"Pernahkah kau memikirkan bahwa kisah pangeran dan permaisuri itu akan berakhir bahagia untuk selamanya?"


.

.


Cinta, Kematian dan Keabadian

A Little Piece of Heaven—

Copyright © Uchiha Yoshy Nesia

All of the character belongs to Masashi Kishimoto, and A Little Piece of Heaven—The Based Song—belongs to Avenged Sevenfold

Warning : Little-gore, lime, AU, OOC. Yandere!Pein. Chara-dead.

(Karena merasa aneh jika mengikuti alur cerita di lagu aslinya secara keseluruhan, maka saya memutuskan untuk me-remake alur ceritanya menjadi seperti yang saya imajinasikan akhir-akhir ini. Lebih terasa lembut (?) dan tidak blak-blakan seperti versi sebelumnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa fanfiksi ini masih mengikuti alurnya.)

Ket. Tulisan yang di-Italic adalah isi hati Pein.

Happy Reading!


.

.


Malam ini dingin, karena cuaca memang sedang tidak bersahabat. Hujan deras disertai guntur sesekali menemani perjalanan waktu yang melintasi sebuah apartemen yang berada di pinggir kota. Apartemen itu sekarang berada di kawasan yang tergolong sunyi, karena tidak akan ada manusia waras yang akan berjalan-jalan di bawah hujan badai itu kecuali kalau memang sedang ada urusan penting.

"Kamu duduk dulu sebentar di sini ya, Nan? Aku ambilkan air minum dulu," ucap seorang lelaki berambut jingga sambil menuju ke dapur.

"Err, baiklah." jawab si wanita berambut biru kalem, seraya duduk di kursi yang ditujukan oleh lelaki barusan. Ia sungguh merasa canggung karena tadi di tengah perjalanan pulang dari kuliah, lelaki tersebut mendadak mengajaknya untuk bertemu di apartemennya. Ini memang bukan pertama kalinya ia berkunjung, tetapi entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang aneh hari ini. Mungkin karena waktu hampir menunjukkan pukul 9 malam.

Tidak ada yang akan mencarinya, karena dia tinggal sendiri di kota ini dengan menyewa apartemen yang berbeda dengan lelaki tadi.

Sementara itu, lelaki bermata hijau tadi menyeduhkan dua cangkir teh dengan lincah seakan itulah pekerjaan yang selalu ia kerjakan setiap hari.

Namaku Pein. Aku bekerja sebagai pramuniaga di sebuah pusat perbelanjaan. Dan wanita tadi bernama Konan. Kami lebih dari sekadar teman. Yah, bisa dibilang, kami berpacaran. Kira-kira sudah hampir 3 tahun. Hari ini, di saat aku kebetulan pulang lebih awal, aku pun mengajaknya ke apartemenku.

Pein kembali ke ruang tengah dengan sebuah nampan yang membawa dua cangkir teh barusan. Di sana, ia dapat melihat Konan terlihat sibuk dengan ponselnya sejenak. Mata jingga keemasannya kemudian beralih ke sosok yang ia tunggu-tunggu dari tadi.

"Ini minumannya, Konan." Pein menaruh nampan barusan diatas meja, mempersilakan Konan untuk meminum salah satu minuman yang ada. "Ano, apakah tadi kamu sempat terkena hujan?"

"Ah, tidak. Tadi kita masuk ke sini pada saat hujan baru saja turun."

"Oh, begitu? Untunglah." Pein berucap lega, mengetahui bahwa kekasihnya baik-baik saja.

Seperti yang kubilang tadi, kami sudah berpacaran semenjak 3 tahun yang lalu. Jadi, semakin lama, cinta yang berada di antara kami pun semakin kuat dan seolah takkan runtuh oleh terjangan apapun—

namun semakin waktu berlalu juga, rasa takut itu mulai tumbuh.

Karena pada dasarnya—bahkan sebelum kisah ini dimulai—semua ini adalah salah.

"Ano, apa aku tidak merepotkanmu?" Konan bertanya setelah meminum teh hangatnya hampir setengah cangkir. "Atau mungkin, biar aku yang mencucikan cangkir ini nanti."

"Ah, sama sekali tidak merepotkan kok! Kamu duduk saja dan bersantailah sampai hujan reda, oke?"

Konan hanya menimpalinya dengan senyuman.

Ah, senyuman itu lagi. Senyuman menawan yang membuatnya semakin terlihat anggun dan cantik. Namun kecantikannya itulah yang membuatku merasa was-was. Hal itu dapat menarik perhatian orang lain. Aku takut jika ia beralih ke orang lain. Ia memang hanya akan bersamaku, hidup bersama denganku. Tetapi bagaimana jika kenyataan malah berkata kebalikannya?

"Pein? Kenapa?" tanya Konan heran melihat Pein tiba-tiba terdiam.

"Eh? Ada apa?" Pein malah jadi bingung sendiri. Ia pun ikut duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi Konan. "Ah, aku tak apa-apa."

Benarkah aku tak apa-apa? Apakah aku hanya berusaha membohongi Konan dan diriku sendiri?

Hening dan suara hujan menemani mereka yang terdiam. Tidak ada hal yang ingin dibicarakan, dan Pein juga terlalu sibuk dengan pikirannya.

Pikiran ini membuatku gila.

"Ne, Konan."

"Ya?"

"Pernahkah kau memikirkan bahwa kisah pangeran dan permaisuri itu akan berakhir bahagia untuk selamanya?"

"Mm... memangnya kenapa? Tiba-tiba kau bertanya hal seperti itu."

Kepalaku seolah akan segera meledak jika kami tetap seperti ini.

"Err... mungkin ini terlalu mendadak. Tapi..."

"Tapi?"

Pein tak melanjutkan kalimatnya. Ia berdiri, lalu menundukkan badannya. Menopang tubuhnya dengan kaki kanan yang menyentuh lantai.

"Aku pangerannya, dan kau permaisurinya. Jadi, aku ingin memberikan 'akhir yang bahagia' itu padamu."

Wajah Konan awalnya terlihat datar, namun kemudian alisnya bertekuk. Tampak bingung. "Maksudmu apa?"

"Yah... maksudku..." Pein menggaruk kepalanya, gugup. "Err... eh, Konan."

"Ya, Pein. Ada apa sih? Kau terlihat gugup sekali?"

"Konan, menikahlah denganku."

Kami lebih dari teman, sebelum kisah ini berakhir.

Dan aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, menciptakan sesuatu yang bahkan belum pernah Tuhan ciptakan sekalipun.

Konan terdiam dalam posisi duduknya. Matanya menyiratkan keterkejutan. Mungkin tidak pernah terpikirkan olehnya akan dilamar oleh kekasihnya seperti ini.

Cinta kami telah terbangun dengan pondasi yang kuat. Aku mengetahuinya, dan Konan pasti juga mengetahuinya.

"Bagaimana, Konan?"

"Err... bukannya apa, tapi kurasa harus kupikirkan dulu. Tiba-tiba aku merasa ragu."

Namun aku masih merasa lemah dengan sesuatu yang kupikir takkan berjalan sesuai dengan keinginanku.

"Kenapa? Bukannya kau mencintaiku? Kau ingin akhir seperti pangeran dan permaisurinya, bukan?"

"Aku ingin, namun kondisi kita seperti ini. Kau tahu, bukan? Kalau aku pindah ke kota ini karena aku hanya ingin bersamamu, bahkan jikalau orang tuaku tidak merestuiku bersamamu."

... itu benar. Bukannya aku tidak mengetahuinya. Aku masih mengingatnya. Saat kedua orang tuamu mati-matian memarahimu karena telah memilihku. Namun kau tetap teguh dengan pilihanmu. Kau memilih untuk pergi bersamaku.

Meskipun aku tidak mengerti kenapa kau masih ingin melanjutkan kuliahmu. Baiklah, kau bekerja sambilan, dan aku pun juga demikian. Namun aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena kau memilih untuk berada di sisiku saja sudah cukup bagiku.

"Lalu, kenapa kau ragu? Kalau sudah pergi sejauh ini, kenapa kita tidak sekalian menikah saja?"

"Maaf, tapi... entah kenapa aku masih merasa ragu."

Ragu? Apakah itu berarti kau tidak sepenuhnya mencintaiku?

"Maaf ya. Mungkin nanti. Tidak sekarang." Konan mengatupkan kedua tangannya, meminta maaf pada Pein.

Sedangkan Pein tidak menjawab.

Mungkin Konan tidak mencintaiku. Mungkin ada orang lain di hatinya. Mungkin cinta Konan tidak sepenuhnya untukku. Mungkin... mungkin... AAARGH!

Kenapa ini bisa terjadi!

"Pein, kau tidak apa?"

"Eh, aku tidak apa-apa." Entah untuk ke berapa kalinya, Pein kembali menggaruk belakang kepalanya. Canggung dan malu karena habis ditolak.

"Kau yakin?"

"Ya."

Tidak, sebenarnya aku tidak baik-baik saja.

Sebenarnya ada sebuah luka besar yang baru tertoreh di hatiku. Sebenarnya hatiku sakit. Entahlah. Padahal aku sudah memastikan diriku bahwa Konan hanya ingin memikirkan lagi permintaanku agar ia tidak menyesal nantinya.

Sebenarnya tidak ada alasan logis yang bisa kugunakan untuk mengelak dari rasa sakit ini.

Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Menyiksaku. Mengatakan bahwa Konan harus menjadi milikku. Apapun yang terjadi. Bahkan meskipun Konan sendiri tidak menginginkannya. Siapapun yang menghalangiku, aku takkan segan untuk membunuhnya.

Yah, membunuhnya...

Eh, tunggu dulu.

Kenapa aku tidak kepikiran dari dulu?

Kalau ia menolakku, bukannya akan lebih mudah jika aku saja yang menjadikan raganya sebagai milikku?

Biarlah hatinya tidak...

Ekor mata ungu Pein menangkap sebuah gunting di meja pojok.

Sebelum kemungkinan itu menjadi kenyataan, aku pun mengambil semua kemungkinan yang ada darinya...

Pein pun mengambil gunting tersebut. Tidak, mungkin lebih tepat dikatakan mencengkramnya daripada sekadar mengambilnya. Kemudian menatap Konan dengan pandangan yang sulit dijelaskan.

Konan yang melihatnya hanya mengernyitkan dahinya pertanda bingung.

"Pein, kenapa kau melihatku seperti itu?"

Bukannya menjawab, lelaki oranye itu malah tertawa. Dengan keras. Persis seorang psikopat.

"H... HAHAHAHA!"

Terkesiap karena kaget, Konan spontan berdiri dan bergerak mundur. Seolah dapat membaca ekspresi ketakutan wanita itu, Pein menjawab,

"Mungkin bagimu, tidak apa menolakku seperti itu. Tapi kau harus tahu, bahwa ingin sekali aku menjadikanmu sebagai milikku. Seutuhnya."

Entah Konan salah lihat, atau Pein yang sekarang memang terlihat sedikit tidak waras?

Bukan, bukan itu. Mungkin terlihat sakit hati?

Tanpa membuat Konan pulih dari rasa terkejutnya, Pein langsung menarik lengan Konan.

"P-Pein, kumohon, dengarkan aku dulu." Konan mulai merasakan firasatnya memburuk. "A-aku menolakmu bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena..."

"Karena...?"

Konan merasa jantungnya berdegup keras karena takut dan was-was dengan apa yang sekarang terjadi dan apa yang akan terjadi nanti jika ia salah ngomong.

Suara Pein berubah menjadi sangat rendah.

Wanita berambut biru itu mati-matian memeras otaknya—memikirkan apa yang bisa ia jadikan alasan, agar kemungkinan terburuk dari semua ini takkan pernah terjadi.

Namun sayang, takdir yang tidak memihaknya pun menolak untuk memberikan petunjuk.

Pein menatap mata keemasan Konan dalam-dalam. Sirat ketakutan itu semakin bergelombang tatkala menatap mata keunguan itu agak gelap dan keruh. Seolah menandakan ada sesuatu yang salah dengan si pemilik.

Aku tahu bahwa seharusnya aku tidak melakukan ini. Tapi... hanya cara inilah yang dapat membuatku bersamanya selamanya.

"Pein, jangan katakan padaku..."

Konan tak melanjutkan perkataannya karena terlalu takut akan kemungkinan yang bisa saja terjadi. Pein pun seolah membisu.

Tangannya bergetar dan mendingin. Bibirnya juga...

Tenggelam dalam kebisuan, Pein meraup bibir Konan. Melumatnya dengan beringas. Tidak mempedulikan reaksi berontak yang dilakukan oleh wanita yang lebih rendah darinya itu.

Seolah tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama, tanpa melepas ciuman mereka—yang tak bisa dikatakan lembut sama sekali—Pein mengangkat guntingnya dan—

ah, betapa mengkilaunya gunting ini. Namun sekarang gunting ini telah ternoda darah.

Melepas paksa ciuman, jeritan sopran yang melengking pun menggema di seluruh ruangan itu. Mungkin terdengar sampai kamar sebelah. Tapi, ah, apa peduli lelaki yang sekarang telah berubah menjadi iblis itu?

Tusukan demi tusukan Pein lakukan dengan gunting merahnya. Jeritan masih terdengar, dan perlahan mulai menghilang. Tubuh yang berada di atas lantai itu pun tak bergerak lagi ditengah genangan darah.

Rambut itu kini tidak lagi berwarna biru sendiri, karena ada warna merah yang ikut serta mewarnainya.

Pein hanya menatap datar terhadap tubuh indah yang tertoreh luka itu.

Kemudian tersenyum, menyeringai miring.

Hei, sekarang tinggal selangkah lagi, kau akan menjadi milikku, Konan. Hanya milikku, selamanya.


.

.


Membaringkan tubuh tidak bernyawa itu, Pein menurunkannya dan menatap baik-baik padanya. Tubuh itu terlihat sedikit pucat, noda merah sedikit berbekas di kulitnya, dengan buliran-buliran air yang berjatuhan dari tubuh lelaki di atasnya.

Ia tak pernah seindah ini di tempat tidur, bahkan tatkala ia sedang tertidur.

Sekarang, ia terlihat begitu sempurna. Matanya hanya 'tertuju lurus' padaku. Menatapku dengan matanya yang indah. Karenanyalah, aku takkan bisa berhenti menikamnya. Mengklaimnya sebagai milikku.

Pein menggenggam tangan tubuh itu—lanjut menikam dan memasukinya. Ia mengerang atas perbuatannya, meskipun tidak ada respon apapun dari 'wanita' yang ada di bawahnya.

Nyawa wanita itu telah tak ada di raganya. Mati. Namun seolah dibutakan oleh rasa cinta, Pein tetap menganggapnya seolah ia masih 'hidup'.

Berlanjut, berlanjut, dan berlanjut. Akhirnya, kau menjadi milikku.

Aku bisa membuatmu tetap terlihat awet muda selamanya, dengan 'mata air' yang kusemburkan padamu kapanpun.

Berbaring di sebelah tubuh yang tidak bergerak sedari tadi itu, "Selamat tidur, Konan." Pein berkata sambil tersenyum dan menutup matanya.

Mungkin Pein berpikir bahwa 'Konan' hanya akan terus seperti itu. Menatapnya dengan mata kosong, dan dengan bibir yang sedikit ternganga seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak tersampaikan.

Ya, mungkin saja mata itu akan benar-benar menatapnya suatu saat nanti...


.

.


"Hm..." Kini Pein tengah duduk di kursi yang diduduki Konan semalam sambil memangku tangannya, tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Sedangkan 'Konan' ia dudukkan di kursi seberangnya dan dihadapkannya ke arahnya.

Konan memang sudah menjadi milikku, tapi sepertinya aku melupakan sesuatu.

Tubuh yang ada di depannya itu masih belum berubah. Matanya masih saja tidak ditutup oleh Pein. Hanya saja, bau tidak sedap alias bau busuk menguar dari tubuhnya, namun Pein malah menganggap bau tersebut adalah bau malaikat dari surga. Tidak perlu ditanya apa alasannya.

Ah, aku baru ingat akan sesuatu...

Kemudian Pein berdiri dan berjalan ke dapur. Ia kembali dengan sebuah pisau, garpu, dan piring, dan juga dengan senyum mengembang diwajahnya.

"Nah, Konan. Dengan ini, kamu akan benar-benar menjadi milikku. Takkan ada siapapun dihatimu kecuali aku, Konan." ucap Pein sambil menaruh garpu dan piringnya dimeja, dan sambil mendekati tubuh itu dengan membawa pisau.

BRET, JLEB, CREK, CREK, KREK, KREK, JLEB!

Pein pun merobek sedikit baju 'Konan' di bagian dadanya dan menancapkan pisaunya di perbatasan antara perut dan dada 'Konan', mengoyak dagingnya sedikit, menembus tulang rusuknya, dan langsung menancapkan pisaunya di benda lunak berwarna merah pekat yang agak pucat berbentuk segitiga siku-siku tidak sempurna begitu benda tersebut mulai terlihat.

Apalagi namanya kalau bukan hati, organ vital keempat setiap manusia setelah jantung, otak, dan paru-paru. Namun benda itu sudah tidak berfungsi lagi karena si pemiliknya tidak memerlukan itu lagi.

Setelah berhasil mengeluarkannya, Pein pun menaruh benda tersebut ke atas piringnya.

"Nah."

Pein kembali lagi ke meja dan duduk di kursinya. Kemudian, dipegangnya garpu beserta pisau dan juga mendekatkan piring tadi kepadanya.

Dengan susah payah, ia akhirnya berhasil memotong kecil hati tadi menjadi lima bagian. Lalu, ia menancapkan ujung pisaunya pada salah satu bagian hati yang dipotongnya tadi.

"Hm, rasanya tidak terlalu buruk. Manis, malah." komentar Pein begitu hati tadi telah masuk ke dalam mulutnya.

Kelima-indera Pein ternyata memang benar-benar sudah rusak.

"Dengan begini, hatimu takkan bisa dimiliki oleh siapa-siapa lagi, Konan." ucap Pein sambil tersenyum. Ucapannya tadi hanya dijawab hening oleh 'Konan'. Hati itu tadi pun sudah habis dimakan oleh Pein—jadi intinya, kini mulut dan tangan Pein telah berlumuran dengan darah 'Konan' yang masih terlihat segar. "Hatimu adalah milikku."

Oiya, ada satu hal lagi yang tak boleh kulupakan.

Kemudian pemotongan pun berlanjut pada organ vital terakhir—jantung.


.

.