Blueberry datang lagi!!!

Kali ini, Blue hadir dengan fict bergenre horor... Sebelumnya, Blue sudah pernah publikasikan horor ini.. Cuma, karena kacau dan tidak layak di baca maka Blue edit dan publikasikan kembali!!

Summary: Hinata berniat mengakhiri hidupnya dengan Grand Piano Lavender kesayangannya!Apa yang terjadi dengan gadis Indigo hingga berniat mengakhiri hidupnya?Let's read!WARNING:Ada OC buatan author.

Disclaimer:Pinjem bentaaaarrrr aja ya Naruto-nya, Om kishi... *sujud-sujud*



Chapter 1

TIME TO DEAD WITH PIANO

Dentingan tuts piano memenuhi ruangan musik itu. Dengan wajah sendu dan mata yang terlihat bengkak yang sepertinya habis menangis. Terlihat dari titik air mata yang sudah mulai mengering. Gadis bermata lavender dan bergaun lavender ini memainkan lagu Harmonia yang merupakan lagu favoritnya. Sambil memandang kedua buah foto.

"Naruto-kun... Sakura-chan... "gumam Gadis itu terus memainkan pianonya. Wajah pucatnya tampak sangat mengerikan. Seperti mayat hidup.

"Kau... Bunga Sakura yang berlumuran darah..."umpat Gadis itu pada salah satu foto seorang wanita berambut merah muda.

"Kepercayaan itu pun... Bisa pudar di bawa mati..."gumam Gadis itu pada foto lelaki berambut pirang.

"Uhuk!!!Uuuuh..."Cairan kental berwarna merah keluar dari bibir merah Gadis itu. Gadis itu mendekap dadanya yang terasa sesak itu.

Tanpa berpikir panjang, Gadis itu mengambil sebuah silet yang sudah ia temukan dibawah grand piano tadi. Bermaksud, mengakhiri hidupnya bersama Grand Piano lavendernya itu.

Perlahan, ia goreskan silet itu ke nadi lehernya. Gadis itu merintih pelan tanda dia kesakitan. Tanpa mempedulikan rasa itu, ia berniat menggoreskan silet itu ke pergelangan tangannya.

Seorang lelaki berambut coklat tak sengaja melewati ruang musik yang sudah tak terpakai. Melihat pintunya terbuka, lelaki ini penasaran dan memasukkinya. Tampak seorang Gadis berambut indigo siap menggores pergelangan tangannya dengan silet.

"Hi... Hinata-sama!! A-apa yang kau lakukan?!!"teriak Lelaki itu. Gadis bernama Hinata itu tak menoleh sedikit pun pada Lelaki itu.

"Neji-niisan... Maafkan aku... Aku harus melakukannya.. Sampaikan maaf ku pada ayah, katakan pada beliau aku sangat mencintainya... Maafkan aku..."ucap Hinata. Neji buru-buru berlari ke arah Hinata. Terlambat, Hinata sudah terlanjur menggoreskan pergelangan tangannya. CRAT!!!! Darah muncrat ke wajah Hinata dan Neji.

Hinata tergeletak ke bawah. Secarik kertas ikut terbawa. Neji mengguncang-guncang tubuh mungil Hinata itu.

"Hinata-sama?! Hinata-samaaaa!!!!"

***

"Hinata-chan!!!!!! Huhuhuhu... Kenapa?! Kenapa?!!"raung Miru. Gadis berambut biru bermata orange ruby sahabat sejak kecil Hinata ini, menangis dan meraung keras ketika tahu sahabat yang sudah menemaninya selama 16 tahun kini sudah tertidur untuk selamanya.

"Miru-chan... Sudah.. Jangan menangis... Hinata pasti juga sedih melihat kau menangis seperti ini.."hibur Kiba yang telah menjadi kekasih Miru itu.

Naruto diam tak bergeming. Matanya mengarah ke peti mati yang siap dikuburkan yang di dalamnya terdapat seorang gadis manis berambut indigo yang matanya tertutup selamanya. Walaupun matanya mengarah ke peti, tetapi tatapannya kosong.

Air mata mengalir begitu saja dari matanya. Naruto tetap diam. Tak mengucapkan sepatah kata pun. Cinta pertamanya... Gadis yang paling dicintainya.. Telah pergi... Naruto merasa pipinya menghangat.

"Naruto... "Kakashi menepuk pelan pundak Naruto. Naruto tetap diam, tak bergeming. Sakura yang melihat itu langsung menghampirinya.

"Naruto... Sudahlah... Jangan menangis terus..."ucap Sakura menghibur Naruto. Naruto memberi lirikan sinis ke Sakura.

"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!!!"bentak Naruto menepis tangan Sakura lalu pergi. Padahal, upacara pemakaman Hinata belum selesai. Daripada dia harus meledak dan menjadi kyuubi di tempat itu, lebih baik dia pergi, pikirnya.

Sakura terkejut. Tak biasanya Naruto bersikap kasar padanya. Sakura melirik peti mati yang akan dikubur itu. Seulas senyum tampak di bibir Sakura. Ino yang melihatnya curiga.

Naruto membanting pintu apartemennya. Ia merebahkan tubuhnya sambil menutupi wajahnya dengan tangannya. Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin, melepaskan semua kemarahan dan kesedihan di dadanya.

"AAAARRRRRRGGHHHHHH!!! HINATA-CHAN!!! KENAPA?! KENAPA KAU PERGI?! PADAHAL... PADAHAL, AKU BELUM MEMINTA MAAF PADAMU!!! AKU RINDU KAMU!!! Hiks... Hiks.. Maafkan aku..."teriak Naruto membanting semua barang yang ada di kamarnya itu. Air matanya deras. Lelaki berambut pirang ini memegang dadanya. Sakit.

Naruto mengambil sebuah bingkai foto. Dimana, terdapat dirinya dan Hinata sedang menikmati sebuah festival musim panas di Konohagakure. Hinata memakai yukata lavender dan obi putih bercorak bunga anggrek. Rambutnya yang panjang diikat setengah dengan ikat rambut lavender pemberian Naruto. Sangat manis dan anggun. Tetapi, semua itu hanyalah kenangan.

Tok... tok... Seseorang mengetuk pintu apartemen Naruto. Dengan malas, ia beranjak menuju pintu apartemennya. Dan, tampak seorang gadis merah muda berbaju hitam yang tersenyum padanya.

"Hay Naruto!"sapa Sakura. Naruto tak menyahut.

"Ada apa,Sakura?"Sakura terkejut. Tak biasanya Naruto memanggilnya tanpa suffix chan. Dan,terlebih lagi, Naruto tampak judes padanya.

"Tidak. Aku tadi hanya sekedar lewat dan ingin melihat keadaanmu. Huuffft... Apartemenmu berantakan sekali. Tak punya waktu kah kau membersihkan ini semua?"keluh Sakura. Naruto tak menjawab. Wajahnya masih tampak murung. Sakura menghela nafas.

"Sudahlah, jangan bersedih terus. Bagaimana kalau kita berkencan?"ajak Sakura. Naruto mendongakkan kepalanya. Sakura mengira Naruto akan menerima ajakkannya.

"Kau gila, Sakura?! Hinata-chan baru saja dimakamkan!!! Kuburannya pun masih basah!!! Dan, kau mengajakku berkencan?! Tidak punya perasaan!!!"bentak Naruto. Sakura terkejut.

"Kau tidak perlu membentakku, Naruto!Kalau kau tidak maupun, tidak apa-apa!! Aku hanya jengah melihatmu menangisi Hinata yang kini sudah tertimbun tanah itu!! Aku malah senang kini dia sudah mati!!!"sengit Sakura.

"Sakura!!! Jaga mulutmu!!!"PLAK!!! Naruto menampar Sakura. Sakura tersungkur jatuh.

"Naruto... How dare you!!! Beraninya kau menamparku!!"cerca Sakura. Nafas Naruto tersengal-sengal.

"Memang siapa dirimu sampai-sampai aku tak berani menamparmu?! Kalau aku mau, aku bisa membunuhmu!!! Dasar wanita jalang! Iblis!! Pergi kau dari sini!! Jangan pernah temui aku lagi!! Kita sudahi semuanya! YOU FUCKIN SUCH BITCH!!!"Naruto mendorong Sakura keluar.

"Ingat Naruto, berapa pun air mata yang kau keluarkan tak akan membuat Hinata hidup kembali!! Brengsek!!!"Sakura menendang pintu apartemen Naruto. Naruto tidak menghiraukannya. Di pikirannya saat ini, hanyalah penyesalan pada Hinata..

***

Neji merenung di kamarnya. Mengenang saat-saat ia bersama Hinata dulu. Saat ujian chunin, saat Neji hampir merenggut nyawa Hinata, kini Neji berusaha mati-matian melindungi nyawa Hinata dari siapapun. Ketika Hinata ada masalah, Neji siap jadi tempat pelampiasan masalah Hinata. Dan kini, semua itu terlalu cepat untuk di hilangkan. Neji merasa baru kemarin ia bersenang-senang dengan Hinata. Kenapa harus Hinata?Kenapa bukan dirinya saja?

"Hinata-sama... "seru Neji suaranya terdengar parau. Pipinya menghangat. Menangis.

Tanpa sengaja, ia menyentuh sebuah kertas yang ia temukan di samping jasad Hinata. Sejak melihat bunuh diri Hinata, sampai sekarang Neji belum membuka apa isi kertas itu. Dia masih terlalu sedih atas kematian Hinata.

Perlahan, Neji membuka kertas itu. Lama-kelamaan dahinya berkerut.

Terluka oleh pisau pengkhianatan. Tergores oleh sebilah kekejaman. Saat langit mulai sore, ketika Matahari oranye tenggelam, Bunga Sakura menebarkan kelopaknya, saat itulah Lavender layu dan dilupakan.

"Apa ini? Aneh sekali... Seperti teka-teki..."gumam Neji meneruskan membacanya.

Matahari oranye bangun kembali dengan sinar hangatnya. Sayang, Lavender telah layu. Sedikit dentingan piano lembut dan senyuman Matahari orange akan membuat Lavender tersenyum kembali.

"Mungkin ini teka-teki?"tebak Tenten membaca berulang-ulang kertas yang lusuh dan kusut. Neji hanya berpangku tangan saat ia menyuruh Tenten, Kiba, Shikamaru untuk menemuinya ke warung dango membicarakan hal ini.

"Aku juga berpikir seperti itu, tapi... Teka-teki apa?"sahut Neji. Tenten membaca lagi kertas itu. Shikamaru merebutnya.

"Ini... sepertinya sebuah pesan..."kata Shikamaru tak yakin.

"Pesan? Pesan apa?"tanya Kiba mengerutkan dahinya.

"Pesan yang menyuruh kita untuk menyelidiki apa yang terjadi dengan Hinata hingga dia bunuh diri dengan cara seperti itu..."jawab Shikamaru menopang dagu. Neji mengerutkan dahinya

"Tapi, apa yang dimaksud dengan matahari oranye, bunga sakura, dan lavender?"tanya Kiba. Shikamaru mengangkat bahunya.

Neji berpikir keras. Apa maksud semua ini? Matahari oranye, bunga sakura, lavender?? Aneh sekali...

***

Sakura mengusap rambut merah mudanya yang setengah basah itu. Kimono merah menutupi tubuh kurusnya. Ia mematut di depan cermin. Berputar-putar, mengagumi tubuh kurusnya itu.

"Hm... Aku cantik, sexy lagi...Kenapa Naruto malah lebih memilih Hinata daripada aku?Dasar bodoh..."ucap Sakura memuji dirinya sendiri.

Cewek bermata emerlad ini bergegas berganti pakaian, ia membuka lemari pakaiannya. Seketika, ada sebuah suara yang mengagetkan Sakura.

Ting. Seperti sebuah suara dentingan piano. Sakura terdiam. Sepertinya itu dari lantai bawah. Dengan langkah perlahan, ia turun ke lantai bawah. Di lihatnya Grand piano merahnya itu. Diam di tempat. Tak bergeming sedikit pun. Sakura menghela nafas.

"Mungkin hanya perasaan ku saja. Atau, kucing yang tak sengaja masuk ke sini? Dasar iseng!"keluh Sakura bergegas balik menuju kamarnya lagi.

Tetapi, baru saja dia membalikkan tubuhnya, ia mendengar piano itu berbunyi lagi. Kali ini, bukan 1 tuts saja. Tampaknya,piano itu bermain sendiri. Menciptakan sebuah lagu yang Sakura kenal. Padahal, di rumah itu hanya ada dirinya saja. Tak ada orang lain.

Harmonia. Itu yang terbenak di kepala Sakura. Lagu Harmonia. Lagu yang sangat Sakura kenal. Lagu favorit mantan sahabatnya itu. Bulu kuduk Sakura terasa berdiri. Ia tak berani membalikkan tubuhnya,t etapi ia penasaran. Tak mungkin piano itu bermain sendiri.

Perlahan, ia membalikkan tubuhnya sambil mengigit bibir bawahnya. Dengan gugup, ia membalikkan tubuhnya menghadap piano merah itu. Sakura memelotokan matanya.

Hinata. Dengan gaun lavender yang lusuh, lehernya penuh dengan darah. Jari-jarinya memainkan piano itu dengan lincah. Pergelangan tangannya membusuk. Tampaknya, darahnya menghitam. Sakura tak bisa bersuara. Dia ingin teriak, tetapi tidak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya.

"Apa kabar... Sakura?"Hinata berhenti memainkan pianonya. Ia sedikit tersenyum mengerikan, tanpa menoleh ke Sakura. Rambutnya menutupi setengah wajahnya.

"K-kau mau apa?! Bu-bukankah kau sudah mati?!"tanya Sakura gugup. Keringat dingin keluar dari dahinya. Hinata tak menjawab. Ia beranjak dari tempat duduknya.

"Aku? Aku mau sekelopak bunga sakura yang manis..."jawab Hinata perlahan melangkah ke Sakura. Sakura ingin lari. Tetapi, rasanya Hinata memberi genjutsu padanya agar tidak lari kemana-mana. Tentu mustahil, Hinata sudah meninggal. Kalau pun hidup, Hinata bukan ahli genjutsu.

"Jangan dekati aku!!"teriak Sakura membalikkan tubuhnya ingin berlari. Tetapi, Hinata sudah didepannya. Menghadang.

"Kenapa buru-buru, Cantik? Kau tidak rindu padaku? Kita kan... Sahabat... "ujar Hinata melangkah membuat Sakura mundur dan mundur.

"A-apa kau mau balas dendam?! Iya, balas dendam?! Ayo, bunuh aku!!!"tantang Sakura setengah panik. Pinggulnya menyentuh Grand piano merah itu. Ia ter-skak.

"...."

"Kenapa diam?! Kau mau balas dendam kan?! Ayo, bunuh aku!! Pengecut!! Pergi kau dari sini!!!"teriak Sakura. Tangannya menggegam pinggiran piano yang terbuka itu. Hinata diam. Lalu, menghilang. Sakura bernafas lega.

BRAKKKK!!!!!!!!!!!!!

"Kyaaaaaa !!!!!!!!!"jerit Sakura. Tangannya terjepit penutup piano itu. Saking kencangnya, rasanya jari-jari Sakura tidak dapat digerakkan. Ia berusaha mengeluarkannya.

"Ugh!! Arrrgggh!!! Hah... hah... Ugh!! Jariku... Tidak dapat digerakkan..."gumam Sakura. Kelihatannya, jarinya tampak retak. Tubuhnya mengigil ketakutan. Hinata benar-benar akan membunuhnya! Padahal, dia hanya bercanda berbicara seperti itu agar Hinata pergi. Ternyata, Hinata tidak main-main.

"Kau takut, Cantik?"tanya Hinata yang sudah di belakang Sakura. Sakura menoleh. Belum sempat melihat wajah Hinata, gadis berambut Indigo ini sudah keburu mencekik Sakura hingga tak bisa bernafas.

"Pengkhianatan itu sangat menyakitkan bukan? Bisa membuat satu nyawa menghilang..."ucap Hinata lirih. Kuku jarinya memanjang. Sakura melototkan matanya. Ia ingin berteriak, tetapi tak bisa.

"Dan, sebelum kau pergi bagaimana kalau aku mempercantik dirimu?"kata Hinata menyeringai. Perlahan, ia mencakar wajah Sakura dengan telunjuknya.

Sakura meringis kesakitan. Perih. Sakit. Hinata semakin keras mencakar wajahnya. Darah bercucuran dari wajah Sakura. Terbuat goresan-goresan luka yang mengerikan.

Entah mengapa, Hinata melepaskan Sakura begitu saja. Sakura jatuh tersungkur di bawah Grand Piano. Nafasnya tersengal-sengal. Ia terbatuk.

"Uhuk... Uhuk... Ugh... "Hinata diam di tempat. Tak bergeming sedikit pun. Sakura menatapnya dengan ketakutan. Ia mundur dengan tergesa menjauhi Hinata.

"Pergi!! Pergi kau!! Su... sudah puaskah kau hah?!!"teriak Sakura berlari ke kamarnya dengan tertatih-tatih. Ia membanting pintu kamarnya keras-keras dan segera menguncinya. Menyenderkan tubuhnya di pintu. Nafasnya tersengal-sengal.

"Tidak... Ini tidak mungkin terjadi... "gumam Sakura menangis ketakutan. Ia duduk di kasurnya dengan tubuh yang gemetaran.

Tes... Sakura tersentak. Suara itu? Seperti suara air yang jatuh dari atas. Sakura melihat telapak tangannya yang terasa dingin itu. Setetes cairan berwarna merah. Seketika, Sakura merinding. Dengan perlahan, ia mendongakan kepalanya melihat langit-langit kamarnya. Mata Sakura membulat seakan ingin keluar melihat apa yang ada di langit-langit kamarnya.

Darah berwarna pink akan segera aku musnahkan... Jadi, tunggulah saat kereta kematian menjemputmu... Sakura...

Sebuah tulisan di langit-langit kamar Sakura yang di tulis dengan darah oleh Hinata membuat Sakura ketakutan luar biasa. Air matanya menumpuk di pelupuknya.

"TIDAAAAKKKKKK!!!!!!!!!!!!!"

***

Ino mengerutkan dahinya. Rasa curiga memenuhi perasaannya sekarang. Ia membalut luka di wajah dan jari Sakura yang remuk itu. Wajah Sakura tampak seperti orang yang dikejar oleh seorang psikopat.

"Kau yakin tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali... "tanya Ino meletakkan kembali perbannya ke kotak obat. Sakura mengangguk.

"Benarkah jarimu itu remuk karena terjepit pintu? Dan, luka di wajahmu itu terbuat saat kau sedang naik sepeda terjatuh?"
tanya Ino curiga. Sakura terkejut. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya.

"I... iya. Benar!! Masa kau tidak percaya dengan ku sih, Ino?"jawab Sakura berusaha meyakinkan Ino dan menutupi semuanya. Ino mengerutkan dahinya. Melihat luka di wajah dan jari Sakura.

Hmmm... Tidak mungkin ada orang terjepit pintu hingga remuk seperti itu. Mungkin, hanya bengkak atau luka dalam saja. Dan, separah-parahnya orang jatuh dari sepeda, tidak mungkin hasil goresannya lurus seperti itu. Seperti sebuah cakaran.

"Baiklah Sakura... Sudah selesai... Nanti, kalau kau butuh apa-apa bilang aku ya.."kata Ino menutup kotak obatnya.

"Ino... Apa... Aku boleh menginap di sini semalam saja?"pinta Sakura menundukkan kepalanya. Menginap? Meski mereka telah bersahabat sejak bertahun-tahun, Sakura tak pernah menginap di rumahnya kecuali kalau dia lagi ada masalah atau bosan di rumah atau apalah yang menyebabkan dia tidak betah di rumahnya.

"Masalah apa?"tanya Ino sebelum menjawab. Sakura diam. Tangannya bergetar. Ino tahu itu. Sebagai ninja petarung dan ninja medis, ia bisa meneliti perbedaan yang ada pada orang yang sedang berbicara dengannya.

"Ti-tidak... Aku hanya ingin menginap saja di rumahmu... Aku bosan di rumah... Bolehkah?"pinta Sakura lagi. Ino menghela nafas. Ino tahu, bahwa sahabatnya ini menutupi sesuatu darinya. Tetapi, Sakura tampaknya memang tidak ingin masalahnya diketahui orang lain termasuk Ino. Daripada memulai pertengkaran, Ino lebih memilih diam dan menganggukan kepalanya. Yah, setidaknya sahabatnya ini masih mau menemuinya walau tidak menceritakan apa yang terjadi dengannya.

***

Kiba, Tenten, Neji dan Naruto sedang berkumpul di depan makam Hinata. Mereka menemani Naruto yang sejak 2 malam tak kembali ke apartemennya hanya karena ingin melihat makam Hinata. Wajahnya pucat, bibirnya membiru. Matanya tampak lelah dan sayu.

"Naruto... Sudahlah... Jangan bersedih terus... Kalau kau menangisi Hinata terus, Hinata juga pasti sedih melihat kau bukan Naruto yang dulu periang..."hibur Tenten. Naruto tetap diam tak menjawab. Memegang nisan Hinata.

"Kalian tak tahu bagaimana rasanya di tinggal orang yang mencintai kalian sepanjang hidupnya... Dan aku, adalah orang terbodoh sepanjang masa karena menyia-nyiakan itu semua..."ucap Naruto lirih.

"Ya kami tahu itu... Tapi... "belum selesai Kiba berkata Naruto memotongnya.

"DIAM KALIAN!!!!! KALIAN TIDAK MENGERTI PERASAAN AKU!!!!!!! JANGAN SOK PEDULI PADAKU!!! PERGI DAN TINGGALKAN AKU DI SINI SENDIRI BERSAMA HINATA-CHAN!!!!!"bentak Naruto mengusir teman-temannya. Kiba terkejut.

"Haaaaaa... Sudahlah... Dia memang kepala batu... Kalau begitu, aku pulang dulu ya. Mau menjenguk Miru-chan. Kata Hito-niisan dia menangis terus-menerus dari pagi. Ja matte... "Kiba melambaikan tangannya. Yang lainnya masih menunggu Naruto yang menangis meraung-raung di depan makam Hinata.

Tak akan ada tempat bagi seorang pengkhianat...

TBC........


Walah!!! Bagus ga? Bagus ga? *mata berkedip-kedip*. Ini fic editan aku yang sebelumnya ceritanya tuh kacau banget! Makanya aku edit lagi. Please review.... –w-