The Crown

Author Michio Miura

Tokoh yang saya pakai milik Kishimoto Masashi-sensei

Warning: typo, alur cepet, dan masih banyak lainnya

Pairing: Sasuhina

Kalau tidak suka langsung aja klik back atau langsung saja klik silang

.

.

.

Aku tidak butuh pangeran untuk menjadikanku sebagai seorang putri. Karena tanpa harus menikah dengan pangeran pun tahta itu akan menjadi milikku. Tahta seorang ratu.

.

.

.

Mata lavendernya menatap tajam sebuah dokumen yang teronggok di atas meja kerjanya. Dokumen yang baru saja diserahkan oleh salah satu karyawannya. Ungu pucat itu meneliti kata tiap kata yang tertera di dalamnya. Memahami betul dengan isi tulisan yang menyangkut hidup mati perusahaannya.

Sedangkan beberapa orang berdiri dengan pandangan ketakutan. Bosnnya yang tengah memeriksa laporan belum menunjukkan tanggapan apapun selain tatapan tajam dan raut muka masam.

"Ulang." Satu kata yang sukses membuat tiga orang itu melemas. Lembaran kertas yang mereka kerjakan seminggu ini dilempar keras oleh bosnya.

"Hyuuga-sama bagian mana yang salah?" Salah satu laki-laki yang terbilang cukup tua memberanikan diri untuk bertanya.

"Semua." Poni indigonya ia sibak keatas. Suara datarnya lebih mending dibanding saat ia berteriak.

"Tapi semua data yang kami masukkan sesuai dengan laporan yang ada, Hyuuga-sama." Masih tetap bersikeras, karyawan itu tetap ngotot menuntut penjelasan.

"Jika kalian bekerja dengan benar, seharusnya kalian tahu mana data sekarang dengan data tahun lalu." Intonasi suaranya mulai meninggi. "Lagipula, kulihat tadi ada angka yang cukup besar pada bagian pengeluaran. Kalian tahu apa maksudnya itu?" Tangannya ia sekap di dada. Menyandarkan punggung pada sandaran kursi dengan kembali menunjukkan tatapan tajam.

"Ah…itu…" Semua orang yang berdiri di ruangan itu saling salah tingkah. Tidak menyangka mendapat pertanyaan menyulitkan dari bos mudanya.

"Perbaiki sekarang. Serahkan padaku sore ini." Dan kalimat itu seolah menjadi usiran halus untuk ketiga karyawan itu. Para laki-laki itu pergi dengan pandangan lesu.

Kepalanya ia pijat pelan untuk menghilangkan pening yang terasa. Beberapa hari lagi akan ada rapat pemegang saham dan laporan yang menjadi materi yang dibahas belum juga merujuk pada kata selesai. Bukan karyawan tadi yang kelimpungan, ia sendiri juga mengalami hal itu. Tumpukan map yang menghiasi mejanya seolah meminta dirinya untuk segera memeriksa satu persatu.

Ia sambar cangkir kopinya hingga tandas. Kantung mata yang kian hari makin menghitam membuat penampilannya semakin persis seperti nenek sihir. Begitu yang ia dengar dari para karyawan wanita.

"Hinata." Tepat ketika ia membuka lembar ketiga, seorang berambut coklat jabrik masuk tanpa permisi. Moodnya semakin buruk saat melihat cengiran lebarnya.

"Apa?"

"Hei…hei…tidak perlu sampai berkata ketus begitu." Hinata memutar matanya bosan.

"Kenapa kemari?" Oke, Hinata berusaha menghargai kedatangan temannya walaupun dalam hati ia ingin segera mengusir pria bertato segitiga itu.

"Kau tau Misaki-chan terlihat sangat imut hari ini." Tangan tannya menyodorkan selembar foto anak perempuan berkuncir dua yang tengah tersenyum lebar.

Wajahnya meronanya terlihat bodoh dimata Hinata. Bagaimana bisa temannya yang merupakan pekerja perusahaan sebelah datang hanya untuk memamerkan foto anaknya yang baru berusia lima tahun. Sekali dua kali Hinata bisa memaklumi, tapi ia datang setiap hari saat jam makan siang ke dalam ruangannya.

"Hm kawai, kalau tidak ada keperluan lagi cepat pergi." Hinata menanggapi dengan tidak antusias, ia memfokuskan kembali pada dokumennya.

"Kau judes sekali sih." Kekehnya pelan. Hinata hanya mendengus tanpa mengalihkan lavendernya.

"Aku lihat tadi karyawanmu keluar dengan lesu dari ruanganmu. Kau apakan mereka?" Kiba berjalan kearah counter untuk menyeduh teh. Kebiasaan yang selalu ia lakukan jika kemari.

"Tidak ada."

"Bohong. Akhir-akhir ini moodmu tidak baik. Mana mungkin kau tidak melakukan hal aneh pada karyawanmu."

"Berhenti mengatakanku seperti seorang peleceh seksual, Kiba." Hinata membubuhi tanda tangannya pada kertas yang baru selesai ia baca.

"Haha, warui."

"Kau kemari bukan untuk pamer foto ataupun minum teh, bukan?"

"Yah, begitulah." Kiba bersender pada dinding dekat dengan kursi Hinata. Mengamati bagaimana cekatannya perempuan itu menangani kertas-kertas yang tampak berserakan di atas mejanya.

"Lalu?"

"Kudengar dari bosku, rapat pemegang saham nanti juga menentukan siapa yang menduduki kursi CEO di perusahaan pusat."

"Begitulah." Hinata menjawab sekenanya, terdengar tidak suka. Kiba lagi-lagi tertawa karena mendapati respon dari temannya.

"Jadi ini yang membuat moodmu begini." Tidak ada tanggapan dari Hinata. Kiba melirik sedikit, terlihat jelas dimatanya raut wajah tak suka.

"Kau pikir dengan bekerja keras seperti ini, jabatan itu akan jadi milikmu? Seharusnya kau sadar bukan, kau juga perlu relasi."

"Dan sayangnya, semua pemegang saham berpihak padanya." Hinata berucap ketus, kalau tidak dengan cara ini bagaimana bisa ia memenangkan jabatan itu.

"Tidak semuanya, ada beberapa yang bersikap netral."

"Ya, kau benar. Salah satunya dirimu." Ucapan menyindir untuk sahabat anjingnya.

"Meski hak suaraku kurang, aku tetap ada dipihakmu." Hinata tidak menanggapi. Pikirannya ia sibukkan dengan angka-angka yang tertera di layar komputernya. Sekarang gantian Kiba yang mendengus.

Mereka terdiam cukup lama.

"Kenapa tidak dekati saja perusahaan Uchiha?" Kiba tiba-tiba menyeletuk. "Kau bisa menawarkan sedikit perjanjian menguntungkan untuk mereka."

"Uchiha pintar dan kau bodoh. Mana mau mereka mendapat sedikit. Lagipula hubungan keluarga kami sedikit bermasalah."

"Walau begitu kau rela apa kalau dia yang menjadi CEO-nya?"

"Hell, Kiba. Kau pikir aku kerja siang malam hanya untuk membiarkannya duduk santai sambil menunggu jabatan itu datang sendiri padanya." Hinata yang Kiba kenal memang mudah tersulut emosinya jika membahas tentang orang itu.

"Jadi coba saja dulu. Rugi sedikit tidak apa-apa kan."

Hinata meresapi pendapat teman masa kecilnya itu. Untuk beberapa alasan, perempuan berambut indigo itu membetulkan. Tidak ada salahnya untuk bekerja sama dengan saingan perusahaan.

.

.

.

Semua ini rencana Kiba dan Hinata hanya menurut. Mengadakan pertemuan di sebuah restoran bintang lima yang sudah di pesan dengan nama Inuzuka Kiba, Hinata sengaja datang setengah jam lebih dulu. Mengantisipasi jalanan kota Tokyo yang macet saat jam-jam seperti ini. Lagipula Hinata tidak mau mebuat kecewa calon partnernya dengan keterlambatannya.

Maka dari itu, selain datang lebih awal Hinata tadi menyempatkan diri untuk berbenah di sebuah salon untuk sedikit merapikan penampilan yang katanya Kiba terlihat menyeramkan. Mengenakan wrap dress berwarna drak blue polos dan juga stiletto setinggi sepuluh senti. Dan jangan tanyakan dari mana Kiba mendapat semua itu setelah perdebatan alot mereka. Bukannya ia tidak tahu perihal fashion, namun entah kenapa Kiba begitu keras kepala menyeretnya untuk pergi ke salon.

Melakukan perawatan menyeluruh yang katanya juga untuk persiapannya nanti saat rapat. Hinata bingung sendiri, dirinya saja tidak seheboh ini perihal penampilan. Tapi dihitung-hitung ia menganggap hal ini sebagai hiburan sendiri untuk menghilangkan stresnya.

Hinata sudah menyiapkan beberapa berkas penting untuk meyakinkan perwakilan Uchiha nanti agar mau berpihak padanya. Mungkin jika hal ini berjalan mulus, ia bakal mentraktir Kiba nanti.

Tidak berselang lama, seseorang menarik kursi yang ada di depan Hinata. Hinata yang pada saat itu terlihat sibuk dengan smartphone-nya sampai tidak menyadari kedatangan tamunya.

"Hyuuga Hinata." Saat namanya dipanggil, lavender itu langsung bersinggungan dengan onyx.

Hinata mengernyit ragu, seingatnya wajah pemegang saham Uchiha tidak semuda ini.

"Uchiha Fugaku-san?" Hinata memastikan jika ingatannya tidak lupa dengan nama pentolan perusahaan Uchiha.

"Aku Uchiha Sasuke. Anaknya." Sasuke mengulurkan tangannya dan disambut dengan jabat tangan singkat dari Hinata.

"Hyuuga Hinata."

"Ayahku ada urusan mendadak sehingga tidak bisa kemari."

"Tidak apa-apa, setidaknya beliau mengirim anda untuk menggantikannya."

"Jadi, kerjasama seperti apa kau tawarkan?" Sasuke menyesap anggur putih dengan pelan, ia tidak suka berbasa-basi.

"Proyek perusahaan Hyuuga di Aomori. Pembangunan resort yang mulai dibangun bulan depan."

"Rinciannya?"

Hinata meyerahkan amplop kuning yang sudah ia siapkan sejak tadi. Memperhatikan wajah rupawan pemuda itu membaca kertas demi kertas. Bahkan semenjak ia menyerahkan amplop itu lavendernya tidak berhenti mengamati tiap gerakan Sasuke. Memastikan jika calon partner-nya tidak kecewa.

"Di bagian ini, sepertinya perusahaan Uchiha tidak terlalu mendapat untung." Jari Sasuke mengetuk pelan barisan kanji yang dimaksud. Hinata segera membaca salinannya.

"Mungkin yang anda maksud sekarang. Tapi tidak dengan lima atau enam tahun mendatang."

"Begitu?"

"Ya."

Suasana diantara keduanya kembali hening.

"Kami setuju." Setelah lima belas menit saling diam, kata Sasuke menjadi obat mujarab untuk menghilangkan nuansa canggung itu. Sedang Hinata sedikit menarik sudut bibirnya.

"Akan kugunakan hak suaraku untuk memilihmu, Hyuuga-san."

"Terima kasih, Uchiha-san. Saya pastikan anda tidak akan kecewa."

.

.

.

"Hyuuga-sama, rapatnya akan dimulai lima menit lagi."

Kesadaran Hinata kembali. Tidak sengaja tertidur di kursi ruang kerjanya, Hinata langsung menyambar cermin bundar untuk melihat kondisi penampilannya saat ini. Penampilannya terlihat apik jika saja tidak ada warna hitam yang menghiasi bawah matanya. Tangan putihnya mengambil bedak yang entahlah apa merk-nya dan sedikit menaburkan pada wajahnya.

Lalu ia menyambar laporan perusahaan yang pada akhirnya dapat diselesaikan kemarin. Berjalan sedikit tergesa menuju ruang rapat. Matanya seketika memindai ke penjuru ruangan untuk mendapati dua orang dengan rambut coklat panjang telah duduk manis di kursi dengan spot paling baik. Hinata sedikit mengangguk untuk menyapa, meskipun hanya mendapat dengusan dari salah satunya.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, seorang menunjuk kerahnya. Hinata yang tahu maksudnya segera membenahi kerah kemejanya yang sedikit berantakan. Saling menampilkan senyum tipis sebagai sapaan ringan.

Dibantu beberapa orang, Hinata mempresentasikan laporan keuangan perusahaan. Mereka yang memadati ruangan itu seolah terhipnotis untuk mendengarkan kata demi kata yang Hinata ucapkan. Pembawaan yang tegas dan penuh keyakinan serta komunikatif, berhasil membuat banyak orang terpesona.

Setelahnya saat yang paling ditunggu oleh Hinata. Penentuan CEO perusahaan pusat.

Para pemegang saham terlihat saling berdiskusi dengan orang yang ada disampingnya. Lavender itu menatap lavender lain dengan pandangan tajam.

Seorang pria paruh baya berdiri. Membuat aksinya itu mendapat respon dari seluruh mata di ruangan itu.

"Tanpa harus menggunakan vote. Saya menunjuk Hyuuga Neji sebagai CEO perusahaan Hyuuga." Kalimat yang bagaikan sambaran petir bagi Hinata.

Tidak perlu menggunakan vote katanya? Lalu apa gunanya ia bekerja keras selama ini?

Tubuh Hinata bergetar tak percaya. Sebegitu mudahnya saudaranya mendapat posisi itu, hanya karena ia terlahir sebagai seorang laki-laki. Ketika Hinata hendak menyuarakan protesnya, ia mendengar suara tepuk tangan dan ucapan selamat dari para pemegang saham. Berdiri berkumpul mengerubungi bagian dimana CEO baru duduk.

Dunia Hinata seolah runtuh saat itu juga. Mimpi yang sedari dulu ia kejar, hancur tak bersisa karena beberapa kata dari sang ayah. Sebenarnya ia sudah tahu alasan ayahnya, alasan klasik yang menilai perempuan tidak cocok untuk dijadikan seorang pemimpin perusahaan. Hinata juga tahu alasan lain yang menjadi alasan terkuat dipilihnya Neji sebagai CEO. Karena pemuda yang tengah ditatapnya sekarang adalah anak pertama dari ayahnya.

Anak laki-laki dari istri sah Hyuuga Hiashi, tentunya menjadikannya sebagai ahli waris sebenarnya. Sedangkan dirinya hanya anak yang terlahir dari seorang simpanan sang direktur Hyuuga. Sudah anak simpanan, perempuan lagi. Menjadi ahli waris nomor tiga setelah Neji dan Hanabi. Mengakibatkan dirinya dipandang sebelah mata oleh para pemegang saham.

Kehidupan nyamannya seketika berganti setelah kakinya menginjak mansion Hyuuga untuk pertama kali. Tidak ada kemewahan bak seorang putri yang ia dapat, melainkan berbagai macam siksaan batin. Mulai dari sabotase dari nyonya besar Hyuuga, sampai dengan pembullyan dari adik tirinya. Mereka melakukan hal itu semata-mata hanya untuk mengusirnya keluar. Bahkan akibat suatu perbuatan mereka, sang ayah sampai tidak mempercayainya lagi.

Oleh karena itu, Hinata tidak ingin hanya pasrah menerima semua perlakuan mereka ataupun menunggu pangeran berkuda putih datang untuk menyelamatkannya seperti dalam cerita ibunya. Seminggu setelah kematian sang ibu, kedua lavender Hinata seolah tersadar, jika tidak ada sesuatu di dunia ini yang didapat tanpa adanya perjuangan. Dengan mengabaikan semua hinaan yang tertuju padanya, Hinata akan membuktikan jika dialah yang pantas mendapatkan posisi itu.

Tanpa Hinata sadari, sepasang mata onyx tengah memperhatikannya sedari tadi.

.

.

.

Inuzuka Kiba sudah mengenal Hyuuga Hinata semenjak mereka masih anak-anak. Bocah perempuan dengan mata aneh yang selalu dijauhi oleh anak-anak lain. Kiba kecil bukanlah pahlawan yang menolong sang putri dan berakhir hidup baghagia selamnya. Melainkan ibunya sudah berpesan dari rumah padanya untuk mendekati gadis kecil bermarga Hyuuga itu. Kiba yang tahu maksud dibalik itu hanya menurut, dengan iming-imingan mainan, bocah berusia lima tahun itu menyapa setiap hari.

Kedekatan mereka yang semula hanya sekedar basa-basi berubah ketika Kiba tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Hinata. Semua sandiwaranya berhenti pada hari itu, hari dimana ia melihat air mata menetes dari lavender jernihnya dan hal pertama itu berubah menjadi terakhir kali. Sejak saat itu temannya berubah, berubah dari gadis pemalu menjadi gadis yang dingin, tapi ia sendiri juga berubah. Kiba bersumpah akan menjadi teman yang sesungguhnya demi Hinata.

Dan janji itu berlaku sampai sekarang. Menemani Hinata pada saat dan kondisi apapun, membuktikan jika dirinya memang pantas Hinata sebut sebagai sahabat.

Mungkin sekarang salah satunya, duduk menemani Hinata selama berjam-jam di sebuah klub malam. Mendengarkan dengan sabar semua celotehan tak jelas dari bibir mungil Hinata.

"Kau tahu kan Kiba…hik…aku yang pantas…hik…jadi CEO… bukannya si gondrong…hik…Neji." Kiba sebenarya sudah bosan mendengar celotehan yang sama, tapi mau bagaimana lagi jika ia pergi, ia tidak tahu nasib Hinata seperti apa. Sudah banyak pasang mata memperhatikan gadis mabuk itu, mengincarnya.

"Hinata sebaiknya kita pulang."

"Aku ti-dak ingin pulang." Hinata kembali menegak botol beer-nya sampai habis. Jika Kiba tidak salah hitung, ini sudah botol ketujuh.

"Tapi aku ingin pulang." Berdebat dengan Hinata yang sadar sudah sulit apalagi saat mabuk.

"Pulang saja…hik…sana." Kiba hanya menghela nafas.

"Kita pulang bersama. Aku antar." Tangan kekarnya meraih tangan Hinata, mengangkat tubuh mungil itu untuk berdiri.

"Sudah kubilang aku tidak ingin pulang." Hinata menyambar tangannya cepat hingga genggaman itu terlepas. "Aku mau ikut kamu, Kiba." Kiba bergidik mendengarnya. Jika dulu ia akan tenang saja membawa Hinata ke apartementnya namun sekarang berbeda. Hell, Hinata. Kiba sudah menikah ingat?

"Aku tidak mau mata Misaki tercemar karena melihatmu, bodoh." Alasan bagus selain membuat istrinya cemburu. Kiba berani bersumpah sebagian waktunya ia habiskan bersama Hinata daripada bersama istrinya.

"Kau ingin membuat istriku salah paham apa?" Hinata meringis, meskipun mabuk otaknya masih bekerja. Perempuan duapuluh tujuh tahun itu mengenal Kiba luar dalam, termasuk kenal dekat dengan istrinya. Tentunya itu hanya bualan Kiba saja untuk tidak mengganggu waktu mereka.

"Biar aku yang jelaskan pada mereka." Pipi merah, rambut acak-acakan, bau alkohol menyengat. Mana mungkin Kiba membawanya ke apartementnya. Anaknya masih harus dijaga kepolosannya, apalagi melihat keadaan Hinata sekarang bisa-bisa image Hinata hancur di mata Misaki.

Bahkan semenjak perdebatan mereka, Kiba sampai menghiraukan ponselnya yang terus bergetar. Ada beberapa pesan masuk dari pengirim yang sama.

'Daddy, kapan pulang? Misaki masak tamagoyaki lho.'

Wajah kesalnya seketika berubah merona. Membayangkan gadis kecilnya menunggunya dirumah. "Baiklah, kau ikut." Kiba lagi-lagi mengalah. Tidak ada salahnya membawa temannya yang sedang depresi ke rumah. Memberikan penghiburan ketika teman sedang ada masalah merupakan tugasnya, kan.

Kiba sudah siap untuk mengendong Hinata di punggungnya ketika seorang dengan setelah jas rapi menghadang jalannya. Mata sipitnya tentu mengenali sosok itu meskipun dalam keadaan remang. Rambut mencuat model pantat ayam dan juga mata sehitam jelaga. Siapa lagi jika bukan Uchiha Sasuke.

"Kalian akan pergi?" Kadang Kiba merasa harus mengetuk kepala si jenius itu. Adik ipar kakaknya itu memang kadang kurang peka dengan keadaan di sampingnya. Tidak tahu apa berat tubuh Hinata terus bertambah dari tahun ketahun, kalau Hinata berumur tujuh tahun Kiba akan senang hati menggendong tapi tidak dengan sekarang.

"Yah, begitulah. Pesta sudah berakhir." Langkah Kiba kembali terhenti akibat tangan Sasuke.

"Apa?"

"Aku tahu kalau kalian dekat. Tapi mau kau apakan nona Hyuuga?" Mengikatnya dengan tali kemudian membuangnya ke sungai. Tentu saja membawanya pulang ke apartementnya.

"Dia ingin menginap di apartemenku." Tangan Kiba mulai kesemutan sekarang.

Sasuke tidak menanggapi tapi tangannya masih mencegah Kiba untuk melangkah.

"Bisa kau lepaskan tanganmu, kau tidak tahu betapa beratnya membawa perempuan lajang di punggungmu kan." Guyonan Kiba mendapat pukulan tak sadar dari Hinata. Kiba terkekeh, meskipun kesadarnnya tidak sempurna Hinata masih bisa menangkap sindiran tajam untuknya.

"Hn."

"Kalau begitu permisi. Berikan salamku pada Itachi-nii dan keponakanku."

Sasuke hanya menatap punggung Hinata yang semakin lama semakin menjauh. Mengambil segelas whiskey dengan pandangan yang sulit diartikan.

.

.

.

"Tadaima!"

"Tou-san okaeri~" Langkah kaki kecil itu berlari cepat menuju pintu, tepat saat kakinya sampai pada undakan ia melihat seorang lelaki berbadan tegap yang tak lain adalah ayahnya tengah membopong perempuan berambut indigo. Senyumnya semakin merekah saat mengenali siapa dibalik gendongan sang ayah.

"Bibi Hinata." Kelopak mata Hinata membuka, bocah kecil yang terseyum ke arahnya membuatnya mau tidak mau ikut tersenyum juga.

"Misaki. Kau sudah besar sekarang." Hinata sadar dengan kekhawatiran Kiba, sedikit ia jauhkan tubuhnya agar hidung mungil itu tidak mencium bau aneh dari tubuhnya.

"Hinata-san konbanwa." Dari arah dapur muncul seorang berambut coklat panjang yang tengah mengenakan apron dengan hiasan bunga.

"Tamaki-san, maaf tidak memberi tahumu kalau aku mau mampir." Untunglah Kiba sudah merapikan rambut acak-acakan Hinata di mobil. Dan jangan tanyakan kenapa ada bekas tangan yang menempel di pipi Hinata sekarang jika pelakunya tak lain dan tak bukan adalah Kiba.

"Tidak apa-apa. Lagipula Hinata-san sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri." Hinata menjulurkan lidahnya pada Kiba. Sedang Kiba hanya mendengus. Tamaki yang sudah bisa menebak apa yang terjadi antara suaminya dengan sahabatnya hanya bisa tersenyum.

"Misaki bisa siapkan mangkuk untuk bibi Hinata." Misaki langsung beranjak pergi. Kiba mengikuti dibelakangnya.

"Sudah berapa bulan Tamaki-san?" Hinata tersenyum menggoda. Jadi ini alasan lain Kiba menyeretnya untuk segera pulang.

"Enam bulan." Jawab perempuan itu malu-malu. Tangan Hinata mengusap pelan perut istri sahabatnya.

"Akan ada Misaki kecil lagi."

"Lebih tepatnya Misao."

"Jadi, laki-laki?"

"Um."

"He~, sugoi ne."

"Tamaki, celana dalamku dimana?" Dari arah belakang mereka, Kiba datang dengan hanya memakai handuk yang menutupi pinggangnya. Rambut coklat jabriknya turun karena terkena guyuran air. Tamaki yang melihat kondisi suaminya hanya bisa sweat drop, sedang Hinata tidak peduli. Sudah ribuan kali Hinata melihat Kiba dengan kondisi seperti itu.

Setelah pasangan suami istri itu berada di ruangan pribadi mereka, Kiba membuka mulutnya untuk bicara.

"Bisa kau pinjamkan Hinata baju, dia mau menginap disini." Kiba mendapati raut tak mengerti dari istrinya. Mengerti akan tuntutan jawaban istrinya, Kiba mengusap perut buncit itu.

"Dia sedang dalam kondisi kurang bagus." Malah raut muka Tamaki bertambah khawatir setelah mendengar jawaban dari suaminya.

"Bukan stres, hanya saja dia butuh dukungan. Hari ini tidak berjalan mulus sesuai dugaannya." Tamaki mengangguk mengerti. Segera setelah menyiapkan pakaian untuk suaminya, ia mengambil beberapa pakaian untuk Hinata.

.

.

.

Untuk pertama kalinya Uchiha Sasuke terkesan dengan seorang perempuan. Di usianya yang hampir menginjak angka tiga tentunya sudah ia sudah banyak berpengalaman berhadapan dengan makhluk bergender perempuan. Status sempurna yang hampir ia sandang menjadikan dirinya semakin dielu-elukan oleh kaum hawa.

Sasuke bukannya orang narsis yang menganggap dirinya menarik. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana dirinya begitu digemari sedangkan dirinya sendiri sadar jika memiliki kepribadian yang buruk. Bukan buruk yang seperti itu, hanya saja kurang peduli, tidak peka, dan juga dingin. Hanya ada beberapa perempuan yang berada pada zona amannya. Pertama ibunya, kedua mungkin sahabatnya Sakura, dan ketiga kakak iparnya. Selebihnya maka para perempuan itu tak lain dan tak bukan hanyalah serigala lapar yang selalu mengincar dirinya.

Kembali lagi pada perempuan itu. Pertama kali mereka bertemu, bukan tatapan kagum atapun tatapan menggoda yang Sasuke dapati melainkan tatapan bingung yang kemudian berubah menjadi tatapan penuh percaya diri. Bahkan Sasuke sengaja mengulur waktu untuk mengetahui motif terselubung apa yang disembunyikan perempuan itu. Namun sayangnya apa yang ia pikirkan tidak menjadi kenyataan. Pertemuan pertama mereka memang murni hanya untuk berbisnis. Sasuke menyetujui dengan mudah untuk memberikan hak suara untuk membantunya.

Pertemuan kedua mereka tidak ada interaksi sama sekali. Sasuke sengaja datang lebih awal hanya untuk melihatnya lebih lama. Tapi nyatanya kali ini, perempuan itu yang datang terlambat. Dua menit sebelum rapat dimulai. Datang dengan tergesa, mata lavendernya langsung menatap pada mata coklat sipit milik pemuda Inuzuka bukan pada onyxnya. Berinteraksi layaknya sepasang kekasih dimata Sasuke. Setelah rapat itu selesai Sasuke bertekat akan menyelidiki apa hubungan mereka.

Lagi-lagi Sasuke dibuat terpesona oleh lavender itu. Sepasang mata yang tampak lebih hidup dibandingkan saat mereka bertemu dulu. Mengakibatkan senyum miring menghias jelas pada wajah Sasuke.

Sasuke sadar jika perempuan bermarga Hyuuga itu telah lulus dua syarat darinya. Kedua syarat yang bahkan sampai sekarang pun hanya Hinata yang lolos. Terlalu sulit untuk menemukan perempuan dengan dua kriteria itu.

Saat dimana Sasuke melihat lavender itu bersinar juga saat dimana lavender itu tampak meredup. Sasuke masih duduk di kursinya saat Hyuuga Hiashi mengumumkan jika anak tertuanyalah yang terpilih menjadi CEO perusahaan Hyuuga. Dan setelah melihat hal ini, Sasuke tahu bahwa Hinata benar-benar lolos kriteria perempuan yang dicarinya. Syarat ketiga yang tidak semua perempuan miliki.

Maka setelah rapat selesai Sasuke mengikuti kemana duo kekasih itu pergi. Sasuke mengenal pria Inuzuka itu, bagaimana tidak jika kakak laki-lakinya telah menikahi kakak perempuan pemuda pecinta anjing itu. Jadi ketika Sasuke masih berada di dalam mobil saat menguntit mereka, ponselnya berdering pertanda informasi yang ia inginkan telah terkirim. Membuka pesan itu ketika mobilnya berhenti di sebuah klub malam di tengah kota Tokyo.

Dari panjangnya informasi yang didapat Sasuke, hanya beberapa kata saja yang menjadi intinya. Mereka berdua hanyalah sahabat karib seperti dirinya dengan Naruto. Begitulah asumsinya dan sayangnya asumsinya hampir semuanya benar.

Menunggu seperti orang bodoh untuk membuat pertemuan mereka seolah hanya kebetulan. Tidak apa bagi Sasuke, asal ia mendapatkan perempuan itu. Mengamati dari jauh dengan selalu memperhatikan tiap gerak-gerik Hyuuga muda itu. Kaki Sasuke otomatis berdiri ketika kedua orang itu juga ikut berdiri. Berjalan mendekat untuk menyapa dan menggandeng sang perempuan untuk ikut dengannya.

Niatan untuk menyeret perempuan dalam gendongan pemuda bertato itu hilang saat menatap wajah polosnya. Tidak akan gunanya bicara jika dalam kondisi seperti ini. Jadi setelah basa-basi singkat, Sasuke membiarkan mereka pergi begitu saja. Meningglkan dirinya yang masih menyusun strategi untuk mendapatkan putri Hyuuga itu untuk berada disisinya.

.

.

.

KEEP or DELETE