Gadis itu berlari dan terus berlari. Menapaki lantai koridor yang sepi dengan nafas yang memburu. Hentakan sepatunya terdengar gelisah dan tergesa seperti seekor rusa yang sedang melarikan diri dari kejaran singa buas yang kelaparan. Namun setidaknya itu bisa mewakilkan perasaannya yang memang sedang ketakutan saat ini. Karena pada kenyatannya, dia memang sedang diburu !
" Berhenti ! "
Teriakan seorang lelaki membuat gadis bermata violet itu menoleh dan semakin mempercepat larinya ketika ia menangkap seseorang berambut orange tengah berlari dibelakangnya dengan hawa membunuh. Keringat semakin mengucur deras menjalar di keningnya yang terlihat putih karena tak tersembunyi lagi dibalik poninya yang sudah berantakan. Ia terbatuk, sesak. Namun batuknya tidak mengeluarkan suara. Hanya gerakan mulut yang bisa menyampaikan bahwa ia sedang terbatuk.
" Grrr..."
Lelaki itu mengeram ketika gadis yang dikejarnya menambah kecepatan berlari. Mau tidak mau, ia pun harus meladeni tantangan gadis itu agar bisa menangkapnya dan memukulnya, menonjoknya, menendanganya, mencabik- cabik daging diseluruh tubuhnya, atau ah...apapun yang ingin ia lakukan nanti jika saja gadis itu tertangkap. Berani- beraninya dia mempermalukanku, teriak lelaki itu dalam hati.
Suasana dipagi hari, disebuah sekolah ternama di Karakura, Karakura High School, sekolah elit untuk mereka para kaum elit, terlihat lengang dikarenakan jam masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Hanya terdengar burung yang berdecit saling bercengkrama dengan sesamanya dan sesekali terbang dari dahan satu ke dahan lainnya. Mengiringi pagi hari yang cerah dan damai.
Suara langkah kaki seorang gadis terdengar pelan menggesek halaman sekolah yang terbuat dari susunan papping yang rapi. Ia bercelingak- celinguk seolah sedang berada didunia lain dan ini adalah kali pertamanya menginjakkan kaki disana. Matanya terus berputar mengitari seluruh sudut sekolah dan ia terhenti tepat di tengah halaman Karakura High School. Menatap sebuah lukisan besar yang terpampang di koridor masuk dan matanya tak mengerjap sama sekali. Langkahnya pelan, namun pasti, mendekati lukisan yang tersembunyi dibalik bingkai kaca itu dan tangannya reflek menyentuh permukaan kaca tanpa dia sadari. Terus dan terus, menatap wajah seorang malaikat yang tengah tertunduk memejamkan matanya dalam damai sembari memeluk seseorang berambut panjang yang bersandar dilututnya. Malaikat itu terlalu cantik bila dikategorikan sebagai seorang lelaki, namun dia juga tidak bisa dikatakan seorang wanita karena dada bidangnya terpampang dengan jelas disana. Sedangkan sosok berambut panjang yang kini telah membelakangi gadis itu, tak bisa dia tafsirkan seorang lelaki atau perempuan secara gamblang. Ah, mungkin perempuan, jika dilihat dari lekuk tubuhnya yang benar- benar sempurna dan indah, bisiknya menganalisa.
Hanya satu hal yang pasti, gadis bermata violet itu bisa menangkap kesedihan yang terpancar dari dalam lukisan. Kesedihan keduanya yang bisa ia lihat meskipun sang malaikat sedang tersenyum lembut. Kesedihan yang juga tersalur dari tangan sang pelukis yang membuat gadis itu seolah tahu bagaiman delima yang dirasakan tat kala ia menyapukan kuasnya di kanvas putih. Kemahiran jemari yang menari dan menciptakan sebuah mahakarya yang telah membuat gadis itu tersentuh dan...jatuh cinta. Ya, dia telah jatuh cinta pada lukisan itu. Semakin dilihat, maka desakan kuat didadanya semakin hebat. Ia benar- benar terlarut dalam kesedihan dua mahluk cantik dalam lukisan dan seolah terhipnotis, sebulir air mata terjatuh dari pelupuk matanya. Hingga ia tidak menyadari sesosok berambut orange yang sedari tadi mengamati tindak- tanduknya.
Lelaki itu menguap. Malas. Sambil memijit pelipis lehernya yang terasa kaku, ia berjalan santai meninggalkan sopirnya yang mengejar dengan tergesa dari belakang.
" Tuan Ichigo, Tuan Isshin bilang..."
" Aaahh, sudahlah. " potongnya mengangkat tangan dan sopirnya pun hanya terdiam dengan wajah yang cemas. Ichigo meneruskan langkahnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah lelaki yang telah mengantarnya kesekolah di pagi buta begini. Yang ia rasakan hanya kesal, kesal dan kesal yang bahkan membuat aura disekelilingnya menghitam. Sang sopir hanya bisa mendesah pasrah dan berbalik ke dalam mobil. Memiliki seorang majikan muda yang temperamen dan semau- mau cukup membuatnya kehilangan satu jam sisa hidupnya setiap hari. Aku pasti akan mati muda, sesalnya menginjak pedal gas mobil dan meninggalkan gerbang Karakura High School.
Sementara itu sang majikan tengah menggerutu dan semakin dongkol jika ia mengingat apa yang baru saja terjadi dirumahnya. Ayahnya, Isshin Kurosaki, yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah sekaligus pemilik Karakura High School, dengan aura pink dan icon hati yang betebaran disekelilingnya hingga membuat silau mata, menciumnya dipagi hari dan mengucapkan selamat pagi dengan mesranya.
Flashback.
" Anakku...Ich-chaaaannn..." bisik Isshin ditelinga Ichigo manis yang ditanggapi dengan kerutan dimata anaknya yang masih terpejam. Ia pasti sudah mengalami nightmare saat ini karena bisikan kakek sihir yang sangat ia benci tiba- tiba terdengar dalam tidurnya.
" Bangun sayang..." bisiknya lagi dan kini ditambah dengan sebuah kecupan panjang yang membuat Ichigo langsung terbangun dan membelalak kaget.
" Aaaaakh ! " teriak Ichigo begitu menyadari pipinya terasa basah dan langsung mendorong ayahnya hingga terjungkal keras ke belakang. Ia tertegun sejenak dengan perasaan horror. Sedetik kemudian, ia baru menyadari apa yang telah diperbuat ayahnya dan sukses menambah kuota kekesalan Ichigo secara gratis.
" Ayah bodoh ! Apa kau mau memperkosa anakmu sendiri, haaah !? " jeritnya mengusap pipi dengan lengan bajunya kasar seolah ia baru saja bersentuhan dengan alien mesum.
" Ich-chaaaaaaaaannn..."
Tiba- tiba Isshin terbang dari bawah dan hendak memeluk Ichigo lagi yang kini sudah terduduk diranjangnya dan tentu saja hal itu tak akan pernah terjadi jika Ichigo sudah membuka mata. Hasilnya? Sudah dapat dipastikan. Sang kepala sekolah Karakura High School hanya bisa mencium telapak kaki anaknya yang dengan sigap terangkat dan menenggelamkan keinginannya untuk memeluk Ichigo ke dasar Teluk Tokyo.
" A...aa..."
Ichigo mendorong kakinya dan ayahnya kembali terpental ke belakang. Ia mendesah. Menggaruk kepalanya meski tidak terasa gatal sama sekali. Diliriknya jam weker yang masih menunjukkan pukul 05.30 dan dalam sekejap muncul pitakan segi empat di sudut dahinya.
" Be..nar...benar..." geramnya dengan tangan mengepal dan dongkol yang tak terkira.
" Keluar kau, ayah bodoh ! " pekiknya menendang tubuh Isshin yang tergeletak tak berdaya keluar pintu dan membentur dinding. " Jangan pernah sekali- sekali kau masuk lagi ! " ancam Ichigo membanting pintu.
Sial, umpatnya dalam hati. Semalam dia pasti lupa untuk mengunci pintu karena kelelahan setelah pergi ke bar dan baru pulang menjelang subuh. Kecerebohannya membuahkan mimpi buruk yang bahkan tidak pernah ia bayangkan sekalipun. Ia menggosok pipinya kembali dengan kemeja yang ia pakai semalam ketika teringat sentuhan bibir ayahnya yang bisa membuatnya merinding. Ia benar- benar harus segera mandi meski matanya melancarkan aksi protes karena baru terpejam selama dua jam. Namun Ichigo memerintahkan tubuhnya untuk mandi dengan mata terpejam sekalipun daripada membiarkan jejak bibir ayahnya menempel di pipinya.
End of Flashback.
" Sial. " dengusnya ketika kembali mengingat insiden yang ia alami. Sepertinya akan lebih baik kalau 'laki- laki itu' ku kurung dalam box dan kuhanyutkan ke Samudra Pasifik, gerutunya menghela nafas.
Padahal ia berencana tidak masuk hari ini dan istirahat penuh untuk membayar hutang tidur karena keluyuran semalam. Tapi ayah bodohnya itu telah sukses merusak semua rencananya. Dan seorang Ichigo akan memilih untuk berangkat ke sekolah dipagi buta meski sekarang sedang libur musim panas dan tidur di ruang kesehatan daripada berlama- lama tinggal dirumah dengan kemungkinan yang lebih buruk lagi kalau ia tertidur dikamarnya. Mungkin usul Renji ada benarnya, gumam Ichigo mengingat percakapannya dengan wakil ketua OSIS itu beberapa hari yang lalu. Membeli apartemen dan hidup sendiri tanpa ada pengganggu bukanlah ide yang buruk. Ah tidak, malah sangat bagus, batin Ichigo memutuskan untuk menelepon Sekretarinya, Chad, setelah sekolah usai dan memintanya mencarikan sebuah apartemen. Ia benar- benar butuh keleluasaan tanpa harus diganggu oleh ayah gilanya yang sering bertingkah menjijikan itu. Ia tahu ayahnya sangat menyayanginya, tapi terkadang hal itu ditunjukkan dengan cara yang salah. Pernah ketika suatu pagi, Ichigo merasakan rabaan halus ditubuhnya dan parahnya hal itu membuatnya mengerang. Ia benar- benar bersumpah tidak akan mudah terangsang segampang itu lagi dan mengutuk lelaki bernama Isshin Kurosaki agar menjadi keledai bungkuk ketika tahu bahwa sang ayahlah yang memeluk dan menggerayanginya dengan nakal.
Tidak berhenti disitu, ayahnya juga pernah mendobrak pintu kamar mandi Ichigo hanya karena dia tak kunjung keluar setelah dua jam berada didalam kamar mandi dan tentu saja berbuntut dengan tendangan terbang dari sang anak yang membuat ayahnya mimisan.
Kejadian berikut, berikut dan berikutnya...ahh, banyak keganjilan dari sikap sang ayah yang bisa membuatnya bergidik ngeri dan mati berdiri. Ia benar- benar semakin yakin akan keputusannya untuk tinggal diapartemen bukanlah keputusan yang salah.
Ichigo kembali menguap untuk kesekian kalinya selama sepuluh menit terakhir ketika kakinya sudah membawanya ke tengah halaman sekolah. Ia baru saja memutuskan untuk pergi ke ruang kesehatan ketika dilihatnya seorang gadis berambut pendek tengah menatap lukisan di pintu koridor. Tubuh Ichigo ingin bergerak meninggalkannya tak peduli karena yang ia butuhkan sekarang adalah kasur empuk, bukan wanita tak dikenal yang sedang larut dalam lukisan, tapi otaknya berkata lain. Dia memerintahkan Ichigo untuk diam dan menatap gadis berambut hitam itu. Memandangnya lekat dengan rasa ingin tahu. Tangan gadis itu tergerak perlahan. Matanya masih terpaku takjub ketika uluran tangannya membelai bingkai kaca pelan dan mata Ichigo seakan tak bisa lepas dari sosok gadis itu hingga ia berpikir bahwa waktu sedang berhenti karena ia tidak merasakan pergerakan apapun dari dunia sekitarnya. Lama...ia terhanyut dalam dunia milik sang gadis hingga tiba- tiba Ichigo merasakan sesak menyerang pernafasannya saat melihat...gadis itu meneteskan air mata.
Ichigo membelalakkan matanya. Rasa kantuk yang menyerangnya tadi telah hilang entah kemana. Sangat terkejut hingga ia tidak bisa menggerakan kakinya meskipun ingin segera menghampiri gadis yang kini tengah menangis didepan lukisan.
" ukhh..." ia hanya bisa menggeram dengan rahang wajah yang mengeras dan tangan yang mengepal.
" O...oi..."
Setelah cukup lama terhipnotis, akhirnya tubuh Ichigo bisa bergerak dan dia langsung berjalan tergesa menghampiri gadis yang entah menggunakan mantera apa, mampu menyihir Ichigo menjadi patung bisu beberapa saat lalu. Dalam sepuluh langkahan besar, Ichigo sampai dibalik pungung mungil gadis berkemeja biru dan menunggu responnya. Ketika suara sapaan Ichigo sampai ditelinga gadis itu, ia menoleh. Menampilkan mata bulatnya yang berwarna violet yang kini tengah berkaca dan terdapat jejak air mata dipipinya. Gadis itu terkejut. Ia bahkan tak sadar keterkejutannya itu membuat denyutan kecil di dada Ichigo.
" Siapa kau ? " tanya Ichigo terdengar kasar, membuat gadis itu langsung menunduk dan terburu- buru mengusap air matanya. Ichigo memperhatikan gadis itu dengan seksama. Gadis itu mengenakan kemeja biru polos dan celana jeans hitam lalu sepasang sepatu bertali dikakinya. Tidak ada tambahan aksesoris seperti kalung, gelang atau apapun lagi yang biasa dikenakan oleh para gadis dan bisa membuat penampilannya sedikit terbiasa dimata Ichigo. Semuanya nampak sederhana dan...murahan? Dahi Ichigo mengerinyit. Ia kembali menaikan satu alisnya ketika mendapati kanvas dan buku bergambar A4 yang bersandar didinding tepat dibawah lukisan.
Ichigo menganalisa dibalik mata sangarnya. Siapa gerangan gadis ini ? Apa dia murid pindahan ? Tapi kenapa tidak memakai seragam ? Dan bajunya itu, sangat tidak mungkin jika dia adalah murid pindahan, komentar Ichigo mengingat sekolahnya yang memang memiliki siswa dari kalangan atas dan otomatis penampilan SANGAT-SEDERHANA-SEKALI itu tak akan mungkin ia lihat. Lalu, kenapa dia membawa alat lukis? Apa dia seorang pelukis yang tanpa sengaja masuk kemari ketika sedang mencari inspirasi?
Dalam batin Ichigo, dia akan menginterogasi penjaga sekolah karena membiarkan orang asing masuk seenaknya dan bila perlu memecat mereka karena kelalaiannya. Yah, meskipun Ichigo terkesan cuek, tapi dia masih memiliki kepedulian terhadap sekolah milik keluarga Kurosaki itu karena walau bagaimanapun, jika terjadi sesuatu dilingkungan sekolah maka ayahnya pasti akan terkena imbasnya dan entah bagaimana, meskipun Ichigo membenci Isshin, tapi dia juga tidak tega membiarkan ayah bodohnya itu terkena masalah.
Tiba- tiba gadis itu membungkuk dan membuat lamunan Ichigo terbuyar. Dia menurunkan pandanganya dan kini kembali menatap punggung kecil sang gadis. Gadis itu berdiri, menatap Ichigo dengan rasa bersalah dan kembali membungkuk meminta maaf tanpa mengeluarkan satu suara sedikitpun.
" Kau siapa? " ulang Ichigo mengingat gadis itu belum menjawab pertanyannya. Gadis itu terdiam dan terbersit kebingungan diwajahnya.
Pencuri?
Tiba- tiba muncul suara yang merasuk ke dalam otak Ichigo dan membuat lelaki tertampan di Karakura High School itu mencekal lengan gadis dihadapannya.
" Kau pasti pencuri ! "
Tuduhan Ichigo berhasil membuat gadis itu memucat dan ia berusaha untuk meyakinkan Ichigo dengan gelengan keras kepalanya.
" Ayo ikut aku ! Akan kubawa kau ke kantor polisi ! " ujar Ichigo seperti tak menyadari gelengan dari si gadis.
Mendengar kata ' kantor polisi' semakin membuat gadis itu panik. Ia mencoba menahan tubuhnya yang diseret Ichigo dengan susah payah meskipun tenaganya akhirnya kalah juga melihat postur Ichigo yang lebih besar dari dirinya. Bahkan kekuatannya tidak ada apa- apanya jika dibandingan dengan tarikan Ichigo yang sedang menjerat tangannya sekarang. Panik-panik-panik. Hanya itu yang bisa Ichigo gambarkan dari wajah gadis pencuri dan ia semakin yakin bahwa gadis itu memang pencuri.
Menyadari betapa susahnya Ichigo menyeret gadis itu untuk ikut dengannya, ia berinisiatif untuk memanggul tubuh kecil sang gadis sebelum akhirnya sebuah benturan keras menyengat syaraf dihidungnya dan membuat Ichigo beteriak kesakitan. Ia melepas lengan gadis itu dan memegangi hidung mancungnya yang kini mungkin sudah bengkok akibat sundulan maut yang dilancarkan gadis pencuri untuk meloloskan diri. Dan benar saja. Setelah Ichigo melepaskannya, gadis itu langsung melesat pergi meninggalkan Ichigo yang mengerang sambil menutup hidungnya.
" He...gadis brengsek ! " umpat Ichigo sambil meringis ketika tangannya menyentuh tulang hidung yang ia rasa patah. " Akan kubuat kau membayar perbuatanmu. "
Tanpa menunggu aba- aba, Ichigo ikut melesat mengejar gadis pencuri yang kini telah berganti nama menjadi 'gadis penyundul sialan'.
Gadis itu bernama Rukia Kuchiki, siswa pindahan yang seharusnya melihat kelas barunya di jurusan seni Karakura High School, dan semestinya sedang duduk di ruang Ukitake Sensei sambil minum teh saat ini sambil membahas tentang lukisannya yang ia buat semalam. Namun sepertinya kesialan berkata lain karena ia telah terdaftar sebagai pencuri dihari pertamanya masuk. Ya, entah bagaimana dia telah dicap sebagai seorang pencuri oleh lelaki berambut jabrik orange yang dimatanya tampak seperti jeruk berjalan.
" Berhenti ! "
Teriakan itu membuat Rukia tersadar kalau ia sedang diikuti oleh lelaki yang menuduhnya tadi. Dalam pandangannya, ia melihat sebuah jeruk dengan mata beringas sedang berlari mengejarnya plus 4 pitakan kekesalan disetiap sudut wajahnya. Jadilah Rukia semakin kencang dan bernafsu untuk meloloskan diri.
Ketika ia menambah kecepatan larinya, lelaki jeruk itu juga tak mau kalah dan ikut menambah kecepatan. Nafas Rukis terengah dan rasanya ia sudah mau mati karena sesak. Ia sudah tidak kuat untuk lari lagi dan satu- satunya cara adalah bersembunyi.
Dengan sekali lompatan, Rukia terjun ke lantai bawah dan sempat membuat lelaki dibelakangnya itu tercengang. Ia mendengar teriakan dari laki- laki dilantai atasnya dan seolah tak peduli dengan itu, Rukia kembali melompat keluar jendela dan melesat. Melemparkan dirinya dibalik semak- semak yang lebat dan sebisa mungkin menyembunyikan nafasnya yang tersengal. Beberapa detik kemudian, ia mendengar suara langkah kaki yang berhenti dan sengalan nafas yang memburu. Rukia meneguk liurnya dan berharap semoga ia tak akan tertangkap. Lelaki itu menyeka keringat didahinya sambil berkata :
" Sial...kemana dia pergi..."
Rukia mengatupkan mulutnya rapat- rapat dan berusaha menahan nafas meskipun sesaknya bukan main saat lelaki itu kembali bergumam:
" Kalau kutangkap akan kupatahkan lehernya. "
Membuat jantung Rukia tercekat dan dia hanya bisa terpejam. Berdoa semoga laki- laki jeruk itu tidak menemukannya. Dalam hati Rukia sudah komat- kamit memanggil segala nama yang bisa ia ucapkan agar ia dapat terlolos dari bahaya. Ia sedikit merasa lega ketika mendengar langkah lelaki itu kembali berlari menjauh dan benar- benar bisa bernafas lega saat derap langkahnya tak terdengar lagi. Rukia mengintip dari balik semak, memastikan tak ada siapa pun disana dan begitu bersyukur saat melihat halaman belakang yang lengang. Ia merangkak keluar dari semak perlahan dan kembali menghela nafas. Disekanya keringat yang sejak tadi ia biarkan mengalir membanjiri wajahnya dan memilih untuk duduk sejenak disana, menghilangkan gemetar dikakinya setelah berlari. Rukia baru saja akan rileks ketika teringat akan alat lukisnya yang masih tertinggal di gerbang koridor tempatnya melihat lukisan tadi dan kembali membuatnya gelisah. Ia memegang dahinya yang mengerut. Jika aku kembali kesana, maka itu akan menjadi terakhir kalinya aku melihat dunia karena lelaki jeruk itu pasti akan menangkapku. Dia tidak akan membiarkanku lolos kali ini, gumam Rukia menggigit bibir bawahnya. Tapi, jika tidak diambil, semua sketsa lukisanku ada disana dan rencananya akan kutunjukkan pada Ukitake Sensei agar bisa meyakinkannya bahwa aku memang pantas masuk disekolah ini karena bakat yang kumiliki.
Rukia memejamkan matanya dengan pikiran yang mulai berkecamuk. Ia dalam dilema sekarang. Dan lagi- lagi hanya menghela nafas yang bisa dilakukannya. Ia membuka mata, menatap langit biru yang tertutup rindang pepohonan seolah jawaban dari semua masalahnya sedang tergantung disana. Berpikir dan akhirnya memutuskan dengan mantap. Dibangkitkannya tubuh mungilnya perlahan lalu menepuk jeans hitamnya yang kecoklatan karena tertempel remah tanah dan dedaunan kering yang tersangkut. Setidaknya aku harus menemui Ukitake Sensei dan menceritakan apa yang terjadi, ujarnya beranjak pergi.
Ichigo menyeka keringatnya untuk yang kesekian kali dan memutuskan untuk berhenti mencari 'gadis penyundul sialan' yang telah membuat hidungnya bengkak. Ia terduduk disebuah kursi taman dengan nafas yang terengah lalu menyandarkan punggung kekarnya kebelakang. Wajahnya menengadah dengan mata terpejam, mencoba merasakan hembusan angin yang sedikit menyegarkan tubuh lelahnya. Hari ini benar- benar hari sial Ichigo. Setelah insiden menjijikan dengan sang ayah, sekarang dia harus rela pergi ke dokter untuk memeriksakan keadaan hidungnya gara- gara seorang gadis pendek yang menyundul dengan kepala batunya. Mengingat perbuatan gadis pencuri itu membuat Ichigo geram dan sangat ingin mencekiknya sampai minta ampun. Bagaimana bisa ia dikalahkan oleh seorang gadis?
Ah, Ichigo teringat sesuatu. Gadis itu bukan gadis biasa karena ia melihatnya melompat dari lantai 1 dan berlari seperti kanguru. Ia begitu cepat dan jika saja Ichigo tidak berlari dengan kekuatan penuh tadi, dia pasti sudah kehilangan gadis itu dari garis start pertama, meskipun yah...pada akhirnya ia tak berhasil menangkap gadis itu juga.
Ichigo menghela nafas. Bahunya sudah kembali normal, menandakan ia sudah bisa bernafas dengan teratur kembali. Ia membuka matanya dan dilihatnya bentangan langit biru yang terhampar luas dan terlihat sangat jelas dari bangku taman Karakura High School. Begitu indah. Sapuhan biru dengan warna putih lembut yang dirasa Ichigo seperti sebuah permen kapas. Kapan terkahir kali ia melihat langit biru seperti ini? Ichigo tertegun sejenak. Ah, mungkin semenjak ibunya...
Menyadari sesuatu, Ichigo memejamkan matanya seketika. Seakan ketakutan dan mencoba untuk menutup sebuah pintu yang akan terbuka. Ia mengerutkan keningnya ketika melihat bayangan bocah dengan rambut orange tengah tersenyum pada seorang wanita berambut panjang bergelombang yang sedang membelakanginya. Terlambat, batin Ichigo keruh.
Dengan tergesa ia cepat- cepat menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan seakan apa yang baru saja dilihatnya adalah sebuah hal yang tabu. Namun pemandangan itu tak kunjung hilang seolah usaha Ichigo itu sama sekali tak berguna. Kembali dilihatnya bocah itu tersenyum dan berlari. Jangan kesana...pekik Ichigo.
Bocah itu seperti tak mengindahkan larangan Ichigo dan malah semakin jauh berlari sementara wanita yang ia lihat tadi sudah merentangkan tangannya sembari berteriak.
Jangan kesanaaa..., jerit Ichigo dengan perasaan kalut dan ketika wanita itu berhasil menangkap tangan bocah kecilnya, Ichigo membelalakan matanya dengan nafas yang terengah.
" Jangaan ! " teriak Ichigo mematung dengan urat leher yang menegang. Bahunya naik turun karena nafasnya yang tak teratur.
" Hah...hah...hah..."
Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari dua sosok menakutkan yang selalu saja hadir didepannya saat ia merasa kelelahan. Ia meneguk liurnya dengan mata yang berkeliaran dan was- was. Suasana taman terlihat sepi. Hanya kicauan burung yang terdengar ditelinga Ichigo dan itu membuatnya sedikit merasa lega. Setidaknya, apa yang dilihatnya tadi hanyalah sebuah halusinasi dan bukan kejadian nyata. Ichigo bahkan mendapati tubuhnya bergetar dan jantungnya yang berdetak tak karuan akibat bayangan masa lalunya.
Satu hal yang ia sadari, menjadikannya sebuah masa lalu adalah keputusan yang salah dan benar. Salah karena pada kenyataannya ia tidak bisa sama sekali lupa, dan benar karena hidupnya harus segera move on. Ichigo mencoba sekeras mungkin untuk tidak terikat, namun objek yang ditangkap oleh matanya, terkadang menariknya kembali ke kejadian menakutkan itu.
Anak sulung keluarga Kurosaki itu menunduk. Memikirkan kejadian yang baru saja terjadi dan anehnya, belakangan ini semakin sering dialaminya. Dia harus segera mencari jalan keluar atas permasalahannya ini agar bisa hidup tenang. Tapi bukannya tidak mencari, bukankah dari dulu dia sudah berusaha namun hasilnya nihil?
" Haaahhh..." Ichigo menghela nafas frustasi.
" Aku benar- benar butuh kasur. " gumamnya pada diri sendiri.
Rukia baru saja berjalan mengendap melewati ruang kelas 3-2 ketika tiba- tiba hp nya bergetar dan membuatnya melonjak kaget. Ia menekan dadanya kuat- kuat seakan itu bisa membuat jantungnya sedikit tenang. Dirogohnya saku celana jeans yang ia kenakan dan lekas membuka flap pada ponselnya. Sebuah gambar amplop terlihat dilayar ponsel dan Rukia segera membukanya. Dari Ukitake Sensei? Rukia menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Gawat, apa dia sudah menunggu diruangannya?
From: Ukitake Sensei
Nee, Rukia-san. Maafkan aku karena tiba- tiba ada urusan mendadak,
aku tidak bisa menemuimu hari ini.
Ah, tapi mengenai lukisanmu, Byakuya sudah
mengirimkan contohnya padaku.
Aku akan menemuimu besok disekolah.
Jaa ne~
Mata Rukia membesar. Ia kembali membaca pesan yang baru saja dikirimkan oleh guru lukisnya dan ia tidak salah membaca. Kakak iparnya, Byakuya-sama, telah mengirimkan contoh lukisan miliknya pada Ukitake Sensei. Lukisanku? Kening Rukia berkerut dan ia mencoba berpikir. Mungkin ada beberapa lukisan yang terpajang dikamar dan Nii-sama mengirimkannya pada Ukitake Sensei, Rukia coba menganalisa. Semburat bersalah timbul di wajah gadis Kuchiki itu tat kala lagi- lagi dia merepotkan kakak iparnya. Ia sudah memutuskan untuk keluar rumah dan mengurusi segalanya sendiri. Ia tidak ingin membawa nama Kuchiki bersamanya saat ini karena ia mau berdiri dengan usahanya tanpa embel- embel keluarganya. Dan jika sudah berhasil, baru dia merasa pantas membawa nama Rukia Kuchiki dengan bangga. Ya, dia tidak mau membuat malu keluarga kakak iparnya yang sudah begitu baik dan banyak membantu selama ini dengan kekurangan yang ada pada dirinya dan bersembunyi dibalik nama salah satu bangsawan terhormat di Karakura itu. Ia bukan gadis lemah yang mau dipandang dengan kasihan dan sebelah mata. Tantangannya kali ini adalah pembuktian bahwa kebisuannya tidak akan mengurangi sedikitpun kehormatan nama Kuchiki.
Tersadar dari lamunannya, Rukia segera mengetik balasan untuk guru lukis sekaligus teman baik Nii-samanya.
To : Ukitake Sensei
Baiklah, Sensei. Kalau begitu aku akan menemuimu besok.
Maaf merepotkan.
Rukia membaca balasan sms-nya sekali lagi dan setelah yakin dia tidak akan memberitahukan Ukitake Sensei kalau dia sudah ada disekolah, jemarinya memencet tombol Send dan sms pun terkirim. Rukia menutup flap ponselnya dan merubah rencananya untuk hari ini. Alat lukisnya hilang meskipun sebenarnya tidak hilang, ah, baiklah mari kita anggap saja alat lukis itu sudah tiada karena kemungkinan 0% untuk mengambilnya kembali, jadi dia harus membeli yang baru. Kalau begitu, dia harus segera bergegas pergi dari sekolah itu sebelum manusia jeruk menemukannya dan membinasakannya dari mukabumi. Membayangkannya saja sudah membuat Rukia bergidik ngeri. Ia menggelengkan kepalanya keras dan segera beranjak sambil terus mengendap waspada.
" Aku sedang ditoko...Iya, aku tahu...Berisik... "
Suara serak seorang lelaki membuat Rukia menoleh. Terlebih lagi nada bicaranya yang terkesan malas dan merasa terganggu. Ia kini berdiri tepat disamping Rukia sambil terus mengetuk ramen pedas yang ada didepannya. Membiarkan mata bulat Rukia menatapnya dan orangnya sendiri tampak tidak peduli.
" Jangan memerintahku ! " teriak lelaki berambut biru eksentrik itu akhirnya menutup ponsel dan sukses membuat Rukia terkejut. Ia buru- buru memalingkan wajahnya. Mengambil dua bungkus ramen yang pada kenyataanya memiliki rasa yang sama meskipun ia terlihat sedang meninbang mau beli yang mana, seperti orang bodoh.
" Sial...kenapa dia cerewet sekali..." keluh lelaki dengan tampang sangar itu membuat Rukia berpikir bahwa ia sedang bertengkar dengan pacarnya. Ah, tapi apa peduli Rukia. Ia segera menyingkir pergi untuk mencari zona aman dan mengurungkan niatnya membeli ramen. Malam ini Rukia berencana untuk makan ramen saja di apartemen bobroknya sebagai makan malam, tapi sepertinya lagi- lagi takdir berkehendak lain. Buktinya sekarang ia harus membeli telur dan memilih sayuran dengan malas. Kalau saja lelaki itu tadi tidak datang, sesal gadis berkemeja biru itu pelan sambil terus membayangkan kuah ramen yang panas dan kental.
" Toko macam apa ini ? "
Lagi- lagi Rukia dikejutkan dengan suara yang sama dan kepalanya juga otomatis mencari biang kerok yang membuyarkan lamunannya. Ia melihat seorang lelaki berjaket kulit dengan anting dan rambut biru jabrik melawan gravitasi tengah berdiri di depan kasir yang pada kenyatannya adalah lelaki ramen yang ia lihat tadi.
" Kau tidak menjual wine ? " tanyanya lagi tak percaya.
Rukia melongo. Untungnya ditoko itu hanya ada dia, penjaga kasir dan juga lelaki sableng yang dengan entengnya bertanya tentang wine disebuah minimarket kecil begini, karena jika tidak, pasti banyak pengikut Rukia yang juga menjatuhkan mulutnya ketika mendengar pertanyaan gila itu.
Lelaki itu mendengus. Tampak kekesalan diwajahnya dan membuat penjaga kasir mundur selangkah karena takut. Rukia mengerjapkan matanya. Dalam hati ia merasa kasihan dengan gadis yang berhadapan dengan lelaki yang lebih mirip yakuza itu, tapi dia juga sedang malas untuk berbuat sesuatu. Dan jadilah Rukia kembali memilih sayuran dan dengan cueknya larut dalam dunianya sendiri.
Membutuhkan waktu sepuluh menit bagi Rukia untuk menyelesaikan aktivitasnya memilih sayuran. Ketika ia menggeser kepalanya ke belakang, kasir sudah sepi dan itu tandanya lelaki ramen itu sudah hilang. Gadis mungil itu melangkah mendekati kasir, mengeluarkan isi dalam keranjang belanjanya dan merogoh tas yang ia sampirkan dibahu, mencari dompet bentuk chappy kesukaannya.
" 4.500 yen. " ujar kasir minimarket sembari tersenyum. Ah, dia sungguh profesional, ucap Rukia terkagum. Bahkan dirinya akan segera menutup toko detik itu juga jika bertemu dengan lelaki semacam lelaki ramen tadi.
" Terima kasih. "
Rukia membungkuk dan bergegas pergi setelah mengambil kembalian. Ia menghirup udara malam yang terasa sejuk didepan pintu minimarket. Musim panas sebentar lagi selesai dan ia tidak perlu menganggarkan untuk membeli kipas lagi. Rukia merasa beruntung karena selama musim panas ia masih menikmati sentuhan AC dirumahnya dan baru memutuskan pergi setelah hampir musim yang dirasanya menyiksa itu berakhir. Jika tidak, maka ia harus kerja ekstra untuk menambal biaya hidup, menyewa apartemen bobroknya dan juga pembelian kipas yang semakin menguras isi dompetnya.
Rukia menghela nafas, melangkahkan kakinya menuruni tiga anak tangga dan berjalan santai. Ia memutar tangan kirinya dan jam sudah menunjukan pukul 07. 15 malam. Itu berarti dia harus mempercepat langkahnya jika tidak mau kemalaman.
Namun, baru saja lima langkah berjalan, ia mendengar suara teriakan yang kembali membuat kepalanya berdenyut. Ia berhenti dan tampak segurat kekesalan menggantung di wajahnya. Kenapa aku harus mendengar begitu banyak teriakan hari ini, sih? keluhnya berhenti tepat di ujung lorong. Dan saat ia menoleh, tiga orang lelaki tengah berdiri sambil bercakak pinggang dan mengitari seorang lelaki yang terduduk dibawahnya.
" Kubilang keluarkan uangmu ! Apa kau tuli ?! " teriak yang berjaket abu- abu ditengah.
Pemalakan? Dimalam hari begini? Dahi Rukia mengerut dan berjalan mengendap untuk kabur saja dan tidak mau ikut campur.
Tapi sebelum kakinya berlanjut, sebuah teriakan tiba- tiba menghentikannya dan membuatnya terkejut.
" Oi, rambut biru, jawab ! "
Eh...Rambut biru katanya? Rukia mengerjapkan matanya. Seakan kata 'rambut biru' itu menggantikan namanya sehingga ia menoleh. Ia mengurungkan niatnya untuk pulang dan mengintip dari balik tembok lorong. Matanya menyipit mencoba melihat lelaki yang kini sedang terduduk disana dan berusaha keras memperbesar gambarnya melalui celah sempit diantara kerumunan lelaki berpostur tinggi itu. Samar- samar ia melihat rambut biru yang tidak asing dan ketika salah satu dari mereka bergeser, nampaklah kini lelaki ramen sedang terduduk sambil menunduk dan itu membuat Rukia terkesiap. Itu benar- benar lelaki ramen, jeritnya menutup mulut.
Bagaimana ia bisa berakhir disana? Dia kan terlihat sangat garang dan aku bahkan sangat yakin kalau dia jago berkelahi,gumam Rukia seakan tak percaya kalau pendapatnya kali ini salah. Tapi, apa yang kulihat ini? Rukia kembali menjengukan kepalanya. Ah, dia benar- benar tak berdaya, bisiknya iba.
" Oi, kenapa dia diam saja? Lebih baik kau ambil dompetnya. Dia pasti sangat kaya. " perintah lelaki yang ditengah.
Entah bagaimana, Rukia juga sangat setuju jika lelaki ramen itu terlihat seperti orang kaya. Jaket yang ia kenakan terbuat dari kulit dan Rukia tahu bahwa itu barang mahal hanya dengan sekali lihat. Yah, paling tidak, sebelum memutuskan untuk tinggal sendiri, Rukia adalah putri keluarga kaya. Jadi matanya bisa menyensor barang mahal dengan sinar lasernya. Ditambah lagi dia mencari wine? Mengingat pertanyaan bodoh yang dilontarlan lelaki ramen diminimarket tadi membuat Rukia menatapnya malas. Bagaimana mungkin ia bisa berakhir diantara para pemalak itu?
" Dia tidak bergerak juga. "
" Orang aneh. Ambil dompetnya. Jika macam- macam, kita tusuk saja dengan pisau. "
Mendengar kata 'pisau' membuat Rukia terkejut setengah mati. Ia sudah tidak bisa tinggal diam lagi. dan ia sadar betul, setelah apa yang akan ia lakukan nanti, ia akan menyesali perbuatannya karena selalu ikut campur urusan orang.
BUAKHH
" Akkhhhh! "
Lelaki bertopi yang berdiri ditengah memekik sambil memegang kepalanya yang baru saja dilempar sepatu Rukia. Sepatu itu dibuat dari bahan karet yang lumayan berat dan akan menimbulkan gegar otak ringan jika terkena. Terbukti satu anggota pemalak itu terhuyung dan akhirnya terbungkuk.
" O..oi, kau tidak apa- apa ? " tanya temannya sambil membungkuk karena lemparan Rukia cukup kuat dan mengenai telak diotak belakang.
" Sial. Apa itu tadi..." jawab lelaki itu mengusap bagian belakang kepalanya sambil meringis kesakitan.
" Hei, kau pikir apa yang kau lakukan , haah!" teriak lelaki yang berada di sebelah kanan dan menatap Rukia dengan marah karena acara mereka terganggu.
Rukia hanya diam. Bukannya tidak mau menjawab, tapi dia tidak bisa menjawabnya. Menggunakan bahasa isyarat tidak akan bisa dimengerti oleh orang awam seperti mereka. Yang ada malam memperkeruh keadaan. Jadilah Rukia hanya diam dengan mata beringasnya dan dibalas dengan tatapan yang tak kalah beringas dari dua lelaki didepannya.
" Gadis kurang ajar. Kau benar- benar cari mati, ya. " desis lelakiyang terserang sepatu Rukia berdiri dengan mata berkilat. Ditangannya sudah tergenggam pisau yang terlihat berkilau dimata Rukia dan sempat membuat gadis itu down.
Kepalanya sudah memutar otak menyusun rencana agar dia dan lelaki ramen itu bisa selamat. Dan strategi itu dibuka dengan kutukan begitu melihat lelaki ramen masih tetap terdiam dalam posisinya. Sial, kenapa aku harus repot- repot begini, sih, keluhnya. Rukia benar- benar tak menyangka kalau dugaannya tentang lelaki itu salah besar karena pada kenyataannya dia hanyalah lelaki pengecut tanpa daya yang saking ketakutannya hanya bisa duduk membisu disana tanpa mempedulikan jiwa Rukia yang terancam. Ia benar- benar menyesal ikut terlibat dalam masalah ini. Jika Nii-samanya tahu, Rukia pasti sudah dihukum seberat- beratnya akibat kecerobohannya sendiri.
" Kau harus merasakan sakitnya kepalaku yang kau lempar dengan sepatumu. " ujarnya lagi dan mengambil ancang- ancang untuk menyerang Rukia sebelum akhirnya aksinya itu mendadak terhenti karena pergerakan dari...lelaki ramen !?
" Oaaaaahhhhh...mmmm..."
Lelaki ramen menguap sambil mengangkat kedua tangannya keatas. Menggeliat.
Rukia terbengong, lelaki yang akan menyerangnya tadi mematung dengan pose siaga dua, temannya yang ada disisi kiri membiarkan mulutnya menganga dan anggota yang terakhir hanya bisa mengatupkan mulut rapat- rapat dengan dahi yang mengerinyit.
" Ehmmmm...pegal rasanya..." gumam lelaki ramen memijat pelipisnya sambil menguap malas dan tidak menghiraukan empat mahluk yang kini sedang menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ia mendongak dan baru detik itu sadar ada mahluk bernama 'orang' yang lain yang ada disekelilingnya.
" Ng? " Ia menaikan kedua alisnya. Menatap lelaki dihadapannya secara berurutan dan terakhir jatuh pada Rukia yang sedang berwajah melongo.
Lelaki ramen itu terdiam sejenak seolah sedang mencerna apa yang terjadi ketika dilihatnya lelaki berjaket abu tengah memegang pisau dan membelakanginya.
" Apa yang kalian lakukan? " tanyanya dengan suara kasar dan membuat Rukia mendengus tak percaya.
Tidur? Dia sedang tidur? teriaknya terdohok. Orang aneh mana yang bisa tidur dilorong seperti ini? Imbuh Rukia. Ia menggaruk dahinya yang berkerut seakan menyadari sesuatu. Mulutnya tersenyum kaku dan kepala Rukia mengangguk- angguk mengerti. Pantas saja dia dipalak.
" Cih, lelaki ini benar- benar aneh. Maatiii kaaau ! "
Tanpa ba-bi-bu, tiba- tiba lelaki yang akan menyerang Rukia tadi berganti mangsa dan menarik tangannya bersiap untuk menusuk lelaki ramen. Rukia membelalak kaget sementara lelaki ramen hanya menatap penyerangnya dengan mata dingin tanpa berniat melakukan apa- apapun. Dan akhirnya, Rukialah yang harus berinisiatif menolongnya karena ia tahu lelaki ramen tidak bisa berkelahi seperti perkiraannya.
Dan...
DUAAKHHH
Rukia melayangkan tendangan terbangnya dan mampu membuat pemalak itu tersungkur diantara tong sampah. Terdiam sambil mengerang kesakitan dan akhirnya tak bergerak. Tanpa menunggu jeda, Rukia kembali melancarkan serangannya. Ia mengangkat tangan kananya sebagai pertahanan sementara tangan kirinya memukul bagian ulu hati anggota nomor dua yang tidak dalam keadaan siap serang dan membuat tubuhnya oleng membentur dinding lorong. Ia terbatuk sambil memegangi perutnya yang Rukia yakin terasa pias. Lalu anggota nomor tiga dengan wajah jengkel mengeluarkan pisaunya sedangkan lelaki ramen hanya tercengang dengan aksi hero Rukia.
Melihat pisau yang berkilat tajam membuat nyali Rukia ciut juga. Ia tidak akan segila itu sampai berani menyerang langsung lelaki bersenjata dan akhirnya, Rukia hanya bisa lari ngibrit ketika anggota nomor tiga mengacungkan pisaunya dengan kemarahan yang meluap. Ia bahkan lupa sama sekali dengan belanjannya yang teronggok begitu saja di tembok lorong dan memilih kabur untuk menyelamatkan diri.
" Berhenti kau gadis brengsek ! " teriak anggota nomor tiga yang melupakan tujuannya semula memalak lelaki ramen dan malah mengejar Rukia. Apa yang sedang dilakukan Rukia saat ini memanggil memorinya kembali ke kejadian yang menimpanya tadi pagi saat ia dikejar- kejar oleh lelaki jeruk. Mengingat wajah bengis lelaki jeruk membuat Rukia meringis. Ia bahkan tak tahu kenapa dia harus sesial ini karena selalu berurusan dengan melarikan diri. Pertama dengan lelaki jeruk dan alat lukisnya hilang, lalu sekarang dengan lelaki ramen dan belanjaannya juga hilang. Satu hal yang membuat Rukia bertambah jengkel adalah... mau makan apa dia malam ini!
Rukia berteriak gusar meskipun hanya terlihat seperti ikan koki yang kehabisan oksigen karena ia tak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Ia menambah kecepatan larinya meninggalkan anggota nomor tiga yang berhenti karena tak sanggup lagi mengejar. Lelaki itu terbungkuk sambil terengah dan menyeka keringatnya. Berusaha mengiklaskan Rukia yang kini sudah tak nampak lagi.
Sementara itu lelaki ramen masih melongo menatap lorong dimana Rukia tadi pergi. Ia benar- benar terlihat bingung dengan apa yang baru saja terjadi dan kebingungannya bertambah saat matanya menangkap sebuah kantong belanjaan besar di ujung lorong milik Rukia.
" Ukh...hhh..."
Anggota nomor satu yang tergeletak di tumpukan kantong sampah mulai bergerak dan mendapatkan perhatian lelaki ramen. Ia mengaduh sambil berusaha bangun namun tubuhnya kembali terjatuh.
Lelaki ramen itu bangkit dari duduknya, menghampiri anggota nomor satu dan menggoyangkan tubuhnya dengan kaki.
" Oi. " panggilnya mendorong kaki lebih kuat. Namun tubuh yang tergeletak dibawahnya itu tidak bergerak sama sekali.
" Cih, lemah sekali. " komentarnya memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan memutar kepalanya menatap anggota nomor dua. Yang itu juga sama saja, batinnya dalam hati.
Ia mendecak. Mengingat tendangan melayang gadis berambut hitam yang tiba- tiba dan juga pukulannya yang tepat mengenai ulu hati. Jika dilihat dari caranya berkelahi, gadis itu bukanlah gadis biasa karena dia memiliki teknik dan tahu dimana letak titik vital pada tubuh manusia. Harus diakui ia sempat tercengang dengan gerakannya itu. Tapi yang ia bingungkan adalah...kenapa pula gadis itu harus menolongnya?
Lelaki ramen merogoh saku celananya dan bukannya berusaha mencari jawaban atas pertanyannya, ia malah menyulut sebatang rokok dan meninggalkan TKP dengan santai.
" Gadis yakuza..." gumamnya lirih sambil menghembuskan asap rokok ke udara.
Hari pertama setelah libur musim panas berlalu dan sekolah yang lengang mulai terlihat ramai dipenuhi siswanya yang mulai berdatangan. Mobil masuk dan keluar silih berganti untuk mengantarkan para pelajar Karakura High School dan menyibukkan penjaga sekolah untuk mengatur arus lalu lintas. Meskipun hampir seluruh siswanya berasal dari keluarga konglomerat, namun sang kepala sekolah dengan tegas melarang para siswa untuk mengendarai motor terlebih lagi mobil dilingkungan sekolah. Jadi, mau tidak mau, mereka hanya akan diantar saat jam pertama dan dijemput ketika jam terakhir selesai untuk kembali ke rumahnya masing- masing.
Di depan pintu gerbang saat ini, layaknya anak dari keluarga elit yang lain, Ichigo Kurosaki menapakkan kakinya setelah sang sopir membukakan pintu mobil dan membungkuk dihadapannya. Ia membiarkan rambutnya bergoyang tertiup angin dan memilih untuk menjinjing tasnya dengan tangan sebelah kanan. Melewati sopirnya yang masih membungkuk memberi hormat dan berjalan memasuki halaman sekolah.
Ketika Ichigo masuk, ia terpaksa harus berhenti sesaat dan menghentikan langkahnya ketika kerumunan siswa berjajar didepannya seperti sebuah barikade. Ia hanya menatap lurus ke depan dan menampilkan wajah super dingin saat berjalan ditengah kerumunan siswa yang membelah memberinya jalan masuk. Seluruh penghuni disekolah tentu sudah tahu bahwa Ichigo adalah anak dari pemilik sekolah yang kayanya bukan main dan semuanya menghormati Ichigo seperti seorang pangeran. Namun, bukan Ichigo namanya jika ia terlena dengan itu semua karena pada kenyatannya ia tampak cuek dengan pandangan terpesona para siswi dan memilih untuk berjalan santai tanpa menoleh.
" Ah...se...selamat pagi...Ku...Kurosaki-kun..." sapa gadis berambut orange yang berdiri dikoridor masuk malu- malu. Ia memilih untuk menunduk dan tak menatap mata Ichigo ketika memanggil namanya dan itu membuat sang pangeran tertular salah tingkah. Kedua teman Ichigo, Ishida Uryu yang menjabat sebagai Ketua OSIS dan wakilnya, Renji Abarai, hanya meilirk ke arah Ichigo sebelum akhirnya Renji memilih untuk memelototi layar ponselnya dan melanjutkan game-nya yang sempat tertunda.
Ichigo merasakan mulutnya kaku dan ia tersenyum sebisa mungkin.
" Pagi, Inoe-san. " balasnya membuat siswi yang ada dihadapannya itu kini bersemu kemerahan membuat Ichigo bertambah salah tingkah dan hanya bisa menggaruk kepalanya. Ia benar- benar bingung harus bersikap seperti apa jika berhadapan dengan gadis yang saat ini telah menjadi pacarnya sejak satu minggu yang lalu itu.
Orihime Inoe adalah adik dari teman dekat Ichigo yang sudah meninggal dan harus ia jaga karena pesan terakhir dari sang kakak yang menitipkan adiknya pada Ichigo. Kejadian itu sudah berlalu selama dua tahun dan Ichigo masih belum terbiasa dengan kehadiran Orihime di hidupnya. Ia sudah berusaha memberikan apapun yang ia bisa, membantunya dan terus menjaganya, bahkan menerima permintaan Orihime untuk menjadikan Ichigo sebagai pacarnya sekalipun telah ia lakukan asal membuat gadis itu senang. Baginya, Orihime menjadi prioritas utama setelah keluarganya dan seiring berjalannya waktu, Ichigo yakin ia akan menyukainya meskipun hingga detik ini rasa itu belum muncul juga.
" Aku dengar Grimjjow sudah pulang dari Amerika. " tukas Ishida membalik halaman buku psikologinya langsung membuat Ichigo melebarkan pupil matanya dan menghentikan Renji dari keasyikannya bermain game.
" Apa kau sudah tahu itu, Ichigo? " tanyanya lagi menatap dari balik kacamata dan menunggu jawaban. Renji mengalihkan pandangannya dan kini ikut menatap Ichigo yang masih dilanda keterkejutan.
" Tidak..." jawabnya pelan hampir tidak terdengar. " Aku tidak tahu. " lanjutnya seolah ingin meralat apa yang baru saja ia katakan. Wajah Ichigo kini mendadak muram dan kedua temannya tahu apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki nomor satu di Karukara High School itu. Permusuhan yang diawali dengan sebuah persahabatan adalah akhir yang pahit bagi keduanya. Sangat menyakitkan hingga Ichigo selalu merasa ngilu dihatinya setiap kali ia mendengar nama 'Grimjjow Jagerjaquez' bergema ditelinganya dan terkenang lagi dengan sebab perpecahan persahabatan mereka berdua yang dipikir Ichigo tak akan retak oleh apapun. Namun kenyataan berkata lain. Persahabatan yang ia bangun dengan sebuah kepercayaan harus pecah berkeping- keping oleh sebuah pengkhianatan.
" Begitu..." Suara Ishida terdengar mengambang membuatnya kembali mendapatkan perhatian Ichigo yang sempat melayang ke tiga tahun yang lalu.
" Mungkin sebentar lagi dia akan datang. "
Satu detik setelah Ishida menyelesaikan perkatannya, semua murid langsung berlari menuju halaman sekolah sambil berteriak- teriak ribut dan mereka bertiga tahu apa penyebabnya.
Seorang lelaki berambut biru dengan seragam sekolah Karakura High School berjalan memasuki halaman sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.
" Aahhh...Dia benar- benar asli! "
" Itu Grimjjow ! "
" Dia sudah pulang dari Amerika. "
" Benarkah dia bersekolah disini? "
Teriakan- teriakan tak percaya para murid disambut dengan wajah sangar khas milik Grimjjow yang bahkan tidak menggubris histeria disekelilingnya. Ia berjalan santai sambil terus menjadi pusat perhatian dan baru berhenti ketika ia melihat mahluk berambut kuning sedang berdiri di depan koridor masuk. Grimjjow Jajerquezz, lelaki berkuasa nomor dua dengan wajah sangar yang tampan dan bisa membuat para siswi meleleh itu, akhirnya menyeringai.
" Yoo, Ichigo. Sudah lama tak bertemu. " sapanya membuat Ichigo membalikkan badan dan menatapnya dengan dingin.
Suasana berubah hening dan ketegangan yang terpancar dari keduanya terasa menusuk. Tidak ada murid yang berani bersuara dan mereka memilih untuk berbisik sepelan mungkin jika ingin berbicara atau memberi komentar. Kebisuan diantara dua lelaki paling berkuasa disekolah menyumbat kerongkongan siswa lainnya hingga mereka hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi dengan was- was.
" Hee..." Grimjjow tersenyum culas. " Kenapa berwajah seperti itu. Aku kan hanya menanyakan kabarmu. " ujarnya dengan wajah yang seolah menemukan suatu hal yang lucu.
" Apa kau belajar itu di Amerika? " Ichigo balik bertanya dengan wajah datarnya, berusaha menyembunyikan emosi yang mulai naik.
" Apa itu jawaban dari pertanyanku? "
" Apa kau kurang puas dengan jawabanku?"
Ichigo kembali menjawab dengan cepat dan membuat Grimjjow tersenyum. Sudah lama ia tidak merasakan gejolak panas seperti saat ini dan dia yakin hari- harinya akan menarik mulai saat ini. Kepulangannya dari Amerika bukanlah keputusan yang salah.
Grimjjow terkekeh dan membuat terkejut semua orang. Ia menatap Ichigo dengan mata tajamnya. Mengirim sebuah tantangan yang hanya ditanggapi dengan datar oleh Ichigo.
" Ini akan menjadi menarik. " bisiknya menyeringai senang. Grimjjow baru saja akan melanjutkan aksi pemanasannya ketika tiba- tiba saja telinganya menangkap suara gaduh dari balik punggungnya dan...
BRUKH
Semua mata yang tadinya memperhatikan dua mahluk super ganteng yang bersitegang, kini beralih ke sosok gadis mungil yang tiba- tiba muncul dan jatuh terjerambab dengan wajah memelas. Suara berdebam yang ia ciptakan cukup keras hingga mampu menyedot perhatian seluruh mahluk yang ada disana. Ia hanya mengaduh tanpa mengeluarkan suara sambil mengusap hidungnya yang memerah akibat berbentur dengan notebook miliknya. Ia tidak menyadari, dua pasang bola mata sedang memperhatikannya dengan seksama. Pemilik bola mata itu sama- sama mengernyitkan dahi dan berpikir sejanak. Mencoba mengingat diamana gerangan ia pernah bertemu dengan gadis malang dihadapannya itu. Dan sepuluh detik berikutnya dengan waktu yang bersamaan, Ichigo serta Grimjjow menampilkan ekspresi 'ah' diwajahnya dan berteriak :
" Gadis Pencuri. "
" Gadis yakuza. "
Secara bersamaan dan membuat gadis yang tengah tengkurap itu mendongak sambil tak melepaskan jarinya yang mengelus ujung hidung. Matanya membelalak seketika dan seolah mendapat freeze, tangannya yang sedari tadi sibuk mengusap hidungnya kini terhenti. Hanya bole matanya saja yang bisa bergerak menatap Ichigo, lalu Grimjjow, berbalik ke Ichigo lagi dan kembali ke Grimjjow sampai akhirnya ia memilih untuk menatap kosong ke arah kanvas yang tergolek ditengah mahluk tampan dihadapannya. Sementara Ichigo dan Grimjjow kini saling bertatapan dengan wajah dingin karena mereka mengucapkan sapaan berbeda namun pada satu gadis secara bersamaan.
Gadis bermata violet itu hanya bisa menganga tak percaya.
Lelaki jeruk...Lelaki ramen ?
