•⭐スキキス⭐•

-Suki to Kisu-

By: Ietsuna G. Ventisette

G27

Cast: Giotto (Ieyasu Sawada); Tsunayoshi Sawada

Rated: T

Genre: Drama, Romance

Katekyo Hitman Reborn!

©Akira Amano


[!]

OOC

•••


Seseorang masuk ke dalam kelas. Ia berdiri dekat meja guru. Pirang dan bermuka pucat. Masih belasan tahun, namun tampak seperti pria muda berumur 20 tahunan. Ia memerhatikan warga kelas yang tampak mulai menaruh minat padanya. Ia tersenyum.

"Sawada Ieyasu. Salam kenal dan mohon bimbingannya," katanya seraya membungkuk.

Sawada? Warga kelas mulai berbisik-bisik tentang murid baru yang pindah di tengah-tengah semester itu dan kemudian mereka menoleh pada "Sawada" lainnya. Mereka memerhatikan keduanya. Mirip. Mereka berkerabat?

Bukan sapaan yang ia terima. Melainkan obrolan kecil yang kurang ia mengerti. Mirip? Apanya? Ia memerhatikan remaja yang menjadi perbincangan. Remaja berambut cokelat. Ia perhatikan remaja itu. Tampaknya dia sedang melamun. Ieyasu menjadi penasaran karenanya.

Sawada lain yang memiliki nama lengkap Sawada Tsunayoshi mengerjap dan celingukan. Kenapa mereka memerhatikannya? Ia fokus ke papan tulis dan memerhatikan tulisan yang tertera. "Eh?" mengerjap. Kanji yang sama dengan nama keluarganya. Mereka memiliki marga yang sama. Tapi ia yakin tak memiliki hubungan kekerabatan dengannya.

Setelah itu mereka saling bertemu pandang tanpa sengaja. Ieyasu yang pertama mengakhiri. Ia segera duduk di kursinya. Tepat di samping remaja itu. Sedang Tsuna, ada sesuatu yang menjalari tubuhnya. Entah apa itu.

Kembali mereka menoleh dan bertatap muka satu sama lain. Keduanya memberikan senyuman dan anggukan kecil. Rasa canggung menjadi jarak keduanya. Tak ada obrolan untuk saling memperkenalkan diri. Hanya diam seolah mereka sudah berteman.

Ieyasu Sawada. Satu nama yang mulai mengganggu pikiran Tsuna. Padahal selama ini ia tak pernah memikirkan seseorang sampai sejauh itu. Mungkinkah perasaan itu nyata baginya?

"Ah!" Tsuna mengerang frustasi.

Tsuna tak sengaja menjatuhkan bukunya saat akan memasukkannya ke dalam tas. Ketika ia berjongkok akan mengambilnya, tangan lain sudah lebih dulu mengambilnya.

"Eh?" Tsuna menelusuri tangan itu hingga tahu siapa orang yang telah mengambilnya. Dia Ieyasu. Ternyata dia masih di kelas. Ia tak menyadarinya.

"Bukumu," kata Ieyasu sambil menyerahkan sebuah buku. Ia tersenyum ramah.

"A, ah! I, iya... Arigatou." Tsuna tak bisa menyembunyikan wajah merahnya dari Ieyasu. Ditambah tangan Tsuna tanpa sengaja menyentuh tangan itu. Membuat jantung Tsuna berdebar hebat.

Kenapa!? Tsuna berteriak frustasi di dalam pikirannya. Ia segera berdiri dan memalingkan wajahnya. Menutupi sebagian wajahnya dengan buku.

"Aku Sawada Ieyasu," kata Ieyasu seraya mengulurkan tangan.

Haruskah Tsuna menyentuhnya lagi!? "Sawada Tsunayoshi," katanya pelan dan menjabat tangan Ieyasu. Suhu tubuhnya mendingin. Aneh.

Ieyasu tertawa pelan. "Ternyata namamu juga Sawada. Pantas saja tadi kita dibicarakan," katanya ringan.

"I, iya." Tsuna mengangguk kecil. Ieyasu sepertinya mudah bergaul. Hanya berbicara seperti ini saja, sudah membuatnya tak canggung lagi. Tsuna segera memasukkan bukunya ke dalam tas. "Anō, aku harus segera pulang."

"Begitu ya," gumam Ieyasu. Ia tampak kecewa. "Ah, apa kita bisa pulang bersama?" tanyanya penuh harap. Ia tak ingin obrolannya sesingkat itu.

Tsuna mengerjap. Ia mengangguk kecil. "Tentu." Ia tersenyum. "Jalan kita sama." Tsuna sempat mendengar tempat tinggal Ieyasu. Jadi ia bisa menyimpulkan bahwa mereka searah.

"Itu bagus." Ieyasu tersenyum puas.

Dari obrolan ringan mereka, Tsuna sedikit tahu lebih banyak tentang Ieyasu. Ternyata dia memang orang Eropa yang jatuh cinta pada budaya Asia.

"Aku merasa tersanjung," kata Tsuna. "Sekaligus juga senang." Ia memberikan senyuman hangat. "Aku merasa seperti berbicara dengan orang Jepang."

"Benarkah?" Ieyasu tak percaya. "Sebenarnya aku kurang merasa percaya diri. Tapi denganmu, aku merasa lebih pandai berbicara dalam bahasa ini."

"Um," Tsuna mengangguk. "Mungkin kau harus bisa beradaptasi dengan pergaulan remaja di sini. Sisanya sama saja."

"Begitu ya..." Ieyasu mengangguk-angguk. "Akan kucoba saranmu, Tsunayoshi."

"Iya. Jangan sungkan denganku." Tsuna merasa aneh. Kenapa ia bisa langsung akrab seperti ini?

"Aku mengerti." Ieyasu menoleh. "Apa aku sangat kaku?" tanyanya penasaran.

"Menurutku tidak. Tapi sebaiknya cobalah untuk tidak terlalu formal dengan yang seusia denganmu," kata Tsuna menyarankan.

Ieyasu mengangguk lagi. "Sekarang aku akan mencobanya. Arigatou."

"Iya, tentu."

Perjalanan pulang mereka lumayan menyenangkan. Dan akhir perjalanan tiba. Ieyasu dan Tsuna berhenti melangkah. Mereka telah tiba di stasiun. Saatnya mereka untuk berpisah. Mereka menaiki kereta dengan jurusan yang berbeda.

"Sepertinya sampai di sini saja," kata Ieyasu sambil berhenti melangkah.

"Iya," Tsuna mengangguk. "Sampai jumpa besok."

"Sampai jumpa."

•••

Sawada Tsunayoshi. Remaja yang memiliki kemiripan dengannya. Ieyasu menyayangkan obrolan mereka yang terasa sangat singkat. Stasiun Namimori menjadi titik perpisahan mereka.

Ia tetap merasa beruntung bisa berteman dengannya. Dengannya seperti air yang mengalir. Ia tak ragu untuk bercerita tentang kehidupannya. Kenapa ia bisa berbahasa Jepang dan sampai kenapa ia sekolah di sini. Sebenarnya ia sendiri tak menduganya sama sekali.

Semakin hari, kehidupannya di negeri asing membaik. Tak ada kendala yang berarti. Kecuali dengan bentuk fisiknya yang mencolok. Ia pun tak menyangkanya sama sekali. Ia langsung menjadi orang populer dalam waktu satu hari.

Ieyasu kira ia akan tetap bisa mengobrol dengan Tsuna seperti sebelumnya. Kenyataannya ia selalu dikerumuni para gadis yang memang jelas-jelas tergila-gila padanya. Tapi sungguh. Tak satu pun yang menarik perhatiannya.

Ia pun sengaja membatasi hubungan dengan teman-temannya. Hubungan dalam komunikasi jarak jauh lebih tepatnya.

"Ieyasu-san," panggil Tsuna pada Ieyasu yang bersiap untuk pulang.

"Ya, Tsunayoshi?" Ieyasu menoleh.

"Bo, boleh aku minta nomor dan e-mail-mu?" kata Tsuna gugup.

"Maaf, aku tidak punya," kata Ieyasu menyayangkan.

Sekarang Ieyasu merasa sangat membutuhkan alat komunikasi itu. "Memangnya ada apa?"

"Eh? Bu, bukan apa-apa," kata Tsuna salah tingkah. "Sungguh."

"Begitu ya," gumam Ieyasu seraya berpikir. Tsuna tampak kecewa. Mungkin untuk yang satu ini... Ia harus memaksakan diri.

"Apa hari ini bisa pulang bersama... lagi?"

"Iya, tentu."

Beberapa hari terakhir ini Tsuna terus saja memikirkan murid baru itu. Murid baru yang langsung populer di hari pertama. Ia iri? Tidak. Hanya saja... Membuatnya sulit untuk mendekati Ieyasu. Apalagi jika sudah berada di tengah-tengah para gadis. Mereka seperti benteng raksasa yang sangat kokoh. Ditambah dengan tubuh mungilnya yang tak berdaya. Yang ada ia akan tenggelam dalam lautan para penggemar Ieyasu.

Helaan napas berat terdengar kembali. Tsuna hanya berbaring di atas tempat tidur di hari liburnya. Ponsel yang ia dapat sebagai hadiah karena telah diterima di SMA menjadi tak begitu berarti jika sebuah e-mail saja tak ia dapatkan dari orang itu.

Tsuna sudah mencoba untuk meminta nomor dan e-mail dari Ieyasu. Tapi dia tak memberinya. Katanya dia tak memilikinya. Mana mungkin!? Rasanya sulit sekali. Padahal Tsuna ingin sekali bisa lebih dekat dengannya.

"Uh!" Tsuna beranjak duduk di atas kasurnya. Menoleh pada meja belajarnya. Di sana ada selembar kertas yang masih kosong. Sebenarnya ia ingin menyatakan perasaannya. Yah, perasaan sukanya. Sekarang ia sudah menyadarinya. Tsuna menyukai Ieyasu. Namun tak semudah yang ia pikirkan ternyata.

"Apa yang harus kutulis!? Sekalipun aku belum pernah membuat surat cinta!" erang Tsuna. Ia mengempaskan tubuhnya kembali. "Dia sulit sekali," desahnya. Ia memejamkan mata. Hari-harinya mulai terisi aktifitas yang tak terduga. Memerhatikan Ieyasu dari hal besar sampai hal terkecil, apa pun itu.

Tetapi dari semua itu... Ieyasu memanggil nama kecilnya sejak hari pertama. Tsuna menutupi wajahnya yang memerah dengan bantal.

•••

Tiga hari.

Satu minggu.

Sepuluh hari.

Dua minggu.

Dua puluh hari.

Dua puluh lima hari.

Satu bulan.

Kertas itu masih kosong. Satu bulan lamanya Tsuna berpikir keras untuk merangkai kata-kata untuk menyatakan perasaannya. Tetapi tetap saja tak bisa ia lakukan.

"Kenapa!?"

Tsuna ingin menangis kali ini. Ia tak memiliki keberanian yang sebesar itu. "Apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika..." Sudah ada orang lain yang mendahuluinya? Tidak boleh. Tidak boleh sampai orang lain merebutnya!

"Tidak ada waktu lagi!"

Apa pun resikonya, ia harus segera mengambil langkah. Jangan sampai ia menyesal dan patah hati tanpa sebab. "Astaga!" Kenapa hal ini tak ia lakukan sejak dulu!? Ia malah membuang-buang waktu hanya untuk berpikir matang. Tapi mungkin... Memang seperti ini jalan yang harus ia tempuh.

Dengan seribu langkahnya, Tsuna berlari ke sekolah dengan tergesa-gesa. Ia harus sampai sebelum Ieyasu sampai lebih dulu darinya. Jika gagal... Akan ia coba lagi. Lagi dan lagi.

"Ini melelahkan..." Tsuna duduk di kursi dengan lemasnya. Sebuah pesan ―tepatnya sebuah memo— sudah ia simpan di loker sepatu Ieyasu. Sekarang ia sudah siap. Jika terjadi hal yang tak terduga, Tsuna memiliki waktu untuk menenangkan diri. Hari ini adalah akhir pekan. Hari terakhir sekolah.

Tsuna tersenyum melihat kursi Ieyasu yang masih kosong. Ia berhasil datang lebih pagi. Itu artinya, ia memiliki waktu untuk bisa sedikit mengobrol dengannya.

"Ohayou."

"Ohayou."

•••

Ieyasu tampak ragu ketika akan membuka lokernya. Hampir setiap hari ia menerima banyak surat. "Semoga hari ini tidak ada." Ia membukanya dan menemukan selembar kertas. Ia menghela napas dan mengambilnya. "Kali ini apa..." desahnya. Ia buka kertas itu. "Loteng, pulang sekolah... Hanya ini?" Ia menaikkan sebelah alisnya. Hanya itu yang tertulis. Ternyata sebuah pesan singkat. Mau tak mau ia harus menemui si pembuat surat itu. Ia segera ke kelasnya dan menemukan Tsuna sudah ada di sana. Tidak biasanya.

"Kau datang lebih pagi," kata Ieyasu ringan.

"I, iya, hari ini aku datang lebih pagi," sahutnya gugup. Tetapi ia tetap mengukir senyuman. "Lalu bagaimana perjalananmu?"

"Hari ini aku tak diikuti lagi," Ieyasu tertawa pelan.

"Sungguh?" Tsuna tertawa kecil. "Hari ini kau beruntung."

"Sangat beruntung."

•••

Ieyasu tersenyum ketika menemukan sosok yang tak asing di depan matanya. "Ternyata orang yang menulis surat itu kau, Tsunayoshi?" terkanya.

"I, iya. Itu aku," kata Tsuna gugup. Ia tak berani menatap wajah Ieyasu.

"Jadi, apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Ieyasu langsung. Meski sebenarnya Ieyasu bisa menebaknya. Mungkin.

"Uh, itu... Aku..." Tsuna mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sepucuk surat. "Tolong baca ini." Tsuna menyerahkan surat itu dengan kedua tangannya.

Ieyasu menerimanya. Ia segera membukanya. Ia mengerjap. Hanya ada dua huruf di dalamnya yang ditulis besar. "Tsunayoshi?" Isinya sebuah... permintaan?

"Aku tak pandai berkata-kata," kata Tsuna pelan.

"Aku mengerti."

Apa maksudnya? Jantung Tsuna berdetak lebih kencang. Bercampur dengan perasaan yang tak karuan. "Ieyasu-san..." Apa ia akan merimanya atau menolaknya?

Ieyasu mendekati Tsuna dan merunduk di depannya. Sedetik kemudian ia menempelkan bibirnya pada bibir Tsuna. Ia mencium Tsuna. Setelah memberinya, ia heran karena Tsuna malah mundur dan menutupi bibirnya dengan wajah merah.

"Tsunayoshi?" tanya Ieyasu bingung sekaligus heran.

"Ke, kenapa kau menciumku!?" protes Tsuna.

"Apa?" Ieyasu mengerjap. "Aku hanya melakukan permintaanmu," katanya membela diri.

"Permintaan?" nada suara Tsuna meninggi. "Aku menulis pernyataan!"

Dahi Ieyasu berkerut. Ia belum paham sama sekali. "Pernyataan?"

"Iya, aku menyukaimu!" kata Tsuna setengah kesal bercampur malu.

"Suka?" Ieyasu membaca kembali surat itu. "キス."

"スキ!"

"Tapi memang seperti ini." Ieyasu menunjukkan surat itu.

"Kau terbalik membacanya, Ieyasu-san." Tsuna benar-benar kesal pada Ieyasu. Apa dia pura-pura bodoh? Atau apa?

"Kau salah menyimpan suratnya, Tsunayoshi. Seharusnya kau menyimpannya dengan benar hingga bisa langsung dibaca." Ieyasu malah menceramahi Tsuna.

"Ha?" Tsuna malah merasa mendapat ceramah. "Cukup! Sekarang apa jawabanmu?" kata Tsuna langsung. Ini sangat memalukan.

Ieyasu menggaruk rambutnya. "Justru seharusnya aku yang bertanya seperti itu."

Tsuna yang sudah emosi langsung terdiam. "Eh? Kenapa?"

"Kau tahu sendiri kan, hubungan macam apa ini?" Ieyasu agak sulit menjelaskannya.

"Aku tahu. Bagiku tak masalah. Aku yang menjalani dan yang merasakannya. Bukan mereka," kata Tsuna tegas. Matanya menatap dengan kesungguhan.

Ieyasu bisa melihat kesungguhan itu. Ia tertawa kecil dan kemudian memeluk tubuh mungil dari Sawada Tsunayoshi. "Tadinya kukira hanya aku yang memiliki perasaan ini," ungkapnya.

"A, apa...?" Entah apa yang Tsuna rasakan saat ini. Tak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. "Ieyasu-san..." Tsuna membalas pelukannya. Ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.

"Tsunayoshi..." Ieyasu melepas pelukannya dan menatap wajah Tsuna lekat. "Arigatou." Ia menyunggingkan sebuah senyuman hangat yang menghanyutkan.

"Eh?" Kenapa dia malah berterima kasih? "Ieyasu-san, aku..." Senyuman itu membuat Tsuna merona.

"Giotto."

"E, eh? Apa?" Tsuna mengerjap.

"Giotto, panggil aku Giotto," pinta Ieyasu. Ia menatap Tsuna lurus. Langsung pada kedua bola mata cokelat Tsuna.

"Gio... tto...?" kata Tsuna ragu.

Ieyasu mengangguk. "Itu namaku."

"Eh!? Tapi, tapi..." Tsuna merasa kebingungan. Belum sempat Tsuna bertanya lebih lanjut, Ieyasu membungkamnya.

Ieyasu menempelkan jari telunjuknya di bibir Tsuna. "Sekarang antar aku pergi sebentar, ya?"

"Ba, baiklah," Tsuna mengangguk. "Ie... Giotto... san..." Tsuna meneguk ludahnya sendiri.

"Ya?"

"Sekarang kita... Umh..." Tsuna tak tahu harus mengatakan apa.

"Sekarang aku kekasihmu," katanya tegas. "Kita sepasang kekasih."

"Um!" Tsuna tersenyum cerah.

"Tunggu sebentar," Ieyasu menahan Tsuna dengan menggenggam tangannya.

"Ada apa?" Tsuna menoleh.

"Ini." Ieyasu menjumput poni Tsuna dan mengecup keningnya.

"Giotto-san..." Apa Ieyasu ingin membuatnya meleleh? Atau bahkan pingsan?

"Manis."

Ieyasu membuat Tsuna bungkam seribu bahasa. Dia agresif pikir Tsuna. Ia tak tahu hubungannya akan sampai sejauh mana dengan Ieyasu. Dan Giotto. Nama itu... Ada segunung pertanyaan yang ingin ia utarakan padanya nanti.

Tsuna hanya mengikuti langkah dari kekasihnya itu. Sepertinya dia sudah hafal jalan. "Kita ke mana?" tanyanya penasaran.

"Beli ponsel," kata Ieyasu pendek.

"Eh!?" Jadi dia benar-benar tidak punya?!

"Aku tak punya ponsel, Tsunayoshi. Jadi aku ingin membelinya," kata Ieyasu.

Jadi dia tak berbohong waktu itu... "Seharusnya kan..."

"Aku ingin punya ponsel Jepang asli," potong Ieyasu.

"Kau sangat menyukai negeri ini rupanya." Tsuna tertawa kecil.

"Ya, begitulah," Ieyasu mengangkat bahu ringan. Meski sebenarnya ia harus merogoh sakunya lebih dalam. Sungguh. Biaya hidup di sini hampir membuatnya tercekik.

Tak lama mereka sampai di sebuah toko ponsel terdekat dan memasukinya. Lumayan besar dan tak sedang ramai pengunjung.

"Selamat datang!" Sang pemilik toko menyambut mereka. "Ada yang bisa kami bantu?"

"Ah, iya. Tapi aku ingin melihat-lihat dulu." Ieyasu langsung melenggang masuk menjelajahi isi toko.

"Ah! Tentu saja. Silakan!"

"Kemari, Tsunayoshi." Ieyasu menarik Tsuna ke deretan ponsel-ponsel model lama.

"Kau suka yang seperti ini?" tanya Tsuna heran.

Ieyasu mengangguk. "Iya. Sudah lama sekali aku menginginkannya. Model tak jadi soal. Yang penting gunanya." Dan ketahanan dari benda itu sendiri tambahnya dalam hati.

"Lalu ingin yang bagaimana?" tanya Tsuna memastikan.

"Providermu apa, Tsunayoshi?" Ieyasu menjawabnya dengan pertanyaan.

"Aku? Aku pakai NDCM."

"Kalau begitu aku juga." Ieyasu mengedarkan pandangannya. "Aku akan mengambil yang gratis itu," tunjuknya.

Tsuna menoleh. "Ah, yang itu ya," ia mengangguk.

"Apakah sudah diputuskan?" tanya sang pemilik toko pada pelanggannya yang sudah menemukan pilihannya.

"Ya. Saya ambil yang itu."

"Baik."

Setelah memenuhi seluruh persyaratannya, akhirnya Ieyasu mendapatkan ponsel yang ia inginkan.

"Tsunayoshi, arigatou," kata Ieyasu dengan senyuman lebar.

"Tidak, tidak. Aku senang bisa mengantarmu," kata Tsuna seraya mengibaskan kedua tangannya.

"Pinjam ponselmu," kata Ieyasu sambil mengulurkan tangannya.

"Eh? Tunggu sebentar." Tsuna mengambil ponsel dan memberikannya pada Ieyasu. "Ini."

Ieyasu segera memasukkan nomor dan e-mailnya. "Sudah." Ia tersenyum puas.

"Eh?" Tsuna melihat isinya. "Wah, nomor kita mirip!"

"Benarkah?" Ieyasu agak terkejut.

Tsuna menganggguk. "Lihat." Tsuna menunjukkan layar ponselnya pada Ieyasu.

"Benar," gumamnya. Ia tertawa pelan. "Sekarang sebutkan nomor dan e-mail-mu, Tsunayoshi."

"Apa? Aku ketik saja di ponselmu."

"Tidak. Sebutkan saja."

"Baiklah..."

Ieyasu terus memerhatikan pergerakan bibir Tsuna. Sedang jarinya sibuk menekan tombol ponsel. Harus ia akui. Kekasihnya ini memiliki bibir mungil yang sangat menggoda.

"Sudah?"

"Sudah."

•••

"Giotto-san."

"Ya?" Ieyasu menoleh.

"Hari ini aku senang sekali," kata Tsuna senang.

"Aku juga," Ieyasu mengangguk.

"Lalu?" Tsuna memiringkan kepalanya sedikit.

Manisnya... "Lalu... Aku ingin berkunjung ke rumahmu. Boleh, kan?" tanya Ieyasu.

"Tentu saja boleh. Datanglah ke rumahku kapan pun kau mau," kata Tsuna antusias.

"Baiklah, sudah diputuskan! Selanjutnya aku akan ke rumahmu."

"Um. Kalau begitu sampai jumpa. Giotto-san." Tsuna melambaikan tangan.

"Sampai jumpa, Tsunayoshi." Ieyasu ikut melambaikan tangan. Ia tersenyum tipis.

Sungguh sebuah pernyataan cinta yang memalukan, namun menghasilkan. Tsuna takkan pernah melupakan hari ini. Hari terpentingnya. Dan bagi Ieyasu, ia benar-benar telah menemukan orang yang tepat dalam waktu singkat. Orang yang sangat berarti baginya.

•••

•Fin•


Thanks for reading minna-san!

Ciao!

[Ietsuna G. Ventisette]