Hai~ ( ^o^)/

Salam untuk para penghuni fandom Vocaloid \(^o^ )

Aku author baru. Kalian boleh memanggil aku Kakak walau aku yakin banyak yang lebih tua dariku disini. ("u,u)

Karena memang itulah panggilanku r(u.u")

Disclaimer: Kakak ga punya Vocaloid walaupun kepengen.

Happy Reading...

\(^o^\)(/^o^)/

KRIIIIING! KRIIIIIIIIING! KRIIIIIIING!

Cuit! Cuit! Cuit!

Hari senin. Mentari pagi bersinar. Memberikan kehangatan pada semua yang dilalui oleh cahayanya. Burung-burung bernyanyi riang menyambut pagi. Meramaikan suasana yang cerah dan indah.

Tapi kehangatan itu tidak berpengaruh pada para remaja malas yang sedang tertidur lelap di atas ranjang mereka. Apalagi pada remaja perempuan yang justru merasa (sangat) terganggu dengan itu semua. Tidak hanya terganggu dengan cahaya menyilaukan matahari yang masuk kekamarnya tanpa permisi, tapi juga jam weker sialan dan suara kakak yang menggelegar dan membahana mengalahkan toa.

Kakak? Laki-laki atau perempuan? Biarkan waktu yang menjawab.

"RIIIIINN! BANGUUUUNN! BANGUN ATAU KAU AKAN DAPAT MASALAH!"

Gadis itu hanya menjawab malas dengan erangan kecil. Bukannya bangun, tapi dia malah melanjutkan mimpinya. Benar-benar tipikal cewe kebo.

"RIIIIIINN!"

Tidak kuat mendengar suara kakaknya yang sebelas duabelas dengan toa, gadis itu berusaha bangkit dengan mengumpulkan nyawanya. Mengambil jam weker bentuk jeruk di atas lemari kecil yang persis tergelatak manis di samping tempat tidurnya. Dan layaknya sinetron horor yang alay, matanya yang mengantuk langsung berubah terbelalak. Terkejut dan juga ketakutan. Keringat dingin menuruni pelipisnya tanpa aba-aba—well, ga butuh aba-aba juga sih—. Ada hal mengerikan di jam unyu miliknya. Hal mengerikan yang dapat membuatnya mendapat masalah. Masalah yang dapat membuat tangan atau kakinya mati rasa. Kau tahu? Jam unyu miliknya, menunjukan angka yang ditakuti dan juga dibenci kebanyakan remaja normal. Angka 7. Benar-benar angka yang menakutkan.

"RIIIIINN! TURUN! SAMPAI KAPAN KAU MAU TIDUR HAH?!"

"YEEEE UDEH BANGUN! BENTAR DULU KENAPA?!" gadis itu menjawab. Tidak sopan.

Terdengar dengusan dari dapur (wow, kenceng banget dengusannya sampe kedenger dari kamar Rin. Ngalahin kuda #dilindes). Gadis itu berusaha bangun. Segera mandi dan berpakaian rapi. Lalu membuka pintu siap untuk turun. Tidak lupa membawa kotak persegi panjang kecil. Mungkin ada sesuatu yang penting di dalamnya. Well, hanya author dan Tuhan yang tahu. Buat reader nanti aja tahunya. Tenang, Belanda masih jauh kok.

Atau memang akan selamanya jauh. Lupakan...

"Pagi kakak!" sapanya ceria pada seorang remaja laki-laki di depannya setelah sampai di dapur. Sekarang kita tahu bahwa kakak yang dimaksud disini adalah laki-laki.

Tapi... tapi... tapi kok pakai jepit rambut? Tapi kok rambutnya sepundak? Tapi kok? Tapi kok? Tapi... tapi... Ah... sudahlah...

"Pagi juga Rin... Eh tunggu! Mau kemana? Sarapan yang benar!" tegur remaja itu ketika melihat gadis berpita kelinci A.K.A Rin yang akan segera pergi hanya dengan membawa sepotong roti.

"Dasar aneh. Tentu saja aku mau ke sekolah! Sudah tidak ada waktu lagi kak! Aku harus segera pergi atau aku akan terlambat. Nanti kalau aku disuruh lari keliling lapangan 20 kali bagaimana?"

"Siapa suruh bangun kesiangan! Dasar! Aku akan mengantarmu."

"Ish! Nanti malah kakak yang terlambat kerja," jawab Rin sambil memanyunkan bibirnya. Benar-benar tidak sopan.

"Yeeeee dasar! Bukannya terimakasih. Shift kerjaku ditukar jadi siang hari. Cih! Tapi aku malah akan pulang lebih malam dari biasanya. Sialan. Ingin headbang ke tembok rasanya."

Gadis itu terkejut. Bukan terkejut karna kakaknya yang unyu itu ingin headbang. Tapi terkejut karna senang tidak jadi dihukum guru killer karena terlambat. Dan dengan wajah tanpa dosa dia berkata, "Iya deh! Terimakasih kakak! Kakak benar-benar kakak paling baik sedunia!" dengan nada ceria namun penuh penekanan di setiap kata. Hebat.

Remaja itu tersenyum. Lalu menjitak pelan kepala Rin. Inilah mengapa ia sangat sayang pada gadis berpita kelinci yang berstatus adiknya itu, "Kalau senang kau selalu memuji berlebihan."

SKIP TIME IN SCHOOL / RIN POV

Huuff... Syukur aku tidak jadi terlambat. Kalau sampai terlambat, bisa-bisa aku diterkam guru killer. Baik, itu berlebihan. Dia tidak akan sampai menerkam, memang. Ah sudahlah! Halo semuanya! Namaku Rin Kagamine. Aku tinggal di negara yang dikenal sebagai Negara Burung Hantu. Kenapa namanya Negara Burung Hantu? Karna konon katanya, negara ini pernah berhasil mengusir penjajah berkat bantuan ribuan burung hantu. Ok, I think it's very imposible. Tapi menurut buku sejarah, begitulah adanya. Tapi ada beberapa lembar fakta yang hilang menurutku. Atau mungkin disembunyikan? Habisnya, setiap kali membaca ulang buku sejarah baik di sekolah maupun di perpustakaan kota aku selalu menemukan keganjilan. Dan jika bertanya pada guru, jawabannya selalu sama.

Flash Back

Seorang gadis berpita kelinci dengan rambut pirang terlihat sedang bertanya pada gurunya yang berambut coklat. Gadis itu berkata, "Pak, kenapa burung-burung hantu itu membantu bangsa kita?"

Guru itu menggaruk tenguknya. Dan menjawab dengan kikuk, "Ano... Kagamine. Sebenarnya bapak juga tidak terlalu tahu. Karena itu adalah bagian dari sejarah yang hilang."

"Hilang?"

"Itu 'kan terjadi ratusan tahun lalu. Lagipula hanya konon. Bapak sendiri merasa aneh karena tidak ada cerita lengkap tentang hal itu."

Flash Back [End]

Begitulah! Menyebalkan sekali. Negara yang berasal dari dunia antah berantah ini memiliki patung burung hantu yang terbuat dari emas dan berukuran sangat besar sebagai item negara ini dan terletak di taman pusat di Distrik 10. Negara ini terbagi atas 20 distrik. Aku tinggal di Distrik 10 dan bersekolah di Owl Senior High School kelas 10-D. Itu adalah sekolah negeri dan seperti sekolah negeri yang lain, sekolah itu pun gratis. Orang bilang aku itu sedikit aneh. Entah aneh kenapa. Padahal aku bersikap normal. Dan soal ciri fisik, tanpa aku beritahu ciri fisikku dengan lengkap pun kalian pasti sudah tahu aku ini seperti apa 'kan? Hehehe. Intinya sih aku ini imut.

Apa? Aku narsis? Enak saja! Itu kenyataan tahu!

Ohya! Yang mengantarku tadi adalah Rinto Kagamine, kakaku. Berkat dia, aku selamat dari terkaman guru killer di sekolah. Dan sekali lagi, itu berlebihan. Dan berkat dia pula aku tidak perlu takut kaki atau tanganku mati rasa. Hehehe... Yang ini serius lho! 20x putaran itu lumayan mengingat ukuran halaman depan sekolah. Dan jika aku diberi pilihan untuk menulis kalimat "aku bersalah" itu bisa sampai 20 lembar bolak-balik! Dan gurunya memang killer sungguhan! Dia itu menyeramkan tingkat dewa.

Sekarang aku sedang makan siang di hutan belakang sekolah. Kenapa namanya hutan? Karna pohon disini sangat lebat. Jadi agak sedikit mirip hutan. Dan kenapa aku makan di hutan ini? Aku mau sekalian naroh sesajen di sini. Bukan ding! Aku hanya makan saja. Tapi bukan berarti juga aku berani sendirian disini lho! Aku di sini bersama 3 temanku yang lain. Seorang cowo berambut biru, satu cewe berambut toska dan satu cewe lagi berambut hijau. Nama mereka Kaito Shion, Miku Hatsune, dan Gumi Megpoid. Hanya mereka yang mau berteman denganku.

Dan sekarang Kaito terlihat seperti suami pelaku poligami yang diapit 3 istrinya. Mulai deh penyakit imajinasi liarku kambuh lagi. Tapi idih! Nggak banget jadi istrinya Kaito. Para murid lain mengenalnya sebagai idola sekolah, tapi kami—yang sudah bersahabat dengan Kaito sejak lama— tahu kalau dia itu jauh dari bayangan mereka selama ini.

"Eh temen-temen, katanya 'kan disini angker," Kaito memulai percakapan kali ini. Dengan bergosip. Mirip ibu-ibu komplek.

"Masa sih? Kita kesini kan tiap hari kecuali libur. Toh nggak ada apa-apa juga," Miku menyahut.

"Benar! Jangan membuat gosip aneh deh, Kaito," kali ini Gumi lah yang menimpali.

"Hehehe, iya deh. Kan cuma bercanda. Pengen liat kalian takut, gitu. Hahahahaha!" Kaito malah balas sahutan mereka dengan diakhiri tawa. Ckck, orang aneh...

"Oh begitu! Dasar!" Gumi dan Miku menyahut lagi, dengan kompak. Wew! Beginilah jadinya jika sudah lama berteman.

"Tapi serius. Katanya penjaga sekolah saja tidak mau masuk kesini lagi. Karena waktu itu dia melihat bayangan hitam yang geraknya cepat sekali," Kaito berkata dengan mimik serius.

Gumi meliriknya dan bilang, "paling-paling cuma imajinasinya saja. Atau dia ingin tenar dikalangan para murid," dengan wajah datar. Miku angguk-angguk.

"Hemm... bisa jadi sih. Menurut Rin bagaimana?" tanya Kaito padaku.

"Ntahlah. Itu 'kan cuma gosip saja. Belum tentu benar. Kita kan sudah sering keliling hutan ini. Benar kata Miku tadi. Toh nggak ada apa-apa juga disini. Ini 'kan markas kita. Ya 'kan?"

"Uwoh... aku mengerti. Setuju dengan Rin deh," kata Kaito menyetujui pemikiranku. Miku dan Gumi juga menganggukan kepalanya. Lalu kami berbincang-bincang sampai bel masuk berbunyi.

SKIP TIME / PULANG SEKOLAH / NORMAL POV

Rin merapikan buku-buku sekolahnya. Memeriksa apakah buku itu lengkap atau tidak. Rin memasang raut wajah cemas. Ia kehilangan kotak kecil persegi panjang miliknya. Rinto pasti akan ngamuk-ngamuk gaje nantinya.

Kotak kecil itu berisi sesuatu yang sangat berharga untuknya. Ia harus mencarinya dan apapun yang terjadi, dia harus menemukannya!

.

.

.

.

Rin berada di hutan belakang sekolah sekarang. Dia sudah hampir putus asa. Dia sudah mencari di semua area sekolah yang dia datangi hari ini. Tapi kotak kecil itu tidak berhasil ditemukan juga olehnya. Sempat terlintas di benaknya untuk menyerah dan menceritakan saja apa yang terjadi pada kakaknya itu. Tapi kotak kecil itu sangat berharga untuknya. Dia tidak bisa menyerah begitu saja dengan mudah.

Rin menarik nafas dalam-dalam. Melangkahkan kakinya untuk memasuki rimbunnya pohon dan semak-semak. Dia bergetar. Suasananya sunyi, dan kesunyian ini sepertinya hanya bisa ditandingi oleh TPU Jeruk Purut pada malam jum'at keliwon yang ada di salah satu belahan dunia antah berantah yang lain.

Jujur saja, jari tangannya sudah terasa sangat dingin. Tapi dia tidak bisa kembali. Tekad kuatnya telah mengalahkan rasa takut akan serangan dari makhluk astral penunggu hutan ini. Rin ingin lari. Tapi dia tidak bisa karna harus menemukan kotak kecil itu apapun yang terjadi!

Rin mengingat tempat dia makan bersama dengan sahabat-sahabatnya. Ia menuju tempat itu. Berharap agar kotak kecilnya hanya terjatuh dan masih ada di sana. Seutas senyum ia tampakkan kala berhasil menemukan tempat itu. Tempat itu adalah markas Rin. Ditandai dengan pohon besar yang akarnya benar-benar terlihat sangat kokoh. Hari sudah mulai sore. Ternyata memang lebih sulit mencari tempat itu ketimbang di siang hari. Meskipun, sekali lagi itu adalah markas Rin CS.

Rin mencari kotak kecil itu dengan harapan yang hampir sirna. Dan setelah sekian lama, Rin terduduk. Putus asa. Kotak kecil itu tidak ditemukan olehnya.

Dalam keadaan putus asa, Rin mendengar sebuah suara. Suara cekikikan sih sebenarnya. Dari atas pohon besar itu.

'Setan lagi nih jangan-jangan? Masa iya sih makhluk gituan beneran ada? Hiii...' itulah yang dipikirkan Rin sambil merinding ria, 'Suaranya dari atas. Semoga saja bukan setan dan apa yang digosipin sama si BaKaito itu salah adanya.'

Rin mulai memikirkan hal-hal buruk ketika suara cekikikan itu semakin keras dan juga diiringi dengan sebuah bayangan yang terlihat dari atas pohon.

'Apa sebaiknya aku lari saja?' ucap Rin dalam hati sambil menggerakkan kakinya kebelakang. Melangkah mundur.

"Khukhukhu..."

"Sial!" umpat Rin sambil berbalik lalu berlari untuk keluar dari hutan. Masalah untuk Rin. Markasnya berposisi hampir di tengah hutan. Pasti akan memakan waktu untuk kabur dari kejaran makhluk itu!

"Kau tidak bisa lari dariku!" teriak makhluk itu lalu mengejar Rin.

"Tentu saja bisa! Aku 'kan punya kaki!" teriak Rin tidak mau kalah. Dasar, disaat genting seperti ini masih bisa meladeni makhluk tak dikenal.

"Cih!"

"Kya!"

Tiba-tiba saja Rin terpelanting kebelakang. Terdengar suara benturan yang cukup keras akibat punggung Rin yang mencium tanah lebih dulu.

"Sudah kubilang kau tidak bisa lari dariku," ucap makhluk astral itu sambil menindih tubuh Rin. Rin hanya mengaduh kesakitan. Tidak berapa lama kemudian dia terbelalak. Lalu...

'Oh my ghost.'

...Rin mimisan dan pingsan di tempat.

(~'-')~~('-'~)(~'-')~~('-'~)

Rin bangun di sebuah ruangan remang-remang. Kepalanya sakit. Dia lupa apa yang terjadi padanya tadi.

'Kalau tidak salah sih tadi...' Rin berpikir keras sambil meletakan tangan kanannya di keningnya, 'Tempat bollpoint keberuntunganku hilang... hm... lalu aku cari kemana-mana... lalu... err... aku mencari sampai masuk ke hutan... terus... terus... di hutan ketemu sama...' Rin berhenti berpikir. Wajahnya memerah, '... ketemu sama... sama cowo ganteng.'

Jreng! Jreng!

"Sudah bangun?" tanya seseorang. Rin kaget lalu menengok ke arah suara itu. Terlihat seorang pemuda tengah berdiri sambil membawa segelas air di tangan kanannya.

Rin mengangguk. Pemuda itu mendekati Rin lalu menyodorkan air yang dibawanya tadi sambil duduk dipinggir tempat tidur. Rin duduk lalu menerimanya dan meminumnya tanpa rasa curiga sedikitpun.

Rin sepertinya memang melupakan sesuatu...

Pemuda itu menyeringai melihat gelas yang berisi air tadi kini sudah kosong dalam genggaman Rin.

Melihat pemuda itu—yang menurutnya—sedang tersenyum aneh, Rin lantas menautkan alisnya. Tidak berapa lama kemudian dia seperti sadar akan sesuatu dan dengan suara bergetar dia bertanya, "K-Kau... a-air apa yang kuminum t-tadi?"

Pemuda itu meliriknya lalu mengambil gelas kosong yang dipegang Rin dan berdiri, berjalan menuju meja kecil yang tak jauh dari tempat tidur yang sedang diduduki Rin. Meletakan gelas itu di atasnya.

"Menurutmu apa? Itu 'kan air putih biasa," katanya membelakangi Rin.

"Terus kalau air putih biasa, kenapa kamu malah menyeringai begitu?" tanya Rin sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Huh? Suka-suka aku dong. 'Kan aku yang punya muka," balas pemuda itu menengok sambil menyeringai lagi. Rin sweetdrop sendiri melihatnya, "Hei... aku mau bertanya. Bollpoint ini... kau dapat dari mana?" tanya pemuda itu sambil menunjukan bollpoint milik Rin.

"Bollpoint? Oh itu! Kenapa kau ingin tahu?"

"Hah? Aku ga suka tahu. Tahu itu rasanya aneh. Lagian yang minta tahu itu siapa?" jawab pemuda itu polos.

Dak dum jes!

Rin tepok jidat, "Bukan itu maksudku. Begini saja deh. Kenapa kau bertanya?"

"Hah? Siapa yang bertanya? Yang bertanya itu 'kan kamu," jawabnya masih dengan wajah polos.

Dak dum jess!

"Astagadragonballzkai…" Rin tepok jidat lagi. Lalu Rin membatin, 'Kok ganteng-ganteng bego sih?'

"Apa?! Kurang ajar! Siapa yang bego?" Pemuda itu meletakan kedua tangannya di pinggang. Menatap Rin dengan tatapan marah.

Rin speechles, 'Lho kok? Dia bisa membaca pikiranku, ya?'

Tratak! Jess!

"Memang," ucap pemuda itu sambil menepuk dadanya dan mengangkat dagunya sedikit. Sombong ceritanya.

Mendengar itu Rin membeku di tempat dengan mulut menganga, 'Apa tadi? Aku ga salah dengar kan?'

"Nggak... kamu gak salah dengar kok... hehe... ehem! Kutanya sekali lagi. Kau mendapat benda ini dari mana?" tanya pemuda itu sambil berjalan kearah Rin.

Rin menautkan alisnya lalu membuang nafas perlahan, "Hah... itu kudapat dari ibuku. Dia menghadiahkan bollpoint itu saat aku berulang tahun yang ke-5."

"Oh, begitu. Syukurlah kau tidak berbohong," kata pemuda itu memperhatikan bollpoint di tangannya dengan seksama. Bollpoin berbahan dasar emas dengan lambang serigala bewarna merah yang menghiasi bagian atas bollpoint itu. Len tersenyum aneh.

"Iya, begitulah. Lagipula berbohong pun percuma 'kan? Memangnya kenapa?"

"Ehehe, benar. Bagus kalau kau mengerti. Lalu... siapa nama ibumu?" tanyanya lagi dengan wajah serius.

"Namanya? Nama ibuku... Kagamine Lenka." jawab Rin sambil tersenyum.

Jreeeeng!

Pemuda itu menjatuhkan bollpoint di tangannya dengan slow motion. Lalu terdengar suara khas barang jatuh. Dan setelah adegan itu berlalu. Len sudah berada di depan Rin. Mencengkram bahu Rin dengan kuat. Menatap Rin dengan tatapan tidak percaya. Rin yang menjadi objek tatapan itu hanya berdiam diri dengan wajah bingung.

"S-siapa k-kau bilang tadi? K-ka-kagamine... Lenka? K-kau... kau a-a-anak... a-anak... Kaga-kagamine... Lenka?" tanya pemuda itu dengan suara bergetar dan wajah yang hampir menangis.

Rin facepalm. Lalu mengangguk, "Iya dan iya."

"APA?!"

Tratak jess!

Rin sweetdrop melihat pemuda di depannya yang sedang berpundung ria sambil menangis dengan jari-jari yang membuat pola-pola aneh di lantai kayu ruangan itu. Bukan cuma itu. Pemuda itu terus bergumam tidak jelas layaknya dukun yang tengah membaca puluhan lembar mantra. Juga ada background angin kencang dan awan mendung disekelilingnya.

"Ehm... maaf. Apa kau baik-baik saja?" tanya Rin menepuk pelan pundak pemuda itu.

"Ya jelas nggak lah!"

"Eh?"

"Hiks... Lenka sudah punya anak. Hiks... kejam," ucap pemuda itu sambil menyedot mayonais yang di produksi hidungnya. Tidak memperdulikan tatapan 'eww' dari Rin.

"Memangnya kau punya hubungan apa dengan ibuku? Ohya aku juga belum tahu namamu."

"Namaku Len."

"Eh? Anu... cuma itu saja?" tanya Rin sweetdrop. Ayolah. Dia belum menjawab pertanyaan yang satu lagi.

"Ada masalah?" tanya Len dengan tatapan sangar. Rin makin sweetdrop.

"Kayaknya nggak."

"Ya sudah. Pulang sana!" ucap Len dengan gerakan tangan yang seperti mengusir.

"Lho? Ini dimana sih sebenarnya?" tanya Rin celingukan.

"Bodoh. Jelas-jelas ini masih di sekolah. Sudahlah! Pulang sana!"

"Tapi kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi! Kau punya hubungan apa dengan ibuku?"

"Bukan urusanmu!"

"Bukan urusanku? Enak saja! Dia itu ibuku tahu!"

"Uh... sudahlah! Pulang sana!"

"Tapi... tampaknya di luar sudah malam," ucap Rin sambil menggigit kuku jempolnya. Len meliriknya sekilas, "Kamu nggak lapar?" tanya Rin.

"Nggak!" jawab Len ketus. Tapi...

~Kruuuuuuk~

...suara perut yang mendemo untuk diisi terdengar amat nyaring.

Rin menggembungkan pipinya. Berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya. Takut membuat makhluk di depannya marah. Len yang menyadari perutnya tak bisa berkompromi dan Rin yang sedang cekikikan kecil menahan tawa hanya memerah wajahnya. Dia membuang mukanya dengan pipi menggembung. Lucu. Itulah pikiran Rin.

...dan author. Lupakan.

"Jangan tertawa!" teriak Len.

"Buahahahahaha!" justru tawa Rin malah pecah.

"Sudah kubilang jangan tertawa!" teriak Len lagi. Wajahnya memerah. Dibanding marah, itu lebih kearah malu.

"Hahahaha! Haha... ha... baiklah," ucap Rin berusaha menghentikan tawanya.

"Hm... mau ikut kerumahku? Ayo kita makan bersama," tawar Rin sambil tersenyum. Pupil mata Len mengecil. Wajahnya juga memerah lagi.

"Tapi-"

"Tenang saja! Aku yakin rumahku kosong sekarang."

"Err... emh... baiklah jika itu tidak merepotkan."

...To Be Contioned...

Maaf jika alurnya kecepetan. Dan juga maafkan untuk kesalahan penulisan yang lain. Maklum, newbie. Dan masih butuh banyak saran. Pedes ga papa asal membangun ya ^^v

Akhir kata...

Review?