Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Author : Piecherry

WARNING : Male x Male – rada OOC – awas Alur cepat – Penulis newbie

NOTE : sebelumnya mohon maaf jika ada kesalahan pada FF ini, baik penulisan nama, alur kecepatan ataupun OOC yang saya buat. Dan juga cerita ini berlatar belakang masa peperangan di Jepang (perang dunia kedua atau mungkin pertama) , saya belum tahu benar kalau suasana peperangan di itu Jepang seperti apa, saya tahunya sih yang di Indonesia :v dee, enjoy!


.

.


"Tetsuya.."

Lelaki yang awalnya terdiam menatap langit sore yang terlihat suram bergerak mencari asal suara tadi, terlihat seorang lelaki yang berumur 11 tahun lebih tua darinya itu mendekat dan duduk di sampingnya. Mereka sama-sama duduk di teras rumah yang sejuk, rumput-rumput yang tertata rapi juga pohon-pohon yang mulai berbuah.

"lagi-lagi kau termenung?"

"tidak, aku tidak termenung," jawab Kuroko yakin, tangan kanannya mengelus-elus pelan tangan kirinya yang bebas, Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu namun tak mengatakan apapun tentang itu. Akashi yang sedari tadi duduk di sampingnya hanya tertawa kecil, tawa yang misterius namun menggemaskan.

"begitu.." gumam Lelaki berambut merah dengan manik mata yang berwarna sama.

Ia masih duduk di sana, melepaskan kelelahan setelah bekerja—lebih tepatnya latihan—berjam-jam, kedua tangannya terasa ingin lepas dari pemiliknya, latihan-latihan keras yang di berikan untuknya menjadikan kewajiban yang harus Ia hadapi saat ini. Perang dunia masih berlanjut, dan Akashi adalah salah satu dari sekian pria yang ikut latihan militer untuk mempertahankan negeri ini. Kuroko yang masih belasan tahun belum dibenarkan ikut, yang bisa Ia lakukan adalah tetap berjuang untuk tumbuh, dan berdoa agar perang ini segera berakhir. Sekalipun ia tidak tahu kapan itu akan di kabulkan oleh Tuhan.

Akashi memukul-mukul pelan pundaknya yang terasa kaku, Ia benar-benar terlihat sangat lelah.

Namun Ia masih meluangkan waktunya untuk duduk di sana, di samping Kuroko.

"Nii-san, kau terlihat lelah, lebih baik kau segera istirahat," Kuroko sepertinya tahu apa yang Ia lihat ketika awal Akashi datang tadi, Kuroko tahu kakaknya itu sebenarnya lelah namun tetap menyempatkan diri untuk menyapa adiknya.

"tidak, aku tidak lelah. Jangan khawatir" lengkungan manis itu tergambar jelas di bibir milik Akashi, Ia mengusap rambut Kuroko dengan lembut. Kuroko seolah tak berani menatap rupa lelaki di sampingnya, Ia mengalihkan wajahnya ke arah lain setelah menyadari bahwa jantungnya hampir saja jatuh tadi.

Deg-deg-deg

Akashi tak mengerti, namun Ia hanya tersenyum cerah. Lihatlah, adiknya yang sekarang berumur 16 tahun itu terlihat dewasa dengan pakaian rapi yang Ia kenakan.

Kuroko hampir lupa caranya bernafas dengan normal, namun ia mencoba untuk terlihat wajar di depan Akashi. Mungkin akan terlihat aneh jika Ia sampai segila ini setelah melihat wajah tampan kakaknya. Liatlah tubuhnya yang mulai berotot akibat latihan keras itu, serta cara duduknya yang tegap dan terlihat kokoh. Orang yang sangat Ia kagumkan.

Ya, dia adalah saudara Kuroko. Saudara Tiri lebih tepatnya.

Jauh sebelum Kuroko lahir, kedua Orang tuanya mengadopsi Akashi yang telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya yang merupakan teman karib mereka dulu. Tak lama setelah itu si kecil Kuroko lahir ke dunia, mereka pun tinggal bersama sebagai kakak dan adik yang sangat akrab, bahkan seperti saudara kembar yang tak terpisahkan, Akashi yang selalu ingin dekat dengan adiknya dan Kuroko yang selalu terlihat nyaman jika bersama Akashi. Mereka dua bersaudara yang sangat akrab, walaupun tidak ada hubungan darah di antara mereka.

Tapi apakah Akashi tahu, bahwa adiknya yang sangat Ia sayangi ternyata menyimpan perasaan padanya? Bahwa adiknya itu terlalu sering menatap wajahnya, selalu ingin bersama dengannya, ingin tidur dengannya? tidakkah Ia sadari? Tidak.

Lelaki berumur 27 tahun itu tak menyadarinya, Ia masih terus berada di sisi Kuroko, memanjakannya, mengusap lembut rambutnya, memberikan senyuman untuknya, bahkan Ia menghapal semua kegiatan yang biasa adiknya lakukan. Namun ia tak menyadarinya sekalipun.

Bagi Akashi, Kuroko adalah adiknya, adik yang sangat Ia sayangi dan Ia lindungi seolah rumput yang tidak tajam pun tak boleh menyentuh dan melukai kulit adiknya yang rentan. Itulah rasa cinta yang beralasan baginya. Sekalipun Ia tidak pernah memahami isi hati adiknya yang sesungguhnya pada dirinya.

Kuroko, mau bagaimanapun sudah dapat menelan kenyataan ini mentah-mentah. Ia sudah menyadarinya dari awal bahwa cintanya tidak mungkin dapat terbalaskan. Akashi mencintainya hanya sebagai adik , bukan sebagai kekasih yang akan hidup bersama mendampinginya, memberikan anak yang manis-manis, dan menemani hingga akhir hidupnya.

Kuroko selalu mencoba untuk melupakan perasaannya, namun Akashi selalu hadir menanam benih-benih cinta di hatinya. Ia suka, suka senyuman kakaknya itu, wajah tampannya, sifatnya, dan kewibawaannya. Benar saja, jantung itu seperti hilang saat Akashi menyentuhnya, tapi sentuhan kasih sayang dari seorang kakak pada adiknya tentulah beda dengan sentuhan kasih sayang dari seseorang dengan kekasihnya.

Tapi bisakah—bisakah Akashi melihatnya sebagai orang yang berbeda? Bukan sebagai adik, tapi sebagai orang yang baru saja Ia kenal, seseorang yang akan mencoba untuk mendapatkan hatinya.

"perang masih belum berakhir ya?" tanya Kuroko dengan polos, walaupun di benaknya sendiri Ia mengerti dengan baik apa maksud pertanyaannya itu.

"berdoalah agar semuanya bisa berakhir dengan baik," senyuman itu kembali dilayangkan untuk Kuroko, senyuman penyemangat walaupun terselip sedikit nada kekhawatiran di dalamnya.

"aku ingin, kau tidak perlu bersusah payah lagi untuk mengikuti latihan itu,"

"kau mengkhawatirkanku?" pertanyaan menggoda namun tak berarti apa-apa.

"tentu saja, aku tak mau lagi melihatmu terlihat kelelahan seperti ini," jawab Kuroko mantap.

Akashi mendekatkan kepalanya ke adiknya, menempelkan kening mereka berdua dan tersenyum. Sekalipun wajah Kuroko terlihat memerah, anak itu tetap diam di tempatnya sambil menunduk.

"kau tidak perlu khawatir Tetsuya, ini bukanlah apa-apa," Akashi menjawab dengan serius diselingi senyuman yang dari tadi selalu menghiasi bibirnya.

Pernyataan yang cukup melegakan, namun tak ada yang tahu kapan manusia akan pergi. Memang sudah sewajarnya Kuroko khawatir, karena semenjak kedua orang tua mereka meninggal akibat perang mengganaskan ini, Akashi adalah satu-satunya yang Ia miliki sekarang. Ia tidak berharap akan perpisahan yang sama, tidak akan.

"Aku akan menyiapkan makan malam kita, lihatlah aku membawa beras yang bagus kali ini,"

Kuroko tersenyum, sekalipun Akashi begitu sangat lelah Ia tidak mau melewatkan makan malam bersama adiknya.


.

.

Pagi itu langit masih terlihat gelap, udaranya masih sangat dingin dan matahari belum ingin muncul. Suara ayam berkokok merdu, bertanya-tanya siapakah di antara mereka yang paling hebat saat itu. Sekalipun langit malam mulai memudar, suasana saat ini terbilang sepi, suasana peperangan masih kental terasa di mana hanya ada hawa-hawa duka di setiap rumah warga, tak terkecuali rumah Akashi dan Kuroko yang telah ditinggal oleh Orang tua mereka.

Kuroko menarik selimut tipisnya, dingin menyeruak hingga ke sela-sela jari kakinya. Tercium aroma sup yang sangat Ia kenal, aroma yang tipis dengan bumbu yang khas. Kuroko tidak perlu dibangunkan dengan teriakan-teriakan yang dapat memecahkan telinga, atau mungkin seember air dingin yang dilempar untuknya, tapi aroma sup ini sudah cukup dapat melebarkan matanya yang semula tertidur.

Akashi pasti sedang memasak sekarang, dari awal Ia tidak mau mengganggu ketenangan adiknya dengan aroma supnya. Tapi sepertinya Kuroko menyukainya. Tidak apalah.

Pintu kamar Kuroko terbuka perlahan, dilihatnya sosok Akashi yang sedang sibuk mengaduk makanan yang akan mereka santap nanti. Kini aromanya benar-benar tercium jelas, sangat khas.

"kau sudah bangun, Tetsuya." jawab lelaki yang sibuk di dapur kecilnya itu.

"wangi sekali,"

Sambil mengulum senyum tipis di bibirnya, lelaki dengan surai merahnya itu segera mengangkat masakannya yang dimasak di atas tungku yang berasap tebal. Ia mengambil mangkuk dan menyajikannya di sana. Kuroko segera duduk di meja pendek—yang coraknya sudah mulai melesap—di atasnya tersaji semangkuk penuh sup yang berwarna pucat dengan hiasan sayuran hijau, irisan tipis wortel serta kentang. Makanan yang sederhana tapi ketahuilah ini adalah makanan yang sangat lezat. Selanjutnya sup itu ditemani dengan nasi panas yang mengepul. Melihatnya saja sudah membuat Kuroko menelan ludah. Baiklah, segera ucapkan ittadakimasu dengan satu santapan pertama.

"enak!" seru Kuroko dengan wajah datarnya, Ia lupa sudah berapa kali mengatakan hal yang sama. Masakan kakaknya tidak pernah membuatnya bosan, justru karena rasa enak itu yang selalu mengunggah seleranya.

"masakanku memang selalu enak, tak ada yang dapat mengalahkannya" jawab Akashi mantap, Ia tersenyum di tengah pernyataannya itu dan mengusap kepala Kuroko dengan lembut. Kuroko tertawa pelan, ia mengangguk mengiakan.


.

.

"Tetsuya. Aku berangkat, jaga rumah dengan baik selama aku pergi," tegas sang Kakak di saat Ia memasang sepatunya. Kuroko hanya mengangguk, Ia tidak mengerti mengapa kakaknya begitu sibuk setiap harinya hanya untuk melukai setiap bagian di tubuhnya, mengapa kakaknya tidak mengundurkan diri saja sebagai salah satu prajurit, mengapa kakaknya tidak berpura-pura bodoh saja ? Ia malah mengandalkan otak cerdasnya dalam membuat strategi sehingga orang-orang mulai membutuhkannya. Membuat Ia harus sendirian setiap harinya, menatap ke langit yang berpadu dengan putihnya awan dan cahaya matahari yang menyilaukan. Ia kesepian.

Sekolah Kuroko sudah ditutup karena perang semakin menjadi-jadi sehingga membuatnya harus merasakan kebosanan yang berulang-ulang di setiap harinya, para orang tua tidak memperbolehkan anaknya untuk bermain keluar karena takut hal yang menyeramkan terjadi dengan mereka, jalanan kini hanya diisi dengan sunyi dan langkah kaki orang dewasa yang terkadang lewat di sana.

Uh, Ia rindu kakaknya. Rindu serindu rindunya, walaupun mereka selalu bertemu di rumah tapi tetap saja itu waktu yang sangat tipis untuk mereka, bahkan Akashi selalu terlihat lelah ketika pulang, membuat batin Kuroko tersiksa. Untungnya Akashi selalu pulang ke rumah, tidak seperti orang lain yang bahkan berhari-hari tidak pulang karena kesibukan mereka atau bahkan kelelahan, Akashi selalu menempatkan perhatian mendalam kepada adiknya.

Tapi perhatian itu malah menimbulkan rasa cinta Kuroko yang selalu ia tutup rapat-rapat. Bohong jika Kuroko tidak berdegup kencang ketika Akashi tersenyum untuknya, bohong jika Ia tidak hampir kehilangan nafasnya ketika Akashi mengusap pelan rambut biru langit miliknya.

Cinta itu benar-benar tumbuh dengan baik karena Akashi, Ia kakak yang kejam karena telah menumbuhkan rasa cinta adiknya yang lebih spesifik tanpa Ia sadari. Kuroko tidak pernah tahu sejak kapan rasa cinta ini tumbuh, entah sejak Ia berumur 14 atau mungkin 15. Kuroko berbisik dalam hatinya, bertanya-tanya apakah Akashi juga merasakan hal yang sama dengannya.

"Hei.. saudara tiri boleh saling mencintai bukan?" tanya Kuroko dengan awan yang bergerak pelan. Sudahlah Kuroko jangan kau tanyakan hal yang selalu mengiris hatimu itu, kau sudah terlalu lama memendamnya bukan? Kau bahkan takut untuk berdegup kencang seolah darah mengalir dengan cepat di pembuluh darahmu. Kau takut merasakan cinta ini.

Kau takut mencintai kakak tiri mu , bukan?

Cairan bening mengalir keluar dari mata pemiliknya, Kuroko memeluk lutut sambil merasakan rasa yang menyakitkan, ia mencoba menahan nafasnya agar rasa sakit ini segera hilang, tapi hasilnya nihil.

"hentikan!" desak Kuroko pada dirinya, menangis membenci dirinya yang merasa aneh karena telah mencintai kakak tiri nya.

Kini langit mulai terlihat mendung, kepulan awan gelap menghampiri langit dan melindungi matahari yang tadi bersinar. Hujan pun turun. Sambil melihat tanah yang mulai basah, Kuroko berdiri dari tempatnya. Awalnya hanya tangan kanannya yang basah terkena hujan, namun akhirnya seluruh tubuhnya juga ikut berada di luar.

Tetes demi tetes membasahi kulit pucatnya, surai biru langitnya pun terhujani. Sudah lama Ia tidak bermain seperti ini. Suara hujan seolah berdegung di telinganya, menari-nari dalam kesepian dihatinya, indah namun terlihat kesepian. Suara erangan kesedihan bersama Kuroko, hujan bersamanya.

"Tetsuya?" suara itu mengagetkan Kuroko, lewat iris biru miliknya sosok Akashi telah berdiri di teras tak jauh darinya. Mungkin lelaki itu juga kaget melihat adiknya berdiri ditengah hujan yang cukup deras ini.

"kemarilah, kau bisa sakit," panggil Akashi, wajah cemasnya terlihat jelas. Kuroko hanya diam sambil mengangkatkan wajahnya menatap langit dengan mata yang tertutup.

"ya, sebentar." jawab Kuroko lirih. Kemudian segera menuju teras rumahnya.

"cuaca sedang tidak bagus, sebaiknya kamu tidak perlu gegabah seperti ini," cemas Akashi dengan suara khas miliknya. Sebuah kain kecil bertengger di kepala Kuroko dengan maksud untuk mengeringkan rambutnya. Dari tadi Kuroko hanya diam, Ia merasakan jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dari sebelumnya, lagi-lagi ia merasakannya. Akashi terlalu dekat dengannya.

"kau tidak apa-apa?"

"bolehkah aku memanggilmu 'Akashi-kun'.. nii-chan,"

Pertanyaan yang cukup mengagetkan, sepertinya Kuroko tidak ingin menjawab pertanyaan kakaknya tadi.

"kenapa kau ingin memanggilku seperti itu?"

"aku hanya ingin," jawaban abstrak yang pernah Kuroko berikan. Akashi terlihat kebingungan, namun Ia mencoba menjawabnya.

"baiklah, jika itu keinginanmu, Tetsuya.."

Jika memang itu keinginan Kuroko, Akashi akan mengabulkannya.

"Akashi-kun.."

Masih terdengar aneh di telinga Akashi, tapi Ia terlihat menyukainya. Namanya dipanggil dengan manis oleh adiknya.

Akashi memberikan segelas air putih hangat, wajah pucat adiknya terlihat jelas. Ia tidak bisa diam saja, Kuroko hanya menatap pemberian itu tanpa mengambilnya.

"kau tahu? Aku sangat kesepian. Setiap hari hanya menatap langit, mencuci baju sendiri, bermain sendiri, menunggu hingga kakak datang," kata Kuroko lirih, suaranya hampir hilang ditelan derasnya hujan tapi Akashi tetap dapat mendengarnya. Pernyataan yang mengiris jiwa.

Cukup lama Akashi terdiam tanpa menjawab apa-apa, Ia hanya diam memandangi adiknya yang tertunduk. Kuroko juga begitu, Ia tidak menunggu kakaknya berkata apapun karena Ia masih ingin mengatakan banyak hal kepada kakaknya.

"jika aku di perbolehkan untuk ikut denganmu pergi ke sana, aku akan mengikutinya.. sesusah apapun itu. Bahkan jika 2 hari tidak memakan apapun, akan aku jalani,ini benar-benar menyesakkan. Ayah dan ibu sudah tiada, aku takut—"

Mata itu terbelalak kaget ketika sosok di depannya mendekap tubuhnya dengan erat. Akashi memeluk tubuh adiknya itu, merasakan kesedihan mendalam yang dialami adiknya. Kuroko selain kaget ia juga hampir berhenti bernafas akibat perlakuan tiba-tiba ini, untuk pertama kalinya Akashi memeluknya seperti ini. Gawat, ia takut detak jantungnya yang berdetak dengan cepat dapat di rasakan oleh Akashi.

"maafkan aku Tetsuya..aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untukmu," hanya itu yang dapat Ia berikan ke adiknya, Ia mengutuk dirinya karena tak dapat memberikan kebahagiaan untuk adiknya yang malang ini. Akhirnya cairan bening itu jatuh dari pelupuk mata Kuroko, Ia menangis sejadi-jadinya di dalam rangkulan tubuh Akashi. Rasa menyesakkan yang Ia rasakan ini benar-benar ingin meluap, tapi di lubuk hatinya ia tetap ingin menahannya.

"Kumohon buat rasa cintaku padamu ini segera hilang, Akashi-kun. Ketahuilah, rasa ini benar-benar menyesakkan bagiku,"

Tanpa mereka berdua sadari, langit telah menjadi semakin gelap mendekati malam.


Pagi telah tiba, Kuroko masih terlelap. Entah kenapa kejadian semalam membuatnya lelah dan akhirnya tertidur. Kegiatan yang sama dilakukan ulang oleh Akashi, memasakkan makanan untuk adiknya tercinta. Tapi entah kenapa sudah beberapa menit masakan itu tercium namun Kuroko belum juga keluar dari kamarnya. Padahal Akashi sudah menyiapkan masakan lezat untuk adiknya, karena penasaran Ia mencoba untuk mengintip sekilas kamar adiknya. Di sana Kuroko sedang tertidur pulas, Ia terlihat biasa-biasa saja dengan mata yang tertutup rapat.

Akashi mendekati adiknya itu, ia mengulum senyum tipis. Kuroko tidur dengan tenang, terlihat manis. Akashi mendekatkan wajahnya ke kening Kuroko dan mengecupnya pelan. Ia kaget ketika bibirnya merasakan panas, tanpa pikir panjang lagi Ia segera menyentuh kening adiknya dengan tangannya yang bebas.

Panas, Kuroko sepertinya demam. Pantas saja dia tidak dapat bangun karena demam ini. Tanpa pikir panjang Akashi meletakkan kain lembab di atas kening Kuroko, lelaki bersurai merah itu terlihat tenang, namun raut cemas tergambar jelas di wajahnya.

"Tetsuya, kau masih tidur? Aku sudah membuatkan makanan untukmu,"

Tak ada sahutan.

"hei, Tetsuya."

Lagi, tidak ada sahutan.

"mungkin sebaiknya aku tetap di sini,besok aku bisa beri alasan kepada mereka." Ujar Akashi berkata pada dirinya sendiri. Lebih baik Ia izin untuk hari ini saja, Ia tidak mau meninggalkan adiknya yang sedang terbaring tak berdaya itu.

Tiba-tiba tangan dingin nan pucat itu menyentuh jemari Akashi, Kuroko dengan nafas terburu-buru itu mencoba mengatakan sesuatu.

"jangan.." katanya pelan.

walaupun Akashi yakin suaranya sangat pelan tadi namun sepertinya Kuroko dapat mendengarnya.

"aku tidak apa .. ini hanya demam biasa."

Bohong.

Terdengar Kuroko terbatuk-batuk, kepalanya terasa benar-benar pusing. Ia tak menyangka bisa terserang demam karena kejadian semalam. Tapi ia sama sekali tidak menginginkan kakaknya untuk tidak pergi, ia akan mencoba mandiri walaupun Ia tahu tubuhnya benar-benar terasa berat kali ini.

Akashi tidak menjawab apa-apa, Ia menyentuh pelan pipi Kuroko yang luar biasa panasnya.

"tidak, aku akan tetap di sini." Pernyataan yang kokoh dari sang kakak, Kuroko menatap Akashi dengan menyipitkan kedua matanya.

"Akashi-kun.. ayolah aku tidak apa-ap—"

Kepalanya terasa pusing lagi, seolah Ia ingin melepaskan kepalanya saja saat itu.

"lihat." Akashi membuktikan, Kuroko memang tidak berdaya saat ini. Kuroko menggigit bibir pucat miliknya, ah matanya terasa berat.

Mungkin sebaiknya Ia melanjutkan tidurnya lagi.

"ayo tidurlah," saran Akashi. Kuroko hanya mengangguk mengerti tanpa mengatakan apapun.

Sambil mengelus pelan rambut biru adiknya itu, Akashi tersenyum pada dirinya sendiri. Ia mengecup pelan kening Kuroko yang hangat dan terasa basah akibat kompresan dingin yang Ia berikan tadi, Ia Berharap agar adiknya segera sembuh, karena senyuman adiknyalah yang memberikan semangat hidupnya saat ini.

Kuroko terbatuk, Ia sedikit kaget namun Ia hanya diam sambil menutup matanya. Sial, kepalanya benar-benar terasa pusing.

Mungkin Ia memang harus tidur sesuai dengan saran kakaknya.


.

.

Aku pernah mendengar cerita tentang seorang adik yang menyukai kakaknya sendiri, kukira ending cerita itu akan berakhir bahagia. Tetapi ternyata sang kakak telah menikahi orang lain dan tetap menganggap adiknya itu sebagai adik semata. Menyedihkan.

.

Percintaan antara kakak dan adik itu memang tabu.

.

Tapi Aku berharap ada keajaiban dalam kata 'tabu' itu.

Udara malam menghirup pelan ke sekitar tubuh Kuroko, Ia membuka matanya perlahan dengan keadaan badan penuh dengan keringat. Ia menyentuh dahinya yang mulai terasa dingin, bersyukur setelah mengetahui bahwa Ia sudah merasa lebih baik dari yang sebelumnya. Di sisinya terlihat Akashi sedang tertidur dengan wajah yang menggemaskan, ingin Kuroko sentuh wajah tampannya itu, namun Ia urungkan.

Berpikir bahwa Ia sudah merepotkan kakaknya, lihatlah sepertinya Akashi memang tidak pergi, Ia tetap pada keinginannya untuk menjaga Kuroko. Terbesit perasaan senang yang kemudian menguap seketika dalam hati Kuroko, Ia mengutuk dirinya sendiri setelah menyadari Ia sangat senang Akashi tetap disini, sebenarnya wajar jika seorang adik mendapatkan perasaan senang ini, tapi Kuroko pikir perasaan senangnya ini lebih dari itu.

Menyakitkan.

Menangis, Kuroko menangis dalam keheningan. Ia bersusah payah agar suara isaknya tidak terdengar oleh Akashi yang sedang tertidur. Bahkan ia mencoba untuk memukul pelan dadanya yang terasa nyeri.

Sakit. Sakit sekali.

Ia berpikir apakah Akashi dapat mendengar jeritan hatinya ini, jeritan yang menyakitkan yang pernah ada bagi Kuroko. Apakah Akashi tak pernah menganggapnya seperti orang yang bukan adiknya? Menganggapnya sebagai orang asing yang baru Ia kenal juga tak apa. Kuroko mengecup hati-hati kepala lelaki yang tertidur pulas itu, dan berharap Ia tidak terbangun.

Hei.. bangun lah.. katakan padaku .

Apakah perasaan cintaku ini dapat terbalaskan olehmu ?

Apa kau mau menerima cinta adikmu ini ?

Walaupun sedikit saja.

Aku ingin kau melihatku.

Tak lama kemudian Lelaki bersurai merah itu terbangun dari mimpinya, menyadari bahwa adiknya sudah bangun lebih awal darinya. Kuroko tak berkata apa-apa dengan posisi duduk menyandar di dinding, tangannya masih menyentuh punggung tangan Akashi, Akashi tak menepisnya.

"sudah selarut ini, aku kembali ke kamar," kata Akashi sambil mengangkat tubuhnya yang terasa pegal akibat berjam-jam tidur dalam keadaan duduk membungkuk. Tangan lembut itu menyentuh pergelangan tangan yang sedang beranjak pergi, Akashi menatap sosok adiknya yang hampir seluruh wajahnya tertutup dengan gelapnya kamar.

"ada apa Tetsuya?"

Hening, tak ada jawaban.

"hei?" tanya Akashi bingung, tangan kanannya masih dipegang erat oleh adiknya.

"aku takut nii-chan.. temani aku."

Akashi terlihat sedikit kaget dengan pernyataan itu, sungguh wajah datar Kuroko tak dapat menjelaskan apa-apa. Lelaki itu kemudian duduk di ujung ranjang di mana Kuroko sedang terduduk menatap jendela kamarnya, walau sebenarnya jendela itu hanya memberikan pemandangan suram di mana hanya ada pohon-pohon menyeramkan di luar sana.

"apa kau takut, Tetsuya?" nadanya terdengar lemah di telinga Kuroko, Akashi terlihat khawatir.

"...mungkin." jawab Kuroko singkat.

Akashi tak mengatakan apa-apa selain mengacak pelan rambut Kuroko.

Hei,Katakan sesuatu.

"Baiklah..apapun itu, aku pasti akan mengabulkannya."

Bohong.

Hei, wajarkan jika seorang adik tidur dengan kakaknya? Kuroko sering meminta hal yang sama sebelumnya, tapi perasaan gugup inilah yang baru Ia dapatkan dan Ia sudah mengetahui penyebabnya. Akashi segera menaiki ranjang dan menaruh satu bantal untuk dirinya, kini mereka tidur berhadapan.

Kuroko tak mengatakan apa-apa selain menatap wajah kakaknya yang tersenyum kepadanya, senyum yang innocense.

"Oyasumi..Tetsuya."

tak lama kemudian Ia menutup matanya. Kuroko masih bertahan, Ia tidak menepis tangan kakaknya yang masih tertinggal di pipinya, biarlah begini.

Oh lihatlah wajah tegas itu, bulu mata yang menghias di ujung kelopak matanya, rambut yang sedikit berantakan dan dengkuran halus dari mulutnya.

Elok sekali, bahkan ketika Ia tertidur pun ketampanannya tak pudar.

Kuroko menyentuh pelan pipi Lelaki yang berada tepat di sampingnya, menyentuh dengan pelan dan takut-takut. Ah, andaikan Ia bisa melakukan hal ini setiap harinya pasti Ia akan terus melakukannya, bahkan di setiap menit pun.

"Oyasumi..Akashi-kun"

Suasana rumah terlihat sepi pagi ini. Kuroko terbangun dari tidurnya, matahari pagi menyilaukan matanya. Seseorang telah membuka tirai jendelanya, itu pasti Akashi.

Kuroko segera duduk dengan mengumpulkan sisa-sisa nyawa yang belum sepenuhnya pulih.

Ah sepertinya ada yang kurang pagi ini, itu pasti aroma masakan Akashi.

Kok Ia tidak menciumnya ya? Apa karena hidungnya yang sedang bermasalah akibat demam ini?

Sambil berjalan gontai akibat tubuh yang masih terasa berat untuk berdiri lelaki itu membuka pintu kamarnya dan menatap pemandangan tak biasa di sana.

Tidak ada sosok tegap yang sedang mencicipi hasil masakannya dan biasanya tersenyum kepada Kuroko setelah menyadari adiknya telah menatapnya cukup lama, sosok itu hilang disana.

"Aka—"

Kuroko tercekat, tenggorokannya terasa sakit sekali—mungkin karena menangis tadi malam—seolah ada benda aneh yang tersangkut di sana. Cepat-cepat ia mengambil segelas air putih dan meneguknya pelan-pelan. Kedua matanya tertuju pada secarik kertas lusuh yang terletak di atas meja ditemani dengan semangkuk nasi dan sup. Kuroko membaca memo itu sejenak.

Aku harus pergi lebih cepat dari sebelumnya, makanlah selagi hangat.

Aku akan pulang seperti biasa.

Kuroko kemudian menyentuh sisi luar mangkuk nasi dan juga sup, kedua mangkuk itu terasa dingin, kemungkinan Akashi sudah memasaknya setengah jam yang lalu. Kuroko mengernyitkan dahinya, memaksa otaknya untuk berpikir.

Ini bukan seperti Akashi yang biasanya.

Kuroko kemudian duduk dan melahap habis makanan yang telah disajikan untuknya, walaupun keduanya sudah terasa dingin tapi Kuroko tidak pernah berniat untuk tidak menghabiskannya, masakan Akashi entah itu dingin ataupun hangat tetaplah cocok di lidah Kuroko.

Juga sebaiknya Ia tidak harus berkeluh kesah untuk saat ini, atau mungkin seterusnya.

.

.

.

Sore itu telah diselimuti oleh hawa dingin yang terasa jelas di tubuh Kuroko, langitnya tampak redup sama seperti yang dulu pernah Kuroko lihat, padahal tadi pagi langit benar-benar cerah.

Kuroko menempati dirinya di teras rumah, melakukan hal yang sudah menjadi rutinitas hidupnya—termenung menatap langit—sambil mengkhayalkan sesuatu yang mustahil.

Langit benar-benar tidak semangat kali ini, Kuroko saja sampai kebingungan apakah ini masih sore atau bahkan sudah malam. Cahaya yang redup itu membuat lelaki itu merasa kesepian, dan mulai bertanya-tanya kenapa Akashi belum pulang juga.

Ah, mungkin karena langit yang cemberut ini. Tapi sepertinya Kuroko salah, langit benar-benar mulai gelap dan cahaya matahari semakin lama semakin menghilang. Kuroko masih terdiam di tempatnya, udara malam mulai menyeruak masuk ke sela-sela baju Kuroko, spontan Ia menggosok kedua tangannya dan berpikir untuk segera masuk, lagi pula tidak ada bintang-bintang di atas sana.

Setelah Ia masuk barulah lelaki itu menyadari bahwa kakaknya belum pulang, biasanya ketika sore atau bahkan senja pasti kakaknya sudah berada di sini. Kini Ia benar-benar merasa kecil sekali berada di rumah yang hanya ada dirinya sendiri, apalagi di malam yang dingin ini.

Timbullah rasa khawatir di benak Kuroko.

Apakah Akashi baik-baik saja?

Apa sesuatu terjadi pada dirinya?

Sekarang ruangan di rumahnya ini terasa lebih besar dari biasanya, mungkin karena Ia merasa kesepian. Kesepian yang berbeda dari yang sebelumnya.

"mungkin sebaiknya aku menunggu saja," pikir Kuroko, toh juga kakaknya sudah mengatakan Ia akan pulang. Apa salahnya menunggu beberapa menit lagi.

Tak terasa waktu seperti semakin melambat dari yang biasanya, mata itu terlihat lelah dan mengantuk tetapi mencoba untuk tetap terjaga. Akashi belum pulang juga, Kuroko sudah menguap beberapa kali dan melirik ke arah jendela yang di luarnya terlihat gelap gulita.

Ia tidak bisa menahan rasa kantuknya kali ini, perlahan-lahan matanya tertutup. Dinginnya malam seolah membelai kelopak matanya dan menyuruhnya untuk beristirahat.

Kuroko berharap agar kakaknya segera pulang dan membangunkan dirinya. Ia akan menunggu.

.

.

.

.

Udara di pagi hari yang dingin menusuk hingga membangunkan pemuda dengan surai biru menawan miliknya. Mata itu terbuka perlahan disertai dengan mengerjapkan dan mengenali suasana ruangan yang sudah tak asing baginya. Kuroko mendapati dirinya masih terduduk di tempat yang sama seperti yang ia lakukan tadi malam, ia coba cek kedua kakinya yang hampir mati rasa akibat terlipat dan terkena dinginnya malam selama berjam-jam, bahkan hampir membiru pucat di permukaannya. Ia menggigil dan segera menuju ke kamar kakaknya tanpa memikirkan kakinya yang terasa kesemutan.

Pintu itu terbuka lebar dan Kuroko Hanya mendapati suasana gelap tanpa lampu dan ranjang yang masih rapi tak tersentuh. Kuroko mengernyitkan dahinya, matanya yang masih terlihat mengantuk berubah menjadi sepasang mata yang kaget.

Ini bukan seperti Akashi yang biasanya, Ia selalu menempati apa yang Ia katakan dan Ia juga harus tetap pada apa yang Ia katakan. Ia berkata akan pulang seperti biasa, tapi pada kenyataannya sosok itu sepertinya belum hadir sejak Kuroko terbangun kemarin.

Kuroko menggigit bibirnya dan terlihat kebingungan. Rasa khawatirnya timbul lagi dan itu membuatnya tak dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Kalaupun bisa Ia hanya melakukan hal yang sama seperti sebelumnya—termenung di teras memikirkan hal-hal yang mustahil—tapi pada kenyataannya saat ini Ia disibukkan dengan berbagai analisa-analisa yang tak karuan, Ia khawatir namun tak dapat membantu dirinya dalam menyelesaikan kekhawatirannya itu.

Tunggu sajalah..

Ia pasti akan pulang siang ini atau mungkin sore ini. Pokoknya Ia pasti akan pulang hari ini!

Kata penyemangat itu berakhir dengan lelehan ketakutan dan kekhawatiran bagi Kuroko, kini sudah 2 hari Akashi tidak pulang. Selama 2 hari itulah Kuroko hanya dapat memakan masakan yang dimasaknya secara amburadul dan terlihat tak layak untuk di cicipi. Tapi bukan itulah permasalahannya saat ini, Akashi belum juga pulang tanpa memberikan kabar, yang hanya tersisa adalah memo yang Kuroko baca saat itu. Kalimat padat dan jelas, namun ternyata tidak seperti yang diharapkan sang penulis memo itu, Ia justru belum pulang menemani adiknya saat ini.

Kuroko menatap dingin langit di luar sana, ia mengusap keringatnya yang entah sejak kapan membanjiri sekitar wajahnya. Berulang kali Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa, tapi akal sehatnya masih ada dan dapat sedikit memberikan petunjuk untuk dirinya yang sedang gelisah ini.

Mulutnya terasa kering ketika Ia mencoba menyentuh ujung kenop pintu, Ia ingin meminjam telepon milik tetangga sebelah dan memohon padanya untuk mencarikan nomor telepon para tentara yang mungkin Bibi itu kenal. Badannya bergetar dan jantungnya berdetak tak karuan ketika suatu ingatan terlintas di pikirannya.

Darah merah menyala yang menyelimuti sekujur tubuh Orang tuanya.

Senyuman terakhir mereka yang ternodai dengan bunyi tembakan yang tak terhitung berapa kali.

Pelukan hangat terakhir mereka.

Dan sosok yang membawa senjata di ujung sana.

Jalanan yang sepi dengan simbahan darah di mana-mana. Mengerikan sekali.

Semuanya seperti sekumpulan cerita bergambar yang terekam ulang di ingatan Kuroko.

Nafas pemuda itu hampir hilang rasanya dan kedua kakinya seolah tak kuasa menahan beban tubuhnya, tubuhnya bergetar dahsyat dan iris biru miliknya membulat sempurna. Namun yang bisa Ia lakukan hanyalah terduduk ngeri tepat di depan pintu itu. Pintu yang terlihat menyeramkan jika Kuroko membukanya, menakutkan.

Kenapa Akashi belum pulang juga?

Bukankah Ia sudah mengatakan di memo itu jika Ia pulang seperti biasa?

Bukankah ini sudah 2 hari?

Pertanyaan yang terus menerus terekam di otak Kuroko, ia merasa pusing dan juga ingin menangis.

Sore itu dunia seolah tak mengerti apa-apa, angin berhembus dengan tenang sedangkan Kuroko masih menunggu dengan gelisah sosok yang ingin Ia temui itu. 2 hari adalah waktu yang lama bagi Kuroko, Ia rindu sangat rindu pada Akashi, Ia benar-benar ingin memeluk sosok itu sekarang.

"Tetsuya?!" suara menggelegar itu memecahkan kesunyian yang mencekam, Akashi dengan nafas yang belum sempat diaturnya itu membuka lebar-lebar pintu yang awalnya terkunci.

Sepasang mata biru muda itu membulat dengan sempurna ketika sosok yang tadi Ia rindukan sekarang sudah berdiri tepat di depannya, tetapi lelaki bersurai merah itu tidak terlihat tenang seperti biasanya, keringat membasahi wajahnya bahkan ada yang sudah tertetes jatuh. Wajah pucat itu tak mengerti kenapa Akashi begitu terlihat aneh.

"Akashi-ku—nii-chan." Kata yang terpotong itu terlihat aneh, namun Kuroko sepertinya tak ingin memberikan penjelasan apa-apa. Akashi tak menghiraukannya, tanpa pikir panjang detik itu juga lelaki itu mendekap erat sosok kecil yang tak sempat mengatakan apa-apa. Akashi dapat merasakan jantung adiknya berdetak dan beradu lebih cepat dari dirinya.

"Kemana saja—" Kuroko tak melanjutkan kalimatnya karena Akashi benar-benar memeluknya begitu erat sehingga Ia sulit bernafas.

"maafkan aku." Jawab Akashi cepat, tak peduli apapun Ia juga sebenarnya merindukan adiknya. Tapi ada yang lebih penting dari ini yang harus Ia lakukan. Akashi kemudian melepaskan pelukan mendadak miliknya itu dan menatap lurus pada sepasang mata biru yang indah.

"Tetsuya.. dengarkan aku."

Kuroko hanya mengangguk, berpikir bahwa tak ada kesempatan baginya untuk mengatakan apapun.

Akashi mengatur nafasnya dengan pelan, wajahnya mencoba memberikan arti yang sama dengan yang akan Ia katakan.

"kau harus meninggalkan rumah ini."

Kalimat perintah yang belum pernah Kuroko dengar sebelumnya, Ia kebingungan. Akashi mengangguk meyakinkan.

"a—apa?"

"ya. Daerah ini sudah tidak aman lagi untuk ditinggali—"

Belum sempat Akashi melanjutkan , tiba-tiba suara amukan bom berbunyi nyaring tak jauh dari kediaman mereka. Kuroko terkaget dan menatap wajah kakaknya dengan ketakutan. Bibirnya bergetar.

"Tetsuya.. tenanglah.. masih ada waktu untuk segera pergi dari sini. Ayo cepat kita kemas pakaian-pakaian mu,"

Kuroko tak mengatakan apa-apa dengan wajah yang masih ketakutan, Ia berjalan mengikuti kakaknya dengan kaki yang terasa lemas. Akashi mengambil tas kain yang diletakkan di atas lemari, mengambil dengan sembarangan baju-baju milik adiknya dan memasukkannya ke dalam tas berwarna hitam itu. Kuroko hanya berdiri di mulut pintu sambil menyandarkan dirinya di dinding, kakinya benar-benar terasa lemas.

Akashi segera menarik tangan Kuroko dan membawanya keluar dari rumah ini, tetapi sebelum ia melewati pintu depan Ia menatap lekat-lekat suasana rumahnya itu, rumah yang menenangkan dan memiliki banyak kenangan indah di sana, kedua hati mereka seperti sedang teriris dengan tajam.

Pada akhirnya mereka meninggalkan rumah ini juga.

Mereka kemudian pergi tanpa membawa apa-apa selain tas Kuroko yang dipegang oleh Akashi di tangan bebasnya, sedangkan tangannya yang lain menggenggam erat tangan Kuroko. Mereka berlari tidak terlalu jauh dan kemudian berhenti pada kerumunan penduduk yang juga sedang sibuk untuk menyelamatkan diri dari teror yang entah kapan hentinya ini. Di sana beberapa laki-laki dengan pakaian tentara Jepang—persis dengan pakaian yang sedang dikenakan Akashi—, mereka sibuk mengarahkan para penduduk untuk segera memasuki mobil-mobil yang telah di siapkan.

Kuroko hanya diam, namun Ia masih terlihat syok.

Akashi dengan nafasnya yang tersengal-sengal menatap wajah adiknya lekat-lekat, di saat yang sama Ia masih saja memberikan senyuman hangat miliknya dan sedikit membuat perasaan Kuroko agak tenang.

"kau lihat mobil besar yang ada di sana?"

Kuroko mengangguk.

"nah, kau tahu.. setiap pertemuan.. pasti ada perpisahan." Kata Akashi terputus-putus, bukan karena nafasnya tetapi karena dirinya belum merasa sanggup mengatakan ini.

"jadi kumohon padamu.. pergilah dari tempat ini dan selamatkan dirimu demi Ayah dan Ibu, juga diriku."

Waktu seolah berhenti saat itu juga, bahkan Kuroko merasa dunia menjadi sunyi dan orang-orang tak bergerak kecuali dirinya. Akashi menatap lekat-lekat wajah adiknya.

"bagaimana denganmu?" tanya Kuroko cepat.

Akashi menarik nafasnya dalam-dalam.

"aku tetap tinggal di sini, ikut berperang." Jawab Akashi pelan dan hampir berbisik.

Bulir-bulir air mata di pelupuk mata Kuroko terlihat ingin jatuh dari tempatnya. Kepalanya terasa nyeri dan berdenyut-denyut, tak lama kemudian air mata itu memang jatuh.

"Hei.. jangan menangis. Kita pasti akan bertemu lagi bukan?" tanya Akashi mantap sambil menyeka air mata adiknya.

"berjanjilah.. kau pasti pulang dengan selamat." Kata Kuroko di tengah isaknya.

"aku berjanji. Aku berjanji." Kata Akashi dengan lantang dan wajah yang pasti,bahkan Ia sampai mengulangnya dua kali.

"kau tahu aku pasti tak akan mengingkarinya." Jawab Akashi mantap.

Kuroko menangis, tidak ia belum sanggup menerima semua ini. Walaupun Akashi memohon-mohon pun Ia takkan bisa menerimanya. Lihatlah, Ia bahkan belum mengutarakan perasaannya pada Akashi. Menyatakan bahwa Ia sebenarnya sangat mencintai kakaknya itu.

Seseorang di ujung sana berteriak memanggil dan meminta agar Kuroko segera masuk ke mobil pengangkut, karena waktu sudah semakin menipis.

Tidak, belum.

Kumohon, berhentilah.

"Tetsuya.. sudah saatnya." Kata Akashi dengan nada yang pelan, padahal sebenarnya Ia benar-benar menahan dirinya untuk tidak menangis. Ia memberikan tas kain itu kepada adiknya.

"tapi aku masih ingin di sini!" Kuroko bersikeras.

Aku juga ingin seperti itu.

"tidak. Kau harus segera pergi!" perintah Akashi lebih keras lagi, apa gunanya Kuroko berada di sini? Apa yang bisa Akashi lakukan jika sesuatu terjadi pada Kuroko?

Kuroko menutup mulutnya dengan kedua tangan yang terasa dingin, ini benar-benar menyakitkan hatinya. Sakit sekali.

"Kumohon Kuroko..berjuanglah untuk tetap selamat..Kumohon."

Hati itu luluh, tapi tidak sepenuhnya.

Lagi-lagi seseorang dan beberapa orang lainnya berteriak memanggil.

Terlihat Akashi menarik nafasnya dengan amat pelan.

"saa.. Tetsuya.. Sayounara" suara Akashi semakin melemah.

Sepasang mata itu menatap lurus lelaki bersurai merah di depannya, perlahan ia menyentuh kedua pipi milik sang kakak, mendekatkannya ke arah dirinya hingga kedua bibir mereka bersentuhan satu sama lain, Kuroko mencium pelan Akashi yang menunduk ke arahnya. Pelan dan juga lembut, namun terkesan Tergesa-gesa, entah di mana anak itu belajar cara berciuman seperti ini.

Seolah ada slow motion di tiap-tiap detiknya, namun sebenarnya ciuman itu hanyalah ciuman singkat dalam beberapa detik. Kuroko melepaskan ciuman itu dan menatap Akashi yang masih terdiam.

"sebenarnya.. aku mencintaimu.. Nii-chan."

Ia kemudian berlari dengan cepat secepat yang Ia bisa, dadanya terasa nyeri dan nafasnya terlalu sulit diatur. Berakhir sudah masa-masa menyenangkan yang Ia alami bersama Akashi, kini mereka harus berpisah. Entah apa yang dapat Kuroko katakan ketika bertemu dengan Akashi lagi nanti.

Mobil yang mengangkut Kuroko pun berangkat. Akashi masih terdiam, dunianya seolah berhenti saat itu juga. Pelan-pelan Ia menyentuh bibir merahnya, bibir yang masih terdapat bekas bibir Kuroko. Ciuman lembut yang Ia dapatkan membuatnya terdiam, bahkan jantungnya benar-benar ingin jatuh saat itu.

Dan kalimat terakhir itu, seolah membuat Akashi tak percaya. Ia menatap jauh mobil yang membawa Kuroko pergi.

Tidak . Kumohon kembalilah

Setitik cairan bening jatuh dari pelupuk mata Akashi. Lelaki itu menangis pelan, dan mengingatkan dirinya bahwa adiknya benar-benar pergi meninggalkan dirinya di sini. Menyakitkan sekali keadaan mereka berdua.

"TETSUYA!" teriak Akashi pada mobil yang sudah berjalan menjauh. Ia berteriak dengan mata yang berkaca-kaca namun hanya setitik yang jatuh menuruni pipinya.

"Tetsuya! Kembalilah!"

Semakin lama mobil itu menjauh.

"Tetsuya!"

Kemudian hanya samar-samar terlihat.

"Kumoho—"

Mobil itu pun menghilang.

"kembalilah.."

Semuanya benar-benar terjadi, Akashi tak dapat melakukan apa-apa selain membiarkan adiknya untuk meninggalkan tempat ini, tempat di mana kenangan mereka tumbuh seiring berjalannya waktu.

Suasana di sekitar lelaki itu terkesan ricuh, mereka yang masih bertahan mencoba menyelamatkan diri, ada yang berlari tak menentu, ada yang juga ikut menangis karena telah berpisah dengan keluarganya. Mereka yang masih menetap di sini adalah mereka yang akan berjuang untuk membela diri mereka maupun negara mereka. Perang kejam yang entah kapan berakhirnya sangat menyiksa, Akashi yang masih terdiam terombang-ambing dalam suasana mencekam itu, bahkan Ia sampai terjatuh karena di tabrak secara tak sengaja. Ia terlihat kehilangan arah. Tak lama kemudian sebuah bom meledak 3 meter dari sana, semuanya semakin panik.

"Akashi-san! Apa kita harus bergegas ke arah A1?" seseorang bertanya di sana, ia terlihat panik dan menyentuh senjatanya dengan gemetaran, Ia menunggu arahan dari atasannya tersebut.

Apa yang kulakukan?

Akashi menengadah menatap langit tenang di atas sana.

Tenangnya.. tapi kenapa dunia tidak setenang ini?

"A-Akashi-san? K-kita harus bergegas."

"ya.. ayo lekas."

Sekarang bukan saatnya bersedih meratapi perpisahan ini, sudah saatnya baginya untuk melawan kekejaman ini.

Tuhan tolong selamatkan Tetsuya.. apa gunanya aku berjuang menyelamatkan negeriku jika akhirnya adikku sendiri tak dapat diselamatkan?

Aku akan berjuang.. demi senyuman milik Tetsuya. Aku akan pulang menjemputnya dan menanyakan maksud kalimatnya saat itu.

"sebenarnya.. aku mencintaimu.. Nii-chan."

Hmmp..ia mengatakannya dengan sangat manis.

Apa yang harus kulakukan nanti? Membalasnya?

Entah bagaimana ekspresiku saat bertemu dengan dirinya nanti.

Bersambung..