Pergi dari tempat ini–hanya itulah yang lelaki itu pikirkan selagi terus berlari dengan telanjang kaki. Ia bahkan terlihat tak peduli dengan dinginnya lantai atau pecahan beling yang bertebaran. Derap kakinya menggema di dalam penjuru lorong tersebut.
Persiapan sudah selesai. Progam inti sudah selesai dibajak, tinggal mengutak-atik sistematis luar dan–mission completed. Laptopnya–sang kartu as, terpaksa ia dekap dikarenakan berkali-kali hampir jatuh.
Ia sedikit tersentak saat mendengar teriakan keras memanggil namanya. "Gawat," Bisiknya pelan. "Mereka sudah mendekat."
Ia mempercepat deru langkah, membuat ahoge melingkar di ujung poni ikut bergoyang keras berirama. Kini ia semakin dekat dengan jendela di ujung lorong tersebut.
"Kkh–!"
Tanpa ragu, ia melompat turun dan mendarat sempurna di semak–beruntung laptopnya masih aman. Dari lantai tiga–tempat di mana ia melompat, mulai terdengar hiruk-piruk dan teriakan marah. Terlihat beberapa siluet manusia mengintip kearah bawah–berusaha mencari sang buruan–namun tidak dapat menemukan apa yang mereka cari.
Tanpa sepengetahuan mereka, akses jalan keluar dari mansion tersebut sudah dikunci –lebih tepatnya dibajak–oleh lelaki tersebut. Sedangkan jendela tadi? Ah, itu pun sudah terkunci sendirinya. Salahkan sistem pengamanan yang serba otomatis.
Ia terkikik geli ketika kembali mendengar teriakan panik dari arah dalam. Dia menekan beberapa tombol di laptopnya sebelum berlari menjauh dari tempat tersebut.
[Code accepted. Count down… 5…]
[4…]
[3…]
[2…]
[1…]
BLAAAAAAAR!
Sang jago merah menyeruak keluar dari gedung tersebut. Lelaki itu menatap hasil 'karya'nya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan–entah itu bersalah, kaget, takut, atau… bangga.
Dan itulah pengalaman pertama Lovino menjalankan pekerjaannya sebagai Mafioso.
To Be A Mafioso
By : Chained Feathers
.
.
.
Disclaimer :
Hetalia is owned by Himapapa
Warning :
Human!OCs, Using Human's Name, Typo(s), Semi-AU, Maybe OOC, Plot Ngebut, DLL.
.
Summary :
Lovino pun memiliki suatu rahasia besar–yang bahkan adiknya sendiri tidak tahu sepenuhnya. Namun ketika kebenaran akan eksistensi dari personafikasi terancam, cepat atau lambat rahasianya pasti terbongkar. Pasti. Mafia!Romano. Assassin!Romano.
.
.
.
Happy Reading
Beberapa puluh tahun kemudian…
DOR! DOR! DOR!
Lovino menghela napas panjang ketika tubuh sang korban menghantam tanah. Percikan darah terlihat jelas di kemejanya.
Targetnya hari ini adalah Hugbert Theodor, seorang kolektor benda-benda bersejarah yang aktif dalam black maret maupun pemasaran biasa. Pria tersebut telah menginjak usia emas–di atas 50 tahun. Ia mungkin tidak akan dihukum mati seperti ini kalau saja ia tidak mengorupsi pemasaran.
"Baiklah…" Ia merenggangkan tubuhnya. "Waktunya pu–"
Sebuah tepukan pelan di bahu membuatnya tersentak. Refleks, ia menampar tangan tersebut dan hampir menikamnya. Kata kunci; hampir.
Lelaki itu menghentikan serangannya. "…Kau lagi…"
Di depannya, sang pemuda blonde–Alfred, hanya bisa tertawa canggung. Sebilah pisau tinggal beberapa mili dari lehernya, cukup sekali tebas dan bye-bye world. "A-aha-ahaha… Hai, Lovi."
Walau gerakannya sudah berhenti, dia sama sekali tidak menjauhkan mata pisau dari leher Alfred. "Mau apa kau disini? Kukira World Meeting masih berlanjut." Iris coklatnya menatap marah.
"W-World Meeting sudah selesai dari tadi, Lovi. Karena kau tidak datang… Jadinya aku datang ke sini. N-nggak apa-apa 'kan? Bisa saja kau sedang terpojok, lalu hero akan menyelamatkanmu!"
Lelaki itu terdiam sebelum menjauhkan senjata tersebut dari leher Alfred. Sang korban pun bernapas lega. "…Lalu, bagaimana? Apa fratello bertanya tentangku lagi?" Ia menggigit bibirnya khawatir. Bisa gawat jikalau adiknya, Feliciano mengetahui apa yang ia lakukan.
"Ahahaha!" Pemuda berkacamata tersebut mengancungkan jempolnya. "Tenang saja! Saat meeting tadi, aku bilang kau dikejar oleh alien dan sedang bersembunyi di parit!"
Lovino menepuk dahinya, entah kesal atau le dafuq. "Dio Mio, hamburger boy–mana mungkin dia percaya dengan bualanmu, idiota!"
"Eh? Begitu?"
Sang lawan bicara tak tahu harus bereaksi apa. Demi tomat ranum nan bulat, mengapa ia harus bersekutu dengan manusia macam ini!?
Alfred kembali tertawa melihat reaksi Lovino sebelum merangkul si pecinta tomat.
"Ayo pulang."
Lovino terdiam. Walau raut mukanya masih menunjukkan rasa sebal, dia tidak bisa menyembunyikan sebuah cengiran kecil.
"Ya."
Beberapa tahun yang lalu…
Duk!
Tubuhnya terhempas ke dinding dengan keras. Kakinya bergetar, tidak kuat menahan beban. Napasnya tersengal-sengal tidak berdaya.
Dalam diam dia mengecek luka-lukanya. Betis kanan dan bahu kiri terkena tembakan peluru. Dahinya berdarah, mengganggu penglihatan bagian kanan. 'Sial,' pikir Lovino gusar. 'Pistolku tertinggal di ruang mesin. Tanganku terlalu kelu untuk meraih apa pun. Menyamar? Bah. Tidak ada gunanya dengan luka seperti ini. Kalau saja ada–'
"Di sini rupanya kau bersembunyi, tikus kecil."
Lovino memucat. Di depannya, seorang wanita setengah baya menodongkan AK-47 ke kepalanya. Napasnya semakin memburu, seakan-akan udara mulai menipis di ruangan tersebut.
"…Ag… Na… Gertruge…"
Wanita itu, Agna, mengangkat sebelah alisnya. "Oh~? Ternyata kau tahu nama asliku?" Dia terkekeh. "Ah, sudah lama aku tidak dipanggil itu…"
Lovino hanya diam saja. Wajahnya semakin memucat ketika wanita itu melangkah mendekat. " Lalu? Apalagi yang kamu tahu tentangku?"
Lelaki itu menggeram kecil sebelum berujar, "Agna… Gertruge. Nama asli… Helene Mariele… Putri ketiga dari keluarga ningrat Mariele... Pada tahun 18XX… Seluruh keluarga di bunuh… Beserta peliharannya…" Senyum di wajah Agna semakin melebar. "…Tetapi… anak ketiga… kematian… palsu…" Napasnya makin tersengal-sengal. Rasa sakit membuat kian kesadarannya menipis.
"…Hm… Itu benar~" Wanita itu bertepuk tangan. "Tidak kusangka kau mengetahui hingga ke bagian itu. Uuh, padahal aku sudah berusaha keras memalsukan kematianku…" Dia menggembungkan pipinya, sebelum kembali tersenyum lebar.
Cklik.
Lovino menatap horor pelatuk yang hanya berjarak hanya tinggal 1 mili dari dahinya."Maaf sayang, kau terlalu tahu banyak tentangku," Agna memiringkan kepalanya. "Kau tahu? Akulah yang membunuh mereka semua. Keluargaku sekumpulan orang picik. Mereka hanya berpikir uang, uang, uang, dan uang. Kau tahu maksudku 'kan? Mereka… hanyalah sampah masyarakat," Pandangannya mengeras. "Dan aku juga benci orang seperti dirimu, yang bisanya hanya bekerja di bawah perintah para pengecut."
Lovino hanya bisa menangkap sedikit perkataan wanita itu. Kesadarannya sudah mencapai batas. Dia memejamkan matanya, mempersiapkan diri menghadapi kematian.
'Maaf, fratello. Sepertinya kakakmu yang payah ini akan pergi mendahuluimu.'
Agna mulai bersiap-siap menekan pelatuk. "Bye-b–Um? Suara apa itu?"
Aksinya terhenti saat sayup-sayup terdengar derap kaki dan teriakan tidak jelas. Agna mengerutkan dahi, tanpa sadar lengah untuk apa yang terjadi selanjutnya. Derap kaki itu mulai mendekat, mendekat, mendekat, dan–
" –NGAN MEREMEHKAN KEKUATAN SANG HERO!"
"Siapa–UGH!"
BAM!
Terdengar suara sesuatu menghantam dinding dengan sangat keras.
Sang personafikasi dari Italia Selatan tidak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu sepertinya wanita itu diserang oleh seseorang yang… terdengar sangat familiar.
"Hei, apa kau ti–… Lovino?"
Dengan berat dia membuka matanya. Samar-samar, dia melihat seorang lelaki seusianya berambut pirang dengan sebuah ahegao mencuat setengah jongkok di hadapannya. Matanya terbelalak.
"Al…fred? Sedang… apa… di sini…?"
"Itu pertanyaanku, Lovi! Kau–mafioso?"
Mulai abad ke-19, Alfred dan Lovino menjalin kerja sama di dunia underground–tanpa sepengetauan Feliciano. Sang lelaki penggemar pasta tersebut hanya mengetahui bahwa sang kakak mengelola underground negara Italia, tak lebih dan tak kurang. Bahkan ia sama sekali tidak tahu bagaimana sang kakak melakukan pekerjaannya.
Pada abad ke-20, sang personafikasi dari Amerika keluar dari dunia Mafioso untuk mengatur negaranya secara keseluruhan. Untuk masalah underground world, dia meminta Lovino untuk memberikan informasi-informasi dalam misi mau pun luar misi. Sebagai gantinya, Alfred selalu menginformasikan Lovino dalam World Meeting sekaligus membuat alasan apabila dia tidak ikut.
Sebuah persahabatan yang aneh, namun mereka saling percaya satu sama lain. Dan sepertinya tidak ada yang mengetahui hubungan dekat mereka berdua.
Malam itu, Lovino memilih untuk menginap di rumah Alfred dengan alasan rumahnya lebih dekat dan dia tidak ingin Feliciano tahu bahwa sebenarnya dia tidak ada di Eropa. Namun di Barat.
Dia menyesap wine-nya di balkon, sedangkan sang pemilik rumah asik menonton televisi. Ia menghela napas sebelum masuk ke dalam.
"Oi, hamburger boy."
Sang personafikasi Amerika menoleh ke arah sumber suara. "Ada apa?"
"Aku tidak bisa ikut meeting sampahmu besok. Tolong buatkan alasan lagi, tapi jangan yang aneh-aneh. Bilang saja aku malas ke sini atau apalah itu."
Alfred jawdrop.
"LAGI!?" Lovino mengerang seraya menutup kuping. "Ini ketiga kalinya lho! Berturut-turut pula! Dan–hei, itu tidak sampah! Besok kita akan membahas tentang organisasi buronan di seluruh dunia! Ayolah, ikut ya? Ya? YA? PLEASE, I BEG YOU!"
Lelaki berbangsa Italia itu menggeram kecil–terganggu dengan suara keras temannya, namun ia mulai tertarik mendengar hal yang dikatakannya. "Organisasi buronan? Maksudmu… seperti teroris? Mafia buronan macam Parco Dominique itu?"
Dibalas dengan anggukan.
Parco Dominique, sang milioner merangkap boss dari mafia Brazil–target Lovino beberapa minggu lalu. Walau pria itu baru saja menginjak usia perak–kisaran 30, dia sudah melakukan serangkaian kejahatan yang terlalu menonjol. Seperti halnya membajak pesawat dan menculik para penumpang anak-anak untuk diperjualkan. Atau percobaan pembunuhan perdana menteri Inggris.
Dia masih mengingat jelas ekspresi menggelikan bajingan itu saat peluru menancap di tengkoraknya. Heh, seharusnya dia membawa kamera.
Lovino menautkan alisnya bimbang. Topik World Meeting untuk besok lumayan menarik–mungkin ia juga dapat mengumpulkan informasi penting dari negara lain. Namun, di sisi lain, target untuk kali ini sangat menggoda revolver-nya.
Target barunya adalah seorang pemimpin mafia yang bernama Cayo Guiomar. Sama seperti sang boss mafia Brazil–pria ini memiliki rekor kejahatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dia memang sudah menginjak hampir mendekati usia emas, namun bukan berarti kejahatannya akan menurun pula. Ia dikabarkan licik dan sudah berkali-kali selamat dalam menyeludupkan narkoba maupun senjata tajam–di bandara pula.
Tangannya mulai gatal. Sesegera mungkin dia ingin menarik pelatuk pistolnya menembus tengkorak pria itu.
"–vi? Lovi?"
Dia kembali tertarik ke dunia nyata. "A-ah, maaf, Al. Ada apa?"
Tanpa menoleh, pemuda berkacamata tersebut menunjuk layar televisi. "Lihat. Bukankah itu… orang yang menjadi sasaranmu kali ini? Kukira kau belum melakukannya." Tanyanya bingung.
"Hah?"
Lovino mendekatkan diri kearah benda tersebut dan memerhatikan apa yang di perlihat. Benar. Maldito De Reino Fagmilia, kelompok mafia dari sang target baru. Di layar tersebut, terpampang sesosok pria sekitar 50-an sedang menaiki mobil polisi dalam keadaan terborgol. Ia menatap layar tak percaya ketika sang pembawa acara mulai memberikan informasi.
" –Dan pada jum'at lalu, polisi berhasil menangkap boss tertinggi dari mafia Maldito De Reino. Dikabarkan bahwa organisasi mereka telah meresahkan masyarakat setempat selama beberapa bulan terakhir–"
Mulutnya semakin melebar mendengar seluruh informasi tersebut. Di sampingnya, Alfred bersiul pelan. "Urrwell… Isn't that mean… Case closed?" Dia meringis saat melihat air muka tak bersahabat temannya. "…Oh, shit."
PRANG!
Kini giliran Alfred yang bersumpah-serapah. Gelas yang dihantamkan Lovino lumayan mahal–untung saja isinya sudah kosong dan pecahannnya tidak terlalu berserakan.
"For Goddamn's f**king sake!" Ia menjambak rambutnya frustasi. "Ini tidak mungkin terjadi!"
"Um… Lovino?"
"Pria itu bukan si Cayo sialan! Kalau polisi sampai salah menangkap, Cayo pasti akan menyangkal dan membuat dirinya seolah-olah orang yang menjadi korban itu sendiri! Bisa saja dia akan operasi plastik, lalu mengganti kewarnegaraan! Apa mereka tidak sadar pria itu cuman pengecoh? Sial, dia terlalu pintar. Apa yang harus kulakukan?"
Alfred beranjak dari sofa kemudian mendekati Lovino. Tangannya sudah terulur untuk menyentuh bahu lelaki itu, namun ia tarik kembali–takut memperparah mood Lovino. '…Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya…?'
Terjadi keheningan yang lumayan awkward–hanya ada bunyi geraman Lovino dan suara televisi yang terbelengkalai.
"…Oh iya!"
Sang pemilik marga Jones tersenyum sumigrah–terbesit akan ide bagus. Ia segera mengobrak-abrik tasnya–yang sebagian besar berisi hamburger dan brosur restoran fast food. "Ketemu! "
"Lovi!" Alfred menyerahkan sebundel berkas ke Lovino. "Bacalah. Ini topik untuk rapat besok."
Lovino menerimanya dengan setengah hati. Namun saat ia membacanya satu-persatu, lambat laun air wajahnya berubah.
"…Al."
"Ya?"
"…Besok beri aku tumpangan. Aku ikut World Meeting."
AN : I'm still alive. Horray for me?
Ternyata menjadi seorang kakak kelas sekaligus adik kelas rasanya… agak aneh ._.") Tapi senang juga melihat anak kelas 7 yang berkumpul dalam seragam SD masing-masing~ Jadi kangen masa-masa SD deh. Hiks.
My first MC in the new fandom! Terinspirasi dari beberapa headcanon di mana Romano a.k.a. Lovino Vargas adalah the King of Mafia. Tapi tentu saja, tidak ada title tanpa sebuah perjuangan. Dan–lahirlah fic ini.
Untuk para senpai-tachi dalam fandom Hetalia, yoroshiku onegaishimasu *bow* Juga kepada readers, salam kenal juga *bow again* Saya harap dengan fic ini, dapat menghibur anda.
So…
R&R?
