Judul: Borders of Infinity

Sub-Judul: Absence

Author: Ninja-edit

Fandom: Death Note

Disclaimer: Takeshi Obata & Tsugumi Ooba

Genre: Mystery, Suspense

Rating: T

Dedicated to: Sayuuri Dei-chan

Charas: L Lawliet & Beyond Birthday

WARNING: AR,PossibleOOC-ness (berhubung saya kurang familiar dengan tokoh BB)

NOTE: Exchange fic untuk Sayuuri Dei-chan, "Fanfic BB/L," katanya. Cukup lama (banget, malah) bagi saya mendapat wangsit untuk pairing yang asing bagi saya ini.

Semoga cukup menghibur.

Flames will be ignored. Like I care.

.

/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\

Borders of Infinity

( Act 1. Absence )

/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\

.

Menyeruput secangkir kopi hangat di pagi hari sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging bagi L. Sang detektif muda dengan usia yang masih berkepala satu itu tampak asyik menyusun kue kering di atas cangkir kopinya membentuk piramida.

Sebuah suara di ujung ruangan mengalihkan perhatiannya dari miniatur menara di hadapannya. Sudut matanya mengerling ke arah sumber suara, sebelum kemudian mengikuti setiap gestur dari objek yang ditangkap ekor matanya.

Detik demi detik berlalu, dengan hanya suara buku-buku yang dipindahkan dari rak tinggi yang bertengger di sudut dinding ruangan berbenturan dengan meja kopi tinggi di sebelah rak dan guci porselen, yang mengisi ruang senyap.

L masih bergeming memperhatikan objek yang kini tengah merenggut keingintahuannya. Namun tentu saja, prinsip dasar seorang detektif adalah diam dan mencari tahu, untuk segala sesuatu yang membuatmu penasaran. Bukan dengan bertanya dan meminta jawaban.

Tangan-tangan terampil itu masih sibuk berkonsentrasi pada aktifitasnya memindahkan buku yang satu dengan yang lain ke atas meja kopi di sebelah guci porselen. Sesekali terdengar gerutuan dan makian-makian kasar yang tertahan dalam hembusan napas nyaris tanpa suara.

Pupil mata hitam pekat segelap malam teralih pada tumpukan buku di atas meja kopi. Memicingkan matanya, L mendapati bahwa semua buku tebal bersampul cokelat tua itu diawali dengan judul T.

'T'.

"Apa kau lihat?"

Tiba-tiba sebuah suara rendah yang sedikit renyah menyeruak kesenyapan ruangan. L mengangkat sebelah alisnya sedikit.

"Apa kau lihat," ulang sang objek perhatiannya lagi, "The Yellow Wallpaper?"

The Yellow Wallpaper.

T.

"Tidak."

Jawaban singkat yang menjadi penutup percakapan itu meluncur dari bibir L dengan sedikit mendesis. L mengangkat kepalan tangannya dan menggigit ujung kuku ibu jarinya, dengan tatapan yang masih terkunci pada sang objek.

Dikatakan percakapan pun, lebih seperti tanya-jawab biasa. Tak ada bedanya dengan acara kuis dimana host bertanya dan partisipan menjawab. Tapi tentu saja, sejak awal pun memang tak ada yang dapat diekspektasi dari sang objek untuk terlibat konversasi.

L memperhatikan objek perhatiannya dengan seksama.

Rambut hitam bertekstur kasar, kulit putih pucat, dengan postur tubuh yang jangkung dan ramping.

Mengingatkannya pada seseorang.

"Aku butuh buku itu," tanpa disangka suara renyah dan rendah itu kembali terdengar mengusik udara.

L mengerjapkan matanya.

Memiringkan kepalanya ke sisi yang berlainan dengan letak lemari buku, L berujar ringan, "Mungkin Ronald menyimpannya di keranjang?"

Sang objek mengedutkan alisnya. Tanpa menghabiskan lebih banyak waktu, segera ia hampiri keranjang rotan besar yang teronggok kaku di ujung lain ruangan.

L mengemut ujung ibu jarinya sembari memperhatikan sang objek melintas di depannya.

Sang objek membungkukkan badannya dan mulai mengaduk isi keranjang rotan yang berisi buku—banyak buku—tersebut dengan sedikit terburu.

"Ronald akan marah kalau mendapati buku-bukunya berantakan," L mulai lagi.

Yang dimaksud dengan 'keranjang' adalah keranjang rotan yang cukup besar untuk menampung seorang anak seusianya, digunakan untuk menyimpan setiap buku yang selesai dibaca anak panti. Selebihnya, pelayan akan menata kembali buku-buku tersebut di lemari.

"Ronald akan—"

"Aku sudah dengar, bodoh."

Ada nada pedas dari kalimat yang meluncur dari bibir tipis sang objek.

L melirik cangkir kopinya dan dalam sekejap tergoda untuk menyesap beberapa teguk. Lidahnya terasa pahit.

"Aku tidak tahu kau senang buku semacam itu?" ujar L sejenak setelah menyeruput kopi super manisnya.

Sang objek mengangkat bahunya tak acuh.

"Apa ada alasan yang membuat dongeng tersebut menarik perhatianmu?" L mulai lagi.

"Ya atau tidak, bukan urusanmu," sang objek menyahut dengan nada tak senang.

"The Yellow Wallpaper. Kisah pendek karya Charlotte Perkins Gilman yang pertama dimuat dalam The New England Magazine volume 11 Issue 5 pada tahun 1892 dan diterbitkan oleh Small & Maynard, Boston pada tahun 1899 dan diterbitkan ulang pada tahun 1997 oleh Duver Publication dari Amerika Serikat. Hingga saat ini masih saja ada beberapa orang yang tertarik pada kisah unik yang disajikannya," L bergumam, cukup keras untuk tertangkap cuping telinga sang objek.

"Kau sudah baca?" tiba-tiba sang objek memutar badannya, menatap L dengan alis bertaut.

L meletakkan cangkir kopinya dan menarik sudut bibirnya sedikit, "Tentu saja."

Sang objek tampak tak suka, memasang ekspresi seperti habis makan permen basi dan memutar bola matanya, "Oh, tentu saja. Orang yang tak punya hobi sepertimu kerjaannya memang cuma baca buku."

"Kalau memperhatikan deretan semut seharian dan membunuhnya satu per satu dengan jarimu ada dalam kategori hobi dalam kamusmu, kurasa memang tidak," L menjawab sekenanya.

Sang objek menatapnya tajam.

"Kau mengadu," desisnya.

"Tidak," tukas L cepat.

"Kau mengadu."

"Aku tidak ikut campur dengan urusan orang lain," timpal L ringan.

Kedua pecahan kaca hitam di bola mata sang objek menyorot penuh selidik, menatap L lekat.

L mengerling ke arah keranjang rotan di belakang sang objek, "Sudah dapat yang kau mau?"

Sang objek tak menyahut untuk beberapa saat, sebelum kemudian menghela napasnya dan menggerutu, "Kau seharian di ruang baca. Seharusnya kau ingat siapa saja yang datang kemari dan mengambil buku itu."

"Ya, ada beberapa orang yang datang kemarin," L menimpali.

Sang objek mengerutkan keningnya, "Ada yang pinjam? The Yellow Wallpaper?"

"Entahlah," L mengangkat bahunya.

"Kau ingat siapa saja yang datang kemari?" sang objek mencoba pendekatan lain.

"Tentu saja," L mengangguk bangga.

Sang objek berkacak pinggang dan menopang berat tubuhnya pada salah satu sisi tubuhnya. Menaikkan sebelah alisnya dan menunggu jawaban L.

"A dan B," jawab L.

"Aku B," sang objek mengedutkan alisnya.

"Maksudku C."

Sang objek mengibaskan tangannya di udara, "Kau main-main, ya?" suaranya meninggi dan memekik tajam.

L cepat-cepat menukas, "Aku cuma bercanda."

Sang objek yang mengaku sebagai B itu menatap penuh curiga.

"C. A dan C," L kembali berujar dengan penuh nada penekanan untuk meyakinkan B.

"Selera humormu payah," B mendengus, menghentakkan kakinya di lantai berkarpet merah marun dan melenggang menuju pintu keluar.

"Apa boleh buat. Tidak ada latihan praktik untuk bercanda," L menjawab sekenanya dengan suara nyaring.

B memutar bola matanya, sebelum kemudian menutup pintu di belakangnya.

Suara derap langkah sol sepatu berpantulan dengan lantai keramik di luar ruangan menyambut gendang telinga L.

"Aku sendiri ragu kau ingat namaku," tutur L pada keheningan, sembari menyesap sisa kopi di cangkir keramiknya.

Semenjak saat itu, sosok berambut hitam berkulit pucat yang menyebut dirinya B tak pernah terlihat lagi. Menghilang bersama sebuah buku bersampul kuning emas berlabel dari koleksi perpustakaan Wammy's House.

.

X.X.X

L mengerjapkan matanya.

Pandangan matanya sedikit kabur untuk sesaat, sebelum menemukan titik fokusnya. Detik berikutnya tampak langit-langit bercat putih polos dengan corak kelabu di hadapannya. Beberapa meter di atas kepalanya.

Jam beker di samping ranjang tidurnya berdering kencang membelah kesunyian.

L kembali mengerjapkan matanya.

Ketukan di pintu samar terdengar di antara jeritan alarm jam beker. L melirik sedikit ke arah daun pintu.

Ketukan kedua membuatnya membuka suaranya, "Masuklah."

Daun pintu kecokelatan terbuka perlahan diiringi bunyi derit dan putaran kenop tembaga yang mengkilap merah bata. Sesosok pria setengah baya muncul dari pintu, lengkap dengan busana formal jas dan celana panjang serba hitam dengan kemeja putih yang kontras. Dasi kupu-kupu hitam bertengger di leher sang pria berambut kelabu.

"Anda sudah bangun?"

L tak menyahut. Paling tidak, ia tahu sang pengusik dapat dengan jelas bahwa dia memang telah terjaga.

"Ada informasi baru yang masuk. Sesegera mungkin silakan dikaji dengan cermat," pria berambut kelabu itu kembali angkat bicara. Sedikit membungkukkan badannya ke depan dan menunjukkan perilaku penuh sopan santun.

L kembali menatap langit-langit kamarnya.

Suara nyaring memekakkan telinga dari jam beker di samping ranjangnya masih menjerit membelah udara.

Sang pria berambut kelabu bergeming menunggu.

"Anda ingin saya matikan alarm-nya?" ia mencondongkan tubuhnya ke arah meja kecil di samping ranjang L.

"Hm," L menyahut sekenanya.

Pria berambut kelabu berjalan menghampiri jam beker di atas meja kecil. Tangannya terjulur dan menekan tombol di atas jam mekanik mungil itu.

Senyap kembali memenuhi atmosfer ruangan segi empat yang lengang.

"Anda sudah banyak bekerja beberapa hari ini, silakan pergunakan waktu Anda untuk diri sendiri, saya siapkan sarapan di ruang depan."

"Apa menu sarapan hari ini, Watari?" L menimpali dengan nada datar.

"Bacon dengan telur. Juga kentang goreng dan teh mawar," jawab Watari—sang pria berambut kelabu.

"Oke," jawab L singkat.

Watari membalikkan tubuhnya dan melenggang menuju pintu keluar kamar tidur. Membungkukkan badannya sedikti, ia menutup pintu dengan pelan.

L bangkit dari posisinya terlentang. Menggeliat sebentar, ia regangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sedikit pegal. Memijit punggung lehernya, ia mengaduh pelan.

Tampaknya posisi tidurnya salah. Kini lehernya berdenyut nyeri dan tulang tengkuknya terasa berat.

Masih memijit punggung lehernya, L beranjak turun dari ranjangnya dan menapaki lantai keramik kamarnya. Kaki telanjangnya menyusuri lantai dingin hingga sampai di kamar mandi kecil di sudut kamarnya.

Mengaduh perlahan, L menghampiri wastafel biru langit di dalam kamar mandi. Memutar kran wastafel, merasakan semburan air yang mengucur deras dan terasa dingin di tangannya.

Sebelah tangannya kembali memijit punggung lehernya pelan, sementara sebelah tangannya yang lain membasuh mukanya dengan air dingin.

Menjulurkan tangannya pada rak di samping wastafel, ia raih sehelai handuk lembut berwarna putih cerah.

Tepat ketika ia mengangkat kepalanya yang kini terasa lebih segar dari sesaat sebelumnya, L berhadapan dengan sesuatu yang membuatnya tersentak.

Di sana, tepat di hadapannya, ada dia.

L mengerjapkan matanya.

Tangan kirinya meninggalkan punggung lehernya dan terjulur menggapai sosok di hadapannya yang balas menatapnya dengan mata terbelalak.

Permukaan benda solid dingin menyambut ujung jemari rampingnya.

Cermin.

L menatap proyeksi dirinya yang dipantulkan benda datar dan dingin itu.

Teh mawar akan nikmat untuk lidah pahitnya.

.

X.X.X

Watari mendorong trolley keperakan dengan langkah lebar-lebar, menuju sesosok pemuda berambut hitam berkulit putih pucat yang tengah mengamati belasan layar monitor di hadapannya tanpa berkedip.

"Sarapan, L?" ujarnya bersamaan dengan dibungkukkannya badannya sedikit ke arah pemuda itu.

L menepuk meja kaca di hadapannya, "Taruh di sini," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari aktifitasnya.

Watari meletakkan piring besar berisi bacon, telur, dan kentang goreng ke atas meja kaca di hadapan L. Sepoci teh kental beriak di dalam poci berdinding kaca transparan. Warna cokelat kemerahan yang pekat berpadu bersama helaian mahkota bunga mawar melayang di antara liquid hangat dalam poci.

Menyodorkan cangkir keramik ke hadapan L, Watari mengangkat poci kaca dan menuang teh ke dalam cangkir dengan hati-hati. Diletakkannya toples yang penuh berisi gula batu berbentuk kubus di samping cangkir keramik putih bercorak kebiruan itu, sebelum kemudian membungkukkan badannya sedikit dan undur diri seraya bergumam 'Selamat menikmati' pelan.

L menyahut dengan anggukan kecil tanpa menoleh. Dalam sekejap Watari hilang dari pandangan.

Berbagai gambar berkelebat di layar monitor yang tengah ditatap L penuh konsentrasi. Sesekali L menggigit kuku ibu jarinya, sesekali pula ia mendesis dan menghela napas pendek.

Asyik dengan aktifitasnya, tiba-tiba sudut matanya menangkap sebuah objek keemasan di salah satu layar monitor yang kini berganti gambar.

Lekas ia sambar remote control di hadapannya dan menekan tombol Rewind untuk layar barusan.

Menekan tombol Pause tepat dimana objek yang menyita perhatiannya terpampang, L menekan fungsi Zoom In beberapa kali dengan titik fokus pada objek yang sedikit mencuat dari tumpukan kertas yang berserakan di sekitarnya.

L memicingkan matanya.

The Yellow Wallpaper.

Ia menggigit bagian dalam pipinya. Jemari lentiknya menggapai-gapai piring besar di atas mejanya dan meraih kentang goreng. Membawa kentang goreng itu ke mulutnya, pandangan mata L tak lepas dari buku bersampul kuning emas di layar monitor.

Tangannya yang lain menekan beberapa tombol di samping kursi putarnya. Dalam sekejap layar utama di hadapannya menampilkan sosok seorang pria berambut merah yang menatapnya dengan raut muka yang sedikit tegang.

"James, kau dengar aku?" L menarik ujung mikrofon ramping yang terjulur di samping mejanya. Mulutnya mengunyah kentang goreng perlahan.

"Ya, aku dengar," suara pria dalam monitor terdengar sedikit canggung.

L berdehem sebentar, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi putar yang didudukinya. Jemarinya dengan lihai menari di atas keyboard di meja sampingnya. Bunyi tuts keyboard yang ditekan bergantian dengan cepat menyeruak ke seluruh penjuru ruang lengang dengan dominasi warna putih tempat L berada.

'Successfully Sent'

Layar kecil di sudut bawah layar utama berkedip.

"Barusan aku mengirim potongan gambar yang menarik dari lokasi pembunuhan korban nomor tiga. Perhatikan baik-baik," sahut L kembali berujar pada mikrofonnya.

James mengangguk cepat dan tampak memainkan jari-jari cekatannya di atas keyboard-nya sendiri, sebelum kemudian tercengang, dan mengerutkan dahinya.

"Kau lihat, James?" L menatap James lekat. "The Yellow Wallpaper."

Masih dengan kerutan dalam di keningnya, James mengangguk. Tak mengerti kemana arah pembicaraan menuju.

"Kau pernah dengar? The Yellow Wallpaper?" L mulai lagi. Menusuk bacon di piringnya dengan garpu dan membawanya ke mulutnya.

"Mm, aku tidak begitu senang karya sastra lama," jawab James sedikit memaksakan senyum canggung.

"Buah karya Charlotte Perkins Gilman yang dimuat dalam The New England Magazine pertama kali tahun 1892, enam ribu kata cerita pendek," L menggigit bacon yang tersorong di depan mulutnya, merobek daging lezat berbumbu tersebut dengan barisan giginya.

James mengangkat sebelah alisnya, "Wow?"

L mengunyah bacon di mulutnya dengan tenang.

James berdehem, "Err, lalu? Maksudku… ada apa dengan hal itu?" ia sama sekali tak menyembunyikan ketidakmengertiannya.

"Wanita pada abad 18 dan 19 memang masih jarang berkutat di bidang sastra, namun fakta membuktikan bahwa hampir semua penulis pada masa itu adalah wanita. Yang menggunakan nama pena pria," ujar L masih dengan gaya bicaranya yang santai.

James tak menyahut, menunggu L melanjutkan penjelasannya.

"Tidak akan aneh jika buku itu ditulis oleh seorang wanita dalam kondisi sehat jasmani dan rohani," L kembali berujar. Mengangkat bahunya kini.

Kening James terlipat.

"Kau tahu James, Mrs Gilman menulis cerita pendek itu ketika ia mengidap Postpartum Psychosis."

Kedua kelopak mata James terbelalak.

Tak mengindahkan air muka James, L kembali bertutur tenang, "Gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh trauma psikologis dari wanita yang baru melahirkan, yang mana pada zaman itu banyak terjadi kasus serupa. Dalam kondisi mental yang hampir gila, Mrs Gilman menulis cerita pendek itu di masa rehabilitasinya yang malah membuatnya semakin tidak waras."

"Wow," James berdehem. Kali ini sungguh-sungguh menyuarakan kekagumannya.

"Mungkin kau tidak akan senang mendengar berita yang satu ini," tampaknya L tak berniat James terlena dengan informasi mengenai publikasi buku tersebut.

"Ya?" James menunggu.

"Tersangka yang sedang kita kejar, dulu menghilang dengan membawa buku bersampul kuning emas ini," ujar L dengan hati-hati, mengeja setiap kata dengan nada rendah.

Kening James berkerut. Menunggu penjelasan lebih jelas dari L. Namun kini L tengah asyik mengunyah kentang goreng dan telur.

"Aku ingin kau kembali ke setiap tempat kejadian pembunuhan dalam kasus ini, dan menemukan The Yellow Wallpaper. Dan memfotonya. Cek juga apa ada sesuatu di dalamnya. Bawa semua buku The Yellow Wallpaper yang bisa kau temukan di TKP," L tak mengacuhkan rasa penasaran James.

"Kenapa Anda yakin ada buku seperti itu di setiap TKP?" kali ini James memilih untuk memvokalkan rasa keingintahuannya alih-alih menunggu penjelasan dari atasannya itu.

L menghentikan gerakan tangannya yang tengah menusuk bacon dengan garpu di tangannya. Menatap James lekat-lekat, walau ia tahu James sama sekali tak dapat melihatnya dari balik layar satu arah itu.

"Firasat," sahutnya pelan. Teramat pelan hingga seolah berbisik dan mendesis. Namun cukup tertangkap gendang telinga James yang kini membulatkan matanya.

.

X.X.X

L membolak-balik kertas di tangannya dengan sesekali menguap lebar. Sesekali pula ia meraih cangkir tehnya dan menyesapnya dengan nikmat.

Bunyi sol sepatu yang berpantulan dengan lantai marmer mengkilat mengusik telinganya. Dengan sudut matanya, ditangkapnya sosok Watari tengah mendekat dengan sebuah benda di tangannya.

Antusias dengan benda di tangan Watari, L meluruskan posisi duduknya dan menggeliat.

"Yang Anda pesan," sahut Watari setelah berhenti dalam jarak satu meter di samping kursi putar favoritnya. Watari menyodorkan benda—yang rupanya sebuah buku—itu pada L dengan sedikit membungkukkan badannya.

L menerima buku bersampul kuning emas itu dan menorehkan lengkung senyuman di bibir tipisnya. Kedua bola matanya berkilat.

"The Yellow Wallpaper," desis L, mengusap perlahan sampul buku tipis di tangannya itu.

"Cukup sulit menemukan buku itu sekarang, saya dapatkan dari toko buku langka. Mungkin kisah unik di dalamnya memang bagus untuk menstimulasi otak Anda yang cukup kelelahan dengan maraknya kasus belakangan ini," tutur Watari berbasa-basi. Masih dengan gaya bicaranya yang sopan dan teratur. Seolah setiap kata yang ia lontarkan telah melalui proses seleksi dahulu sebelum meluncur keluar dari bibirnya yang kini memoleskan senyum.

"Lebih tepatnya," L menukas, "menstimulasi kemampuan deduksiku."

Watari mencondongkan tubuhnya pada L, "Pardon?"

Mengacungkan buku di tangannya, L nyengir lebar, "Buku yang sama dengan ini, terlihat di tempat kejadian kasus nomor tiga."

"Hmm," Watari bergumam, tampak memikirkan sesuatu.

L membuka sampul plastik yang melingkupi buku di tangannya dengan ketat, dengan tidak sabar.

"Jadi di setiap TKP terdapat buku ini?" Watari kembali bertanya.

"Belum pasti. Belum ada laporan dari James. Tapi kurasa, ya," L melempar bungkus plastik buku itu ke udara, hingga melayang dan mendarat santai di lantai marmer.

"Hm?" Watari mengangkat sebelah alisnya, sama sekali tak ada niat menyembunyikan rasa penasarannya.

"Kau ingat, sepuluh tahun yang lalu, hari dimana dia menghlinag dari panti asuhan?" L berujar setengah berbisik.

Tak ada jawaban dari Watari.

"Adalah hari dimana lenyapnya The Yellow Wallpaper dari perpustakaan panti," lanjut L dengan pupil mata berkilat.

"Hm," Watari masih tak mengerti bagian mana dari hal tersebut yang ada sangkut pautnya dengan kasus pembunuhan berantai yang terjadi dan meresahkan warga Los Angeles dalam minggu-minggu belakangan ini.

"Aku memang tidak bilang padamu atau Ronald," L menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menghela napas panjang dan sedikit menggembungkan pipinya, "Pagi hari tepat sebelum menghilang, dia menanyakan keberadaan buku itu."

Watari tak menyahut.

L melirik padanya dan terhenti sejenak, sebelum kembali melanjutkan dengan nada rendah, "Kukatakan antara A atau C mungkin membawa buku itu keluar dari ruang baca. Setelah itu… kau tahu sendiri."

Watari mengurut punggung tangannya yang berbalut sarung tangan. Suatu perasaan tak menyenangkan hinggap di sekujur tubuhnya.

"Karena tidak ada bukti, juga tidak ada motif yang pasti, saat itu aku memilih bungkam. Tapi kurasa sekarang aku mengerti," L mengalihkan pandangannya pada layar besar di hadapannya.

"Melihat TKP saja, aku tidak akan mengerti. Tapi setelah meminta FBI mengirimkan foto-foto ruangan lainnya dari setiap lokasi pembunuhan, inilah yang kutemukan," L menekan beberapa tombol di keyboard-nya.

Dalam sekejap mata, tampak berbagai macam foto di tiap layar kecil yang mengelilingi layar besar utama yang terletak di tengahnya.

Pupil mata Watari mengecil.

"Benar," L memutar kursi putarnya dan menghadap Watari yang berdiri mematung. "Semua kamar tidur korban memiliki wallpaper berwarna kuning."

Tenggorokan Watari tercekat.

"Yellow Wallpaper," bisik L.

.

.

TBC

/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\