One Foot In The Grave
(Pertemuan kembali)
Original Story
Novel One Foot In The Grave by Jeaniene Frost
Novel ini adalah seri kedua dari Night Huntress Series. Dianjurkan untuk membaca seri pertama yaitu Halfway To The Grave agar tak bingung dan tak sesat tak tahu arah jalan pulang.
Saya bukanlah pengarang aslinya. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya jika ada yang tidak berkenan Novel ini saya jadikan versi chanbaek.
Selamat membaca.
Api cinta menyala kembali.
Dengan diiringi selimut ketegangan saat seseorang mengincar nyawa Bek. Kris, yang menginginkan Bek menjadi miliknya. Ditambah rasa cemburu saat wanita vampir masa lalu Phoenix masuk dalam kehidupan mereka.
Setelah dengan lancang meninggalkan vampir itu. Apakah Phoenix masih tetap mencintai Bek? Apakah janji Phoenix masih berlaku untuknya?
.
.
BAB 1
.
.
Aku menunggu di luar rumah besar berlantai empat di Manhasser, yang dimiliki oleh Mr. Wu. Ini bukan kunjungan biasa, seperti yang mungkin dipikirkan oleh orang yang melihatku. Jaket panjang yang kukenakan terbuka, membuat pistolku, sarung selempangnya, dan lencana FBI-ku terlihat jelas. Aku memakai celana dan blus longgar, untuk menyembunyikan sembilan kilogram senjata perak yang tersimpan di lengan dan kakiku.
Katukanku dijawab oleh seorang pria tua yang mengenakan setelan bisnis. "Agen Khusus Baekhee Lee," kataku. "Aku datang untuk menemui Mr. Wu."
Baekhee bukanlah nama asliku, tapi itulah yang tercatum di lencanaku. Si penjaga pintu memberiku senyuman tidak tulus.
"Saya akan melihat dulu apakah Mr. Wu ada di dalam. Tunggu di sini."
Aku sudah tahu Mr. Wu ada di dalam. Yang juga aku tahu Mr. Wu bukanlah manusia, dan begitu pula dengan penjaga pintunya.
Yah, aku juga bukan manusia, meskipun di antara kami bertiga hanya aku yang memiliki detak jantung.
Beberapa menit kemudian pintu terbuka lagi. "Mr. Wu bersedia menemui anda."
Ini adalah kesalahan pertamanya. Boleh dibilang, ini juga akan menjadi pertemuan terakhirnya.
Pikiran pertamaku saat aku memasuki rumah Wu adalah, Wow. Ukiran kayu menghiasi semua permukaan dinding, lantainya dilapisi marmer yang terlihat mahal, dan barang antik berselera tinggi tersebar di semua tempat yang bisa terlihat oleh mata. Jelas sekali mati bukan berarti kau tidak bisa menikmati hidup.
Bulu kudukku berdiri saat merasakan aura kekuatan yang ada di ruangan ini. Wu tidak tahu aku bisa merasakannya, seperti yang kurasakan dari penjaga pintunya yang merupakan ghoul-iblis pemakan daging manusia. Aku mungkin terlihat seperti orang biasa, tapi ada beberapa rahasia yang tersimpan di balik bajuku. Dan, tentu saja, banyak sekali belati.
"Agen Lee." Sapa Mr. Wu. "Ini pasti tentang dua pegawaiku, tapi aku sudah diintorgasi oleh polisi."
Mr. Wu berlogat Inggris, yang seebenarnya aneh mengingat namanya khas China. Hanya dengan mendengar intonasi suaranya sudah mampu membuatku merinding. Logat Inggris membawa kenangan untukku.
Aku berbalik, Wu bahkan terlihat lebih menarik daripada fotonya di dokumen FBI. Kulitnya yang seperti kristal terlihat berkilau, kontras dengan warna kemeja yang gelap. Ada satu hal yang membuatku terpesona pada vampir-mereka semua memiliki kulit yang sangat indah. Mata Wu berwarna biru kehijauan jernih, dan rambutnya yang berwarna cokelat kemerahan tergerai melewati kerah kemeja.
Yup, Mr. Wu memang indah. Mungkin vampir itu tidak pernah kesulitan mencari makanan. Tapi, hal yang paling mengesankan tentang dirinya adalah auranya. Aura itu mengelilinginya seperti gelombang yang berisi kekuatan. Tidak diragukan lagi, adalah seorang Master vampir.
"Ya, ini tentang Thomas dan Jerome. FBI akan sangat menghargai kerja samamu."
Basa-basi sopanku adalah siasat untuk mengulur waktu agar aku dapat menghitung seberapa banyak orang yang ada di rumah ini. Aku menajamkan telingaku, tapi sejauh ini aku hanya bisa merasakan Wu, ghoul si penjaga pintu, dan diriku sendiri.
"Tentu saja. Apa pun untuk mendukung penegakkan hukum dan peraturan," ujar Wu dengan sikap yang dibuat-buat.
"Apa kau merasa nyaman berbicara di sini?" tanyaku, mencari kesempatan untuk bisa melihat ke sekeliling.
"Atau kau lebih memilih untuk bicara di tempat yang lebih pribadi?"
Wu bergeser. "Agen Lee, jika kau ingin bicara secara pribadi denganku, panggil aku Wu. Dan aku beharap kau tidak hanya ingin membicarakan tentang Jerome dan Thomas yang membosankan."
Oh, aku tidak terlalu berminat bicara begitu aku hanya berdua dengan Wu. Karena Mr. Wu terlibat dalam pembuhan pegawainya, maka ia berada dalam daftar tugasku,meskipun aku tidak datang ke sini untuk menangkapnya. Orang biasa tidak percaya pada vampir atau ghoul, jadi tidak ada proses hukum untuk kejahatan membunuh mereka. Tapi, ada bagian khusus di Homeland Security yang mengurusi hal semacam itu, dan bosku, Gongyoo, selalu mengirimku untuk melakukannya. Memang benar, ada rumor tentang diriku di dunia makhluk abadi, yang berkembang selama aku menjalankan pekerjaan ini, tapi hanya ada satu vampir yang mengetahui siapa aku sebenarnya. Dan aku belum pernah melihatnya lagi selama empat tahun ini.
"Wu, kau tidak sedang merayu agen federal yang sedang menyelidikimu dalam khasus pembunuhan, kan?"
"Baekhee, seorang pria yang tidak bersalah tidak perlu merasa takut dipaksa secara hukum. Setidaknya, aku tidak perlu takut jika kau yang dikirim untuk bicara padaku, mengingat kau adalah wanita yang cantik. Kau juga terlihat sedikit tidak asing, tapi aku yakin aku pasti akan ingat jika pernah bertemu denganmu sebelumnya."
"Kau belum pernah bertemu denganku," kataku dengan cepat. "Percayalah padaku, aku pasti mengingatnya."
Aku tidak mengatakan itu sebagai pujian, tapi komentarku menyebabkan Wu tergelak dengan cara yang terlalu percaya diri.
"Aku jamin itu."
Dasar kau bajingan sombong. Kita lihat berapa lama seringaianmu itu akan bertahan.
"Kembali ke urusan bisnis, Wu. Apa kita kan bicara di sini atau di tempat yang lebih pribadi?"
Wu mengeluarkan suara pasrah. "Jika kau bersikeras begitu, mungkin kita bisa merasa lebih nyaman di perpustakaan. Ikutlah denganku."
Aku mengikuti Wu melewati ruangan yang lebih kosong dan mewah untuk menuju perpustakaan. Tempat itu sangat mengagumkan, dengan ratusan buku baru dan lama. Bahkan ada beberapa gulungan naskah yang disimpan di dalam lemari kasa, tapi perhatianku tertuju pada karya seni berukuran besar yang tergantung di dinding.
"Ini terlihat... primitif."
Saat petama kali melihatnya, benda itu terlihat seperti kayu atau gading, tapi saat diamati lebih dekat, ternyata itu tulang. Tulang manusia.
"Aborigin, berusia hampir tiga ratus tahun. Diberikan oleh temanku di Australia."
Wu datang mendekat, matanya mulai berkilat dengan warna zamrud. Aku tahu apa kilat kehijauan itu. Rasa lapar dan gairah terlihat sama pada vampir. Kedua hal itu membuat mata mereka berkilau hijau seperti zamrud dan taring mereka keluar. Wu pasti merasa lapar atau terangsang, tapi aku tidak berminat memuaskannya dalam kedua hal itu.
Ponselku berbunyi. "Halo," jawabku.
"Agen Lee, apa kau masih mengintrogasi Mr. Wu?" tanya wakilku, Taewoo.
"Iya. Ini mungkin akan memakan waktu sekitar tiga puluh menit."
Terjemahannya: Jika aku tidak menjawab telepon tiga puluh menit kemudian, maka Taewoo dan timku akan datang ke sini dan mencariku.
Taewoo menutup telepon tanpa berkomentar lagi. Taewoo tidak suka jika aku menangani urusan semacam ini sendirian, tapi sayang sekali tidak ada yang bisa dilakukannya. Rumah Mr. Wu sesepi kuburan, dan itu mungkin akan menjadi kenyataan sebentar lagi, meskipun sudah lama sekali aku tidak bertarung dengan Master vampir.
"Aku yakin polisi sudah mengatakan padamu bahwa jasab Thomas dan Jerome ditemukan dengan darah yang hampir mengering. Dan tidak ada luka yang terlihat di tubuh mereka yang bisa mejadi penyebabnya," kataku, langsung ke inti masalahnya.
Wu mengangkat bahu. "Apa FBI tidak punya teori untuk mnjelaskan kejadian itu?"
Oh, kami punya lebih dari sekedar teori. Aku tahu Wu pasti menutup lubang yang ada di leher Thomas dan Jerome dengan tetesan darahnya sendiri, sebelum mereka mati. Boom, dia mayat kehabisan darah, tidak ada jejak vampir di sekitar t empat kejadian-kecuali kau tahu trik yang dipakai si pelaku.
Dengan sura datar aku membalas, "Kau punya, iya kan?"
"Kau tahu teori apa yang kupunya, Baekhee? Bahwa kau terasa manis, semanis kelihatannya. Bahkan, aku tidak bisa memikirkan hal lain sejak kau masuk."
Aku bergeming saat Wu menutup jarak di antara kami dan mengangkat daguku. Toh, ini akan mengalihkan perhatiannya dari apa yang hendak kulakukan.
Bibirnya terasa dingin di bibirku dan bergetar karena energi, sehingga membuat mulutku bergelenyar, Wu adalah pencium yang hebat, bisa merasakan kapan harus memperdalam ciuman dan kapan harus benar-benar memperdalamnya lagi. Tunggu sebentar, aku benar-benar membiarkan diriku menikmatinya-oh Tuhan, empat tahun hidup selibat pasti telah membuatku jadi seperti ini-aku beralih ke urusan bisnis.
Lenganku melingkari tubuh Wu, menutupi tanganku yang mengeluarkan belati dari balik lengan bajuku. Di saat yang bersamaan, Wu menurunkan tangannya ke pinggulku dan merasakan sesuatu yang keras di balik celanaku.
"Apa itu...?" gumam Wu, sambil melangkah mundur.
Aku tersenyum. "Kejutan!" dan aku langsung menikamnya.
Seharusnya itu menjadi tikaman yang mematikan, tapi Wu lebih cepat daripada yang kuduga. Wu menekel kakiku dari bawah, persis saat aku menikam, sehingga belati perakku meleset beberapa sentimete dari jantungnya. Bukannya berusaha mendapatkan kembali keseimbangan tubuhku, aku justru membiarkan tubuhku terjatuh, berguling menjauh untuk menghindari tendangan yang diarahkannya ke kepalaku. Secepat kilat Wu bergerak untuk mencobanya lagi, tapi kemudian tersentak saat tiga belati lemparanku tertancap di dadanya. Sial, aku gagal membidik jantungnya lagi.
"Astaga!" seru Wu. Wu berhenti berpura-pura sebagai manusia dan membiarkan matanya berkilau hijau, sementara taringnya mencuat dari gigi atasnya. "Kau pasti Red Reaper yang dibicarakan banyak orang. Apa yang membuat pemburu vampir datang ke rumahku?"
Wu terdengar tertarik, bukan ketakutan. Tapi ia terlihat lebih gelisah daripada sebelumnya, dan memutariku saat aku berdiri sambil melepas jaketku agar bisa mendapatkan akses lebih terhadap senjata yang kusimpan di beberapa tempat di tubuhku.
"Seperti biasa," jawabku. "Kau membunuh manusia. Aku disini untuk menyamakan skor."
Wu benar-benar memutar bola matanya. "Percayalah padaku, Sayang... Jerome dan Thomas memang pantas mati. Bajingan-bajingan keparat itu mencuri dariku. Belakangan ini sulit sekali menemukan orang yang baik untuk membantu."
"Teruslah bicara, Tampan. Aku tidak peduli."
Aku meraih lebih banyak belati. Tidak ada satu pun dari kami yang berkedip saat kami menunggu satu sama lain untuk mengambil tindakan. Yang Wu tidak tahu adalah aku tahu dia meminta bantuan. Aku bisa mendengar si ghoul berjalan ke arah kami dengan perlahan , nyaris tidak menggerakan udara disekitarnya. Ocehan Wu hanya untuk mengulur waktu.
Wu menggelengkan kepalanya untuk menyalahkan diri sendiri.
"Penampilanmu seharusnya bisa membuatku waspada. Red Reaper dikatakan memiliki rambut semerah darah, mata abu-abu seperti asap, dan kulitmu... hmm, nah dari sana jelas perbedaannya. Aku tidak pernah melihat manusia memiliki kulit seindah itu. Ya Tuhan, Manis, aku bahkan tidak akan menggigitmu. Yah, bukan dengan cara seperti yang kau pikirkan."
"Aku tersanjung kau ingin meniduriku sekaligus membunuhku. Sungguh, Wu, itu manis sekali."
Wu menyeringai. "Toh, hari Valentine baru dua bulan lalu."
Wu memaksaku bergeser ke arah pintu dan aku membiarkannya. Dengan sengaja aku mengeluarkan belati terpanjangku dalam celana, yang terlihat seperti pedang kecil, dan menggenggamnya di tangan kanan. Seringaian wu semakin lebar saat melihatnya. "Mengagumkan, tapi kau masih belum melihat tombakku. Jatuhkan senjatamu, dan aku akan menunjukkannya padamu. Jika kau mau, kau bahkan bisa menyimpan sebagian pisaumu. Itu akan mebuatnya semakin menarik."
Wu mencondongkan tubuh ke depan, tapi aku tidak termakan umpannya. Justru, aku melemparkan lima belati dari tangan kiriku padanya dan berputar untuk menghindari serangan dari ghoul yang ada di belakangku. Dengan satu lemparan yang menggetarkan lenganku, aku mengirimkan belati ke leher si ghoul dengan selurul kekuatan yang kumiliki.
Belati itu menembus lehernya. Kepala si ghoul berputar sebentar di sumbunya, dengan mata mebelalak menatapku, sebelum jatuh ke lantai. Hanya ada satu cara untuk membunuh ghoul, dan itulah caranya.
Wu menarik belati-belati perakku yang menancap di tubuhnya, seolah itu sekedar tusuk gigi.
"Dasar kau wanita jalang menjijikkan, sekarang aku akan menyakitimu! Magnus sudah menjadi temanku selama empat puluh tahun."
Itu menandakan akhir dari basa-basi. Wu menghampiriku dengan kecepatan yang mengagumkan. Ia tidak memiliki senjata kecuali tubuh dan giginya, tapi kedua hal itu bisa sangat mematikan. Wu melayangkan tinjunya padaku, dan aku membalasnya dengan pukulan yang tidak kalah kerasnya. Selama beberapa menit kami hanya saling pukul dan serang, menjatuhkan setiap meja dan lampu yang ada di depan kami. Akhirnya, Wu melemparku ke seberang ruangan, dan aku menghantam karya seni unik yang sebenarnya kukagumi. Ketika Wu mengejarku, aku menendang dan membuatnya terpental ke lemari panjang. Kemudian aku mengambil patung yang ada di tembok dan menghantamkannya ke kepala Wu.
Wu menunduk, mengutuk saat melihat karya seninya hancur berkeping-keping di belakangnya.
"Apa kau tidak bisa menghargai sebuah artefak? Usia benda itu lebih tua dariku! Dan bagaimana mungkin kau memiliki mata seperti itu."
Aku tidak perlu melihat cermin untuk tahu apa yang sedang dibicarakan Wu. Mataku yang sebelumnya berwarna abu-abu sekarang pasti sudah berkilau sehijau mata Wu. Bertarung selalu mampu membuktikan darah campuran yang mengalir dalam diriku, darah yang diwariskan oleh ayahku-seorang vampir yang tidak pernah kukenal.
"Potongan tulang itu lebih tua darimu, hah? Lalu berapa usiamu, dua ratus tahun? Dua ratus lima puluh tahun? Kalau begitu, kau pasti kuat. Aku pernah menghabisi vampir berusia tujuh ratus tahun, yang tidak memukul sekeras dirimu. Pasti akan menyenangkan bisa membunuhmu."
Tuhan bantulah aku. Tapi aku tidak sedang bergurau. Tidak ada tantangan saat aku menikam vampir dan membiarkan timku yang mengurus sisanya.
Wu menyeringai padaku. "Dua ratus dua puluh tahun, Sayangku. Itu usiaku sebagai vampir. Sementara kehidupanku sebagai manusia hanya berisikan kemiskinan dan penderitaan. Dulu London seperti selokan. Sekarang terlihat jauh lebih baik."
"Sayang sekali kau tidak akan melihatnya lagi."
"Aku meragukan itu, Sayang. Kau pikir kau akan menikmati saat-saat membunuhku? Aku tahu aku akan menikmati saat-saat menyetubuhimu."
"Kita lihat apa yang kau punya." Tantangku.
Wu melompat ke seberang ruangan-dan melayangkan pukulan brutal ke kepalaku. Pukulan itu membuat ledakan ringan di otakku dan akan langsung mengirimkan manusia normal ke liang lahat. Sedangkan aku... aku tidak pernah menjadi manusia normal, jadi meskipun merasa sedikit mual, aku langsung beraksi cepat.
Aku sedikit terhuyung, membiarkan mulutku menganga dan bola mataku berputar saat aku jatuh ke lantai dengan leherku terkulai ke atas, gaya yang sangat mengundang untuk menarik perhatian vampir. Di dekat lenganku teronggok belati lempar yang dicabut Wu dari dadanya. Apakah Wu akan menendangku saat aku terkapar, atau melihat seberapa parah luka yang kualami?
Taktikku berhasil. "Itu lebih baik," gumam Wu, lalu berlutut di sampingku. Tangannya menyusuri sekujur tubuhku, kemudian ia bergumam senang.
"Kau seperti tentara. Wanita dengan persenjataan lengkap."
Wu melepaskan kancing celanaku dengan sikap kaku. Mungkin ia ingin melepaskan semua senjata yag ada di tubuhku, itu tindakan yang cerdas. Tapi, saat Wu menarik celanaku hingga ke bawah pinggul, ia berhenti. Jemarinya menyusuri tato di pinggulku yang kubuat empat tahun lalu, tepat setelah aku meninggalkan kehidupan lamaku di Ohio untuk mejalani kehidupan baruku yang sekarang.
Mencoba mengambil kesempatan yang terbentang di hadapanku, aku mengambil belati dan menikamkannya ke jantung Wu. Mata Wu yang syok bertemu dengan mataku, saat pria itu membeku.
"Aku pikir jika Alexander tidak membunuhku, maka tidak akan ada yang bisa..."
Aku baru saja akan melakukan pelintiran terakhir dan yang menjadi paling mematikan, saat potongan puzzle menjadi lengkap. Sebuah kapal bernama Alexander. Wu berasal dari London, dan dia sudah mati selama dua ratus dua puluh tahun. Dia memiliki tulang Aborigin yang diberikan oleh temannya di Australia...
"Yang mana kau?" tanyaku, tanpa menggerakan belatiku. Jika Wu bergerak, maka jantungnya akan sobek. Jika tidak bergerak, ia tidak akan mati. Belum.
"Apa?"
"Pada tahun 1788, empat orang narapidana berlayar ke koloni tempat pembuangan di Shout Wales dengan kapal bernama Alexander. Salah satu di antaranya berhasil melarikan diri setelah tiba di sana. Setahun kemudian, narapidana yang melarikan diri itu kembali dan membunuh semua orang kecuali tiga orang temannya. Salah satu di antara mereka diubah menjadi vampir atas pilihan sendiri, dua yang lain dengan dipaksa. Jadi, katakan siapa kau sebenarnya?"
Seolah masih mungkin, Wu terlihat jauh lebih tercengang daripada ketika aku menikam jantungnya. "Hanya beberapa orang di dunia ini yang tahu kisah itu."
Aku menyentakkan belatiku hingga masuk lebih dalam. Wu bisa memahami maksudku.
"Kris. Aku Kris."
Sial! Yang ada di atasku saat ini adalah pria yang telah mengubah cinta sejatiku menjadi vampir hampir dua ratus dua puluh tahun yang lalu. Sungguh suatu ironi.
Wu atau Kris adalah pembunuh berdasarkan pengakuannya sendiri. Tidak peduli apakah pegawainya mencuri darinya atau tidak, dunia tidak pernah kehabisan orang bodoh. Vampir memiliki serangkaian peraturan jika sudah menyangkut apa yang menjadi milik mereka. Mereka adalah makhluk yang selalu berjuang untuk mempertahankan kepemilikan mereka hingga ke tahap yang tak terbayangkan. Jika Thomas dan Jerome tahu siapa Kris sebenarnya dan tetap nekat mencuri darinya, maka mereka sudah tahu apa konsekuensinya. Tapi bukan seperti itu kasusku.
Pada akhirnya, aku harus menghadapi suatu kenyataan yang sederhana-aku mungkin bisa meninggalkan Phoenix, tapi aku tidak bisa membunuh orang yang berjasa membawa Phoenix dalam hidupku.
Ya, sebut aku sentimental.
"Wu, atau Kris, dengarkan aku baik-baik. Aku dan kau akan bangun. Aku akan mecabut belatiku dari jantungmu, dan setelah itu kau harus segera melarikan diri dari sini. Jantungmu memang robek, tapi kau pasti akan segera pulih. Aku berutang nyawa pada seseorang, dan aku menebusnya dengan nyawamu."
Kris menatapku. Kilau kehijauan di mata kami berdua sudah hilang.
"Chanyeol." Nama asli Phoenix menggantung di antara kami, tapi aku tidak bereaksi. Wu tertawa dengan suara lirih. "Yang mungkin hanya Chanyeol. Seharusnya aku tahu dari caramu bertarung, belum lagi tatomu identik dengan tato di tubuhnya. Trik menjijikkan, berpura-pura pingsan. Chanyeol tidak akan pernah tertipu dengan trik semacam itu. Dia pasti akan menendangmu sampai kau berhenti berpura-pura."
"Kau benar," akuku. "Itu adalah hal pertama yang diajarkan Phoenix padaku. Selalu menendang seseorang saat ia jatuh. Aku memperhatikan. Kau tidak."
"Wah, wah, Red Reaper kecil. Jadi, kau yang menyebabkan suasana hatinya buruk beberapa tahun terakhir ini?"
Seketika itu juga jantungku dipenuhi kebahagiaan. Kris baru saja menegaskan apa yang tidak pernah berani kuprtanyakan. Phoenix masih hidup. Bahkan sekallipun ia membenciku karena telah meninggalkannya, ia masih hidup.
Kris terlalu mengandalkan keberuntungannya. "Kau dan Chanyeol, hmm...? aku tidak berbicara dengannya selama berbulan-bulan, tapi aku bisa menemukannya. Jika kau mau aku bisa membawamu bertemu dengannya."
Pikiran bisa bertemu dengan Phoenix lagi mengakibatkan getaran emosi di dalam diriku. Untuk menutupinya aku tertawa sinis.
"Tidak, sekalipun aku dibayar. Phoenix menemukanku dan mengubahku menjadi umpan target yang harus dibunuhnya demi mendapatkan uang. Bahkan ia memaksaku untuk membuat tato ini. Omong-omong soal uang, jika kau bertemu dengan Phoenix lagi, kau bisa bilang padanya dia masih berutang uang padaku. Dia tidak pernah membayar bagianku seperti yang dijanjikannya untuk tugas yang kulakukan. Satu-satunya alasan kau beruntung hari ini adalah karena Phoenix telah membantu menyelamatkan ibuku, jadi aku berutang nyawa padanya, dan kaulah pelunasku. Tapi jika aku bertemu dengan Phoenix lagi, maka dia pasti akan mati di ujung belatiku."
Setiap kata yang aku katakan mengiris hatiku sendiri, tapi aku harus mengatakannya. Aku tidak akan membuat Phoenix menjadi target dengan mengakui aku masih mencintainya. Jika Kris mengulangi perkataanku pada Phoenix, ia pasti tahu itu tidak benar. Bukan Phoenix yang menolak membayarku atas tugas yang kulakuan untuknya-akulah yang menolak mengambil uang itu. Phoenix juga tidak pernah memaksaku membuat tato. Aku sengaja membuat tato tulang yang sama seperti miliknya karena kerinduanku padanya setelah aku pergi meninggalkannya.
"Kau setengah vampir. Pasti begitu, karena matamu bisa berkilau kehijauan. Katakan padaku... bagaimana bisa?"
Aku hampir menolak mengatakannya, tapi setelah kupikir, siapa peduli. Kris sudah mengetahui rahasiaku. Bagian bagaimana bisa akan mejadi antiklimaks.
"Seseorang yang baru berubah menjadi vampir memperkosa ibuku, dan sial bagi ibuku, sperma vampir itu masih bisa berenang. Aku tidak tahu siapa dia, tapi suatu hari nanti aku akan menemukan dan membunuhnya. Sampai saat itu, aku akan mengejar semua vampir jahat seperti dirinya."
Di suatu tempat di ruangan itu, ponselku berbunyi. Aku tidak beranjak untuk mengangkatnya, tapi aku bicara dengan cepat.
"Itu timku. Jika aku tidak menjawabnya, mereka akan datang dengan kekuatan penuh. Kekuatan yang tidak akan bisa kau tangani dengan kondisimu saat ini. Berdirilah... dengan perlahan. Setelah aku mencabut belati ini, kau harus lari sekencang mungkin dan jangan berhenti. Nyawamu akan selamat, tapi kau harus meninggalkan rumah ini dan jangan kembali lagi. Apa kita sepakat? Pikirkan sebelum kau menjawab, karena aku tidak sekedar menggertak."
Kris tersenyum kaku. "Oh, aku percaya padamu. Belatimu tertancap di jantungku. Kau tidak punya alasan untuk berbohong."
Aku tidak mengerjapkan mata. "Kalau begitu,ayo kita lakukan."
Tanpa berkomentar lagi, Kris mulai bangkit dan berlutut. Aku bisa melihat, setiap gerakan menjadi siksaan untuknya, tapi ia menipiskan bibirnya dan tdak mengeluarkan suara apa pun. Saat kami berdua berdiri, dengan hati-hati aku menarik belati dari punggungnya dan menahan belati berdarah itu di depanku.
"Selamat tinggal, Kris. Enyahlah."
Kris menerobos jendela yang ada di sebelah kiriku dengan kecepatan yang kurang daripada sebelumnya, tapi tetap mengesankan. Di luar, aku mendengar anak buahku menerobos masuk. Hanya ada satu hal yang harus kulakukan.
Aku menikamkan belati yang sama ke perutku sendiri, cukup dalam untuk membuatku jatuh berlutut, tapi tidak cukup tinggi untuk mengakibatkan luka serius. Saat wakilku, Taewoo, berlari masuk ke perpustakaan, aku terkesiap dan tersungkur, darahku membasahi karpet yang tebal dan indah.
"Astaga, Bek!" seru Taewoo. "Cepat ambilkan Brams."
Dua orang kaptenku, Donghae dan Heechul, keluar untuk mengambil Brams. Taewoo menggendongku dan membawaku keluar dari rumah itu. Dengan napas terputus-putus, aku memberi perintah.
"Ada satu yang berhasil melarikan diri, tapi jangan kejar dia. Dia terlalu kuat. Tidak ada orang lain di rumah itu, tapi lakukan pengecekan dengan cepat dan tarik mundur pasukan. Kita harus segera pergi kalau-kalau dia kembali lagi dan membawa bala bantuan. Mereka bisa membantai kita semua."
"Satu kali penyisiran, kemudian mundur, mundur!" perintah Donghae, sambil berteriak ke pintu van tempat Taewoo membawaku. Taewoo menarik belati dari perutku dan menekan lukaku, memberiku beberapa butir pil yang tidak dijual di apotek mana pun.
Setelah empat tahun dan memiliki sekelompok peneliti andal, bosku, Gongyoo, berhasil menyelidiki komponen yang terdapat dalam darah vampir dan membuat obat ajaib. Pada manusia biasa, obat itu akan memulihkan luka seperti patah tulang dan pendarahan dalam dengan sangat ampuh seperti sihir. Kami menamainya Brams, untuk mengenang penulis yang telah membuat vampir terkenal.
"Seharusnya kau tidak masuk sendirian," Taewoo memarahiku. "Sial, Bek, lain kali kau harus mendengarkan aku."
Aku tergelak lemah. "Terserah kau saja. Aku sedang tidak ingin berdebat."
Kemudian aku pingsan.
tbc...
Hmm, ada Kris, dan nanti juga ada Luhan. Barisan para mantan (jan baper) yang akan berusaha menghancurkan hubungan ChanBaek.
Taewoo juga sepertinya akan menjadi pho di antara mereka. Siapa sih Taewoo? Dia itu dancernya SM, Kasper nama kerennya.
