"Saat tangan terluka, mata akan menangis. Dan saat mata menangis, tangan akan menghapus air matanya" Tapi apakah jika hati yang menangis, tangan tak dapat menghapus air matanya? Jika tangan tak bisa, masih adakah yang dapat menghapus air mata dari tangisan kecil di hatinya? Itulah yang dirasakan Hinata sejak kepindahan Naruto ke Korea.
Naruto (c) Masashi Kishimoto
Pairing : NaruHina (because I am NaruHina Lovers)
Rated : T
Genre : Friendship & Romance (kalau ada yang perlu ditambahkan, beritahu saya lewat review)
Aku memandang kosong ke arah bangku taman di depanku sekarang. Tak terasa, 2 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Tanpa kusadari, air mataku jatuh begitu saja seiring otakku memutar kembali peristiwa saat itu. Tetes-tetes air mataku terlihat begitu jelas jatuh membasahi bangku taman yang menurutku pernah meninggalkan sejarah ini. Naruto-kun, kapan kau akan kembali?
Flashback
Pukul 13.00 di Konoha High School…
Sudah waktunya pulang ke rumah. Seperti biasa, Naruto-kun mengajakku pulang bersamanya. Tapi hari ini, kulihat pandangannya agak kosong dan murung. Sebagai sahabat, aku pasti mengerti dirinya.
"Hinata, aku mau bicara denganmu nanti," ujar Naruto-kun dengan pandangan serius ke arahku sambil tetap berjalan menuju tempat parkir KHS.
"Umm, tentu saja, Naruto-kun. Kapan dan dimana?" tanyaku berusaha untuk tersenyum. Aku tahu pasti hatinya sedang kacau, sekarang. Aku tak tahu kenapa, tapi aku bisa merasakannya.
"Pukul 4 sore ini, di Taman Kota Konoha," ujarnya lalu kembali memandang lurus ke depan dan memainkan kunci motor Kawasaki Ninja Red-nya.
Aku mengangguk lalu menyusulnya.
Jam tanganku telah menunjukkan pukul 4 sore. Aku sekarang sedang berada di depan pintu gerbang Taman Kota Konoha.
Aku berjalan masuk ke taman itu. Ramai, itulah kesan pertama ketika aku masuk ke dalamnya. Belum juga beberapa langkah, telingaku menangkap suara-suara riang anak kecil yang bermain ayunan, perosotan, dan kejar-kejaran. Aku jadi teringat masa kecilku, tapi sekarang aku kan sudah kelas 2 Senior High School. Hihihi…
Aku langsung menyunggingkan senyum begitu melihat sesuatu yang jadi tujuanku. Seseorang yang duduk sendirian di salah satu bangku taman dengan tampang cemas, sesekali melirik ke arah jam tangannya. Benar, itu adalah Naruto-kun.
Aku langsung berlari menuju bangku taman tersebut dan berhenti di depan Naruto-kun. Naruto-kun ikut berdiri.
Penampilan Naruto-kun hari ini sangat… keren! Jaket hitam khas lelaki, celana jeans panjang sampai mata kaki yang tidak terlalu sesak, dan sepatu boot converse. Aku mematung di depannya dengan wajah yang agak blushing.
"He? Kok nggak duduk, sih?" Tanya Naruto-kun.
"Eh? I-iya…" ujarku lalu memandang ke arah kakiku, berusaha untuk tidak memandang matanya yang dapat membuatku pingsan kapan saja.
Aku lalu duduk disampingnya dan menjadi sungkan untuk berbicara. Degup jantungku di atas normal. Dan kuyakin wajahku sangat merah sekarang. Aku memang tak memungkiri, aku menyukai Naruto-kun lebih dari seorang sahabat.
"Hinata?" panggil Naruto-kun.
"Y-ya?" jawabku sambil berusaha menoleh ke arahnya.
"Kau cantik…" ujarnya sambil tersenyum. Wajahku kembali memerah.
"Te-terima kasih, Na-naruto-kun juga keren," ujarku sambil menunduk menyembunyikan rona merah di wajahku.
"Hm, begitu, ya?" tanyanya sambil tersenyum dan kembali memandang ke depan.
"Aku mau bicara," ujar Naruto-kun dengan tampang serius.
"I-iya, silahkan saja," ujarku sambil tersenyum manis.
Tiba-tiba Naruto-kun memandang ke arahku dan langsung menggenggam tangan kiriku.
"Kita… sahabat, kan?" tayanya perlahan-lahan.
"Y-ya…" ujarku sambil mengalihkan pandangan.
Naruto-kun menunduk dengan wajah yang agak sedih. Seperti orang yang punya sejuta masalah dalam hidupnya. Aku tahu, dan aku juga mengerti. Dia punya banyak masalah. Tidakkah mungkin jika seorang anak band yang sekarang sedang berada pada puncak kejayaannya tak punya secuil masalah? Orang yang berdiam diri juga punya masalah. Semua orang punya masalah. Dan aku mengerti hal itu.
Naruto-kun menarik napas panjang.
"A-aku mengerti masalah Naruto-kun, kok," ujarku sambil tersenyum.
Naruto-kun memandang wajahku sekilas kemudian membalas senyumku. Ia melepaskan genggamannya dari tanganku dan kembali memandang ke depan.
"Kau memang sangat mengerti diriku." Ujarnya pelan.
Aku tak dapat menahan senyum bahagia ini ketika melihatnya yang dapat selalu tersenyum juga.
"Ya, itulah gunanya sahabat, Naruto-kun," ujarku ikut memandang ke depan.
"Kau tahu, Hinata?" Tanya Naruto-kun dengan pandangan yang masih terfokuskan ke depan.
"Ya?" jawabku.
"Kau seperti… mata, dan aku seperti tangan." Ujar Naruto-kun. Entah apa maksudnya. Tangan dan mata. Tidak terlalu istimewa. Lalu?
Aku diam dan tetap memandang ke depan.
"Jika aku terluka, kau pasti akan menangis. Jika tangan terluka, mata akan menangis. Jika aku frustasi dengan semua masalahku, kau akan datang, menghiburku, dan mengerti aku," ujarnya dengan tatapan sayu.
Aku tersenyum kepada Naruto-kun dengan tatapan, 'itulah gunanya sahabat'.
"Dan… jika kau menangis, aku akan menghapus air matamu. Jika mata menangis, tangan dengan refleknya akan menghapus air mata itu. Jika kau dalam masalah, aku akan datang. Menghiburmu, membantu, dan berusaha mengerti dirimu," sambungnya.
Aku tersenyum sambil tetap memandang lurus ke depan.
"…" Naruto-kun diam, lalu menatapku seperti ingin menyampaikan sesuatu.
"Aku mengerti, kok," ujarku langsung sambil tesenyum sebelum ia membuka suaranya.
Naruto-kun menghela napasnya lalu ikut tersenyum.
"Terimakasih, kau memang sahabatku, aku memang tak bisa menolak keputusan ini. Mungkin aku juga akan keluar dari band. Aku harap kau dapat mengerti," ujar Naruto-kun sambil tersenyum ke arahku.
Aku diam. Bulir-bulir bening menerobos keluar mataku. Sial! Aku akan terlihat cengeng, tapi…
"Aku harap kau tidak kecewa padaku," ujarnya sambil memandangku.
"…" aku menunduk untuk menyembunyikan air mata ini.
"Aku tahu ini egois, tapi aku memang harus menjalaninya," sambungnya, tapi kini dengan tatapan sayu ke arahku.
Bahuku bergetar hebat. Dia pasti menyadarinya.
"Jadi aku harap…" ia merangkul bahuku.
"Aku… a-akan me-merindukanmu, Na-naruto-kun…" ujarku terbata-bata karena isakan tangisku semakin besar.
"Kau tak perlu sedih dengan kepergianku," lanjutnya tersenyum. Senyumnya semakin lama semakin lebar dan menjadi cengiran.
"A-aku ti-tidak cengeng, Naruto-kun!" ujarku meninju tangannya pelan tapi masih terisak.
"Hehehe… tapi please, jangan nangis, dong! Ntar kamu jadi jelek," candanya.
"Huh…" sungutku berpura-pura.
"Kuharap kau tidak selalu bersedih saat aku meninggalkanmu nanti," ujarnya sambil tersenyum.
"Sudah kubilang… aku ti-tidak ce-cengeng, hiks…" tangisku kembali pecah.
Naruto-kun memandangku sedih.
"Kau memang cengeng!" ujarnya sambil nyengir. Tapi aku tahu dia memaksakan diri.
Aku diam, tetap terisak.
"Tapi aku juga pasti akan merindukanmu," ujarnya pelan. Perlahan-lahan cengirannya hilang tergantikan pandangan sedih dan juga… tetesan air mata.
Naruto-kun langsung memeluk diriku. Aku membalas pelukannya.
"Ja-janji balik lagi?" tanyaku.
"Pasti, Hime," ujarnya mantap. Ia lalu mengusap air matanya sendiri. Aku menatapnya penuh perasaan sedih.
Dia mengalihkan tangannya dan menghapus air mata di pipiku.
"Jika mata menangis, tangan akan selalu siap untuk menghapus air matanya," ujarnya pelan sambil tersenyum lembut. Aku senang tapi aku tak bisa tersenyum.
"Hiks…" isakku semakin keras. Air mataku mengucur lebih deras.
"Jangan nangis dong, Hime! Nanti pengorbanan tangan akan sia-sia," ujarnya kewalahan karena menghapus air mataku, tapi aku malah menangis lebih keras.
Aku tak membalas seruannya.
"Sudah-sudah, jangan sesedih ini… kita kan masih bisa ngobrol walaupun nggak langsung," ujarnya menenangkanku.
Tangisku agak reda.
"Ja-janji, ya?" tanyaku memastikan.
"Janji!" ujarnya sambil menyodorkan jari kelingkingnya.
"Awas kalau kau melanggarnya," ujarku menyodorkan jari kelingkingku dan mengaitkannya.
"Hehe, kalau kulanggar, apa ganjarannya?" Tanya Naruto-kun.
"Aku tak mau menjadi sahabatmu lagi!" ujarku sambil menggembungkan pipi dan membuang muka.
"Ja-jangan marah gitu, dong, Hime! Aku gak bakal ngelanggar, kok," ujarnya agak cemas.
"Hehehe… aku bercanda, Naruto-kun!" ujarku sambil tersenyum manis dan agak blushing.
"Dasar!" ujarnya sambil mengacak rambutku pelan.
Aku tersenyum, tetapi sebenarnya aku sedih dengan kepergian Naruto-kun. Semoga Ia menepati janjinya.
To Be Continued
(Bacotan Author)
Bagaimana tanggapan anda? Jelekkah? Gajekah? Atau malah bagus? *plakk* ngarep... -,-
Hohoho... Minna-san, ini second fanfic-ku... tapi masih prologue. Err... bisakah ini disebut sebagai prologue? Saya mencoba lebih serius lagi dalam membuat fanfic. Inspirasinya dari pengalaman saya yang dicuekin sahabat sendiri. Kukira dia udah gak peduli sama aku, ternyata dia sibuk sama kerjaan adminnya! :D wow... tapi kita sempat berantem gara-gara dia blg, "jadi admin nggk gampang!" trus aku blg, "jadi author juga gak gampang!" -,-
Wohoho... diconcrit dong :D
Dengan hormat, saya minta REVIEW-nya! :D REVIEW walaupun gk punya akun, REVIEW! :D
