Title : Met Again

Disclaimer : Katekyou Hitman Reborn by Amano Akira

Warning : BL, OOC, typo(s), dan hal nista lain. Sekuel dari Pergi.

Pairing : FonMammon

Hope you like it~

.

.

.

Seharusnya tak seperti ini, seingatnya tempat terakhir di mana Colonello dan dirinya tewas bukan di sini. Ini terlalu gelap, lebih mencekam bahkan dibanding saat-saat terakhirnya yang memilih datang sendiri ke seberang pintu kematian.

"Kau datang lebih cepat dari perkiraan, Mammon," kata sebuah suara. Mammon hapal mati suara ini, ilusionis bertudung panjang itu bangkit dari posisinya, mendapati seorang pria Asia yang paling ingin ditemuinya. Fon berdiri di depannya, namun tanpa senyum lembut yang terlukis di bibirnya.

"Martial arts sialan…."

Sang angin masih menatapnya tanpa ekspresi. "Aku tak menyangka kau akan lebih cepat kemari," katanya.

"Itu karena kau yang brengsek." Kali ini ilusionis bertudung tersebut membenarkan posisinya, duduk bersila di depan si pria. "Kau lebih ingin melihatku hidup namun tersiksa daripada mati tapi bahagia."

"Bahagia macam apa yang dapat terlihat dari mati itu?" Manik karamel Badai Arcobaleno itu menatapnya tajam, namun bukan berarti pandangan itu mengisyaratkan hal tak suka.

"Bagaimana?" Mammon malah mengulang pertanyaan Arcobaleno di hadapannya.

"Kau bisa melihatnya, 'kan," Fon melangkah maju, mengitari tubuh ilusionis yang baru tiba itu. "Tempat ini terlalu gelap, tak ada satu pun hal yang bisa kau harapkan di sini." Pria itu lalu berbalik, menatap lurus keping violet yang sejak dulu dikaguminya, yang tersembunyi di balik tudung sang ilusionis Varia—mungkin sekarang sudah lebih cocok dikatakan mantan.

Pemilik nama asli Viper itu membisu, ia menunduk sejenak lalu balas menatap tatapan yang diberikan pria Asia itu. "Tapi kau ada di sini."

Sejenak Fon membelalakkan mata samar, namun segera berganti menjadi tatapan lembut serta senyumnya yang seperti biasa. "Aku tak menyangka kau akan mengatakan itu."

"Berisik." Mammon mencoba bangkit dari posisinya. Alih-alih membiarkan, sang angin mengulurkan tangan, memberi bantuan.

"Perlu bantuan?"

"Tidak perlu." Mammon menepis tangan yang diulurkan sang badai, ia berdiri seraya merapikan jubah yang dipakainya. "Sebenarnya ini di mana? Alam baka?"

"Bagaimana jika kita menganggapnya tempat bertemu kembali?" tanya Fon masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

"Ya, ya, ya. Terserah padamu," sahut sang ilusionis bertudung seraya memutar bola mata. "Kau berhutang banyak padaku karena itu. Sekarang, antar aku ke sekitar sini." Ia melangkah mendahului sang angin, membiarkan pria berbalut pakaian Cina itu berdiri tanpa bergerak satu inci yang sekarang tengah menutup ekspresinya dengan poni.

"Mammon,"

"Apa la—"

Entah apa yang merasuki Fon sebelumnya, tiba-tiba saja ia menarik lengan kabut Arcobaleno itu kemudian merengkuhnya dalam sebuah dekapan hangat dan menenggelamkan kepala pemilik nama asli Viper itu di dada bidangnya.

"Wo ai ni, Mammon."

Kata-kata itu mengalir begitu saja dari bibir sang pria Asia, mencampuradukkan setiap keping rasa yang muncul di hati ilusionis Varia. Mammon teringat lagi saat-saat di mana Fon rubuh ke lantai, teringat lagi bagaimana senyum lembut yang menikamnya, lalu suara kecil yang juga mengucapkan hal yang sama; pernyataan cinta yang diikuti permintaan untuk bertahan hidup di dunia. Apa hal ini benar-benar terjadi di depannya? Rasanya ini terlalu gila sekaligus bahagia untuk menjadi nyata.

"Kau makhluk paling brengsek, kau tahu. Kau punya banyak hutang yang harus dibayar," kata Mammon dalam pelukan Fon.

"Aku tahu." Manik karamel pria berkepang itu menatap sendu. Ia tahu pasti apa maksud orang yang tengah didekapnya.

"Aku bukan manusia lagi sejak kau pergi, aku hanya makhluk mati yang punya nyawa," desis sang ilusionis perih.

"Apa maaf cukup untuk saat ini?" tanya Fon seraya mengeratkan pelukannya pada orang yang ia benci sekaligus kasihi.

"Jelas tidak, kau harus membayar untuk itu."

Pemilik nama angin itu tertawa. "Kau tak berubah."

"Tentu saja," pria bertudung tersebut mendengus. Mereka melepas pelukannya.

"Jadi, ingin berkeliling?" Fon mengulurkan tangannya.

Ilusionis itu mengangguk, menerima uluran tangan orang yang dibencinya itu tanpa ekspresi yang spesial.

"Kau akan terkejut di sini. Ada Luche dan dia seringkali bertukar cerita dengan kami."

"Oh, 'kami' itu untuk Skull, Verde, dan kau?"

Sebuah tawa. "Tepat. Kurasa dia juga tak sabar dengan ceritamu."

"Aku tak yakin akan bicara banyak dengannya. Kau beritahu sesuatu tentang ini?"

"Ini?"

"Lihat kau tengah menggandeng tangan siapa, Martial arts sialan."

Kali ini tawa tertahan. "Belum. Kurasa nanti Luche akan kaget."

"Aku tak peduli. Lagipula aku hanya datang untuk berbagi cerita denganmu."

"Kalau itu pasti akan kudengarkan, sebanyak apa pun, Mammon."

"Oh, boleh aku membalas yang tadi."

"Yang mana?"

"Ti odio, Fon."

Senyum lembut itu kembali terukir di bibir sang badai. "Aku tahu. Wo ai ni, Mammon."

.

.

.

END

.

.

.

A/N : HALO HALOOO! YEY SAYA BISA BUAT FM LAGI 8D #tamparin. Akhir-akhir ini sempet jenuh bentar buat nulis jadi saya muter keliling-keliling gramed buat nyari suasana baru dan dapet banyak buku HUAHAHAHAHAHA #stahp. Eh tapi saya paling cinta yang judulnya Relic, aduh sayang itu buku tipis cuma 100 halaman lebih tapi summary-nya kata saya keceh badai sumvaahhhh!

Wo ai ni : Aku mencintaimu

Ti odio : Aku membencimu #duileh #dibuangkeMars

Btw ada yang gaje soal ini fik? Kalo ada jangan ragu nanyain, ya. Saya bingung mau jelasin apa sih di sini #tamparindiaaja. Oh, maaf atas segala kekurangan di fik ini baik dari segi plot story yang gaje, OOC, tipo yang terlewat (karena saya suka males ngedit #plak), dsb. Saya tunggu review dari kalian semua! Sampai jumpa di karya berikutnya dan semoga kalian nggak cavek liat saya ya!

-Salam-

Profe Fest