Pressure

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

WARNING: OOC, AU, penggunaan bahasa non-baku untuk dialog, drama banget, plot akhir masih belum ditentukan.

Happy reading!

Ketika menemukan dirinya terbangun di sudut ruang tamu Naruto, tertidur hanya berbantalkan jaket miliknya di atas lantai, Sasuke sontak memaki. Dentuman keras seketika menghantam kepalanya dan membuat ia memutuskan untuk kembali berbaring di lantai. Ia mabuk, sudah pasti itu. Keadaan ruang tamu Naruto yang masih penuh dengan kaleng-kaleng bir kosong bisa jadi bukti paling kuat, juga ditambah pening yang ia rasakan dan perut yang mendadak mual.

Ini sudah kesekian kalinya Sasuke mabuk di rumah Naruto. Sejak dua minggu terakhir reuni mereka, dan keputusan Sakura yang membuatnya baper berkepanjangan, menambah rumit keadaan. Ia tidak tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini. Tujuh bulan lalu ia yakin sudah tidak mencintai Sakura hingga akhirnya memilih memutuskan hubungan dan berhubungan dengan Shion, rekan kerjanya. Jika harus jujur, tujuh bulan terakhir terasa biasa-biasa saja jika dibandingkan delapan tahun kebersamaannya bersama Sakura. Tapi genetik Uchiha yang kental akan keras kepala terlalu mendominasi struktur-struktur dalam pembuluh darahnya. Ia bertahan pada Shion, dengan harapan ia bisa mencintai gadis itu, lalu melupakan Sakura yang dianggapnya tidak lagi ia cintai. Tapi berita itu muncul; soal kedekatan Sakura dengan pria lain, yang akhirnya memaksa sesuatu muncul dalam dirinya.

Marah? Ya.

Cemburu? Mungkin.

Ingin rasanya Sasuke mengguncang-guncangkan kepala merah jambu Sakura, mendesak apa yang gadis itu lihat dari si dokter berambut merah. Tapi Naruto benar. Sakura bukan siapa-siapanya lagi. Ia tidak berhak menuntut apapun dari gadis Haruno itu setelah apa yang ia lakukan beberapa bulan terakhir. Perbuatannya ketika malam reuni yang meminta maaf dan ingin membuat hubungan mereka kembali berhasil adalah suatu tindakan egois.

Bukan hanya melukai satu gadis, tapi ia juga akan melukai gadis lainnya yang telah ia beri janji. Suatu fakta yang sangat ia benci tapi tidak bisa diuraikan begitu saja.

Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit untuk membuat kepalanya sedikit lebih baik, Sasuke bangkit dari lantai. Ia langsung menuju area dapur. Dari ujung lorong samar-samar tercium bau pancake dan wangi kopi. Ia mempercepat langkahnya.

"Sadar juga lo akhirnya?" adalah kalimat dari Naruto yang menyambutnya.

Sasuke menggumam asal sambil mengambil tempat di meja makan. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Naruto menghidangkan sepiring pancake tanpa toping dan kopi hitam pekat ke hadapan Sasuke. Ia lalu duduk di kursi bersebrangan dengan Sasuke dengan sereal dan segelas susu cokelat sebagai sarapan.

"Shika mana?" tanya Sasuke setelah suapan ketiga.

Naruto menyempatkan diri mengunyah serealnya sebelum menjawab, "semalam kan dia udah balik. Parah banget emang lo. Mau sampe kapan sih mabok terus di tempat gue?"

Sasuke mengangkat kedua bahunya cuek. Ia memilih tidak menjawab pertanyaan Naruto karena sesungguhnya ia pun tidak tahu harus menjawab apa. Sampai ia bisa mensortir perasaannya sendiri? Atau sampai Sakura memutuskan bahwa pria berambut merah itu tidak pantas untuknya? Tch. Memikirkannya saja membuat kepalanya langsung berdenyut sakit lagi. Buru-buru ia meminum kopi pekatnya, berharap rasa sakit itu hilang.

Setelah menaruh cangkir, tanpa sengaja ia menangkap pandangan Naruto. Si bodoh itu tengah menyeringai seperti orang idiot.

"Kenapa lo?" tanya Sasuke.

"Lo nggak ingat semalam lo ngapain aja?"

Kening Sasuke sontak berkerut. Sepenggal ikatan lewat di pikirannya seperti putaran film. Goyang erotis yang ia lakukan di atas meja kerja di perpustakaan pribadi milik ayah Naruto; memasukkan ayam hidup ke dalam lemari pendingin; hingga membuang seluruh peralatan berwarna merah yang ada di dalam rumah Naruto—termasuk bra milik bibi Kusina. Dan…

Sasuke menutup wajahnya dengan sebelah tangannya sambil mengerang keras. "Please, jangan bilang gue nelpon Sakura lagi."

"Kagaaaak…"

Sasuke kaget. Ia menatap Naruto dengan pandangan tanya. Dua minggu terakhir, selama karir mabuknya di rumah Naruto, Sasuke sudah melakukan sederetan tingkah memalukan. Yang paling epik dari semua tingkah-tingkah itu adalah ketika ia menghubungi Sakura dan merengek-rengek agar Sakura tidak bersama si pria merah. Selama ini Sakura tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu, sesuatu yang sangat Sasuke syukuri mengingat ia sendiri tidak tahu harus menyampaikan alasan seperti apa. Tapi itu pun karena selama dua minggu ini Sakura sangat sibuk di tempat kerjanya. Dia tidak memiliki waktu untuk menelpon Sasuke ataupun bertemu untuk sekedar bertegur sapa.

"Lo nggak nelpon Sakura," lanjut Naruto. "Cuman sms-sms dikit." Tawanya lalu menggelegar di sepenjuru dapur.

Sasuke langsung merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan panik ia mengecek seluruh aplikasi sosial medianya. Mengecek satu-satu hingga berakhir di aplikasi pesan. Deretan pesan dengan sejuta typo yang ia kirimkan untuk Sakura membuatnya menghela napas panjang. Satu lagi dari kebodohan Sasuke…

Setelah puas tertawa hingga membungkuk di atas lantai, Naruto berdeham beberapa kali. "Sas," panggilnya.

Menyadari keseriusan dari intonasi suaranya membuat Sasuke awas. Naruto terkenal akan kebanyolannya dan jarang bertingkah serius. Tapi sekali dia menampilkan keseriusannya, berarti dia sungguh-sungguh tidak bercanda.

"Mau sampai kapan lo begini?"

Sasuke kembali mengangkat bahunya.

"Gue serius, Sas. Lo ngajak Sakura balikan di saat lo masih sama Shion. Lo bukan aja nyakitin Sakura tapi juga Shion," lanjutnya.

Kayak fakta itu nggak jelas aja.

"Gue bingung, bego," respon Sasuke. Ia paling tidak bisa jika harus menampilkan sesuatu yang berhubungan dengan perasaan. Curhat dengan Naruto, yang terbilang orang paling mengenal dirinya sejak dulu, bahkan masuk dalam hitungan. Tapi, sekali lagi, Naruto benar.

"Gini deh. Gue bakal kasih lo saran tapi gue nggak tau itu bakal berhasil atau nggak."

Satu kening Sasuke terangkat, tanpa verbal ia menyuruh Naruto melanjutkan.

"Lo ingat situasi gue sama Hinata pas kelas tiga?" Sasuke mengangguk. Saat itu mendekati ujian kelulusan. Naruto dan Hinata baru sebatas teman sekelas yang bertingkah seperti orang pacaran. Masalah muncul ketika Hinata didekati seorang pemuda dari sekolah lain hingga membuat Naruto bertingkah seperti cacing kepanasan. Masalah lainnya adalah saat itu Naruto sedang berkomitmen dengan gadis lain. Tidak ada yang tahu kenapa mereka berdua bisa berakhir bersama tiga hari menjelang upacara kelulusan. "Waktu itu gue galau abis, cuy. Lo ingat kan? Kakashi sampe nelpon bokap gue ngaduin gue yang tanpa sadar suka nangis sendiri di kelas dikira kesurupan?"

"Hn."

"Waktu itu, gue mikirnya simple aja. Gue cuman mikir kalau seandainya Tami dideketin cowok lain gue bakal gimana. Dan, kalau seandainya, Hinata beneran jadian sama tuh cowok, gue bakal gimana. Jadi, ya, gue akhirnya mutusin Tami dan ngejar Hinata."

Mungkin pengaruh kadar alkohol yang masih tersisa di pembuluh darahnya membuat Sasuke tidak paham apa hubungan antara masa lalu Naruto dan sikonnya dengan Sakura. Ia memutuskan untuk bertanya.

"Maksud gue, coba lo bayangin," jawab Naruto. "Gimana seandainya Shion dideketin cowok lain saat ini, dan Sakura beneran jadian sama si dokter Rei itu, terus mereka ciuman, jatuh cinta, terus nikah, terus punya anak dan mereka hidup bahagia selama-lamanya. Mana yang paling bikin lo kesel?"

Bayangan Sakura yang dirangkul oleh sosok anonim berambut merah membuat emosinya perlahan beranjak naik. Tanpa sadar ia menggenggam sendoknya dengan tekanan sedikit lebih kuat hingga membuat jari-jarinya memutih. Naruto yang menyadari adanya perubahan pada rahang Sasuke yang mendadak mengeras, tertawa kecil. "Lo udah dapet jawabannya."

Sasuke mendengus kasar. Ia melempar sendoknya ke atas meja—nafsu makannya langsung hilang digantikan nafsu ingin menguliti seseorang yang berambut merah. Sebisa mungkin gambaran tentang Sakura yang melakukan adegan rated MA dengan pria lain—bukan hanya berambut merah; tapi juga dengan beragam warna termasuk berambut putih yang membuatnya ingin menikam Sui—dihilangkan dari pikirannya. Tidak pernah ia kehilangan kendali emosi seperti ini (pengecualian di malam reuni di mana ia menangis seperti anak kecil.) Dan sejujurnya, hal ini membuatnya ketakutan.

"Manusia emang butuh pressure," gumam Naruto. "Tapi bukan berarti lo harus ikut cara gue," katanya lagi dengan suara sedikit lebih keras.

Sasuke menggeram. "Lo udah masukin ide Sakura ciuman sama cowok lain ke otak gue dan sekarang lo bilang nggak harus ikut cara lo?" desisnya.

Naruto mengangkat kedua tangannya, menampilkan gestur menyerah. "Bukan berarti lo juga nggak harus nggak ikut cara gue. Yang mau gue bilang, waktu kejadian gue sama Hinata gue tau apa yang gue mau. Gue mau Hinata, titik. Cara gue bayangin dia sama cowok lain cuman sebagai jembatan gue buat mutusin apa yang gue mau. Sekarang lo. Lo nggak suka Sakura sama cowok lain. Lo maunya apa? Ngejar Sakura lagi? Silahkan. Mumpung dia belum jadian sama orang lain. Atau lo mau tetep denial kayak apa yang lo lakuin tujuh bulan lalu? Silahkan juga. Tapi gue ingetin," telunjuk Naruto mengarah tepat di hidung Sasuke. "Kalo lo milih denial dan masih tetap bertingkah kayak gini ke Sakura, sorry to say, gue bakal berdiri di samping Ino. Gue cinta lo, Sas, tapi biar gimanapun juga Sakura itu sahabat gue. Dan lo ada di pihak yang salah—kalau lo milih denial, ya."

"Lo pikir gampang mutusin hubungan?" kata Sasuke setelah terdiam selama beberapa menit. Kata-kata Naruto menyerap cepat di otaknya, tapi ada yang lebih mendesak. Memutuskan hubungan tidak segampang itu.

Naruto mendengus kasar. "Please. Lo mutusin hubungan delapan taun sama Sakura gampang banget," kata Naruto sadis. "Lagian seserius apa sih lo sama Shion? Gue liat biasa aja, kayak orang temenan. Mesraan lo sama Hinata lagi."

Dengan gusar Sasuke mengacak surai kehitamannya. Ia memijit spasi di antara kedua matanya dan bergumam, "gue udah nyakitin Sakura, Nar. Gue nggak mau nyakitin orang lain lagi."

Naruto terdiam. Ia memandang Sasuke selama beberapa detik sebelum mengalihkan atensinya pada serealnya yang belum habis. Keduanya duduk dalam keheningan selama beberapa saat hingga Naruto memutuskan untuk bergumam pelan. "Okay." Dia lantas bangkit dari duduknya. Sereal yang belum habis dibuangnya ke tempat sampah. Lalu dengan keras dibantingnya peralatan makan ke atas wastafel. "Shion, it is." Dia menepuk pundak Sasuke singkat sebelum keluar dari dapur.

Sebelum kembali dari kediaman Uzumaki, Sasuke sempat bertanya pada Naruto tentang bagaimana dia bisa memutuskan Tami tanpa rasa bersalah sedikitpun. Pemuda kuning itu hanya menjawab;

"Lo yang masih sempat mikirin perasaan Shion nunjukin kalau sebenarnya lo peduli sama dia."

Dan kini, di dalam mobil menuju ke arah rumah sakit tempat Sakura bekerja, Sasuke kembali memikirkan percakapannya dengan Naruto. Ia tidak suka melihat Sakura bersama pria lain, tapi di sisi yang satu ia tidak juga suka kalau harus kembali menyakiti gadis lain. Mendadak pikiran itu membuatnya tersentak kaget.

Keyword: gadis lain.

Jadi kalau pun bukan Shion, apa ia tetap akan memilih untuk tidak memutuskan hubungannya yang sekarang? Jadi ini bukan soal Shion, tapi mungkin, mungkin, perasaan bersalahnya pada Sakura tujuh bulan lalu yang memaksanya untuk membangun dinding pertahanan? Damn. Hubungan percintaan memang lebih rumit dari teori-teori fisika. Pengalamannya yang hanya bersama dua orang gadis juga tidak banyak membantu.

Memasuki pelataran rumah sakit pikiran Sasuke masih belum terbentuk. Ia sudah berencana meminta nasihat pada kakak sulungnya malam nanti—dengan harapan bahwa Itachi tidak akan menggunakan curhatannya sebagai senjata untuk membuat Sasuke menjadi babysitter selama liburannya ini.

Setelah memakirkan mobilnya di tempat milik direktur (belum tahu ya ibunya direktur di sini?) Sasuke menyusuri lorong menuju gedung tempat ruang kerja Sakura. Sebelum putus hubungan, ia sempat beberapa kali datang ke tempat ini untuk mengajak Sakura makan siang di luar. Tapi pada saat itu Sakura belum menjabat sebagai kepala bagian. Namun sekarang gadis itu sudah memiliki ruang kerjanya yang prestisius yang tidak Sasuke ketahui lokasi tepatnya. Jadi Sasuke memutuskan singgah di meja suster untuk bertanya.

Ada beberapa wanita yang sedang sibuk di ruangan kecil di balik meja, salah satunya Ino. Ketika wanita itu menangkap sosok Sasuke yang berdiri kaku sambil balas menatapnya, Ino menghela napas panjang. "Salah gue apa?!" kedua tangannya terangkat ke udara. "Tadi pagi Sai, sekarang ini anak," dengusnya. Tapi dia tetap mendekat ke arah Sasuke dengan langkah sedikit pelan akibat beban dari perutnya yang mulai membesar. "Mau apa lo?" salaknya, persis preman.

Sasuke menatapnya datar tanpa terpengaruh hormon kehamilan Ino. "Ruangannya Sakura?"

Ino mendengus lagi. "Elo ya… masih nggak—" tapi ucapannya terhenti begitu saja. Selama dua detik dia sibuk menggigiti bibir bagian bawahnya sebelum kembali berujar, "ke lorong sini, belok kanan, pintu ketiga. Ada namanya juga kok di pintu."

Keheranan langsung melanda Sasuke. Ia tidak pernah berpikir Ino akan semudah itu memberikan informasi tentang Sakura. Gadis ini membencinya setengah mati selama tujuh bulan belakangan. "Lo nggak bakal bikin gue masuk ruang operasi kan?"

Ino memutar bola matanya dramatis. "Daripada bikin lo masuk ruang operasi, mending gue sendiri yang operasi lo sekarang. Pake… INI!" Pisau bedah diangkat dan disodorkannya tepat ke bawah hidung Sasuke. Tapi pemuda itu masih tidak bergeming. Seruan malah datang dari belakang Ino.

"Ino-chan!" Sesosok wanita tua bertubuh gempal berdiri di samping Ino sambil menatap Ino dengan pandangan tajam. "Turunkan pisau itu!" Dia kemudian berbalik menatap Sasuke sambil tersenyum meminta maaf. "Maafkan Ino-chan, Sasuke-kun. Hormonnya memang kurang stabil."

Sasuke hanya merespon Hn sebelum melangkahkan kakinya mengikuti instruksi Ino. Benar saja, memang ada ruangan dengan nama Sakura menempel di dahan pintu. Setelah mengetuk sekilas terdengar suara familiar dari dalam yang menyuruhnya masuk. Dibukanya pintu,

…hanya untuk berhadapan dengan seorang pria berambut merah.

"Sasuke?" suara feminim Sakura menarik Sasuke dari keterkejutannya. Ia menoleh ke belakang pundak pria itu dan menemukan Sakura menatapnya dengan kening berkerut. "Lo ngapain di sini?"

Such a pressure, Naruto.

Sasuke tidak menjawab panggilan Sakura. Alih-alih, ia memfokuskan dua manik kembarnya pada sosok anonim di hadapannya saat ini. Surai terang berwarna kemerahan seperti darah itu seketika membuat matanya sakit.

"Sasuke?" panggil Sakura lagi. Sedetik kemudian tubuh mungil itu sudah berdiri di samping si pria merah. "Lo ngapain di sini?"

Satu pertanyaan itu membuat emosi Sasuke melonjak. Rahangnya terkatup kuat untuk menahan diri membentak Sakura. Kedua tangannya yang mengepal disembunyikan dibalik saku celana untuk menahan diri melayangkan satu tinju pada wajah kaku di hadapannya saat ini. Alih-alih, ia memaksakan diri untuk mengatakan, "aku mau ngomong sesuatu." masih dengan rahang yang mengeras hingga kalimat tanya itu lebih terdengar seperti gumaman kasar.

Sakura menatapnya dengan kening terangkat. Tapi dia mengangguk sebelum bergeser dan mempersilahkan Sasuke memasuki ruangan. Gadis itu kemudian berbalik pada pria merah sembari tersenyum kecil. "Maaf, Gaara-kun. Aku akan menemui nanti."

Adalah yang menjadi pemicu meledaknya emosi Sasuke. Ia tidak menunggu tubuh pria itu keluar dari dalam ruangan sepenuhnya untuk meraih dahan pintu dan membantingnya dengan keras. Sasuke mendengar pekikan kaget dari Sakura, tapi ia tidak mempedulikannya. Dengan kasar diraihnya lengan Sakura dan menghentakannya hingga tubuh gadis itu menabrak dadanya. Sasuke tidak bisa melihat ekspresi wajah Sakura dengan jelas walaupun dengan jarak sedekat ini. Ada kabut tipis yang membayangi kedua binar oniksnya.

"Gaara-kun? KUN?" ia berteriak dengan desibel tinggi.

Sakura memberontak dalam pelukan Sasuke. "Sasuke," desis Sakura. "Lepas!" Tapi pemuda itu tidak melemahkan tekanannya. Dua lengan sontak melingkar di pinggang Sakura, memaksa tubuh bagian depan gadis itu semakin menempel pada tubuh Sasuke. Sakura semakin keras memberontak. Tapi aksinya hanya membuat Sasuke semakin marah. Diputarnya tubuh mereka berdua sehingga kini punggung Sakura bersandar pada dinding dengan bantingan keras. Gadis itu merintih, tapi juga masih tidak mengurangi emosi Sasuke.

"Sasuke, stop!" Kembali Sakura mencoba. "Lo kenapa sih?!"

Tangan kanan Sasuke mendarat di pipi kiri Sakura, memposisikan kepala gadis itu hingga membuat kedua matanya menatap Sasuke langsung tanpa gerakan lain. "Stop," desis Sasuke dengan suara bergetar. "Stop bicara kayak gitu."

Kening Sakura sontak mengerut. "Maksud lo apa—"

"AKU BILANG STOP! STOP! STOP!" Seiring dengan teriakan Sasuke yang menggelegar, tiga kali kepalan tangannya mendarat ke dinding tepat di samping kepala Sakura, membuat Sakura terdiam kaku. Dia menatap Sasuke dengan kaget, tidak tahu harus berbuat apa.

Satu tetes likuid perlahan muncul dari ujung mata kanan Sasuke dan mengalir meninggalkan jejak di pipinya. Pada saat itu juga Sasuke tahu apa yang ia mau.

Tbc.

A/N: Ondemandeeeee… saya juga bingung kenapa saya tiba-tiba ngetik chapter ini… WKWKWKW

Jadi ini sambungan dari cerita yang berjudul takobotsu cardiomyopathy yang sebenarnya masih sekuel dari (harusnya) reuni. Kaget ya padahal waktu itu saya bilangnya yang kemarin itu oneshoot? Ehehehe jadiin pembelajaran aja kalau omongannya Ara emang kadang susah dipercaya orz. Kalau bingung kenapa sasuke bangun-bangun udah mabuk segala, disarankan baca cerita takobotsu dulu. Kalau masih bingung juga kenapa sasuke mabuk, baca aja (harusnya) reuni. Semua bermula dari situ… Monggo… Ah ya, kebanyakan bakal dari sudut pandang sasuke dengan style kata ganti orang ketiga tunggal. Emosinya sakura hanya bakal diterangin dari gestur-gestur yang ketangkap indranya sasuke ae, sooo apakah sakura udah move on sama gaara (which is dia bakal sering nongol di cerita ini. Ada di tag juga, duh.) atau masih tetep cinta sama sasuke walopun udah disakitin (canon banget yak huraaay!) silahkan diterka-terka aja hehehe.

Hampir lupa satu lagi, saya emang kurang bisa nulis dari pov cowok, apalagi kalau sampai ada ledakan emosi segala. Jadi maaf ya kalau sasuke ngambeknya kurang greget hiks.

Next chapnya lagi diketik. Saya tipe yang apa-apa itu tergantung mood. Ini aja diketik empat jam udah dapat hampir 3k. Sabar ae mah. Cup cay.

Ara.