BOYS

By : Pie Apel

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rate : T (Friendship, General)

Fiksi ringan bercerita tentang kehidupan empat remaja bernama Uzumaki Naruto, Uchiha Sasuke, Shimura Sai, dan Nara Shikamaru.

Chapter 1 – Malas? Itu Hanya Ilusi Kalian Saja.

WARNING: AU, TYPO, OOC, no yaoi, dll.

.


.

Uzumaki Naruto – 08.00 A.M.

Aaah~...

Sebuah pagi yang indah di hari libur. Burung-burung berkicau saling bersahutan. Kehidupan pagi yang mulai terisi dengan beberapa langkah manusia penghuni kota Konoha untuk memulai aktivitas demi menghidupi kehidupan mereka. Lalu lalang pejalan kaki yang bersiap mengisi waktu luang mereka. Begitu pula dengan beberapa sosok ibu rumah tangga yang berdandan rapi untuk pergi ke pasar dan membeli keperluan untuk mengisi perut penghuni rumah. Namun, em, dari beberapa manusia yang tadi telah melakukan aktivitas pagi hari, pemuda satu ini justru–

"NARUTOOOO!"

Lengkingan keras dan menggema dari seorang wanita berusia 40 tahunan mampu membuat pemuda bernama Uzumaki Naruto menggeliat di atas ranjang. Tak peduli dengan sosok wanita yang sudah berdiri dengan sebuah spatula berbahan stainless steel yang tengah menatapnya horor.

"Bangun anak pemalas!"

Wanita yang diketahui bernama Uzumaki Kushina tersebut, meraih selimut tebal Naruto dan membuka paksa sehingga lelaki yang tersungkur di balik selimut langsung merasakan hembusan dinginnya pagi hari. Ia menggigil kecil. Safir di balik kelopak matanya menatap ibunya dengan kantuk.

"Kaa-san, aku masih mengantuk ttebayo!" Naruto berusaha meraih kembali selimutnya.

"Cepat bangun! Kau harus membantu Tou-san membersihkan kebun belakang, Naruto!" Kushina tetap mempertahankan genggaman pada selimut Naruto agar tak jatuh ke anaknya.

"Ah, aku masih ngantuk! Aku mau tidur dulu!" Naruto mengerang kesal karena ibunya tak mengembalikan si selimut.

PLAK!

Geram karena anak laki-lakinya tak kunjung bangun, Kushina melayangkan pukulan cukup keras pada paha anaknya yang berbalutkan boxer bergambar kodok.

"Mau bangun atau tidak, hah?!" Pukulnya bertubi-tubi.

"Aduh duh duh..." Naruto meringis kesakitan, "i-i-iya, iya, iya, aku bangun Kaa-san!"

Tak kuat dengan pukulan-pukulan ibunya, Naruto langsung beranjak bangun dan mengusap lembut pahanya yang mulai memerah. Nasib malang baginya. Seharusnya ia mendapatkan semacam morning kiss diusianya yang sudah remaja, seperti impiannya, namun nasib malang ia terima karena bukannya morning kiss yang didapat, melainkan pukulan mentah di paha ala ibunya.

"Sakit ttebayo~" Naruto masih mengusap pahanya.

"Makanya jangan malas untuk bangun pagi!" Kushina masih memasang wajah garang, "meskipun sekarang sedang libur sekolah, kau harusnya tidak malas seperti ini. Lihat jam berapa sekarang?!" Ia menunjuk jam dinding di kamar Naruto.

"Jam 8..." Naruto menguap lebar.

"Kemarin Tou-sanmu sudah menyuruhmu untuk membantunya membersihkan kebun belakang dari rumput liar. Cepat sana bantu! Tou-sanmu saja jam 6 sudah mulai membersihkan kebun. Jadi anak itu jangan malas dong Naruto! Apalagi kau itu cowok dan sudah besar! Apa kau tidak malu dengan keluarga Yokomori kalau setiap pagi Kaa-san berteriak-teriak hanya untuk membangunkanmu?!" Omel Kushina.

'Selalu saja mengomel seperti ikan teri!' Pikir Naruto kesal setiap ibunya mulai mengomel.

Kushina berganti mengamati lemari pakaian Naruto. Sejenak usai dengan omelan pertama, kini omelan kedua pun muncul. "Lihatlah pakaianmu sampai keluar dari pintu lemari, pasti dalamnya juga berantakan!" Kushina memastikan. Amukan Kushina semakin menjadi, "ASTAGA NARUTO! Baru kemarin lusa Kaa-san merapikan lemarimu dan kau sudah mengacaknya seperti ini! Ya Tuhan! Kalau seperti ini aku berharap mempunyai anak perempuan saja yang masih bisa rapi dan menata kamarnya sendiri!"

Naruto yang ikutan kesal lantaran dapat omelan pun mengikuti gaya ibunya yang sedang mengomel dengan memaju-mundurkan bibirnya. Berkomat-kamit bak layaknya sedang membaca mantra.

"Ayo cepat bangun, pemalas!"

"HA'I, HA'I, HA'I, HA'I!"

Karena terlalu kesal dengan ibunya, Naruto yang berjalan duluan untuk keluar kamar segera bangun dan membanting pintu. Selalu saja seperti itu ketika ibunya sudah mulai mengomel.


Uchiha Sasuke – 08.00 A.M.

Jika di rumah Naruto sudah terlalu ramai perkara sang ibu sibuk mengomeli anaknya, mungkin kediaman Uchiha Sasuke, sahabat Naruto, berkebalikan. Rumah bergaya minimalis namun tak meninggalkan kesan rumah orang kaya tersebut terlihat tenang. Bahkan jika kita menengok di dalamnya, akan terlihat sosok wanita yang diketahui sebagai Nyonya Uchiha sedang sibuk merias diri di depan cermin kamarnya. Ia pun bergegas turun menuju lantai bawah untuk menemui sang suami karena akan berkunjung ke rumah kerabat dekat mereka di Suna. Meninggalkan si bungsu Uchiha Sasuke sendirian di rumah.

"Sasuke-kun," suara merdu Uchiha Mikoto memenuhi ruang keluarga hanya untuk memanggil pemuda yang sedang bermain PSP di atas sofa, "Sasuke-kun?!"

"Hn?" Onyx Sasuke masih belum lepas dari layar PSP.

"Kaa-san dan Tou-san akan pergi ke rumah Bibi Myoko untuk menengok cucu pertamanya. Tidak lama kok. Mungkin pukul 11 nanti kami sudah pulang. Sasuke-kun jaga rumah ya?" Mikoto mengemasi beberapa barang dalam tas jinjing.

"Hn." Sasuke menyahut asal.

Ketika Mikoto telah sampai di ambang pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan ruang tamu, ia berbalik dan menoleh ke tempat anak bungsunya. Ia teringat beberapa pekerjaan rumah tangga yang belum ia selesaikan. Ia pun mendekati Sasuke. Menepuk pelan pundak anaknya untuk mendapat perhatian Sasuke. Dan berhasil. Bungsu Uchiha tersebut menunda game dalam PSPnya.

"Ada apa lagi Kaa-san?" Sasuke menatapnya.

"Begini, kamar mandi terlihat kotor dan berantakan, karena Kaa-san tidak sempat membersihkan. Nanti Sasuke-kun membersihkan kamar mandi ya. Terus, kotoran Mochi juga tolong bersihkan, kalau tidak segera dibersihkan nanti bau. Jangan lupa memberi makan Mochi. Oiya, kalau Sasuke-kun kelaparan, panaskan saja semangkok kare yang tadi Kaa-san taruh lemari pendingin. Dan juga, jika nanti turun hujan, segera angkat jemuran. Kau ingat semua 'kan Sasuke-kun?" Mikoto mengakhiri pesannya untuk Sasuke.

"Hn, tenang saja Kaa-san. Aku akan ingat semuanya."

"Baguslah," Mikoto tersenyum kecil, "jangan lupa oke? Kaa-san takut kau kelupaan gara-gara bermain dengan PSPmu itu terus."

Sasuke hanya memberi tanda 'ok' pada ibunya. Tanda bahwa ia ingat dengan semua yang dikatakan sang ibu. Mikoto hanya menggeleng kecil. Merasa heran sebenarnya jika sudah melihat Sasuke terus bergantung dengan gadget berisi permainan-permainan yang semakin hari semakin menyenangkan di kalangan anak remaja. Seperti saat ini. Ia melihat putranya lebih mementingkan permainan dalam PSP daripada ibunya akan segera berangkat ke Suna.

"Kaa-san pergi dulu, Sasuke-kun!"

"Hn!"

Terdengar pintu depan yang ditutup. Di luar sana deru mobil keluarga Uchiha juga sudah terdengar. Lambat laun suara deru mobil menghilang, pertanda mereka telah pergi. Sasuke melirik sekilas pintu depan. Tak berselang lama, ia pun merebahkan tubuhnya untuk memenuhi sofa. Matanya tetap tidak lepas dari PSP.

.

"Engh..."

Sasuke mengerjapkan mata. Berusaha mengimbangi pencahayaan yang memasuki onyx kepunyaannya. Jantung Sasuke hampir copot karena tiba-tiba sosok Mikoto sudah berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang. Manik Mikoto berkilat penuh amarah. Dan sialnya Sasuke hanya memandang sekilas ibunya lalu hendak kembali tidur. 'Duh sampai bermimpi ketemu Kaa-san...'

"Uchiha Sasuke-kun, cepat bangun!"

Eh?

Loh kok?

SRAK!

Sasuke segera bangun. Merasakan sedikit denyut pada kepalanya akibat gerakan yang tiba-tiba. Sasuke pun mengucek matanya kasar. Ia menoleh ke samping. Kagetnya bukan main karena ternyata yang dilihatnya bukan mimpi, tetapi memang benar Mikoto telah berdiri di situ. Dengan tampang super polos, seolah menanyakan 'kenapa Kaa-san di sini?'

"Sasuke-kun, kau benar-benar keterlaluan! Apa saja tadi pesan Kaa-san padamu?!"

"Em, itu..." Sasuke memalingkan wajah. Ia merasa bersalah karena yang dipesankan ibunya tadi ia lupakan begitu saja. "A-Apa memangnya Kaa-san...?"

SREK!

"A-Aduh duh duh duh!" Sasuke mengerang kesakitan lantaran ibunya sudah menjewer telinga kanannya.

"Sekarang ayo ikut Kaa-san! Bersihkan kamar mandi! Dan cepat beri makan Mochi karena ia sudah kelaparan sejak satu jam yang lalu! Karena tidak mendengarkan pesan Kaa-san, semua jemuran kehujanan! Kau yang harus mencuci ulang semuanya!" Perintah Mikoto setelah kesabarannya habis.

Sasuke tidak mempedulikan PSPnya yang menggelinding jatuh. Menurutnya, melaksanakan perintah dari ibunya adalah prioritas utama. Karena Sasuke tahu, nyawanya tidak akan kembali utuh layaknya game pertarungan dalam PSP apabila ia sudah berurusan dengan ibunya yang kalem, namun ketika sudah marah akan seperti api hitam yang tak bisa padam.


Shimura Sai – 08.00 A.M.

"Terima kasih atas kunjungannya, lain kali silahkan kembali lagi."

Sosok laki-laki tua tersenyum ramah pada dua orang remaja yang baru saja meninggalkan toko buku yang ia kelola. Setelah memasukkan beberapa keping koin dari pembeli, Shimura Danzo, si pemilik toko menoleh kepada salah seorang pemuda yang sedang membawa kemoceng beserta ponsel yang tak luput dari perhatiannya. Danzo menggeleng kecil.

"Sai-kun."

Tak medapat sahutan.

"Sai-kun, kau tidak mendengarku?" Danzo menggaruk tengkuknya.

Alih-alih mendapat sahutan dari Shimura Sai, lelaki tua tersebut kini justru ditinggal cucu semata wayangnya duduk sambil membenahi headset berwarna hitam. Danzo yang malang. Tak terima atas perlakuan sang cucu, ia pun berjalan mendekati Sai.

"Sa-chan!" Danzo menepuk pelan bahu Sai.

"Jii-san! Jangan memanggilku Sa-chan. Aku ini cowok, Jii-san."

Danzo sebenarnya takjub. Ia mengetahui kebiasaan cucunya tersebut apabila sudah memakai headset. Musik berisik yang mengganggu pendengaran selalu menjadi favorit sang cucu. Bukan hal aneh sebenarnya untuk Sai yang saat ini berada pada usia tumbuh dan mencari jati diri. Namun yang sering membuat Danzo merasa aneh yaitu panggilan spesialnya untuk Sai. Dengan musik sekeras itu, Sai masih mendengar panggilan 'Sa-chan'?

"Kau mendengar panggilan Sa-chan, tapi mengabaikan panggilan sebelumnya." Danzo menggelengkan kepala kecil.

"Yang sebelumnya tidak dengar. Setelah ganti lagu baru aku mendengarnya." Sai mengalihkan pandangan sekilas sebelum berkutat kembali dengan ponsel pintar miliknya.

"Haah..." Danzo menghela nafas kecil. "Selalu saja bermain dengan ponsel. Cepat selesaikan tugasmu membersihkan dan menata buku, Sa-chan."

"Jii-san!"

Sai kembali melotot pada kakeknya dan hanya dibalas dengan tawa renyah.

"Sa–"

"Sekali lagi Jii-san panggil aku begitu, aku akan pulang ke Tokyo dan meninggalkan kakek sendirian kebingungan mengurus toko dan juga Choco." Ancam Sai.

"Siapa bilang Jii-san akan memanggilmu begitu, Sai-kun." Danzo menatap Sai aneh. "Begini, Jii-san hendak keluar. Hiruzen akan kemari untuk menjemput Jii-san. Kau jaga toko dan rapikan buku baru yang kemarin datang. Selain itu, cepat susun buku-buku tersebut sesuai tempatnya."

TING TING

"Danzo."

Sosok laki-laki tua baru saja masuk ke dalam toko. Sai mengenali laki-laki tersebut. Dialah Sarutobi Hiruzen, sahabat sekaligus teman bermain shogi kakeknya. Sedikit tersenyum kecil dan mengangguk kecil pada Hiruzen. Kini dilihatnya sang kakek sudah memakai topi dan mengambil peralatan pancing. Oh, ternyata kakeknya dan Hiruzen berniat memancing.

"Nanti Jii-san pulang sore. Jaga toko baik-baik Sai-kun!"

"Ha'i!"

Selepas kepergian dua orang tersebut, Sai kembali menyelami dunia maya. Berbagai aplikasi penyedia akun sosial ia buka. Pemuda tersebut lantas menaruh kemoceng sembarang. Memilih duduk di meja kasir masih dengan aplikasi Instagram terbuka menampilkan video meme. Sekelebat ide memasuki otaknya. Ia pun memencet tombol kamera pada aplikasi Instagram. Kini ponselnya menampilkan wajahnya yang tampan. Berpose nyaman dengan senyum kecil di wajahnya. Pemuda itu merasa puas karena wajahnya terlihat tampan, menurutnya.

"Mengisi waktu luang dengan membantu Jii-san di toko. Ini menyenangkan. Menata buku adalah peekerjaan yang cukup melelahkan namun mengasyikkan. Ini kegiatanku di hari libur, bagaimana denganmu?" Gumam Sai diikuti gerakan jarinya mengetik setiap kata yang ia ucap.

Baru saja ia hendak memasang headsetnya kembali, getaran pada ponsel menunjukkan pemberitahuan mengenai banyaknya penyuka fotonya barusan. Sai tersenyum bangga. Baru berjalan setengah menit saja ia mendapatkan 200an 'like'. Bukan bermaksud sombong bagi Sai, namun kenyataannya, ketenarannya di sosial media Instagram hampir menyamai dengan selebgram. Ia memiliki ribuan follower.

Terlalu asyik dan terbuai dengan kegiatannya di sosial media, si pemuda Shimura tersebut pun melupakan apa yang telah Jii-sannya sampaikan tadi.


Nara Shikamaru – 08.00 A.M.

Pemuda itu menutup matanya. Tak ada gerakan otot sedikit pun pada kelopak mata yang ia miliki. Berharap sosok bergender wanita yang baru saja memasuki kamarnya tersebut segera keluar. Namun sia-sia saja. Jika ia sudah merasakan hidungnya tersumbat karena dipencet oleh wanita itu, berarti wanita tersebut sudah mengetahui kepura-puraan keturunan Nara tersebut, Nara Shikamaru.

"Cepat bangun. Aku tahu kau sudah bangun Shika!"

"Aku bangun, Kaa-san. Aku bangun!"

Ibu Shikamaru menarik kembali tangannya. Berganti dengan berkacak pinggang, bersiap untuk mengomeli putranya yang malas.

"Shika, kau sudah mengetahui hasil tes IQ milikmu, bukan? Jadi, Kaa-san rasa kau pasti tidak asing lagi dengan 'membantu', 'kan?"

Shikamaru sedang memasang posisi duduk berpikir. Otaknya menggali dengan cukup santai namun lumayan dalam. Terkadang, Shikamaru pun merasa heran dengan frasa yang ada di dunia ini. Menghabiskan waktu hanya untuk menyelami frasa 'membantu' sebenarnya sia-sia saja. Yang ia temukan di balik kata tersebut hanyalah kelelahan. Ini menandakan bahwa jika berkaitan dengan 'membantu', secara nyatanya anggota tubuh, bahkan sel-sel dan otot, akan menerima perintah dari otak untuk menggerakkan anggota tubuh melalui sensor yang terdapat dalam saraf. Dalam tahap ini, ia akan menerima konsekuensi atas bentuk geraknya anggota tubuh. Singkat kata, ia akan lelah. Dan lelah selalu identik dengan hal yang merepotkan.

"Kaa-san, kurasa aku hampir tidak pernah mendengar 'membantu'." Dan kali ini ia mencoba untuk mengelak di hadapan sang ibu.

"Sebenarnya, Shika," Nara Yoshino memberi jeda pada ucapannya, "Kaa-san sungguh tidak paham dengan pola pikirmu. Tunggu dulu!" Yoshino buru-buru menyela ketika Shikamaru hendak berucap. "Kaa-san yang selama ini hidup denganmu jadi cukup tahu bahwa kau pasti sudah beranggapan 'membantu' merupakan hal yang melelahkan. Namun, apakah kau sungguh tega pada wanita yang sebentar lagi menginjak usia 50 tahun ini untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, sementara jabatanku sebagai istri juga tidak luput dari pekerjaan mengurus ayahmu di setiap harinya?"

Shikamaru mulai paham sekarang. Omelan ibunya sangat berbeda dengan omelan hari kemarin. Perbedaan 180 derajat.

"Kaa-san, begini," Shikamaru mengambil tali rambut di atas nakas dan mengikat asal rambut acaknya, "memang benar kau mempunyai tugas dan juga jabatan dalam rumah ini. Aku sangat tahu. Tetapi, terlepas dari pekerjaan rumah tangga dan tugas mengurus Tou-san, bahkan diriku, aku menemukan adanya perbedaan cukup besar di antaranya."

"Oh ya?"

"Ya, Kaa-san ingin tahu?" Lelaki itu memasang wajah yang mengatakan aku-yakin-kau-sangat-ingin-tahu.

"Apa itu?"

Oh, ternyata cukup mudah membawa ibunya terbuai dengan tawaran abal-abal yang ia berikan.

"Pertama, mengerjakan pekerjaan rumah tangga selain merupakan kewajiban juga merupakan sebuah pertanggungjawaban. Jadi Kaa-san, kurasa walaupun usiamu sebentar lagi menginjak 50, meskipun sebenarnya membutuhkan 10 tahun lagi bagimu untuk mencapai usia itu, merupakan hal wajar untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Lagipula, menyehatkan untukmu. Kedua, Tou-san sudah dewasa, begitu pula aku, yang mungkin sebentar lagi menjadi dewasa jika tak terlambat, dan aku menganggap dewasa cukup sebagai ukuran untuk bertindak mandiri. Bukan maksudku secara keseluruhan. Hanya lebih dari sebagian saja. Maka, kusimpulkan bahwa waktu yang kau gunakan untukku dan Tou-san yang sekedar hanya mengurus itu, sebenarnya sudah cukup lama menyita waktumu. Maka dari itu–"

"Berhenti basa-basi pemalas! Cepat bangun sekarang juga!"

Yoshino yang semenjak awal sudah tidak memperdulikan celotehan anaknya dari awal, langsung membungkam Shikamaru dan menarik tangan anaknya untuk bangkit dari ranjang.

"Kaa-san, kumohon, jangan berbelanja atau memotong rumput di halaman, oke?"

"Memang kenapa?" Yoshino menoleh.

"Karena sangat merepotkan, Kaa-san. Matahari memancarkan sinar yang mengganggu dan dapat merusak mata. Ia menyilaukan. Apapun itu akan aku bantu asalkan bukan di luar rumah, ne?" Shikamaru telah dalam keadaan terjepit itu, mau tidak mau menggunakan satu-satunya taktik terakhir. Ia memohon.

"Seluruh pekerjaan dalam rumah telah Kaa-san kerjakan. Hanya tinggal memotong rumput halaman depan dan berbelanja ke pasar."

"Lalu kenapa Kaa-san tidak berbelanja sendiri? Kenapa harus aku yang membutuhkan waktu libur setelah seminggu berkutat dengan sekolah?" Shikamaru melayangkan protes.

Yoshino menyilangkan tangan di depan dada.

"Apa kau ingin seragam dan bajumu yang lain kusut karena belum Kaa-san setrika?"

Shikamaru bungkam. Alisnya mengkerut. Kata menyebalkan satu-satunya yang ada di pikirannya saat ini.

"Sana cepat ganti pakaian! Semua catatan belanja sudah Kaa-san buat di atas meja sekalian dengan uangnya. Jangan lupa membawa kantong belanja sendiri biar lebih hemat!"

Shikamaru membuka lemari pakaian dan menyambar kaos polos berwarna abu-abu. Lalu ia beralih mengambil celana olah raga untuk menutupi boxer hitamnya. Menguap lebar, Shikamaru pun beranjak berjalan menuju pintu kamar. Sebelum ia benar-benar meninggalkan kamar nyamannya, ia menoleh sekilas menatap ibunya yang sedang merapikan ranjang. Menghela nafas sekilas dan bergumam lirih, ia mengeluh kecil.

"Merepotkan." Gumamnya kecil dan berbalik untuk keluar.

BUAK!

"Ittai!"

Shikamaru mengerang kecil. Setelah itu, ia melihat sandal rumah bermotif Rilakumma menggelinding setelah mengenai kepala bagian belakangnya. Ia pun menoleh cepat.

"Sekali lagi Kaa-san mendengarmu mengeluh 'merepotkan', awas saja kau!"

Buru-buru Shikamaru berjalan menuruni tangga dan menyambar uang serta catatan belanja. Shikamaru masih menyayangi nyawanya. Ia tidak ingin menyerahkan tubuhnya, khususnya telinga, tercabik-cabik oleh omelan serta jeweran ibunya.

TBC –


Haloo.. Ketemu lagi dengan pie,

Kali ini pie bawain fic ringan lagi bertema friendship. Dan ini pertama kalinya jg pie bikin fic berchapter. Hehehe.. semoga suka ya :D

Oiya, untuk yg mereview Curahan Hati Hinata, pie ucapkan terima kasih. Terus yg blm kebales reviewnya buat:

Hime chan: thankyou ya, pie jg nggk tau tuh knp om kishi jodohin naru sma hina. Hanya om kishi dan tuhan yg tau, wkwkwkwk...

Durarawr: em, mksdnya sih pertama kali bikin cerita fiksi di ffn gtu, dan belajar nulisnya jg krn sering baca novel kok maaf ya yg kmrn itu emang sengaja sekali cerita lgsg tamat..