The Last Nine Stars

Touken Ranbu punya Nitroplus dan DMM

Asami punya saya, author amatiran

Enjoy ;)

.

.

.

CHAPTER I-The Beginning

Dingin. Hujan rintik-rintik mengusir sepi senyap malam tak berbintang. Genangan air di tanah memantulkan sinar cahaya lampu yang remang dalam gelap. Suara katak terdengar bersahutan, menemani tangisan langit.

Seorang gadis berambut pendek tampak duduk menekuk lutut di selasar dengan yukata basah yang menempel erat di tubuh. Kepalanya tertunduk. Gigilnya semakin menjadi tatkala angin berhembus. Cepat-cepat, didekapnya lutut dengan erat. Ujung yukata tersibak menjauhi mata kaki, memperlihatkan sepasang betis pucat kurus yang penuh lebam.

"Asami!"

Suara halus yang terdengar khawatir memanggilnya. Gadis kecil itu mengangkat kepala. Seorang gadis remaja datang dengan tergopoh-gopoh. Sanggul rambutnya yang tak terikat erat tampak bergoyang.

"U-Ume-san?" kata Asami dalam gigil. Suaranya terdengar seperti burung pipit. "Ume-san, mengapa datang ke sini?"

"Tak usah banyak omong dan makanlah!" Ume duduk di dekatnya dan mengulurkan sebuah bungkusan. "Aku baru saja memotong jatah makanku."

Onigiri. Sederhana namun mengundang selera, terutama untuk perut yang lapar. Asami menelan ludah. "Ta-tapi…"

"Sudahlah! Makan saja! Kau bisa sakit nanti!"

Asami langsung melahap bola nasi itu tanpa ragu. Ceceran nasi yang berjatuhan pun dimakannya tanpa sisa. Ia amat kelaparan.

"Lagipula, kau ini," Ume menghela napas. "Bisa-bisanya membuat kesalahan lagi. Lihat kan? Kau dihukum lagi! Kubilang apa, tidak usah cari masalah!"

Asami terdiam. Ia masih berkonsentrasi pada onigirinya.

"Dengar, Asami," kata Ume perlahan. "Kita tidak punya keluarga. Kita ini hanya pelayan yang akan bekerja seumur hidup di penginapan ini. Takkan ada rumah lain selain di sini. Jika kau tak ingin diusir, maka bekerjalah dengan baik."

"Apakah kita tidak akan menemukan hidup yang lebih baik?" tanya Asami.

Ume menggeleng. "Hanya ini yang kita punya," kata gadis remaja itu. "Bila Okaa-san tidak memperkerjakan kita, entah apa yang terjadi."

Kedua gadis itu terdiam. Gerimis berubah menjadi hujan.

"Kembalilah ke kamarmu, Ume-san," ujar Asami perlahan. "Bila ketahuan, kau akan dihukum juga."

"Ah, lihat wajahmu," Ume menyentuh pipi Asami yang sedikit kemerahan, seolah tak mendengar lawan bicaranya. "Andai aku bisa menolongmu."

"Ini sudah cukup. Terima kasih atas makanannya."

"Kalau begitu aku kembali ya!"

"Selamat beristirahat, Ume-san."

Kehilangan lawan bicara membuat Asami kembali disergap sunyi. Kepalanya mendongak, menatap langit yang entah mengapa semakin bertambah pekat. Penginapan bergaya tradisional ini menjadi tempatnya bernaung dari derasnya hujan.

Dulu, dulu sekali, ruang bawah tanah yang sempit menjadi tempatnya bernaung bersama anak-anak kecil lainnya. Berbeda dengan yang lain, Asami tidak pernah mencari-cari ayah dan ibunya. Ia tak ingat apapun. Yang dirinya tahu hanyalah namanya dan ia telah berada di tempat ini begitu saja. Gadis itu takkan keluar kecuali ketika seorang pria bertubuh pendek akan menarik tangannya lalu membawanya keluar, menuju dunia asing dari balik pintu besi kecil itu. Asami kira ia tak akan pernah keluar, ketika banyak dari temannya pergi menuju dunia di balik pintu dan digantikan oleh anak-anak yang baru datang beberapa hari setelahnya.

Namun, pada hari itu, pria itu menariknya paksa. Membawanya pada seorang wanita tambun yang duduk di balik meja. Asami dan beberapa anak lainnya tertunduk takut. Seringai wanita itu mengerikan.

"Nah, anak-anak," katanya. "Sekarang aku ibu kalian. Panggil aku Okaa-san."

Sejak saat itu, Asami tahu, dunia dari balik pintu itu tak seramah yang ia kira.

-iii-

"Asami, tolong ke dapur! Ambilkan aku beberapa kain!" kata Ume. Rutinitas pagi hari berlanjut seperti biasa meski matahari belum naik benar. Genangan air di tanah memantulkan bayangan langit yang masih muram. Suara cicit burung beberapa kali terdengar.

"Baik!" Bergegas Asami menuju dapur. Langkah kakinya begitu ringan seolah rasa sakit yang ia rasakan semalam mendadak hilang. Kembali ia disambut hawa hangat dari uap yang mengepul di ringan di dapur. "Hei, Asami!" kata juru masak, seorang wanita bertubuh kurus, yang tengah mengaduk sesuatu di dalam panci. "Wajahmu belum sembuh kan?"

"Iya," Asami tersenyum. "Kurasa aku akan kembali bekerja di dapur."

Juru masak itu menggeleng heran. "Dan kau masih bisa tersenyum, dasar aneh," katanya. "Katakan pada semuanya, sarapan sudah siap!"

"Baik!"

Hilir mudik para pelayan, pria-wanita berwajah tegar, tidak menghalangi langkah cepat Asami. Beberapa kali, ia kena tegur pelayan yang bertugas mengepel lantai. "Maaf!" katanya seraya menghindar gesit. "Ah, ya, sarapan sudah siap!"

"Asami!" Ume melambai. "Ayo cepat!"

Gadis kecil itu berlari. "Ume-san, sarapan untuk kita sudah siap!"

Ume menyeka keringat. "Kalau begitu cepat bantu aku!"

-iii-

Matahari hampir naik. Sinar kuning keemasan berhasil menyisip di antara awan kelabu. Di balik tinggi pagar kayu penginapan itu, seorang pria tua duduk bersila. Ia mendongak, entah apa yang dipandangnya. Jarinya yang kotor sesekali menggaruki seluruh tubuhnya yang terbalut pakaian lusuh. Di sebelahnya bersandar sebuah benda panjang, semacam tongkat, yang terbungkus kain.

"Ojii-san! Maaf lama menunggu!"

Pria itu menoleh. Seorang gadis kecil berambut pendek menghampirinya.

"Asami-chan," Ia tersenyum. "Kau datang lagi?"

Asami duduk di dekatnya. "Silakan," katanya seraya mengulurkan sebuah bungkusan. "Belum aku makan kok."

"Kau memotong jatah makanmu lagi?"

"Yah, begitulah, hehe."

"Dasar. Ini terakhir kalinya aku menerima makananmu ya! Aku bisa cari sendiri!" Pria itu membuka bungkusan itu lalu memakan isinya dengan lahap.

Asami memperbaiki posisi duduknya. "Ojii-san harus segera pergi dari sini," katanya prihatin. "Kalau ketahuan ada di sini, Ojii-san bisa dipukuli."

"Biar saja," kata pria itu di sela kunyahannya. "Gadis kecil sepertimu saja tahan dipukuli. Seharusnya aku yang seorang laki-laki ini lebih tahan lagi."

Asami memegang lengannya, menutupi beberapa goresan dan lebam yang ada di sana. Ia tertunduk. "Kurasa aku akan kembali bekerja," katanya setelah terdiam beberapa saat. "Sampai jumpa."

Asami melangkah di antara gang sempit, kembali ke rutinitas hariannya yang terasa begitu mencekik. Beberapa kali ia berpikir untuk melarikan diri bersama Ume, tapi Ume berkata benar. Hanya di sini tempatnya. Sebuah penginapan yang terletak di ujung kota yang begitu tenang, tak tersentuh keramaian dan tangan hukum. Lebam dan luka yang ditemukan di tubuh pelayannya menjadi hal yang wajar. Sudah menjadi rahasia umum. Hanya saja tidak di depan para tamu. Oleh karena itu, dengan lebam dan lukanya, Asami harus kembali bekerja di belakang.

Bara api terasa membakar kulit. Abu yang bertabur dalam asap membuat matanya pedih. Asami memalingkan wajah sebelum kembali mengipasi bara api dengan kipas berbentuk bulat, memastikan nyalanya tak redup. Bunyi meletup kuah kaldu terdengar dari kuali. Kadang ia heran mengapa dapur ini masih menggunakan tungku yang membuatnya menderita.

"Oi, cepatlah!" Sebuah seruan berasal dari luar dapur. "Waktu sarapan untuk tamu hampir tiba!"

"Iya, dasar cerewet!" seru sang juru masak. "Asami, apinya sudah cukup! Cepat gantikan aku!"

Asami mengangguk lalu berlari mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil alih isi kuali itu. Aroma kaldu mengusik indera penciumannya. Sayuran yang ada di dalamnya membuat perutnya yang seperempat terisi berbunyi. Ia menelan ludah. Apa kucicipi sedikit saja ya?

Setelah menoleh kanan-kiri, tangannya menuangkan sedikit sup dalam mangkuk kecil lalu mencicipinya. Eh? Kok rasanya kurang pas? Biasanya tidak begini…. Asami tercenung sejenak. Dengan cepat, ia menuangkan sedikit bumbu ke dalam sup lalu mengaduknya dengan hikmat sebelum sebuah jitakan mendarat di ubun-ubunnya.

Asami memekik kesakitan. Rasa sakit di kepalanya yang belum hilang benar terasa berdenyut-denyut.

"Hei, apa yang kau lakukan?! Kau mau meracuni tamu, hah?!" bentak juru masak lain. Kini seorang laki-laki bertubuh gemuk.

"Ti-tidak!" seru Asami. Beberapa pasang mata memandang ke arahnya dengan tatapan tak percaya. "Aku hanya memasukkan sedikit bumbu!"

"Jadi kau meragukan racikanku, hah?! Kau hanya merusak rasanya saja!"

"Sudahlah!" bentak Ume yang tiba-tiba datang. "Cicipilah dulu sebelum menilai!" Ia menuangkan sedikit sup lalu menyodorkannya. "Rasakan dengan lidahmu!"

Dengan segan, pria itu menyesap kuah sup. Beberapa saat kemudian, ia terdiam. "Cepat sajikan!" bentaknya lagi.

Asami menghela napas seraya menatap Ume yang mengedipkan mata.

-iii-

Tak seperti malam sebelumnya, langit tak lagi kelam. Bulan purnama bersinar begitu terang hingga mampu menyusup masuk ke ruangan remang yang tengah dibersihkan Asami. Futon yang telah terlipat rapi dimasukkan ke dalam lemari. Sesekali gadis itu memandang sekeliling, memastikan bahwa tak ada setitik noda pun di tatami. Ia bernapas lega. Jam usai makan malam adalah detik-detik menjelang waktu istirahat para tamu lalu bagi para pelayan. Tubuhnya yang pegal serasa merindukan futon kempis yang biasa ditidurinya.

Baru saja ia melangkah keluar, terdengar suara Okaa-san.

"Ume! Cepat minta maaf pada Kimura-dono!"

"T-tapi, saya..."

"Jangan terlalu kasar padanya, Yuri-san," Terdengar suara berat seorang pria yang tengah mabuk. "Gadis remaja memang pemalu ya!"

"Ja-jangan sentuh aku!" Ume menjerit.

Asami bergegas menghampiri mereka. Terlihat Ume, dengan sebelah tangannya yang dipegangi Okaa-san, terlihat ketakutan berhadapan dengan seorang pria berkulit coklat gelap. Sebotol sake berada di genggaman tangannya yang berbulu.

"Berapa harganya, Yuri-san?"

Asami terbelalak. Mendadak ia berseru, "Apa yang kalian lakukan pada Ume-san?!"

Ketiga orang itu menoleh padanya. Ume terlihat memasang wajah lega selama beberapa detik sebelum akhirnya wajahnya mengerut takut. "A-Asami?" katanya dengan suara bergetar. "Ka-kau harus pergi!"

"Pergi, gadis tengik!" seru Okaa-san murka. "Kau hanya merusak pemandangan saja! Mau kuhukum lagi, eh?"

"Lepaskan Ume-san!" Tanpa takut Asami kembali berteriak.

"Kau…"

"Tunggu, Yuri-san," Pria itu menghadang langkah pemilik penginapan itu tengan sebelah tangannya. Matanya mengamati Asami dengan cermat, memindai tubuh gadis itu dari atas ke bawah berulang kali, sebelum akhirnya membisikkan sesuatu ke telinga Okaa-san. Wanita itu mengangguk-angguk.

Okaa-san berdeham, "Asami, kemarilah."

Asami menghampiri mereka dengan ragu. Okaa-san tidak melepas tatapan matanya yang tajam.

"Lari, Asami!" pekik Ume tiba-tiba. "Dia akan menjualmu!"

"Eh?" Asami tercekat.

"Lari!"

Teriakan Ume menjadi cambuk baginya. Secepat mungkin Asami berlari cepat, menyusuri koridor dengan menimbulkan bunyi derap di setiap langkah. Sesekali ia menabrak dinding di setiap belokan meski tubuhnya mampu menyesuaikan diri dengan baik.

"Kejar dia!"

"Asami! Lari!"

Bunyi derap di belakangnya semakin dekat. Asami mempercepat larinya. Satu-satunya tempat yang terpikirkan olehnya untuk menjadi pintu keluar hanyalah lubang menganga di pojok pagar kayu tinggi yang terletak di belakang penginapan, tempat keluarnya ketika ingin mengunjungi si kakek tuna wisma.

Tanpa ragu, gadis itu menyusupkan tubuhnya yang mungil ke dalam lubang yang sedikit bergerigi itu.

"Anak itu lari ke sini!"

Astaga!, tanpa sadar Asami memaki. Bagaimana mungkin di saat segenting ini tubuhnya tidak bisa melewati lubang ini seperti biasa? Ayolah! Asami memaksa dirinya.

"Itu dia!"

Asami berjuang keluar. Ada yang menahanku!, pikirnya seraya menoleh ke belakang. Lengan yukatanya tersangkut!

Ia baru saja akan mengulurkan tangannya tapi beberapa orang, pria-pria bertubuh besar yang biasa memukulinya, semakin mendekat. Gadis kecil itu terbelalak ngeri.

SRET! Dengan sekali hentakan, Asami berhasil keluar. Ia terguling di tanah dengan lengan yukata yang robek. Ada sedikit goresan merah di kulitnya yang telanjang. Menghiraukan rasa perih yang mulai menyebar, gadis itu kembali berlari ke arah kegelapan yang lengang.

Lari…lari…lari…

Seolah seluruh hidupnya bergantung pada telapak kaki yang mulai perih karena harus beradu dengan jalanan yang kasar. Seolah seluruh napasnya bergantung pada dadanya yang mulai terasa sesak. Seolah seluruh jiwanya bergantung pada jantung yang ingin melompat keluar.

Asami berlari tak tentu arah. Yang ia tahu hanyalah berlari sejauh-jauhnya sehingga suara para pengejarnya hilang dalam senyap. Setiap belokan tak dilewatkan. Setiap celah disusupinya. Tak peduli berapa kali ia terjatuh tubuhnya bangkit kembali. Seakan seluruh alam memerintahkannya untuk lari!

.

.

.

Halo, perkenalkan saya Kanikan18 masih baru di fandom TKRB

Untuk yang pernah baca chapter ini maaf sekali masih berantakan hikseu

Cerita ini berkutat pada Asami, bekas budak belian ceritanya

Penasaran gimana dia bisa jadi saniwa? Gak penasaran? Ya sudah. Yang penting para readers sudah berkenan membaca ff ini. Makasih loh ya…

Anyway pintu review dan QnA selalu saya buka di semua chapter

See you on next chapter!