Disclaimer:
Aldnoah Zero Written By: Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama
Studio: A-1 Pictures + TROYCA
Written for self satisfaction. Nonprofit purpose.
Warning: AU, typo, GS, OOC, Don't Like, Don't Read! ;)
Summary: [Inasure] [OrangeBat] Fem!Slaine. Inaho ingin liburan musim panasnya lebih berkesan. Tahun ini, tahun depan, dan seterusnya.
XoXo-XoXo-XoXo
Scaturient © Kiriya Arecia
XoXo-XoXo-XoXo
Sebagai salah satu anak yang tinggal di kota metropolitan, Inaho lebih menyukai bersantai nyaman di kamarnya, menonton tivi, bermain berjam-jam dengan personal komputernya atau sekedar tiduran sambil surfing internet di ponsel pintar miliknya. Tidak perlu merasa kepanasan di musim panas karena kamar ber-ac. Sesekali ikut hangout bersama Calm dan Inko ke mall ketika dia cukup bosan terus di rumah. Orang tuanya sibuk berkerja, Inaho maklum. Toh apa yang dia nikmati sekarang dia dapati dari kedua orang tuanya yang bekerja dengan keras. Inaho tidak mengeluh tentang kurang perhatian ataupun hal semacam haus kasih sayang.
Libur musim panas kali ini, Inaho tidak bersantai di kamarnya yang berpendingin ruangan. Yuki—kakaknya mengajaknya untuk berlibur ke tempat bibi mereka.
Inaho tahu, bibi mereka tinggal di daerah pedesaan. Seingatnya daerah itu begitu jauh dari kota. D Lebih tepatnya ia belum pernah ke sana, karena dibanding pedesaan yang sepi tentunya pantai atau mall terdengar lebih menyenangkan. Meskipun begitu dia tidak menolak ketika Yuki mengajaknya dengan raut wajah senang.
Perjalanannya jauh. Tiga kali naik kereta. Lebih delapan jam dalam perjalanan. Kemudian mereka di jemput oleh mobil jeep sang paman.
Perbedaan mendasar yang didapati netra remaja dua belas tahun itu adalah pepohonan sepanjang jalan menuju desa. Tidak buruk, ketika dia sudah cukup sering mendapati pemandangan gedung yang menjulang setiap harinya beserta kebisingannya. Pemandangan menghijau sejauh iris merah rubinya melihat dan suara kicau burung memberikan kesan tersendiri. Jalanannya berbatu, sehingga tidur bukan pilihan menyenangkan bagi Inaho. Dengan wajah tenang menatap ke luar kaca mobil, Inaho melihat jelas kalau jalanan yang di lalui melewati area persawahan. Beberapa anak padi tumbuh menghijau dengan begitu subur.
Seberapa jauh perubahan anak padi itu menjelma menjadi nasi di piringnya saat sarapan pagi. Inaho tidak pernah memikirkannya dengan serius. Bagaimana usaha orang-orang berprofesi petani melakukannya. Dia hanya tahu padi digiling-beras dicuci-nasi dimakan.
Nasi goreng omelet rasanya enak. Gak tahu capeknya bertani seperti apa.
Dan ketika sampai di depan rumah dan mengecek smartphone miliknya yang berada di dalam tas, gadget itu berbunyi.
No signal.
Iris merah darah itu menatap ponselnya dalam diam. Beberapa saat kemudian mengangkat ponsel pintarnya tinggi-tinggi ke beberapa arah. Meskipun ia tahu itu tidak berpengaruh banyak.
Yuki menatapnya heran, "—sedang apa kau? Menari gembira?"
Sang paman tertawa renyah, "Percuma saja kau melakukannya, sinyal telepon sulit disini. Maklum saja, tempat ini termasuk terpencil. Syukurnya kita sudah ada listrik."
Inaho berhenti mengangkat ponselnya. Satu sinyal muncul dan kemudian menghilang. "Akan bagus kalau minimal ada sinyal 4g di sini."
Sang paman kembali tertawa, "Entahlah. Mungkin beberapa tahun lagi."
Yuki menepuk bahu sang adik, "Ey, kita sedang berada di desa. Udara segar. Pemandangan hijau. Perkebunan. Danau dan bau petualangan. Jadi lupakan gadget-mu untuk saat ini." Gadis itu berkacak pinggang sambil menarik napas dalam dan menghembuskannya.
Inaho memasukkan ponsel kembali ke dalam tasnya. "Oke."
Pamannya mengangguk-angguk, "Kalian akan berada di sini seminggu penuh, bukan? Pasti sempat untuk melihat festival. Kalian harus punya kenangan bagus disini." Sang paman berujar.
Iya, tentu. Begitu juga inginnya Inaho, semoga seminggu berada disini lebih berkesan daripada menghabiskan musim panas di rumahnya.
Sang bibi keluar kemudian setelah mendengar bunyi mobil, melayangkan pelukan kepada kedua keponakannya yang datang dari kota dengan suka cita. Lalu sempat bertanya; suka lele gak?
XoXo-XoXo-XoXo
Inaho tidak akan tersesat. Bibinya sudah membuatkannya peta di selembar kertas. Gambarnya tidak terlalu bagus—tapi masih dapat dibaca. Berbekal dengan ponsel kesayangannya yang minim sinyal, beberapa lembar uang dan peta, Inaho bersiap berpetualang; menjelajahi desa tempat pamannya tinggal. Yuki? Entahlah, sepertinya masih tidur. Dan gadis itulah yang kemarin membahas tentang petualangan dengan semangat membara.
Remaja itu memakai t-shirt berwarna putih dengan jaket tipis abu-abu, juga topi hitam di kepalanya. Terik matahari belum terasa karena ini masih pagi sekali. Dia sudah berjalan ke perkebunan, sekedar melihat sang paman dan beberapa orang berada di kebun jeruk. Sayangnya buah-buah jeruk itu belum sampai pada musim panen.
Masih sama seperti kemarin, pemandangan yang terlihat hanya pepohonan yang rimbun dan bukit-bukit. Mungkin bisa melihat laut jika melewati bukit di depannya, mengikuti jalanan yang terlihat menghilang di telan lebatnya pepohonan yang berjejer sepanjang jalan. Tapi Inaho tidak seantusias itu.
Tidak ada café, mall maupun konbini. Vending machine pun hanya ada satu sejauh Inaho berjalan-jalan. Penduduknya ramah-ramah dan sebagian besar bekerja di pertanian dan kebun. Hal itu mudah ditebak karena setiap orang paruh baya yang ditemuinya memakai sepatu boot, baju kotor berlumpur dan membawa cangkul—beserta alat lainnya. Beberapa anak kecil membawa penangkap serangga dan kail. Menjadi anak-anak menyenangkan sekali—hanya hal sederhana tapi bisa membuat mereka tertawa ceria seperti itu.
Terkadang ada motor pengangkut yang membawa gerobak lewat dengan membawa sayuran dan buahan, bunyinya sedikit berisik—tapi tidak lebih berisik daripada keadaan di kota tempat Inaho tinggal.
Tempat ini begitu damai. Remaja itu mendongak menatap langit biru, mendapati burung gagak terbang. Silau sinar matahari membuatnya menutup dahinya dengan tangan kiri, topi tidak cukup untuk melindungi matanya dari sang raja pagi yang mulai menampakkan diri. Untuk sesaat Inaho merasa dirinya seperti orang yang mengembara entah kemana untuk mencari jati diri—pemikiran yang berlebihan untuk seorang anak kecil berumur dua belas, bukan? Inaho tahu itu.
Pamannya bilang, tidak banyak tempat yang menarik disini. Yang paling berkesan hanya ada kuil di bukit sebelah barat desa. Di dekat sanalah nantinya festival akan diadakan serta pertunjukan kagura—tarian suci yang ditampilkan oleh putri keluarga penjaga kuil beserta beberapa orang yang terpilih.
Pamannya tidak mengatakan kalau jalan menuju kuil itu menanjak dan memiliki anak tangga yang cukup banyak dengan barisan pohon cedar yang menjulang dengan begitu tingginya di tiap sisi jalan menuju ke atas. Sejenak Inaho berdiri di depan gerbang kuil. Dia sudah berniat untuk melihat-lihat kuil, sebagai seorang lelaki, dia tidak bisa mundur begitu saja begitu hampir sampai di tempat tujuan.
Rambut hitam kecoklatannya tertiup angin, dengan perlahan dia menanjaki anak tangga satu demi satu. Diam sejenak mengambil napas, Inaho merogoh sakunya untuk sekedar mengetahui waktu. Jam 07.27 AM.
Masih cukup pagi, Inaho menatap ke arah anak tangga penghabisan yang masih tersisa kurang dari separuh. Netra ruby mendapati sosok anak perempuan memakai hakama dan haori menyapu di halaman. Dengan refleks Inaho mengarahkan lensa kamera ponselnya pada objek itu. Kemudian terdengar suara klik setelahnya. Sosok itu tidak terlihat jelas karena jarak yang jauh, tapi Inaho tahu surai anak perempuan itu berwarna—putih? Pale blond? Platinum blonde? Foto yang diambilnya kurang jelas. Sepertinya Inaho harus melihat sosoknya lebih dekat.
Tujuannya berubah dari melihat kuil—menjadi mengetahui warna rambut miko yang dilihatnya.
Inaho menumpu kedua tangannya di lutut, dia berjalan cukup jauh lalu menaiki anak tangga yang cukup banyak. Untuk orang minim ekspresi seperti Inaho, dia cukup kalem meskipun kakinya lelah.
Kali ini netranya melihat dengan jelas, rambut miko itu terikat pita berwarna merah dan miko itu memang memiliki rambut putih—tidak lebih tepatnya pirang pucat, atau pirang platina—
Kenapa warnanya tetap membingungkan meskipun Inaho melihatnya dari dekat?
Oh ya, dan iris gadis ber-haori yang memegang sapu itu, apakah warna matanya biru atau hijau? Warnanya juga membingungkan.
"Pengunjung?" suara sosok yang ditatapnya membuat Inaho mengalihkan fokusnya dari rambut dan mata menjadi ke arah sosok itu. Dia baru saja selesai menyapu sepertinya, sehingga baru menyadari keberadaan Inaho. "Sepagi ini?"
"Hanya sekedar lewat."
"Kau bukan penduduk sini. Aku tidak pernah melihatmu."
"Memang bukan. Aku sedang liburan disini."
"Eh? Sangat jarang melihat ada orang yang memilih berlibur ke tempat ini."
Gadis itu lebih tinggi beberapa senti dari Inaho ketika jarak di antara mereka berkurang. Membuat Inaho tahu kalau sepertinya si pemilik surai pale blond ini kemungkinan memiliki umur lebih tua darinya. Tidak masalah, Inaho masih dalam masa pertumbuhan, dia akan menjadi lebih tinggi nantinya.
"Tempat ini cukup jauh dari kota, berada paling ujung dan sepi. Banyak penduduk yang bilang tempat ini tidak punya daya tarik. Sangat aneh kalau ada yang memilih berlibur ke sini."
"Aku mengunjungi bibiku sekalian berlibur." Ujar Inaho lagi.
"O—oh, sekarang itu terdengar normal." gadis itu tersipu, baru saja menyadari kalau ucapannya kurang sopan. Dia berdehem pelan, "Kau bisa istirahat di tempat peristirahatan belakang kuil kalau merasa lelah."
Inaho mengangguk karena itu terdengar bagus untuk kakinya yang lelah.
"Akan aku tunjukkan arahnya."
Lagi, Inaho mengangguk dan mengikuti langkah gadis itu. Matanya menjelajahi pemandangan sekitar. Di dekat gerbang dia sempat melihat layout denah ini cukup luas, dengan pepohonan yang berada di setiap sisinya, di balik pohon itu ada railing pembatas yang terbuat dari besi. Terlihat atap-atap rumah orang dari railing. Membuat Inaho menyadari kalau tempat ini berada di tempat yang cukup tinggi. Mungkin dia bisa mendapati letak rumah pamannya dari atas pavilion.
Mereka melewati altar kuil—kemudian singgah disana untuk membunyikan tali lonceng dan berdoa, lalu berlanjut melewati kolam, panggung pertunjukan, sumur dan ema—papan kayu untuk menulis permohonan. Untuk ukuran desa kecil, tempat ini memiliki kuil yang cukup luas. Ada beberapa bangunan pavilion yang Inaho lewati. Meskipun tentu saja, tidak bisa dibandingkan dengan kuil di Kyoto.
"Kalau ingin masuk ke pavilion utama dan naik ke atas, bayar lho. Ada tiketnya." Gadis itu berucap ketika mendapati Inaho yang duduk di tempat istirahat mengarahkan pandangan ke satu-satunya bangunan bertingkat dua itu.
"Aku akan mencobanya nanti."
"Tapi, karena tempat ini berada di bagian bukit yang cukup tinggi, kau juga bisa melihat pemandangan bagus dari railing pembatas. Meskipun tentu saja, kalau dari beranda atas pavilion akan terlihat lebih memuaskan." Gadis itu menjelaskan dengan telunjuk teracung. Sepertinya sudah terbiasa mengenalkan area kuil pada pengunjung. Seperti tour guide.
"Siapa namamu, omong-omong? Kalau aku Slaine Saazbaum. Aku kelas dua smp tahun ini, umurku tiga belas tahun."
"Kaizuka Inaho. Satu smp. Dua belas."
"Kau lebih muda dariku! Kau boleh memanggilku kakak, Inaho-san."
"Tidak minat."
"E—eh, kenapa? A—aku lebih tua darimu."
Inaho berdiri, "Aku sudah punya kakak perempuan. Aku tidak berminat menambahnya, Slaine."
Nada bicara Inaho terdengar datar, jadi anak perempuan itu—Slaine tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Sebagai salah satu pekerja di kuil, dia diharuskan bersikap sopan. Meskipun sepertinya dia merasa sedikit tidak terima dengan perlakuan Inaho.
"Kau tinggal disini?" suara kalem Inaho menyapa pendengarannya.
"Tidak. Aku hanya membantu di sini." Slaine menunjuk ke arah utara. "Rumahku ada di arah sana."
"Aku ingin naik ke atas. Berapa harga tiketnya?"
Harganya tidak semahal yang Inaho duga. Dan tidak ada penjaga disana, hanya ada kertas tiket, sebuah stempel dan tempat tinta berwarna ungu, juga kotak sumbangan—yang artinya jika membeli tiket, uangnya dimasukkan ke sana—dan kembaliannya ambil sendiri. Ada pemberitahuan tertempel disana. Mungkin karena tempat ini tidak begitu ramai pengunjung. Seperti yang Slaine katakan, tidak banyak orang yang menjadikan tempat ini sebagai tujuan liburan.
"Tidak ada penjaganya?" Inaho membiarkan Slaine meraih tangan kirinya untuk diberi cap stempel.
Bukankah berbahaya jika tidak ada yang mengawasi uangnya.
"Ada dewa yang menjaga tempat ini. Lagipula, orang jahat tidak akan berniat ke kuil kan?"
Baiklah, Inaho tidak akan mempermasalahkannya.
"Kembaliannya jadikan bayaran untuk jadi tour guide ku ke atas pavilion."
"Yang benar?"
"Kurang?"
"Bukannya begitu—hanya saja untuk ukuran anak smp, kamu punya banyak uang saku ya." Celutuk Slaine.
Inaho hanya menatap datar lawan bicaranya. Untuk ukuran kekayaan, Inaho tahu jelas kalau keluarganya berada di level middle class. Tidak miskin, tapi juga tidak bisa disebut kaya.
Tapi Inaho memang bersekolah di akademi elit dan mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Otaknya jenius—dalam bidang ilmu pasti. Jadi soal buku pelajaran, seragam dan hal lainnya yang berhubungan dengan sekolah dia tidak perlu memikirkan bagaimana untuk membayarnya, meskipun ibunya tetap memberikan uang untuk kepentingan sekolah.
Inaho juga gemar menabung. Itu sebabnya uang sakunya berada dalam situasi terkendali.
"Yaah, tidak usah terlalu dipikirkan. Kenyataannya ini desa terpencil, jauh dari teknologi dan tidak ada tempat mewah yang bisa digunakan untuk menghabiskan uang. Jadi jarang bagiku untuk melihat uang dengan nominal seperti ini. Biasanya disini biasa pakai sistem barter."
Mendengar kata barter membuat Inaho merasa mundur satu abad ke masa lampau. Apakah desa ini memang seprimitif itu?!
"Ah… tapi kalau belanja banyak atau di toko tentu saja pakai uang."
Mereka menaiki bangunan tingkat dua itu. Cukup tinggi, dan sesuai kata Slaine. Pemandangan terlihat lebih jelas dan luas. Dia melihat jalanan yang dia lewati, aliran sungai, sawah, pepohonan rimbun yang hampir menutupi desa. Orang-orang yang terlihat begitu kecil di jalanan. Di bagian barat, dia menemukan rumah pamannya, terlihat begitu kecil dan perkebunan luas yang terlihat menghijau dengan deretan rapi. Di arah utara, tidak jauh dari kuil ini ada sebuah bangunan yang terlihat begitu besar hingga menarik perhatian Inaho. Bisa dipastikan bangunan itu tidak kalah besar dengan kuil ini.
"Oh, kau melihatnya. Itu adalah kediaman keluarga Vers. Penjaga kuil ini turun temurun sekaligus keluarga yang paling berpengaruh di desa ini. Bisa dipastikan Asseylum hime-sama adalah miko paling cantik – "
Inaho pikir, Slaine mungkin memiliki bakat untuk menjadi tour guide professional saat sudah dewasa nanti. Atau sales.
Sales yang cantik.
"Kau mungkin cocok jadi sales nantinya." Inaho menyuarakan isi hatinya.
Slaine tampak menaikkan alisnya lalu tersenyum simpul, "Hmm, Sales yang cantik?"
Inaho menatapnya sesaat lalu mengarahkan pandang ke depan, "Ya, sales yang cantik."
"Eh—" Blushing ini tidak dapat dicegah.
Itu jawaban yang jujur sekali!
XoXo-XoXo-XoXo
[tbc]
XoXo-XoXo-XoXo
a/n: Inaho gak ngegombal kok, mana bisa dia. Tipikal ff genre shoujo normal. Multichapter. Draft lama sekali :')
01/12/2018
