Grave of the Fireflies belongs to Studio Ghibli. I take nothing except pleasure from making this fic.

Note: canon, drabble, premortem!seita. gatau ah, saya butuh tisu dan kompres dingin gara-gara film ini (ノಥ益ಥ)ノ terima kasih, dan selamat membaca.


Bukit Berbintang


Pejamkan matamu, Setsuko, dan kau akan ada di sana.

Apa kau ingat? Kunang-kunang yang naik dari semak-semak, bertaburan seperti bintang. Kau dan aku menangkapnya di mana-mana, lalu memasukkannya ke kelambu kita, menonton mereka dalam gelap. Perlu kuingatkan betapa indahnya?

Perlu kuingatkan betapa sakitnya?

Seperti ruam di tubuhmu. Di tubuhku. Seperti darah di tubuh terbujur ibu. Tapi untunglah kau tidak melihatnya, Setsuko. Untunglah. Kau masih terlalu kecil untuk mengerti. Terlalu berharga untuk dunia sakiti.

Lagipula, bukankah hidup ini sudah membuatmu sedih?

Aku tidak menyalahkan perang. Aku tidak punya hak menyalahkan orang dewasa dan senjata. Aku tidak boleh mengutuk dunia dan seisinya hanya karena kita terbuang, dan terlupakan, dan ..., dan ...

Bukankah permen buah itu enak?

Ingat suapan terakhir yang kau makan, Setsuko? Dan air yang kita tambahkan ke dalam kalengnya, supaya manisnya tak sia-sia? Bagaimana rasa anggur, stroberi, melon, dan mint yang disatukan dengan air? Ah, aku masih ingat suara tawamu ketika itu. Ketika aku sadar masih ada hal yang menyenangkan di dunia.

Pantai, ingatku. Kuajak kau menendang ombak. Kugendong kau tinggi-tinggi saat airnya pasang. Asin, 'kan? Itu adalah hari terakhir di ingatanku ketika kau tertawa lepas, bebas, keras. Ada yang menyelip di jantungku saat mengingatmu memekik senang.

Lalu kita pindah dari rumah bibi. Kita buat rumah sendiri di bawah tanah. Menyenangkan, ya? Seperti dulu, saat ibu mengajak kita bermain rumah-rumahan untuk menunggu ayah pulang. Dan di kala malam, kita menangkap ratusan kunang-kunang. Meraup, menimang, memetik mimpi yang berkerlap-kerlip sendu di tepi rawa. Aku masih ingat bangkai mereka yang kaukubur di dekat ayunan.

Kenapa kunang-kunang cepat mati, ya?

Entahlah, Setsuko. Ibu juga cepat sekali pergi. Kenapa, ya?

Kenapa ... ayah juga pergi, ya?

Karenanya aku mencuri. Tak apa, asal Setsuko bisa makan. Tak apa, asal Setsuko bisa senang. Tak apa, Setsuko. Jangan menangis. Aku tak apa. Aku tak apa kalau kau juga baik-baik saja.

Meski butuh waktu lama untukku sadar: tak ada lagi sinar di matamu.

Sejak kapan badanmu begitu kurus? Sejak kapan kau jadi lemah? Sejak kapan senyummu hilang? Aku abang yang payah, 'kan, Setsuko? Bukan hanya tidak bisa melindungimu, aku juga tidak menyadari kau membutuhkanku. Dan betapa aku membutuhkanmu.

Tapi, lagi-lagi kau membuatku bertanya. Kenapa, Setsuko? Kenapa kau juga tidak bisa bertahan?

Kenapa kau meninggalkan aku sendirian?

Bukankah hidup ini juga indah?

Kimono ibu yang halus dan wangi, foto ayah di saku baju yang terlipat dan sobek, boneka kainmu, pantai dan kerang, kodok dan kunang-kunang. Bukankah sebelum ini hidup kita indah?

Jadi, kulakukan hal terakhir yang aku bisa untukmu. Menguburkan semua hidup kita di bukit kunang-kunang, menatap langit berbintang, dan terjaga semalaman kala makhluk kecil itu naik dari semak dan berpencar. Mencium dahimu, membawa abumu, mencoreng langit malam.

Padahal aku masih ingin memelukmu, walaupun aku tahu kau tidak akan bangun untuk balas memelukku.

Sekarang, di stasiun, aku mengingatnya sejelas dulu. Seperti apa senyum kaku ayah. Hangatnya masakan ibu. Cibiranmu saat aku bermain curang. Aku ingat pernah memberitahu ini, dan kini aku mengulangnya untuk diriku sendiri. Kita akan bertemu lagi. Aku janji,

"Setsuko ..."

Aku membayangkanmu di bukit berbintang tempat kita bisa tertidur lelap. Ada ayah dan ibu. Ada kunang-kunang yang terbang rendah, menunggu.

Kupejamkan mataku, Setsuko, dan aku akan ada di sana.