Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling
Rating: T
Malfoy Manor, Wiltshire, Inggris.
25 Agustus 1991, jelang tengah malam.
Dikelilingi lima rekan seperjuangan yang setia menemani sejak masa remaja, Lucius Malfoy, kepala keluarga bangsawan Malfoy bersandar pongah di bangku berlapis beludru emas. Memainkan gelas anggur di tangan kanan, pria pirang bertampang angkuh itu memandangi satu persatu wajah tamunya.
Beragam ekspresi membayangi paras lima penyihir paruh baya yang bersimpuh dalam berbagai gaya. Di kursi pinggir ruangan, Flint Senior, pria paling temperamental di antara mereka berdecak tak sabar.
Di sofa panjang, Nott Senior duduk menyilangkan kaki, membolak-balik tanpa minat lembar berita Evening Prophet edisi terkini. Di sisi kiri, Pucey Senior bertopang dagu, mencermati papan catur sihir yang bergerak-gerak sendiri.
Meringkuk berhimpitan di bangku kayu ek, Crabbe Senior dan Goyle Senior berbisik perlahan di sela-sela deguk kunyahan yang mendirikan bulu roma. Di bawah tungkai gempal mereka, ratusan bungkus kosong manisan paling sedap sedunia, Turkish Delight teronggok berhamburan.
"Akhirnya saat penting itu tiba juga, Lucius," suara serak Nott Senior memecah keheningan di ruang tamu berperabot kuno dan mahal itu. Dengan sekali lirikan, jelas diketahui bahwa semua mebel kelas atas tersebut diletakkan untuk menunjukkan status elit dan derajat terhormat sang pemilik.
"Wah, aku belum tahu pasti. Mungkin belum saatnya Pangeran Kegelapan untuk bangkit kembali. Draco masih muda. Bulan depan, ia baru masuk tahun pertama di Sekolah Sihir Hogwarts," jawab Lucius sambil lalu, menyesap perlahan minuman berkadar alkohol tinggi di dalam genggaman.
Flint Senior meradang marah mendengar penjelasan mengambang dan tak jelas itu. Penyihir tinggi besar yang dikabarkan memiliki garis keturunan Troll tersebut langsung berdiri dan menggebrak meja. Tindakan brutalnya menyebabkan papan catur sihir yang diamat-amati Pucey Senior jatuh terguling. Buah catur dan bidak-bidak pualamnya melolong kalut, terbirit-birit menyelamatkan diri ke kaki kursi.
"Apalagi yang harus ditunggu, Lucius? Bukankah sebaiknya kita membereskan semua sampah dan masalah sebelum tumbuh membesar? Terutama di saat seperti ini! Di saat Harry Potter belum menjadi ancaman berarti!" Flint Senior menyembur murka, meludahi permadani Turki dengan limpahan saliva.
Menanggapi angkara sobat dekatnya yang sepanas gerbang neraka, Lucius hanya menaikkan sebelah alis pirang aristokrat yang terpahat sempurna. Bergerak elegan, pria bermata kelabu pucat itu menuangkan anggur buatan peri kualitas nomor satu ke gelas berkaki yang kosong melompong. Setelah jeda beberapa menit, salah satu anggota Pelahap Maut paling disegani itu menjawab keingintahuan yang mengental di udara.
"Sabar, Teman. Jangan terburu-buru nafsu. Belum ada tanda-tanda kebangkitan dalam dirinya. Saat ini, Harry Potter si Anak yang Bertahan Hidup memang belum membahayakan. Namun, ia masih berada di bawah perlindungan si konyol Albus Dumbledore," Lucius berhenti sejenak, menikmati cita rasa anggur yang dicecap perlahan-lahan.
"Brengsek, Lucius! Jangan berbasa-basi! Cepat selesaikan ocehanmu!" Flint Senior yang sejak dulu dikenal berangasan menggeram kasar, mengepalkan tinju kedua di meja berlapis marmer.
Mendesah dibuat-buat, Lucius meletakkan cawan anggur di meja kopi samping kiri. Melipat tangan, pejabat Dewan Sekolah Hogwarts itu kembali berbicara dengan nada sehalus sutra. Tutur kata tenangnya tak jua berubah meskipun lima penyihir di hadapannya mendecih tak suka.
"Lebih baik kita biarkan mereka menganggap suasana sudah terkendali. Jika waktunya tepat, Pangeran Kegelapan pasti mengambil alih kendali," Lucius mengakhiri argumentasi, menyeringai tipis menyaksikan pergantian air muka penonton di sekelilingnya.
Merepet tak jelas, Flint Senior mengempaskan diri di bantalan kursi. Kendati kemarahan mulai menjinak, sinar kedengkian masih berkilat nyata di sepasang mata gelap kejam yang menyorot menakutkan. Bara iri hati yang baru bisa dipadamkan setelah ayah kandung Marcus Flint, Kapten tim Quidditch Slytherin itu menarik napas dalam-dalam.
"Sebenarnya, aku tak suka berlama-lama menanti. Aku muak melihat Darah Lumpur dan Darah Campuran mencoba mensejajarkan diri dengan ras murni," nada bening baru membelah kesunyian muram yang menyesakkan. Desahan menggoda yang identik dengan Pucey Senior, penyihir yang masih terlihat memikat meski sudah menginjak usia kepala empat.
Tersenyum ramah, tampak senang celetukan tepat sasarannya mendapat tanggapan, pria menawan berambut cokelat keemasan itu beringsut membenahi posisi duduk. Sebenarnya, meski terlihat bersahaja, Pucey Senior menyimpan bisa paling mematikan. Insting kejam yang tak terdeteksi mata sehingga jauh lebih berbahaya.
"Kaum rendahan itu semakin bergerak leluasa setelah lenyapnya Pangeran Kegelapan satu dekade lalu. Jika Adrian yang menerima tanggung jawab, aku yakin kondisi menyedihkan seperti ini bisa berakhir," Pucey Senior bergumam puas saat menyebut nama putra tunggalnya, Adrian Pucey. Chaser Quidditch Slytherin yang mewarisi kharisma dan pesona tak terbatasnya.
Geraman melecehkan sambung-menyambung menyusul kesimpulan seenak jidat itu. Herannya, kecaman paling dahsyat datang dari Nott Senior, penyihir yang notabene merupakan karib terdekat Pucey Senior.
"Sinting! Ketimbang Adrian, putraku Theo jelas lebih punya peluang," desis Nott Senior, membanggakan anak semata wayangnya, Theodore Nott. Bocah tampan bermata hijau gelap yang merupakan harta paling berharganya. Properti terbaik untuk mendaki tangga kesuksesan.
"Umur Theo sebaya dengan Draco. Theo juga bisa menguasai sihir hitam di usia dini jika diberi..."
Apapun argumentasi yang hendak ditembakkan Nott Senior terinterupsi dengan komentar sinis tuan rumah. Menepuk-nepukkan jemari kurus panjang di lengan bangku, Lucius terkekeh menghina.
"Jangan mimpi di siang bolong, Nott. Semua sudah diputuskan. Draco sudah terpilih. Ia sudah mengalahkan Adrian, Marcus, Theodore bahkan teman baiknya sendiri, Blaise Zabini," Lucius tergelak halus, mentertawakan harapan palsu kelima sahabatnya.
Mengedikkan dagu runcing yang tercukur bersih, Lucius mengarahkan perhatian ke Crabbe Senior dan Goyle Senior, bersikap seakan-akan dirinya baru menyadari keberadaan dua pria mirip gorila yang masih sibuk mengulum berbatang-batang es loli.
"Sedangkan untuk Vincent Crabbe dan Gregory Goyle, tak usah dibahas. Mana mungkin Pangeran Kegelapan mempercayai moron bloon berotak udang seperti mereka," Lucius terbahak girang, merapikan keliman jubah bersulam permata dengan penuh gaya.
Melempar senyum kecut, Crabbe Senior dan Goyle Senior melampiaskan kedongkolan dengan menggasak habis setoples nogat mutiara. Meski harga diri mereka tercoreng, duet penyihir subur itu tak bisa berbuat apa-apa. Biar bagaimanapun juga, status dan derajat mereka jauh di bawah Lucius.
Suka atau tidak suka, saat ini dinasti Malfoy tengah berada di atas angin. Dan, untuk mempertahankan posisi di lingkaran elit Pelahap Maut, Crabbe Senior dan Goyle Senior bersedia menjilat antusias semanis mungkin.
Keenam kepala yang ada di ruangan menengok bersamaan saat pintu menceklik terbuka. Menjulang secongkak merak, Narcissa Malfoy berdiri bersedekap. Mata biru es-nya memindai cepat, tak mengindahkan sama sekali anggukan hormat yang dilayangkan tamu suaminya.
Menyeringai arogan, Lucius memalingkan muka, menatap kembali teman-temannya yang terperangah. Meski sudah bertahun-tahun bersahabat, sepertinya kelima sobat dekatnya belum bisa beradaptasi dengan perangai tinggi hati istrinya. Sikap sombong yang sudah ditanamkan ke otak Narcissa semenjak istri cantiknya terlahir ke dunia.
"Kurasa pertemuan kita harus diakhiri sekarang. Besok aku harus menemani Draco ke Diagon Alley untuk membeli jubah dan peralatan sekolah," Lucius mengibaskan tangan sepintas lalu, gerakan meremehkan yang menandakan isyarat pengusiran halus.
"Oh ya. Satu lagi," sela Lucius, menghentikan kelima temannya yang bersiap ber-Disapparate. Melirik istrinya yang membeku sekaku patung batu, Lucius menghamburkan perintah terbaru. Ultimatum final yang disambut gerutuan panjang dari para tamu terhormatnya.
"Pastikan anak-anak kalian mau bekerja sama. Terutama Marcus dan Adrian. Posisi mereka sebagai murid senior bisa memberi akses lebih bagi Draco," tegas Lucius, beringsut menuju jendela saat istrinya memutar tulang lunak tumit, melenggang luwes menuju kamar putra tunggalnya yang terletak di sayap tenggara.
Diiringi desisan tak setuju, Flint Senior dan Pucey Senior lenyap dalam sekejap, meninggalkan bunyi DUAR yang meledakkan gendang telinga. Tiga tamu lainnya masih sedikit punya tata krama. Usai mengucapkan salam perpisahan meski sedikit ogah-ogahan, Nott Senior serta dua teman gemburnya menghilang seanggun mungkin.
Sepeninggal kelima tamu, kesenyapan pekat menyelubungi ruangan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak jarum jam kakek berukuran besar yang terletak di ujung kanan perapian. Selama beberapa saat, Lucius tidak bergerak dari posisi di depan jendela. Menjalin lengan di balik punggung, mantan Prefek Slytherin itu terus memandangi bayangan diri di depan kaca. Seulas senyum dingin tak berbelas kasihan terpampang di wajah bangsawan yang terawat baik.
"Apakah semua kecurigaan itu benar bahwa sampai detik ini Pangeran Kegelapan belum menunjukkan reaksi? Mungkinkah Draco kita tidak cocok untuknya?"
Sepotong suara berwibawa yang meluncur dari lukisan megah di dinding menyentakkan Lucius dari alam lamunan. Beranjur teratur menuju lukisan di tengah ruangan, Lucius menyambar cawan anggur yang masih terisi setengah. Tersenyum lebar, pria berkulit pucat itu menggoyangkan gelas anggur dengan gerakan berirama. Cengiran bengis yang menari-nari di ujung bibir Lucius tak jua susut meski lukisan sombong di depannya balik merengut kecut.
"Tenanglah, Father. Seperti layaknya anggota keluarga Malfoy, darah, tubuh dan kekuatan tak terbatas Draco sudah teruji. Dalam beberapa tahun ke depan, roda sejarah akan berbalik arah. Rezim baru akan terbentuk dengan klan kita sebagai pengendalinya," jelas Lucius lugas, memandang tamak cairan merah yang bergoyang di sela jemari.
Abraxas Malfoy bangkit dari posisi duduk di dalam lukisan. Seringai licik haus kekuasaan menghiasi wajah penyihir bermata abu-abu gelap yang wafat akibat serangan penyakit Cacar Naga tersebut.
"Aku sudah tak sabar melihat penyatuan keluarga kita dengan Pangeran Kegelapan. Ini kehormatan besar bagi seluruh keturunan Malfoy," tegas Abraxas, dengan penuh wibawa menegapkan punggung tua yang melengkung bengkok.
Tertawa pelan, Lucius mengangkat sloki anggur dalam gerakan bersulang. Menghabiskan sisa minuman dalam satu sesapan, Lucius bersulang untuk pergantian masa depan yang lebih menjanjikan. Pergantian masa depan yang akan dikendalikan sepenuhnya oleh putra semata wayangnya.
Draco Malfoy...
Si ahli waris Pangeran Kegelapan...
BERSAMBUNG
