kemudian digilas oleh sepatu kebesarannya. Ini bentuk penghinaan.

"Jika kau datang untuk hal semacam ini, kupikir kau berada di tempat yang salah." Jongin bangkit dari duduknya. Membalas tatapan bengis yang diberikan pria besar menjulang di depan. Sosok Jongin dengan temperamen dan emosi berubah-ubah ditambah ia juga tengah mabuk. Pria dengan boots aneh tadi tertawa melihat reaksi Jongin.

"Brengsek!" Jongin melayangkan satu tinju di kisaran bibir supaya orang itu belajar bahwa menertawai orang tak dikenal di tempat umum merupakan pelanggaran sopan santun. Suasana seketika berubah riuh. Beberapa orang panik hingga wanita di sekitar tempat itu berteriak ketakutan.

Pria dengan boots masih menerima hujaman Jongin yang tak berakhir lalu dengan sekali hempas ia berhasil menjatuhkan Jongin di bawah kekuatannya. Jongin tersulut emosinya sendiri hingga memberikan serangan seimbang. Meski semua orang yakin tubuhnya yang lebih kecil bisa dengan mudah ditaklukkan.

Tak lama setelah itu kerusuhan telah ditangani dengan memisahakan kedua pihak. Pemilik bar begitu terkejut mengetahui Jongin terlibat dalam hal ini. Dia meminta semua pengunjung untuk kembali tenang pada urusannya dan meminta maaf dengan nada canggung.

Menemukan bar tanpa pra-syarat untuk bekerja di dalamnya sama seperti mencari seutas benang dalam tumpukkan jerami. Berkat kejadian ini mereka berempat harus dikumpulkan, menahan tanggungan malu yang diboyong pemilik bar. Jongin seolah artis yang berhasil mendapatkan semua lirikan mata di sana, ketiga temannya dan pemilik bar sendiri.

"Aku tak bisa membiarkan berandal seperti kalian mengais uang di tempatku. Semua pengunjungku bisa kabur jika mendapati hal semacam ini terulang kembali."

"Tapi, tuan. Jika kau memberi kami kesempatan, maka—" Perkataan Yixing terpotong oleh kepergian sang pemilik bar, ia mengibaskan tangannya menolak untuk mendengarkan penjelasan lebih jauh.

Luhan mendengus, Sehun masih terkejut dan kelihatan tak percaya, Yixing—kedaannya hancur. Menari adalah ambisinya dan hanya melalui ini ia bisa mengumpulkan biaya untuk pengobatan Kakeknya.

"Aku bertahan dari tanggapan miring selama ini." Sehun menerawang.

"Sehun, jangan mulai." potong Luhan. Menahan tubuh Sehun lalu melirik sekitarnya dan terpatut pada Jongin yang terduduk. Keinginan Sehun untuk menghajar Jongin menguap alih-alih mendengus kasar.

"Menjadi penari di bar bukan pekerjaan yang dihormati secara strata sosial. Ada banyak tanggapan miring mengelilingi orang seperti kita. Kita minum, bermain, menghisap, bahkan bisa lebih buruk dari itu dan aku tak ingin menambah lebih panjang daftarnya. Ayahku tak pernah memintaku menjatuhkan namanya dengan cara seperti ini. Tapi berkatmu, kita berhasil mendapatkan semua predikat. Selain tikus bar kita adalah berandalan sekarang. Kau puas?"

Luhan belum mengatakan apa-apa saat Sehun melengos tanpa permisi. Mereka berempat punya mimpi dan hanya di tempat macam ini semua bisa menyatukan obsesinya. Luhan tak ingin semua yang telah dirakit semenjak kuliah kandas hanya disebabkan satu alasan; perpecahan.

"Maaf soal ini, tapi hanya padakulah Kakekku bergantung. Aku keluar." Lagi-lagi Luhan tak mampu menghalau keputusan Yixing. Ia berdiri mematung di tempatnya. Dingin dan ditinggalkan.

"Kau hanya akan berdiam diri di situ? Pergilah, semuanya kecewa."

Tatapan Luhan pada Jongin tak dapat dimengerti. Ekspresinya menyesal meskipun telah meyakinkan hatinya untuk tidak. Tak ada yang patut disalahkan karna ini bukanlah keinginan. "Aku tak akan pergi."

"Kau akan menarik ucapanmu."

"Tidak, Jongin." Luhan mengulurkan tangan padanya. Terlalu keparat jika Jongin berani meraih dorongan itu. Ia berpaling dari tawaran Luhan, merasa paling buruk untuk menerimanya.

"Pulanglah."

"Hanya jika aku sudah memastikan kau pulang lebih dahulu." Luhan bersikeras.

"Aku akan baik-baik saja dan tiba di rumah dengan selamat."

Luhan meraih lengan Jongin yang hendak beranjak, menggeleng kuat. "Yang akan kau lakukan hanyalah mencari lawan kedua untuk diajak berkelahi di jalan. Kau mabuk dan aku tak yakin kau akan masuk ke rumah yang benar. Izinkan aku mengantar."

"Tapi itu—"

"Kyungsoo tak akan cemburu, percayalah."

Jongin terhenyak beberapa saat menatapi wajah Luhan yang serius dengan perkataannya. Ini bukan tentang Kyungsoo yang akan cemburu bila melihat hal ini, tapi Jongin tak percaya pada Luhan. Dia… terlalu baik.

"Aku selalu tahu kau tak pernah sebajingan itu." Jongin terkekeh.

"Oh, diamlah."

.

.

.

Kesibukan Kyungsoo pagi sekali adalah mengompres semua luka Jongin yang membiru di sekujur tubuh. Pintunya diketuk pukul sepertiga malam dan ia dipaksa menautkan alisnya mendapati Jongin pulang dengan luka lebam serta dipapah oleh Luhan. Kyungsoo sudah mengenali Luhan sebelumnya. Tak banyak informasi yang Kyungsoo ketahui, hanya alasan bahwa Jongin terlalu banyak minum dan terlibat perkelahian dengan pengunjung bar.

Kyungsoo bersedia terjaga mengurus Jongin meski kantung matanya menjerit. Entah mengapa lebam-lebam di wajah Jongin secara acak mengingatkannya pada tokoh peekatchu. Hanya saja peekatchu lebih imut dari Jongin.

"Kepalamu pasti dipenuhi pertanyaan mengapa aku begitu bodoh." Jongin bergumam dengan mata terpejam. Sesekali mendesis kesakitan oleh lukanya.

Kyungsoo berusaha keras menahan tawanya, "Berhentilah menghakimi diri sendiri, kau semakin menyedihkan. Kalau tahu hal itu bodoh kenapa tetap dilakukan?"

Jongin tersenyum menahan perih. Tangannya menyentuh jemari mungil yang mengompres pipinya dengan handuk. Perlahan-lahan membalas tatapan Kyungsoo yang memperlihatkan raut kelelahan.

"Terima kasih."

"Biarkan aku mengatakannya, kau selalu berusaha keras untukku." Kyungsoo menyibak poni yang menutupi mata Jongin lalu mengecup keningnya singkat. Agak berhati-hati namun tetap membekas.

"Kurasa aku butuh lebih banyak supaya lekas sembuh." Kyungsoo menekan handuknya hingga tawa Jongin berganti dengan rintihan. "Ini, kuberikan yang banyak."

"Akh! Kyungsoo!"

.

.

.

Belakangan Kyungsoo tak lagi menyanyi di Cafe karna entah kesialannya, Cafe yang biasa menjadi langganannya kini memiliki penyanyi tetap. Tak hanya satu atau dua. Kyungsoo bahkan tak mengerti apa-apa. Semenjak seminggu lalu Jongin juga tak lagi mengunjungi bar. Secara garis besar, tak ada dari mereka yang mencari uang sekarang. Sementara kebutuhan semakin menumpuk dan Bibi penyewa hampir setiap hari mengotori riwayat panggilan Kyungsoo.

Masih ada waktu seminggu untuk memperoleh pinjaman. Hampir sepuluh kali Kyungsoo membalik buku kontak mencari nomor seseorang yang dapat mereka hubungi. Namun nihil, beberapa mengaku tak memiliki uang sebanyak itu sementara sisanya menyumpah-serapi bahwa mereka takkan meminjamkan kembali uangnya setelah mengetahui Jongin adalah orang selebor yang sering berkedok lupa.

Kyungsoo mendesah kasar, "Bagaimana ini, Jongin? Aku tak bisa membayangkan hidup di jalanan."

Jongin memeluknya untuk menenangkan, membawa kepala Kyungsoo ke dadanya dan mengelus bahu sempitnya. "Tak akan ada yang tinggal di jalanan, oke."

Kekhawatiran terbesar Kyungsoo selain hidup di jalanan adalah kembali tinggal bersama orang tuanya. Kyungsoo tak ingin menjilat ludahnya kembali hanya karna tersandung masalah ekonomi. Kyungsoo yakin mereka akan menemukan solusinya.

"Aku tak mungkin meminjam pada orang tuaku. Aku bahkan terlalu pusing memikirkan mereka tinggal dimana sekarang." Jongin menggumam di sela menatap udara kosong. Ia sama pusingnya dengan Kyungsoo.

"Jongin?"

"Hm?"

"Kita tak bisa meminjam pada orang tuamu, tapi kita bisa meminjam pada orang tuaku." Kyungsoo langsung berbinar senang atas gagasannya. Bibirnya merutuk pelan seperti mengapa hal ini tak terpikirkan sedari tadi.

Melihat rasa optimis Kyungsoo yang begitu besar seolah membuka kembali lubang kecil di hati Jongin. Itu artinya mereka perlu bertemu kedua orang tua Kyungsoo, dan kejadian-kejadian lalu dimana Jongin tak pernah merasa diterima kembali terbayang diingatannya.

"Tidak bagus." Jongin menolak.

Kyungsoo memiringkan wajahnya, "Kenapa tidak? Ini brilian, Jongin!" Ia terlalu bersemangat hingga napasnya terdengar berantakan.

"Apa menurutmu aku bisa selamat tanpa kehilangan salah satu bagian tubuhku?"

Kyungsoo mengangguk tanpa ragu, "Kau sudah mengurangi pemakaianmu selama seminggu terakhir. Itu adalah berita bagus yang bisa kita jadikan alasan pada Ayah dan Ibu."

Berita bagus ya?

Satu hal baru yang Jongin temukan dalam diri Kyungsoo adalah fakta bahwa Kyungsoo akan semakin mengingat darimana ia berasal jika itu sudah menyangkut kebutuhan hidupnya.

.

.

.

To be continued

*) Status : Edited

[ Do read yes, do review yes. Do not fav without leaving your comment ]

-Siren-