Disclaimer

Shugo Chara! itu punyanya Peach-Pit Sensei. Lagu-lagu yang ada juga punya band yang udah gue sebutin. Yang gue punya cuma fic ini. Kalo emang gue yang punya semua itu, gue pasti udah jadi orang kaya


Prologue


Rima's POV

"Dengar, ya. Rima adalah anak kita satu-satunya, dan mestinya kau sebagai ibunya–"

"Aku?! Bagaimana denganmu? Apa kerjamu sebagai ayah?"

"Kerjaku? Tentu saja mencari nafkah! Lalu, kau apa?"

Aku pun sibuk! Seharusnya kau mengerti keadaanku... dan bla, bla, bla.

Kau yang harus mengerti! Bagaimana kalau Rima diculik lagi... dan bla, bla, bla.

Kalian berdua justru yang harus mengerti keadaanku! Serius, deh, apa kalian nggak sadar kalau kalian terus saja bertengkar sepanjang hari? Bahkan aku sampai hafal kalimat apa yang akan kalian ocehkan satu sama lain.

Haaah... aku bosan, semuanya membosankan. Sama seperti tv yang kotonton.


Nagihiko's POV

"Ya ampun, Nagihiko! Sudah berapa kali kukatakan, gerakan memutarmu harus di lakukan dengan lembut. Kau selalu saja salah sepanjang latihan ini!"

"Gomennasai, okaa-san." Hanya itu yang bisa kuucapkan saat memandang sosok superior ibuku yang berdiri menjulang di depanku. Wajar saja dia kesal, aku sudah jatuh berulang kali.

Lalu jam kuno yang berumur ratusan tahun milik keluarga Fujisaki berdentang dengan bunyi aneh yang membuat telingaku berdenging. Kemudian kulihat ibuku menghela nafas panjang,

"Bangun, Nagihiko," perintahnya. "Pergi ke kamarmu dan mandilah, latihan hari ini selesai."

Kuangkat kepalaku dan menatapnya dengan penuh terima kasih. "Hai. Arigatou, okaa-san!" seruku lalu dengan semangat melesat ke kamarku.

Akhirnya... sesi latihan yang mulai membuatku bosan tadi berakhir juga. Sekarang yang harus kulakukan adalah berganti baju, dan menjawab pesan Kukai kalau aku akan segera sampai ke lapangan untuk main basket.

Dengan sepatu basket yang baru kubeli kemarin di tanganku, aku berlari dari kamarku menuju pintu depan. "Okaa-san, aku pergi ke lapangan. Sebelum makan malam aku sudah akan pulang, kok!" seruku keras agar di dengar ibuku sambil mengikat tali sepatuku.

"Kau pikir kau mau ke mana?"

Aku menoleh dan melihat ibuku menatapku dengan sebelah alis terangkat. "M–maksud okaa-san?" tanyaku gugup.

"Setelah ini 'kan kau harus belajar kokugo. Karena itu aku menyuruhmu mandi, jadi guru lesmu tak akan merasa terganggu dengan bau keringatmu."

Kali ini, sebelah alisku yang terangkat. "T–tapi, aku..." ujarku mencoba beralasan. Tapi ibuku nggak mau dengar, dan malah berbalik kembali ke kamarnya.

Bagus sekali... seharusnya aku sudah tahu, pasti semuanya akan berakhir begini. Selalu begini.

Oh, ayolah! Kokugo 'kan untuk anak SD! Yang benar saja...

Mestinya aku langsung saja pergi tanpa pamit tadi. Tapi mustahil, apalagi mengingat pelajaran itu adalah salah satu tradisi keluarga Fujisaki. Yah... aku berpikir tradisi itu mulai terasa membosankan untukku. Juga kokugo-nya.


Kokugo: Sastra Jepang klasik