Herzlich Willkommen (Welcome) to First Project of Sweet Ave Maria
Hy all, watashi wa Sweet Ave Maria desu, yoroshiku onegaishimasu..., setelah lama hanya membaca Fanfic, akhirnya kuberanikan saja menulis di Fanfic... karena watashi masih baru... Sumimasen kalau cerita watashi amburadul hehehe ^^... alias masih berantakan... Mohon dimaklumi... Onegaishimasu ^w^
Cerita ini tentang pairing paling terfavoritku selain Edward X Bella, Lucy X Loki, Lucy X Natsu, n Ed X Win. Cerita ini AU, berlatar di Wina (hanya prolog) dan Jepang. Umur tokoh – tokohnya 23 (Keiichi n Shouko), 24 (Len, Kahoko, Ryotaro, Aoi, Kiriya), 25 (Azuma n Kazuki). From now the story's begin... I hope you like it... Dozo... –w—
Rating : T
Pairing : Len X Kahoko
Genre : Family/Romance
Warning: Dont like the pairing? Don't like the story? Don't read this fic, then. It's simple as that ^v^
The Fated Love
-:- Prologue -:-
Musim gugur di Wina, Austria tahun ini lebih dingin dari biasanya. Dibandingkan tahun lalu, suhu udara turun hingga 3 derajat. Meski begitu jalanan di pusat kota tetap padat. Sepertinya mereka bahkan tidak mempedulikan udara dingin yang menusuk tulang. Sebagian orang berjalan dengan cepat menuju rumah mereka masing-masing. Udara malam yang terlampau dingin memaksa beberapa orang masuk ke dalam kafe dan restauran terdekat. Dua orang pria, berusia awal 20an dan pertengahan 30an duduk di pojok belakang sebuah restauran. Pria yang lebih muda memiliki rambut berwarna hijau, sedangkan pria yang lebih tua memiliki rambut berwarna lilac. Dihadapan mereka bertebaran lembar-lembar partitur. Pria berambut hijau itu mengambil cangkir yang berada di depannya dan dihirupnya perlahan. Diletakkannya kembali cangkir itu dan berkata, "Sebaiknya nada ini dimainkan dengan pianissimo, bukan piano".
Lelaki berambut lilac di seberangnya meletakkan cangkir yang selama ini menempel di bibirnya, "Benarkah? Menurutku piano lebih cocok"
"Oh, c'mon... pianissimo lebih cocok dimainkan dengan nada ini. Kalau piano, kurang menggambarkan perasaan lagu ini. Lagipu–". Tiba – tiba ponselnya berbunyi, dengan gerakan tak sabar disentaknya benda kecil berwarna hitam itu hingga terbuka. "Ya! Disi–"
"Ryotaro?"
Lelaki yang dipanggil Ryotaro itu terkesiap, kekesalannya menguap begitu saja. "Mizue? Ada apa?", jawab Ryotaro dengan nada lembut.
"Maaf, apa aku mengganggu?"
"Tidak, tidak, tenang saja. Ada apa Mizue? Tumben, kau menelepon. Bukankah ini sudah terlalu larut?"
"Ya, aku tahu. Aku hanya ingin tahu, besok jam berapa kau sampai di Jepang?"
"Jam berapa? Hm, kira – kira jam 3 sore pesawatku mendarat di bandara Narita"
"Oh, begitu, baiklah. Besok ku jemput di bandara. Oh, ya, kapan aku bisa bertemu dengannya? Sudah lama tidak melihatnya. Pasti dia sudah besar sekarang"
Tsuchiura Ryotaro tertawa, "Yeah, dia memang sudah besar sekarang. Kau tak 'kan percaya"
Mizue ikut tertawa, "Benar... Aku rindu sekali padanya. Mereka baik – baik saja 'kan, Ryo?"
"Yeah. Sebaiknya sekarang kau tidur Mizue, sudah larut"
"Hai... Kalau sudah mau berangkat, tolong kabari aku, ya?"
"Tentu, tentu"
"Jya ne, Ryotaro"
"Jya", setelah menutup handphonenya kembali, Ryotaro mengumpulkan lembaran – lembaran partitur yang berserakan di atas meja dan memasukkannya ke dalam foldernya.
"Kekasihmu?", tanya lelaki berambut lilac dengan cengiran yang lebar.
"Kanayan, sebaiknya kau cepat pulang sana! Aku harus pergi sekarang. Lagipula, bukannya jam 9 nanti kau ada konser dengan Wiener Symphoniker?"
"Hai, hai. Tte, Tsuchiura, kapan dia pulang ke Jepang?"
"Maksudmu mereka? Besok pagi jam 10. Jya Kanayan, matta ne", ujar Ryotaro sambil berjalan menuju pintu keluar.
Sesampainya di luar restauran, Ryotaro langsung menaiki sebuah taksi yang berhenti di sana. Dia menginstruksikan sopir taksi itu untuk menuju Flughafen Wien (bandara internasional Wina). Tak lama setelah itu, terdengar nada indah mengalun. Dia menatap ke arah asal suara itu, speaker yang terdapat di bagian bawah pintu. Dia mengetahui dengan baik suara itu. Suara Biola. Nada itu, Sarsate Carmen Fantasy, Op.25 Moderato. Setiap nada yang saling berkejaran satu sama lainnya, setiap spiccato, setiap pizzicato, perpindahan jari yang cepat, tekhnik permainan biola yang bahkan dapat mengalahkan permainan seorang Paganini sekalipun, sempurna. Dan perasaan sang pemain benar – benar menyentuh hati para pendengarnya. Dia tahu permainan siapa itu. Semua orang di daratan Eropa tahu. Dunia tahu permainan siapa itu.Itu permainan biolanya. Dia. Ryotaro memandang keluar jendela sambil terus mendengarkan Carmen Fantasi miliknya. Beberapa tahun ini dia sudah berubah. Jauh berubah dari diri nya yang dulu dikenalnya sebagai sosok yang dingin dan acuh. Yang selalu berusaha keras melakukan pembuktian pada dunia, bahwa kemampuan bermusiknya adalah hasil kerja kerasnya, bukan bakat semata. Dia sekarang telah berubah. Dia lebih hangat dan lebih terbuka pada semua orang. Seakan dirinya yang dulu tidak pernah ada. Dia berubah hanya karena satu hal. Semenjak hari itu, 2 tahun yang lalu. Sejak bertemu dengannya, dia berubah. Semua itu hanya karena seseorang. Seseorang yang begitu berarti bagi dirinya. Seseorang yang akan didahulukan kepentingannya daripada musik yang selama ini menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
'Dia berubah demi kepentingan dia. Hana', pikir Ryotaro saat Carmen Fantasy berubah menjadi nada pembuka Ave Maria.
Perlahan, nada – nada yang mengapung di langit malam Wina lenyap, bagaikan uap napas yang tak berbekas. Seorang pria diawal usia 20 tahun memainkan biolanya yang berwarna emas. Dengan tarikan bow-nya yang terakhir, berakhirlah lagu tersebut. Ave Maria. Pria tersebut menghela napas pelan sambil menurunkan biolanya dari bahunya. Kemudian terdengar suara tepukan tangan dari ujung ruangan. Dia menoleh ke asal suara itu dan tersenyum lembut ke arahnya. Seorang gadis kecil yang duduk di atas kursi piano bertepuk tangan sekeras yang dia bisa dengan senyum tersungging di wajahnya. Usianya sekitar 2 tahun, rambutnya yang berwarna royal blue terlihat sangat pas dengan mata ambernya yang hangat dan kulit pucatnya. Seakan hal itu masih belum cukup memperlihatkan kecantikannya, rona pipinya yang chubby bersemu kemerahan dan dua lesung pipi yang menghiasi wajahnya membuatnya terlihat semakin sempurna. Pria itu tersenyum semakin lembut saat dia mendengar suara cadelnya, "Sugoi... Permainan biola Daddy yang paling hebat..."
Di letakkannya biola itu ke dalam kotaknya dan di hampirinya gadis kecil itu, "Nah, sekarang karena Daddy sudah mengabulkan permintaanmu, sekarang kau harus tidur. Besok pagi kita akan pulang", ujarnya lembut. Dielusnya rambutnya yang berwarna royal blue dengan penuh kasih sayang.
"Ja (Ya) Daddy", jawab gadis kecil itu dengan senyum yang masih terkembang. Digendongnya gadis kecil itu menuju kamarnya yang tak jauh dari ruang musik tempatnya memainkan biola untuknya. Sesampainya dikamar, diletakkannya gadis kecil itu di kasur. Saat pria itu menarik selimut untuk menyelimutinya, gadis kecil itu berkata, "Daddy?"
"Hn?"
"Momma ada di Jepang 'kan?", tanya gadis kecil itu. Pria tersebut terkesiap, selama ini gadis kecil di hadapannya itu tak pernah sekalipun menanyakan tentang ibunya. Dia hanya pernah satu kali menanyakan tentang ibunya. Dan dia hanya bertanya mengapa ibunya tidak tinggal bersama mereka. Dia pun menjawab dengan alasan ibunya sedang sibuk dengan pekerjaannya diluar negeri sehingga tidak bisa tinggal bersama mereka. Kali ini dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia bahkan tidak tahu dimana ibu gadis kecil itu berada.
"Aa", jawabnya ragu.
"Berarti kita bisa ketemu Momma kalau pulang nanti 'kan, Daddy?", tanya gadis kecil itu penuh harap. Pria itu pun kembali terdiam, dia pun terpaksa harus membohongi gadis kecilnya yang penuh harap.
"Aa", jawabnya lagi.
"Yatta! Akhirnya aku bisa ketemu sama Momma!", soraknya. Pria tersebut merasakan dadanya bagai ditusuk belati berkali – kali. Melihat gadis kecil dihadapannya yang kegirangan kalau sebentar lagi ia dapat bertemu dengan ibu yang selama ini tak pernah ia kenal. Membohongi gadis kecil itu terasa lebih menyakitkan daripada membayangkan biolanya yang berharga rusak atau tangan yang digunakannya untuk membuat biolanya menyanyi terluka. Sakit. Sakit melihat gadis itu begitu percaya pada kata – katanya. Kalau seandainya mereka sampai di Jepang dan gadis kecil itu menanyakan ibunya dan memintanya untuk mengajaknya ketempat ibunya, apa yang harus ia lakukan? Dan kalau gadis kecil itu tahu kalau ia telah dibohongi oleh ayahnya, apa yang akan terjadi? Membayangkan berbagai macam kemungkinan yang dapat terjadi, membuat rasa bersalahnya semakin menjadi – jadi dan perasaan sakit itu semakin menusuk dadanya.
"Daddy, Momma seperti apa? Apakah dia cantik? Apakah dia baik? Apakah Momma juga bisa memainkan biola sepertimu dan Uncle Kiriya? Atau piano seperti Uncle Ryo? Atau viola seperti Uncle Aoi? Atau flute seperti Uncle Azuma? Atau terompet seperti Uncle Kazuki?", tanya gadis kecil itu dengan suara yang semakin meninggi karena semangatnya yang meluap – luap. Pria itu terdiam. Seperti apa ibunya? Cantik? Baik? Seorang musisi? Pria itu tersenyum. Ibu gadis ini sudah pasti sangat cantik. Sulit membayangkan jika ibunya tidak secantik dirinya. Kulit pucat, bibir sewarna peach, mata yang besar dan berbinar – binar, lesung pipi dan rambut yang sedikit bergelombang. Jika malaikat benar adanya, dia yakin, gadis kecil inilah salah satu keturunan malaikat atau dirinya sendiri adalah malaikat. Lagipula, dia, gadis kecil itulah yang merubahnya menjadi lebih... manusia.
"Tentu, ibumu wanita yang cantik, kamu mirip sekali dengan ibumu. Ibumu sangat baik. Dia juga seorang musisi", jawab pria itu sekenanya. Wanita yang telah melahirkannya tentu sangat baik, karena telah menjaga dan merawat gadis kecil itu saat masih dalam kandungan, sehingga mereka dapat bertemu hari ini. Selain itu pastilah seorang musisi atau memiliki bakat itu dari ibu atau ayahnya, karena gadis kecil itu sangat peka terhadap bunyi dan dapat dengan mudahnya mengenali nada – nada yang dimainkan pada sebuah musik.
"Apa yang dimainkan Momma?"
"Sudah malam, tidurlah", bujuk pria itu lembut, mencoba mengalihkan perhatiannya. Tapi gadis kecil itu tak bisa dialihkan perhatiannya. Dia bersikeras menanyakannya.
"Momma main alat musik apa Daddy?", desak gadis kecil itu.
"Biola", jawabnya asal. Entah mengapa tiba – tiba saja biola terlintas dibenaknya. Gadis kecil itu terlihat puas. Dia kembali menyunggingkan senyum manisnya kepada pria itu. Pria itu pun tahu kalau gadis itu cukup puas dengan jawaban yang diberikan padanya malam ini. "Sekarang tidurlah dan jangan membantah", perintah pria itu pada gadis kecil dihadapannya ketika dia melihatnya menguap lebar.
"Gute nacht, Daddy (Selamat tidur, Daddy)", kata gadis kecil itu sambil mengusap sebelah matanya. Pria itu mencondongkan tubuhnya untuk mengecup kening gadis kecil itu.
"Gute nacht, mein Hana (Selamat tidur, Hana-ku)", jawabnya.
Setelah menutup pintu kamarnya, pria itu menarik laci meja kerjanya dan mengambil 2 tiket pesawat yang tergeletak di dasar laci. Dipandanginya tiket – tiket itu. Tiket kepulangan mereka ke Jepang, kampung halamannya. Sudah 6 tahun, ia tidak menginjakkan kakinya disana. Dan kali ini ia akan kembali ke kampung halamannya, Yokohama. Beserta seorang gadis kecil. Jika media massa Jepang tahu akan hal ini, dapat dipastikan mereka akan melahap berita itu dengan rakus. Mengingat siapa dirinya sekarang. Dan berita itu pasti akan tersebar ke seluruh dunia dengan kecepatan yang amat sangat mengerikan. Diambilnya handphone yang tergeletak di samping laptop hitam di atas meja kerjanya. Sambil berjalan ke arah jendela, ditekannya beberapa tombol pada keypadnya. Dia menunggu dengan tak sabar sambungan telepon internasional yang dirasanya lebih lambat dari biasanya. Sambil menyibukkan diri melihat pemandangan kota Wina pada malam hari dari atas penthousenya, dia menghitung dalam hati. Dan pada hitungan ke – 10 nada sambung telepon berganti menjadi suara marah perempuan.
"Kau gila ya? Menelepon orang saat subuh? Mau cari gara – gara, hah?"
"Amou, ini Tsukimori, maaf mengganggu tidurmu. Ada yang ingin kutanyakan", kata Tsukimori Len dengan nada dingin, tak melepaskan pandangannya dari jalanan Wina yang masih sibuk di bawah sana.
***Fin-Prologue***
Well folks, this is the end of the prologue... Tidak terlalu panjang, maaf ya... Tapi...
This is just the begining minna-san!
Stay tuned for Chapter 1!
Spoiler :
"Momma!"
"Eh? M-momma?"
*#*#*
"A-anata ga... Tsukimori Len-san?"
"K-kimi ga..."
Ah... sudah dulu deh, spoilernya, pokoknya stay tuned for Chapter 1 minna-san!
Jangan lupa di review yah minna-san ^w^
Pssst P.S : Riiiinnn aku udah nge-publish fic-ku... Bikin lagi ya fic yang one-shotnya... ehehe.. ^w^
