12 April 2017

Iris kelam itu memandang lembut sebuah bangunan penuh kenangan. Satu tahun sudah ia tak mengunjungi tempat ini. Ah! Rasanya ia ingin sekali berlari di dalam gedung dengan lantai berlapis kayu tersebut. Seperti dulu saat ia masih mengenakan seragam putih bernomor punggung lima.

Pemuda dengan pakaian berupa jeans panjang dan kaus hitam polos itu berjalan menuju pintu masuk gimnasium. Ia membuka pintu untuk bergegas masuk dan memutar kembali semua kenangan indahnya di sini. Canda, tawa, dan sedihnya. Pahit pun manisnya bergabung bersama klub basket. Ah! Demi Tuhan, ia ingin sekali kembali ke masa-masa itu.

Sosok tinggi bernama Shun Izuki itu adalah figur humoris yang pernah mengisi satu posisi di klub basket Seirin selama tiga tahun, beberapa prestasi berhasil ditorehkan dengan juara Winter Cup sebagai hasil terbaiknya.

Saat berjalan satu langkah, ia harus terhenti ketika bahu tegap pemuda itu ditepuk dari belakang. Sekejap atensinya beralih pada sosok laki-laki berambut biru yang memandangnya tanpa ekspresi.

"Kuroko!" Pemuda itu terkejut melihat rekannya dulu saat masih bergabung dengan klub basket Seirin. Wajah tanpa ekspresi, baju kaus putih, celana training. Tampak tak berubah sama sekali penampilannya sejak dulu.

"Hai, Senpai." Pemuda bernama lengkap Kuroko Tetsuya menyapanya dengan santai seolah tak terjadi apa-apa.

"Apa yang kau lakukan di sini, Kuroko?" Pemuda bermata hitam yang terasa lembut dan tajam itu bertanya.

"Aku melihatmu melewati tempatku membeli vanilla-shake di dekat lampu merah situ."

"Hawa keberadaanmu yang tipis sangat berguna untuk menjadi stalker." Laki-laki humoris garing itu berujar dengan malas.

"Apa yang kau lakukan di sini, Izuki-senpai?" Tetsuya bertanya sembari mendahului Shun untuk masuk ke dalam gimnasium.

"Hanya ingin bernostalgia."

Di dalam mereka hanya berjalan menuju tiap sudut lapangan, mengenang hal apapun yang pernah terjadi di tempat ini. Kilas bayangan sang pelatih perempuan berambut coklat pendek tengah marah-marah terlintas dalam pikiran mereka.

"Jadi ke mana kau melanjutkan perguruan tinggimu?" Shun bertanya, sebagai senior tentunya ia juga harus memberinya arahan di bidang akademis.

"Aku gagal masuk Todai. Sekarang aku akan bekerja sambil belajar untuk ujian kembali tahun depan." Kuroko menjawab dengan tampang biasa, membuat seniornya melongo, ekspresi wajah datar bukanlah mimik kecewa pada umumnya. Gagal masuk Universitas Tokyo atau yang lebih sering dikenal dengan Todai adalah hal biasa, lantaran saingan dari peserta ujian adalah puluhan bahkan ratusan ribu orang.

"Belajar dengan rajin, aku yakin kau bisa menjadi juniorku lagi di sana. Apalagi bila kau mengambil jurusan manajemen sepertiku, kau akan sering bertemu dengan orang jenius ini." Secara tidak langsung mantan wakil kapten Seirin itu menyombongkan dirinya. Untuk laki-laki cerdas sepertinya tentu hal seperti itu bukanlah hal yang sangat sulit, karena Shun sendiri saat melewati ujian masuk ia hanya belajar semalam sebagai persiapan.

Obrolan mereka kembali berlanjut dan terdominasi tentang generasi basket Seirin yang sekarang, Kagami Taiga yang berhasil masuk NBA walau masih berada di bangku cadangan, dan tentunya obrolan mengenai perguruan tinggi menjadi topik hangat untuk dibahas lantaran Tetsuya belum lama gagal lolos ujian masuk perguruan tinggi di Todai. Seolah tak memahami perasaan laki-laki berambut biru tersebut.

"Ngomong-ngomong. Momoi-san berhasil masuk Todai, dia mengambil jurusan manajemen."

"Gadis yang mengaku kekasihmu, tetapi selalu bersama Aomine?"

"Dia bukan kekasihku. Soal Aomine-kun dia menyusul Kagami-kun ke Amerika seminggu lalu."

"Ah! Mereka pasti akan menjadi pemain inti di klub mereka." Shun berujar santai, ia memang tipikal orang yang memperhatikan sekitarnya. Meski paras tampan itu terkesan dingin, tetapi sifatnya berbeda dan sesekali melakukan lelucon tak lucu tentang kata yang mirip, seperti; papa-papaya, papa-payung, dan papa-payah.

Tanpa terasa waktu berjalan cepat, keduanya pun berjalan keluar area sekolah yang menjadi saksi bisu terlahirnya tim basket yang mampu mengalahkan sekolah berprestasi di cabang basket.

Setelah saling memberi salam mereka berjalan pada arah yang berlawanan.

Shun hanya berjalan santai untuk segera pulang dan membersihkan diri, besok adalah hari perekrutan klub di kampus, tentu akan melelahkan. Sebaiknya ia tidur cepat malam ini.

.

.

Strange

Disclaimer: Tadatoshi Fujimaki

Story: Baka DimDim

Penulis tidak meraup keuntungan apapun dalam fanfiksi ini, kecuali pengalaman menulis.

Informasi yang tertera dalam cerita bukan 100% valid

Kesalahan penulisan berupa: typo(s) dan EBI yang belum sempurna bukan disengaja.

Cerita fiktif ini bertujuan sebagai hiburan, apabila ada kesamaan kejadian, tempat, dan alur bukanlah kesengajaan.

Don't like? Don't read!

.

.

13 April 2017

Universitas Tokyo

Suasana luar gedung kampus tampak sangat ramai dengan berjejernya stan dari seluruh klub di Universitas Tokyo. Suara bising teriakan dari tiap anggota klub mewarnai pendengaran semua orang di sana, demi menarik atensi dari mahasiswa baru yang mungkin ingin bergabung ke dalam klub.

Di depan pintu gedung kampus tampak seorang gadis berambut indah sewarna bunga sakura. Dengan setelan blazer hitam dan rok pendek di atas lutut membuatnya terlihat tampak dewasa mengingat usianya baru akan genap 19 tahun pada 4 Mei nanti.

Tempat ini terasa sangat asing, atau mungkin hidup barunya yang sangat berbeda. Pasalnya sang sahabat yang telah ia kenal sejak kecil telah pergi ke Amerika untuk mengejar mimpi.

Mungkin melihat-lihat stan klub di kampusnya tidak buruk, atau mungkin ia harus mencari kesibukan lain, barangkali ada yang menarik perhatiannya.

Iris fusia milik gadis cantik itu menjelajahi satu per satu stan yang ada di sana. Klub memasak? Apa ia harus belajar memasak? Ia ingat teman berambut ungu gondrong dengan tinggi dua meter pernah nyaris merenggang nyawa akibat masakannya yang terbilang tak dapat dicerna perut manusia normal.

Klub minum teh, paduan suara, sepak bola, seni budaya, baseball, rugbi, dan satu klub terlewat lantaran tertutup oleh barisan para mahasiswa dan mahasiswi seangkatan dengannya.

Ia penasaran dengan hal tersebut, gadis bernama lengkap Momoi Satsuki itu berjalan mendekat. Sulit sekali melewati kerumunan mahasiswa di sana, seolah menerobos kumpulan ibu-ibu ganas saat ada diskon besar-besaran.

"Aku mau mendaftar!"

"Tolong formulir pendaftarannya!"

"Ternyata dilihat dari dekat lebih tampan!"

Suara itu sangat jelas gadis manis itu dengar dari kerumunan mahasiswa yang tengah ia terobos.

Ia berhasil lewat. Kemudian ia melihat stan yang sangat ramai ini.

Sepasang bola mata Satsuki membelalak melihat tiga orang yang tak asing baginya. Tampak tiga orang laki-laki duduk bersebelahan dengan kompak mengenakan jaket putih bertuliskan 'Tokyo'. Dari sebelah kiri terlihat seorang pemuda berambut coklat tinggi besar yang ia tahu adalah wakil kapten klub basket Kaijo, Koji Kobori. Di sebelahnya ada sosok pirang mantan small forward sekaligus kapten Shutoku, Yuya Miyaji. Dan seorang point guard berkemampuan setara pemain nasional, Shun Izuki.

"Momoi-san?" Shun bersuara lebih dulu saat sorot mata tajamnya menangkap perempuan cantik berambut merah jambu.

"Izuki-san?" Satsuki masih belum memproses apa yang tengah ia lihat. Ia baru tahu ada orang yang cukup ia kenal berada satu universitas dengannya.

"Kobori-senpai, aku pergi dulu sebentar." Shun berujar pada sosok berambut coklat dan berbadan tinggi tegap.

"Jangan lupa rapat." Balas Koji Kobori.

Laki-laki berambut hitam itu mengangguk lalu bangkit dari duduknya tak lupa mengambil selembar kertas yang terdapat di meja.

"Ayo ikut aku."

"Eh?!"

Shun langsung menggenggam telapak tangan kanan Satsuki untuk keluar dari kerumunan.

.

Niat awal perempuan itu hanya melihat-lihat stan, bergabung kalau ia tertarik, dan pulang. Bukan duduk berdua di kantin dengan sosok laki-laki yang pernah menjadi lawannya saat dia masih aktif menjadi manajer klub basket.

"Kau mau menjadi manajer klub basket?" Shun langsung to the point dengan apa yang mengganjal pikirannya saat melihat Satsuki menerobos kerumunan perempuan di depan stan. Laki-laki itu menyodorkan selembar kertas formulir pendaftaran.

"Hah?" Satsuki melongo dengan tidak elitenya. Lalu mengendalikan pikirannya usai terkejut. Ini bukan kali pertama gadis itu ditawari untuk menjadi manajer. Saat sekolah beberapa klub olahraga Too Gakuen juga pernah ada yang memintanya untuk menjadi manajer, tetapi karena sosok Aomine Daiki berada di klub basket, maka si pemilik senyuman manis itu menolaknya, namun kali ini berbeda. Ia tidak tahu alasan untuk menolak tawaran tersebut.

"Ada alasan tertentu kau memintaku?" Gadis itu bertanya, mungkin ada alasan lain di samping pengalamannya sebagai manajer.

"Kujelaskan sedikit, klub basket hanya memiliki dua manajer, dan salah satunya sudah berhenti lantaran harus fokus pada tugas akhir. Di samping itu kau sudah tahu alasanku, Momoi-san."

"A-akan kupikirkan." Jawab Satsuki lalu menyimpan formulir tersebut dalam tas kecil yang ia kenakan.

"Tentukan keputusanmu. Aku ingin jawaban paling lambat hari Senin pagi." Pemuda itu berujar disertai senyuman ramah seperti kali terakhir mereka makan bersama usai pertandingan pembalasan melawan Jabberwock dua tahun lalu.

"Hai. Aku mengerti." Satsuki berujar lalu segera berdiri dari duduknya.

Kryuuuk

Wajah gadis itu terasa terbakar. Kedua pipi gembilnya merona malu mencoba untuk satu warna dengan rambutnya.

"Pffffttt!" Di depannya tampak Shun menutup mulutnya dengan sebelah tangan menahan tawa yang siap meledak. Ini adalah kejadian langka yang pernah terjadi seumur hidupnya. Mendengar suara perut perempuan live and exclusive.

"Duduklah, aku traktir makan siang. Jangan beranggapan aku menyuapmu. Aku hanya sedikit bahagia, seumur hidup aku tidak pernah mendengar perut kelaparan seorang gadis." Shun berkata dengan senyum hangat di wajahnya. Apakah ini hari keberuntungannya?

"Tidak perlu ditraktir, Senpai." Sekuat hati Satsuki menguatkan gengsinya. Ia merutuki dirinya yang tak sempat sarapan. Biar bagaimanapun ia merasa malu karena suara perutnya, dan sebisa mungkin itu tidak boleh terjadi lagi. Ya. Wanita dan segala pedoman hidupnya.

"Kau ingin pesan apa? Biar sekalian kupesankan." Pemilik iris hitam di dekatnya bangkit dan menatap gadis merah jambu itu sesaat.

"Hm. Aku ikut memesan saja." Shun hanya mengangguk lalu berjalan lebih dahulu, Satsuki bangkit dari duduknya kemudian mengikuti laki-laki itu menuju meja pemesanan.

Ibu kantin melihat sosok laki-laki yang cukup ia kenal datang bersama seorang gadis cantik yang pertama kali baru ia lihat. Sebuah senyum menggoda terukir di wajah wanita berambut coklat ikal di balik meja pemesanan.

"Ah! Shun? Kau sudah memiliki kekasih? Aya-chan pasti marah loh." Ujarnya saat sepasang muda-mudi itu mencapai meja pemesanan. Wanita berkaus hijau dengan apron putih itu pertama kali melihat Shun bersama seorang gadis hanya berdua.

"Kekasih? Ah! Bukan, Bibi. Dia kenalanku saat masih sekolah." Shun menjawab dengan mencoba menahan ekspresi malunya.

"Kau tidak ingin memperkenalkannya padaku?" Sang bibi kantin masih terus menggoda putra satu-satunya dari keluarga Izuki yang merupakan tetangganya.

"Momoi-san, perkenalkan ini Bibi penjual makanan di kantin kita."

Bibi kantin menatap Shun dengan malas, itu bukan perkenalan.

"Hai. Hai. Perkenalkan, tetanggaku sekaligus Bibi penjual kantin, Misako Ayame." Shun berujar dengan tangan kiri agak menjulur ke arah wanita itu. "Lalu perkenalkan lagi, Momoi Satsuki, mantan manajer klub basket Too Gakuen, sekarang menjadi juniorku, dan calon manajer di klub basket Todai." Kali ini senyum hangat menghiasi paras tampan pemuda tersebut.

Satsuki agak terpana, mengapa laki-laki itu senang sekali tersenyum? Raut wajah dingin milik sang lelaki sama sekali tak terasa, justru sebaliknya. Shun memiliki pembawaan diri yang hangat.

.

Kini tampak dua orang kontras berbeda warna rambut tengah menyantap makan siangnya. Dengan tenang memakan makan siangnya dan sesekali obrolan ringan terjadi.

Satsuki merupakan tipikal gadis cerewet tentu akan bercerita banyak hal. Sedang bagaimana dengan Shun? Ia adalah pendengar yang baik, tentu senang hati ia mendengarkan gadis di depannya.

"Jadi karena kau mengikuti saran dari gurumu untuk memilih Todai?" Shun berujar tepat dengan makan siangnya yang baru ia habiskan.

"Seperti itulah." Jawab Satsuki sambil memutar-mutar sedotannya dalam gelas.

"Rupanya kau di sini, Shun?" Sosok laki-laki yang pernah menjadi kapten sekaligus small forward Shutoku langsung berujar dan duduk tepat di sebelah pemuda berambut hitam tersebut.

"Kalian sepasang kekasih?" Kedua orang yang dimaksud langsung memandang malas, ini kali kedua mereka disebut sepasang kekasih.

"Kenapa? Aku hanya bertanya." Yuya Miyaji menampilkan raut wajah tak bersalah. Memang ada larangan hukum untuk bertanya?

"Pikiranmu terlalu aneh, Yuya. Jujur saja ini kali pertama kami duduk berdua satu meja, benar kan, Momoi-san?" Shun berujar santai, paling tidak, dituduh berpacaran bukan hal yang merugikannya.

Satsuki mengangguk sekali. Ia menatap dua orang di depannya dengan sedikit heran.

"Kalian saling memanggil dengan nama masing-masing?"

"Ada yang aneh dengan itu?" Yuya berujar, beberapa kali ia digosipkan menjalin hubungan asmara dengan Shun lantaran saling memanggil nama. Hal tersebut sontak membuat pemuda berambut pirang itu kesal hingga ke ubun-ubun.

Satsuki menggeleng beberapa kali saat merasakan hawa tak mengenakkan dari Yuya.

"Saat Orientasi Mahasiswa, hanya si pirang ini yang kukenal. Begitu juga sebaliknya. Nasib memiliki otak cerdas di antara teman dekat adalah terdampar pada tempat penuh dengan orang baru, secara tidak langsung hanya Yuya orang yang kukenal dekat di antara mahasiswa lain di Todai." Shun berkata dengan ekspresi wajah melankolis.

"Bagaimana denganmu? Ada orang lain yang kau kenal sebelumnya di sini?" Pemuda berambut hitam itu bertanya hal yang penting-tidak-penting.

"Tidak ada." Jawaban itulah yang didapat Shun.

"Nasibnya lebih memprihatinkan." Yuya bermonolog.

"Yosh. Kalau begitu mulai sekarang panggil aku Shun, dan aku akan memanggilmu Satsuki. Aku adalah satu-satunya orang yang paling kau kenal, bukan?" Ujar Shun lalu menenggak sedikit minumannya, "Kau juga boleh memanggilnya Yuya." lanjut pemuda berparas menawan itu.

"Tidak, aku tidak. Kekasih kakakku berkuliah di sini, aku tak ingin mendapat interogasi darinya hanya karena nama." Ujar Yuya sambil menggerakkan tangannya.

Satsuki masih melongo dengan apa yang diucapkan Shun.

"Jadi bagaimana? Kuliah adalah lembaran baru." Jawab Shun, ia tidak memedulikan Yuya yang takut menjadi sasaran interogasi kakaknya yang berpostur 191 cm.

Berhasil keluar dari zona bingung, senyum Satsuki berkembang. Shun benar, ini adalah lembaran baru. Tidak ada salahnya untuk mencari teman baru.

"Aku mengerti, Shun-senpai." Jawab Satsuki disertai senyum manisnya.

Senyuman gadis itu menular pada sosok lelaki berambut hutam di depannya.

"Aku belum mengatakan ini. Selamat menjadi mahasiswa Todai," Shun berhenti sejenak. "Satsuki."

Dan Yuya Miyaji bersumpah melihat guguran bunga sakura mengelilingi Satsuki dan Shun. Ini aneh untuknya, ia merasa seperti obat nyamuk untuk kedua orang itu.

"Aku pergi, jangan lupa satu jam lagi kita rapat, Wakil Kapten." Yuya bangkit lalu menepuk bahu tegap Shun, kemudian berlalu. Yang bahunya ditepuk hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kau wakil kapten?"

"Seperti itulah, seharusnya Yuya yang menjadi wakil, tetapi ia mengalah dengan alasan lebih suka menjadi anggota biasa." Jawab Shun.

Obrolan mereka kembali berlanjut, entah apa yang terjadi, keduanya tak merasa canggung. Perbincangan hanya bertopik pada kisah Shun saat menjadi mahasiswa baru, dan masa orientasi Sastuki yang penuh dengan kesendirian lantaran belum ada yang ia kenal di sini.

"Kau tidak tahu seluk beluk kampus?"

"Mau bagaimana lagi, saat hari perkenalan kampus aku demam jadi tidak hadir."

"Kalau begitu, ayo. Biar aku yang menjadi pemandu untukmu." Shun langsung bangkit dari duduknya kemudian mengulurkan tangannya.

Satsuki terdiam menatap telapak tangan Shun yang mengulur ke arahnya. Lelaki itu tersenyum hangat dan tampak sekali bersahabat.

Untuk kali pertama, Satsuki merasa canggung dengan situasi seperti ini, hal aneh yang tidak pernah ia rasakan saat bersama lelaki mana pun, baik itu sahabatnya, Aomine Daiki. Dan laki-laki yang ia suka, Kuroko Tetsuya.

Dengan lambat dan pasti telapak tangan kiri Satsuki berpindah, sebelum menggapai tangan Shun, pemuda itu segera menangkapnya dan sedikit menariknya.

"Eh! Aku belum membayar mak—"

"Sudah kubayar." Shun memotong perkataan Satsuki kemudian menarik tangannya dan berjalan lebih dahulu keluar area kantin.

Sepanjang jalan Shun tampak seperti seorang tour guide. Ia menjelaskan semua tempat yang ia dan Satsuki kunjungi saat ini. Mereka berjalan bersebelahan, hingga kerap kali mengundang atensi mahasiswa lain yang mengenal pebasket yang disetarai pemain nasional, kalau soal kapabilitas.

Perpustakaan, ruang dosen, ruang seni, ruang musik, dan berbagai lapangan dari banyak cabang yang terdapat di sana. Hingga kini mereka berada tepat di depan sebuah bangunan yang Satsuki cukup familier dengan itu.

Gimnasium yang dikhususkan untuk klub basket.

"Mau masuk? Kurasa ada banyak anggota klub basket di dalam karena sebentar lagi akan ada rapat."

Satsuki tampak ragu untuk masuk. Ia hanya berdiri di depan pintu masuk dengan Shun yang sudah berada beberapa langkah di dalam gimnasium.

Entah apa yang membuat gadis itu ragu, setidaknya ragu itu tak perlu terjadi lantaran ia ingat siapa gadis berpakaian renang berwarna biru tanpa canggung menginterupsi latihan fisik tim basket Seirin di kolam renang tiga tahun lalu.

"Apa yang membuatmu ragu?" Shun bertanya seraya mendekat.

"Aku tidak memiliki alasan untuk masuk ke dalam sana." Jawab gadis berambut merah jambu tersebut.

Lelaki bermata yang dijuluki mata elang itu terbingung, perlukah alasan hanya untuk masuk ke dalam gimnasium? Toh tak sendirian masuk ke dalam sana. Namun satu hal yang sedikitnya ia mengerti adalah Satsuki sering sekali bersama sahabatnya yang sangat mencintai basket, hingga ia pun turut bersenang-senang.

"Tak perlu alasan untuk hal itu, jika kau butuh alasan, kau bisa jadikan aku alasan untukmu melihat-lihat di dalam sana." Shun berujar sambil tersenyum dengan sebelah tangannya mengusap pelan puncak kepala sewarna gulali milik Satsuki.

Sebuah rasa hangat menyelimuti Satsuki, hal asing yang tak pernah ia rasakan dari semua orang yang pernah mengusap kepalanya. Kenapa rasanya berbeda? Pikir Satsuki.

"Ayo masuk, ada satu wajah yang sangat tak asing bagimu." Wakil kapten klub basket itu kembali berucap lalu menarik tangan Satsuki untuk masuk ke dalam gimnasium. Sedikit rasa penasaran tentang 'wajah tak asing' dari perkataan Shun hinggap dalam gadis dengan rambut merah muda tersebut.

Iris magenta Satsuki membola terkejut, tampak seorang lelaki tinggi tegap berada di bawah ring bersama Yuya Miyaji tengah melakukan one-on-one.

"Nijimura-senpai?!" Saking terkejutnya, Satsuki tak sadar bahwa ia berteriak memanggil sosok laki-laki itu. Kabar terakhir tentang Nijimura adalah pemuda itu berhenti bermain basket lantaran ayahnya mengidap sakit keras, hingga lelaki itu memutuskan berhenti bermain basket untuk fokus pada sekolah dan ayahnya.

"Momoi?" Nijimura cukup terkejut melihat gadis itu di kampusnya. Ia melepaskan begitu saja penjagaannya pada Yuya, kemudian berjalan mendekati Satsuki.

"Kalian sepasang kekasih?" Lagi pertanyaan itu didapatkan Shun dan Satsuki. Kedua orang tertuduh itu memasang wajah malas. Apakah mereka benar-benar seperti sepasang kekasih?

"Kami bukan sepasang kekasih, Senpai." Shun menjawab pertanyaan itu.

"Kau orang ketiga yang bertanya seperti itu, Senpai." Satsuki melanjutkan penjelasan Shun dengan pipinya yang sedikit mengembung.

"Lalu itu?" Dengan ekspresi canggung Nijimura menunjuk tangan Satsuki dan Shun yang masih bertautan.

Sontak kedua orang itu menoleh ke arah tangan mereka, kemudian dengan gerakan cepat, kompak keduanya melepas tautannya. Wajah mereka merona malu, Shun yang biasanya selalu memasang ekspresi kalem kini harus memamerkan ekspresi yang tidak jauh beda dengan Satsuki.

"Itu tidak seperti yang kau pikirkan, Senpai." Shun berujar mencoba mengembalikan situasi yang sesuai dengan keinginannya. Kemudian ia berjalan menuju kumpulan anggota klub basket yang lainnya, ia mengambil dua botol minuman, dan melemparnya satu ke arah Nijimura.

"Senpai." Panggil Shun ketika botol sudah melayang.

Tap!

Botol itu berhasil ditangkap dengan mudah.

"Bukan untukmu. Berikan pada Satsuki." Ucap Shun ketika Nijimura mencoba membuka tutup botol minuman itu.

"Aku merasakan sesuatu yang asing antara kau dengannya." Nijimura memberikan senyuman menggodanya. Sifat yang dulu selalu tenang kini tampak lebih berekspresi. Ia memberikan minuman tersebut tak lupa untuk membukakan tutupnya, lantaran tutup botol memang menjadi momok bagi perempuan, karena sulit untuk dibuka.

"Jangan berpikiran aneh, Senpai." Satsuki menyangkalnya kemudian segera menenggak minumannya. Jujur saja memutari kampus yang luas ini sangat membuang tenaga.

Baik Satuki dan Nijimura terlibat obrolan ringan. Keduanya tampak akrab, wajar saja. Saat masih bersekolah di Teiko bisa dibilang gadis itu adalah manajer yang paling cerewet hingga kerap kali memancing perhatian dari semua anggota klub.

"Kepala Sekolah Shirogane pasti sangat senang begitu tahu semua muridnya akur kembali."

Satsuki mengangguk disertai senyum mendengar ujaran mantan pemimpin dari para keajaiban dari Teiko.

"Sudah waktunya rapat, Kapten." Ucap Yuya berkata dengan cukup keras. Satsuki sadar bahwa pemuda pirang itu berujar pada seniornya di Teiko, dan ia tak terkejut bahwa Nijimura adalah seorang kapten di Todai.

"Ah! Maaf. Ayo kita mulai. Kau mau ikut rapat?"

"Aku?" Satsuki dibuat heran dengan ajakan dari sang kapten klub basket Todai. Sejujurnya usai berkeliling kampus ia ingin segera pulang. Tetapi bertemu dengan seseorang yang tiba-tiba menghilang membuatnya bertahan lebih lama untuk acara temu-kangen sesaat.

"Jangan menolak, kau akan menjadi manajer klub ini, ikut saja." Shun berujar agak keras dari kerumunan anggota klub basket.

"Sepertinya ada yang menahanmu untuk pergi." Laki-laki berpostur tubuh tinggi itu berujar dengan santai, tak ingin menggoda lebih jauh.

"Baiklah." Satsuki menyetujui lalu berjalan menuju kerumunan anggota klub.

Saat rapat berlangsung tak lebih dari satu jam. Agenda rapat adalah tentang jumlah formulir pendaftaran yang telah diambil calon anggota klub dan membahas strategi yang akan mereka gunakan untuk melawan Universitas Kyoto, Senin minggu depan yang artinya bertepatan dengan hari terakhir untuk gadis itu memberikan keputusan menolak, atau tidaknya tawaran sebagai manajer. Satsuki pun sedikit terkejut kalau saat ini sedang ada turnamen basket antar universitas yang disponsori oleh sala satu bren produk minuman isotonik ternama di Jepang. Saat ini turnamen tersebut sudah berlangsung selama satu minggu dan sudah memasuki babak semi final.

Dalam benak gadis berambut merah muda itu mengaku, bahwa dirinya tidak mengikuti berita tentang bola basket sejak kepergian sang sahabat ke Amerika demi menggapai cita-cita.

.

Semburat oranye tampak menghiasi langit, lampu-lampu jalanan, dan pertokoan tampak mulai menyala satu demi satu. Di jalanan tampak Satsuki dan Shun yang berjalan bersebelahan. Laki-laki itu sifatnya telah berubah drastis dibanding dulu. Entah karena pola pikirnya yang semakin dewasa, atau ada modus lain hingga ia bersikeras untuk mengantar gadis itu pulang yang kebetulan satu arah dengannya.

Saat melewati sebuah taman tampak ada penjual permen kapas. Shun berjalan lebih cepat menuju penjual makanan manis tersebut, lalu membeli satu gulali berwarna merah jambu.

Satsuki hanya memandangi laki-laki itu dengan sedikit aneh, lalu tersenyum melihat Shun membeli satu gulali.

"Mirip rambutmu. Ayo kita makan." Shun berujar disertai senyum. Sungguh ini tidak pernah terpikirkan untuk terlihat membeli gulali di tempat umum sendirian. Namun karena ada Satsuki ia bisa beralasan membeli makanan manis itu dengan modus membelikan gadis tersebut.

"Rambutku lebih tebal dari permen kapas." Satsuki berujar, tetapi ada rasa senang lantaran Shun tampak lucu dengan memegang tongkat gulali, seperti anak kecil.

Mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan sedikit canda, saling mendorong menggunakan bahu, dan lelucon garing Shun tentang satu kata yang terdengar mirip kata lainnya, tetapi entah mengapa Satsuki bisa tertawa tulus menanggapi selera humor laki-laki itu.

"Ini rumahku, mau mampir?" Tawar Satsuki setibanya di depan pintu gerbang sebuah rumah dengan gaya minimalis.

Shun menggelengkan kepalanya.

"Lain kali saja. Aku ingin istirahat, berteriak untuk mencuri atensi banyak mahasiswa sangat melelahkan." Jawab Shun lalu berbalik dan menjauh.

"Shun-senpai!" Satsuki berujar dengan keras memanggil senior barunya. Ia mengeluarkan selembar kertas dan bolpoin dari dalam tas kemudian menuliskan sesuatu di kertas tersebut.

Langkah kecil Satsuki bergerak satu demi satu ke arah Shun. "Aku ... aku akan menjadikanmu alasanku menjadi manajer kembali." Satsuki berujar dengan senyuman manisnya tepat dua langkah dari laki-laki berambut hitam itu.

Entah, mungkin karena lelah berjalan, atau apapun itu. Shun merasa wajahnya sedikit memerah dan jantung agak sedikit meronta. Telapak tangan yang sering memberikan umpan matang saat bermain basket berpindah pada puncak kepala Satsuki.

"K-kau membuatku malu." Ujarnya sambil mengusap kepala itu singkat.

Ah, hawa hangat yang elusif begitu saja memenjara mereka. Perasaan asing yang sulit sekali dijelaskan.

.

.

TBC

Cerita fiksi KnB pertama DimDim

Terima kasih sudah mampir untuk membaca