Lari.
Lari!
LARI!
Dia terus berlari tanpa menengok ke belakang lagi. Tangan serabutan menyingkirkan semak dan tanaman pakis yang menutupi jalannya, tak peduli jika sebenarnya dia sedang menunjukkan jalan untuk para pengejarnya.
Suara gonggongan anjing membuatnya ketakutan setengah mati.
Tidak!
Mereka akan menangkapnya! Memukulinya! Dan kemudian menggantungnya di tepi desa hingga dia mati dan membusuk.
Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mencoba mengabaikan teriakan marah dan gonggongan anjing yang kian mendekat. Membayangkan taring-taring mereka yang tajam mengoyak kakinya, membuatnya tak sanggup berdiri lagi. Merinding.
Sempat terpikir olehnya untuk memanjat salah satu pohon dan bersembunyi di sana. Tapi anjing-anjing itu akan mampu mencium tubuhnya, mengantarkan pria-pria marah itu ke tempat persembunyiannya. Dan pasti, satu atau dua orang akan memanjat pohon itu, menariknya paksa untuk turun, atau mungkin mendorongnya hingga terjatuh. Atau yang lebih buruk lagi, mereka akan menebang pohon itu, dan mungkin dia akan mati terhimpit batang pohon yang tumbang.
Tidak, tidak, tidak!
Selalu ada jalan lain. Selalu ada jalan keluar. Itulah yang selama ini diyakininya. Pemuda itu mencoba menggunakan otaknya sementara dia terus berlari. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari sesuatu yang tak dia ketahui apa. Sesuatu yang akan membantunya melarikan diri—atau bertahan hidup.
Dia tidak boleh menyerah di sini.
Dia tidak boleh mati.
Belum.
Bapa di surga. Jika memang Kau selalu melindungi dan melihatku, maka hanya pada-Mu aku akan meminta pertolongan. Aku adalah umat-Mu yang setia. Dan berada dalam jalan-Mu adalah tujuan hidupku.
Pemuda berlari semakin cepat, pandangannya mengabur dalam titik-titik cahaya berwarna hijau dan hitam. Dia meletakkan tangannya yang tergenggam di depan dada. Air mata jatuh menetes dari mata pucatnya yang terasa perih akibat debu.
Namun, jika Kau menginginkan aku untuk mendampingi-Mu, berikanlah hamba-Mu ini pengampunan dan kemudahan dalam menjalankannya.
Nyaris seperti keajaiban, suara-suara jerit kebencian seolah memudar dan suara hutan menajam. Pemuda itu dapat mendengar suara burung yang berkicau, daun yang bergesekan tertiup angin dan—
—gemericik air di suatu tempat.
Pemuda itu menoleh ke sekitarnya. Mencoba menemukan asal suara aliran air yang cukup kuat itu. Berharap akan menemukan sebuah sungai kecil atau parit.
Dia mengambil langkah nyaris asal, berdoa semoga tiap langkahnya diberkati. Suara gemericik air itu semakin keras, sang pemuda memaksa menerobos semak-semak yang menghalangi jalannya. Membuat ranting-ranting kecilnya yang tajam mengoyak wajah dan lengannya. Darah merembes pada kain cokelat kotor yang membalut tubuhnya.
Diabaikannya rasa sakit itu. Dia tidak peduli jika tubuhnya hancur sekalipun. Sudah tidak peduli apa pun lagi, kecuali kemungkinan untuk menyelamatkan hidup.
Semak berduri menghalangi jalannya, dia tak bisa memutar—terlalu jauh dan memakan waktu. Tangan-tangannya meraih gerumbulan semak itu liar, mencabiknya, mencoba membuka jalan. Semakin banyak luka terbuka di tubuhnya, meneteskan jejak darah.
Setelah jalan terbuka untuknya, sang pemuda menerjang semak-semak itu. Terkejut saat kakinya tak lagi menyentuh tanah dan tubuhnya terjungkal jatuh ke dalam sungai kecil yang cukup kuat alirannya. Membuka mulutnya untuk mengeluarkan sebuah jeritan, dirasakannya air penuh menjejali mulut, tenggorokan dan kerongkongannya. Dia berjuang untuk membangkitkan tubuhnya yang sedikit terseret arus. Mati-matian menahan batuk saat kepalanya menembus permukaan air dan udara kembali mengelilinginya.
Pemuda itu bangkit berdiri, menyadari sungai itu cukup dalam—hingga ke perutnya. Dilihatnya daratan di seberang sungai, sempat tergoda untuk menyeberang dan kembali berlari. Akal sehatnya mencegah. Pemuda itu tahu benar jika penduduk desa yang mengejarnya akan dengan mudah menangkapnya jika dia melakukannya.
Setengah menyeret tubuhnya, dia berjalan melawan arus sungai. Tangannya mencengkeram kuat tanaman apa pun yang tumbuh di tepi sungai, menjaga agar arus tak berhasil menyeret tubuhnya yang kelelahan. Beberapa kali kakinya terpeleset akibat batu yang licin, namun dia terus berjalan.
Dalam perjalannya menyusuri sungai itu, dia merasakan ketenangan. Mungkin karena teriakan-teriakan marah penduduk desa dan gonggongan anjing teredam oleh deru air. Atau mungkin karena dingin yang membekukan kaki hingga pinggang berhasil membuatnya sedikit lebih tenang.
Tuhan masih menyayangiku. Tuhan masih menginginkanku hidup. Tuhan masih memberikanku kesempatan untukku menyelesaikan tugasku.
Saat langit mulai menggelap dan dia tak lagi dapat mendengar suara apa pun, pemuda itu mengangkat tubuhnya dari air. Yakin jika orang-orang itu tak lagi mengejarnya—setidaknya hingga matahari terbit esok. Berjalan terseok-seok dan menjatuhkan dirinya di bawah pohon besar dengan akar berbonggol-bonggol.
Saat ketegangan mulai meninggalkan dirinya sepenuhnya, pemuda itu baru dapat merasakan betapa kacau dirinya.
Tangannya perih bukan main, kulit lengannya mengelupas saat ranting mengoyak bajunya. Permukaan tangannya habis tersayat-sayat oleh kayu dan daun yang dicengkramnya saat menyusuri sungai. Kakinya mati rasa, lelah dipacu berlari selama berjam-jam. Membengkak dan menggelap di pergelangan kiri—sepertinya akibat terhantam batu saat jatuh ke sungai. Dan dia basah kuyup.
Dan dia menggigil, kedinginan dan ketakutan. Sadar jika dia kini berada dalam hutan yang tak dikenalnya. Jauh dari rumah kayunya yang hangat dan nyaman. Dia lapar, dia tak makan apapun dan menghabiskan sepanjang hari dengan berlari. Dan dia…
… sendirian.
Pemuda itu tahu, dia harus bangun dan mencari kayu bakar untuk menyalakan api, dengan begitu dia bisa menghangatkan diri dan mengeringkan pakaiannya. Hewan-hewan liar pun tak akan berani mendekat jika dia berada di sekitar api. Aroma darahnya juga bisa memancing binatang buas, pemuda itu harus segera mengurus luka-lukanya. Dia bisa mencari satu atau dua tanaman liar yang dapat meringankan rasa sakit pada tubuhnya—organy, oh ya organy… hutan ini penuh dengan organy yang sangat baik untuk mengobati luka. Ah, dia juga harus mencari makan untuk mengganjal perih di perutnya. Rasa-rasanya dia tahu jamur, pakis dan beri liar apa saja yang bisa dikonsumsinya.
Tapi dia bergeming. Memeluk lututnya, membenamkan wajah di sana, mencoba menahan dingin malam. Suara pengejarnya tak lagi bergaung di udara, melainkan dalam pikirannya.
"Penyihir!"
"Bunuh dia!"
"Dia yang membawa teluh ini!"
"Dia sudah membunuh istriku! Anakku! Kakakku! Bunuh dia!
"Bunuh si penyihir!"
"Bunuh!"
"Anak buah setan! Pengikut iblis!"
"Bunuh!"
Sang pemuda memandangi tangan kirinya yang terluka lebih parah dibandingkan tangan yang lain. Bergumam, "Jika Tuhan memberiku tangan seorang iblis, mengapa dia memberiku hati seorang manusia?"
Dan malam itu, dia menghabiskan waktu untuk menangis dan menyesali nasib. Dalam lirih pedihnya, bahkan seekor beruang ganas yang kelaparan pun enggan mendekat.
…*…
THE DEATH CAN'T HOLD US
Chapter I
Kuroko no Basuke belongs to Tadatoshi Fujimaki
Kami tidak mendapatkan keuntungan material apa pun dari pembuatan fanfiksi ini.
Peringatan: Light-Romance/Friendship HimuKuro dengan sedikit bumbu Spiritual. Black Death AU.
Dipersembahkan oleh Kenzeira dan Hime Hoshina
…*…
"Kami sangat berterima kasih Anda mau datang ke desa kecil seperti ini," wanita tua itu mencium tangannya dengan kesenduan yang tak dapat tidak menyentuh hati seorang Tatsuya Himuro. "Sejak Pastor Aida meninggal, gereja terasa mati tanpa ada yang membimbing kami. Betapa murah hatinya Tuhan menuntun Anda ke tempat ini, Bapa."
"Semoga saya dapat membawa kebaikan pada desa ini dan para jemaat." Tatsuya tersenyum padanya.
"Terima kasih." Wanita tua itu balas tersenyum, kerut di sudut matanya menajam menunjukkan usia yang sudah begitu renta. Mencium pipi Tatsuya penuh sayang sebelum berlalu. Dengan tubuh yang tertatih digerogoti usia, wanita itu pergi meninggalkan kapel tak terawat itu.
Tatsuya memandang kapel yang sudah tua dan lapuk, bertanya-tanya sudah berapa lama bangunan dari bata dan kayu itu terabaikan. Kepala desa, seorang pria gemuk dengan wajah kemerahan berjanji akan mendatangkan tukang kayu dan perempuan-perempuan terbaik desa untuk membersihkan kapel itu sesegera mungkin. Dan Tatsuya sangat menghargai kerja kerasnya.
Tatsuya memilih untuk melangkahkan kaki keluar dari gereja, memandang para petani yang pulang dari ladangnya atau anak-anak yang berlari-lari di jalanan sambil tertawa.
Tersenyum, diam-diam berpikir jika desa kecil ini juga bisa terasa sama ramainya dengan kota tempatnya tinggal sebelumnya.
Dua bulan yang lalu, dia hanyalah seorang pastor pembantu di salah satu gereja di kota. Baru seminggu lalu pastor kepala yang dilayaninya memberinya kepercayaan untuk mengurus sendiri sebuah gereja. Dan di sinilah dia berada. Desa kecil yang dapat ditempuh dengan perjalanan menggunakan gerobak petani selama tiga hari dari kota. Tatsuya tiba dua hari lalu, dan dia begitu tersentuh dengan sambutan warga desa yang menyanjungnya.
Wanita tua yang tadi mengunjunginya masih berada di sudut jalan, berbicara dengan seorang laki-laki yang sepertinya baru pulang dari ladang, tersenyum saat melihatnya.
Wanita yang begitu baik. Tatsuya memutuskan untuk menyukainya. Mengangguk ramah pada sosok renta itu.
Wanita itu datang tiap hari ke kapel, membawakannya roti dan buah-buahan kering. Sebagai gantinya, Tatsuya akan menemaninya berdoa.
Dengan suaranya yang lembut, wanita itu senang berkisah.
"Desa ini sudah berada pada ujungnya. Para pemuda mulai meninggalkan tempat ini dan mengelana ke kota atau menjadi prajurit, sementara mereka yang tua perlahan meninggal. Itu adalah hal yang biasa, semua desa mengalaminya. Namun, semuanya memburuk saat wabah mulai memasuki gerbang desa."
Tatsuya tersenyum dan mengangguk pada sejumlah anak-anak yang lewat di depan kapel. Mereka tertawa dan melambaikan tangan padanya. Tatsuya menyadari jika beberapa di antara mereka terlalu kurus hingga terasa hanya seperti tulang belulang yang dibalut dengan kulit. Tapi senyum di wajah mereka terlihat begitu tulus.
"Wabah selalu tiba. Baik itu dalam wujud belalang yang memakan tanaman kami, musim kemarau yang tak pernah usai, atau penyakit yang membuat kami kehilangan orang-orang yang kami sayangi. Tapi tak pernah ada yang seperti ini sebelumnya—tak pernah ada yang seburuk ini."
Seorang pria dengan kulit terbakar matahari mengangguk sopan padanya. Di tangannya, dia membawa beberapa ikan yang diikat, seorang anak kecil berlari menyongsongnya—mungkin putra pria tersebut. Dan mereka menghilang di persimpangan jalan.
"Ibu kehilangan putranya. Suami kehilangan istrnya. Anak-anak kehilangan orangtua mereka. Semuanya terjadi dalam waktu yang begitu cepat. Mereka yang membantu memakamkan pun pada akhirnya akan tertular dan kemudian meninggal. Para tabib desa dibuat bingung karenanya, tak ada satu pun obat dan ramuan yang bisa menyembuhkan orang-orang itu atau menjauhkannya dari kematian."
Tatsuya masuk ke dalam gereja saat gelap mulai turun. Menyalakan lilin-lilin dari lemak binatang sepanjang dinding. Cahaya emas jatuh membanjiri ruangan dengan kesuraman yang indah. Sedikit banyak Tatsuya teringat pada kehidupannya yang belum dibaktikannya pada Tuhan dan gereja.
"Kepanikan melanda, desas-desus mengenai kutukan dan sihir terdengar. Beberapa orang wanita dibakar, dan sejumlah pria digantung di tepi desa, dibiarkan membusuk dengan cara seperti itu. Para tertuduh penyihir yang malang. Bahkan Tuan Mayuzumi yang shaleh pun ditenggelamkan di danau karena dianggap sebagai pelayan iblis. Namun, wabah tak pernah berhenti—tak pernah selesai."
Tatsuya di masa anak-anak bercita-cita menjadi seorang dokter. Dan ibunya sangat mendukung mimpi tersebut. Wanita itu adalah seorang bidan. Dia membantu kelahiran banyak anak di kota dan menyelamatkan ibu-ibu mereka dari kematian. Di halaman rumah mereka tertanam berbagai macam tanaman obat. Dan di sore-sore di mana Tatsuya membantu menggemburkan tanah sementara ibunya menimba air untuk menyiram, terkadang wanita itu akan bercerita tentang khasiat-khasiat yang dimiliki tanaman tersebut. Tatsuya selalu senang mendengarkannya.
"Tubuh mereka menghitam, dan mereka mulai merancau karena demam. Berkelojotan seperti hewan yang hendak disembelih. Dan dalam tiga hari mereka kehilangan nyawa, begitu singkat. Aku juga tak mengerti, murka Tuhan seperti apa yang telah manusia langgar hingga Dia memberikan kami hukuman seperti ini."
Tapi hidupnya berubah dengan terlalu drastis. Dimulai dengan dilemparkannya sebuah mayat yang menghitam di tengah kota oleh orang asing berjubah. Kematian yang mengerikan itu menular secepat kelinci berlari menghindari pemburu. Meloncat dari satu orang ke orang yang lainnya. Kota menggila akibat banyaknya korban yang jatuh. Hingga akhirnya, kedua orangtua Tatsuya pun meninggal.
"Tak ada lagi orang-orang yang sanggup dan mau mengurus mereka yang meninggal. Karena, hanya dengan ujung sentuhan jari saja maka kematian akan merambati. Di jalan-jalan, di rumah-rumah yang terbengkalai, mayat-mayat dibiarkan membusuk begitu saja."
Setelah wabah mereda, pemerintah kota mengumpulkan anak-anak yang selamat dan kehilangan orangtua mereka, membawa mereka ke gereja. Dan di sanalah mereka diasuh.
Tatsuya adalah salah satu dari anak-anak itu. Di dalam gereja, dia kehilangan mimpinya sebagai dokter. Kematian orangtuanya dianggapnya sebagai suatu mukjizat, bukti jika Tuhan mengasihinya. Sebagai ganti dari mimpinya untuk masuk ke universitas dan mendalami seni pengobatan, Tatsuya mendapatkan mimpi lain yang lebih berarti baginya—menjadi pelayan Tuhan.
"Wabah mereda akhir-akhir ini. Namun, tanda-tandanya tak pernah meninggalkan kami sepenuhnya. Istri Tuan Hyuuga datang ke pasar kemarin, menangis dan meraung meminta pertolongan setelah melihat bercak-bercak hitam memenuhi tubuh suaminya. Namun, hati orang-orang yang mendengarnya telah membeku. Mereka berpura-pura tak mendengar. Berbisik-bisik tentang kemungkinan seorang penyihir kembali mengutuk desa."
Tatsuya menghela napas panjang. Betapa di desa kecil seperti ini pun, kedamaian bisa rusak dengan begitu mudahnya.
Kepercayaan yang terbentuk dapat hancur hanya karena sebuah bencana.
Dan kebaikan hati yang begitu dipuja-puja dan diagungkan dapat menghilang—meninggalkan manusia dengan jantung besi yang keras dan dingin, tak tersentuh oleh kelembutan Ilahi.
"Suatu saat nanti, jika desa ini hancur, aku tidak akan terkejut. Usiaku sudah tua, aku sudah melihat begitu banyak hal yang tak pernah orang lain lihat, Bapa. Karena itu, aku menyadarinya. Masa depan desa ini tak akan lama—"
Tatsuya menghela napas panjang. Satu tangan meraih rosario yang dikalungkannya di leher. Berdoa, "Tuhan, berikanlah hambamu ini kemampuan untuk menolong mereka yang tersesat dan membimbing mereka pada jalan-Mu."
"—karena desa ini telah ditandai oleh maut hitam."
…*…
Langit sudah berwarna biru sempurna saat Tatsuya melangkahkan kakinya mendekati tepi hutan. Beberapa orang pria menyapanya dengan sopan, beberapa hanya tersenyum sebelum melanjutkan pekerjaan mereka memanen gandum dan menggemburkan tanah.
"Bapa," sebuah suara berat memanggilnya. Tatsuya mendapati pria berkulit gelap yang kemarin dilihatnya dari gereja sedang duduk berteduh di bawah pohon. Pria itu memberikan sebuah seringai lebar padanya. "Jika Anda sedang berjalan-jalan, Anda sudah terlalu jauh. Hutan hanya berjarak beberapa tombak jauhnya."
Tatsuya tersenyum padanya. "Terima kasih atas peringatannya, Tuan—"
"Aomine," pria itu menyebutkan nama keluarganya.
"—Tuan Aomine." Mengangguk berterima kasih. "Tapi saya memang berniat untuk memasuki hutan."
Pandangan matanya yang tajam terasa semakin menusuk. Entah bagaimana Tatsuya merasa jika pria itu berpendapat jika tidak sepantasnya seorang pendeta pergi seorang diri ke hutan. "Dan jika saya boleh tahu, apa tujuan Bapa untuk masuk ke sana?"
"Saya mencari tanaman obat untuk ditanam di pelataran gereja." Tatsuya menjawabnya. "Saya sudah mencoba mencarinya di seluruh desa dan bertanya pada wanita-wanita yang saya temui. Namun, tak ada satu pun di antara mereka yang tahu mengenai tanaman yang saya maksud. Salah seorang pria tua yang ada di bar mengatakan jika tanaman itu tumbuh liar di hutan, maka dari itu saya datang untuk mencarinya."
Ekspresi tegang pada wajah pria itu mengendur. Dia kembali mengembangkan senyum lebarnya. "Wah, wah, wah, Anda benar-benar orang yang sangat rajin hingga melakukannya sendiri, Bapa. Padahal saya yakin akan ada satu atau dua orang yang akan dengan senang hati melakukannya untuk Anda."
"Saya merasa tidak enak. Warga desa telah memperbaiki gereja untuk saya. Saya tidak bisa meminta lebih dari ini pada mereka."
Aomine mengangguk mengerti. "Sebenarnya saya dengan senang hati menemani. Sayang sekali saya belum berhasil menangkap ikan untuk keluarga saya hari ini."
Tatsuya teringat pada seikat ikan yang dibawa pria itu petang kemarin, juga pada anak kecil yang menyambutnya dengan begitu bersemangat. Mengangguk memaklumi. "Saya tidak masalah untuk pergi sendiri."
"Tidak, tidak, tidak, bukan begitu." Aomine terlihat sedikit kebingungan untuk mengatakan sesuatu. Menggaruk kepalanya dan menggerutu pelan. Kemudian menghela napas panjang. Memandang Tatsuya yang menatapnya tidak mengerti. "Saya hanya bisa memperingatkan agar Anda tidak terlalu jauh masuk ke dalam hutan, Bapa. Di sana berbahaya."
Tatsuya sedikit gelisah mendengar peringatan itu. "Apakah ada binatang buas yang hidup dalam hutan?"
"Ya, tentu saja. Beruang dan serigala. Bahkan musang pun bisa menjadi hewan yang berbahaya bagi mereka yang tidak terbiasa. Tapi semua hutan juga seperti itu bukan?" Aomine terkekeh mendengar pertanyaan Tatsuya, seolah itu adalah lawakan paling lucu yang pernah didengarnya. "Sayangnya tidak. Saya tidak akan memperingatkan Anda untuk hal-hal biasa seperti itu."
"Lalu?"
Aomine kembali mengeraskan wajahnya. Alisnya berkerut-kerut saat dia menunduk dan mendekatkan kepalanya pada telinga Tatsuya. Berbisik dengan suara lirih yang nyaris terkubur oleh angin.
"Di hutan itu, tinggal seorang penyihir."
…*…
Di hutan itu tinggal seorang penyihir.
(Atau seseorang yang diyakini sebagai penyihir melalui bukti-bukti samar—nyaris tak jelas dari mana berasal; suatu ciri yang membuat anak manusia dianggap penyihir, entah apa, entah kenapa.)
Tatsuya enggan percaya, meski kebenaran-kebenaran telah diungkapkan sedemikian rupa; ada pemuda yang melarikan diri ke dalam hutan dan tak pernah kembali, sementara itu, wabah penyakit semakin meluas, menggugurkan sekian banyak nyawa dalam hitungan hari yang tidak seberapa panjang. Setiap nyawa serupa selembar daun jatuh (dalam hitungan detik, mendarat di atas tanah; manusia-manusia yang mati kembali pada tanah, dalam hitungan hari setelah terinfeksi wabah).
Tapi mereka (manusia-manusia yang mati itu) tidak dikuburkan dengan layak, justru dibiarkan tergeletak di mana-mana; di sudut jalan kota, di rumah kosong (yang mana sempat berpenghuni, tapi lantas semua mati, dan semua mayat membusuk di dalam sana tanpa ada seorang pun yang sudi mengurusi—siapa yang mau mengurusi mayat yang terkena wabah penyakit, sama saja bunuh diri). Belum lagi pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang dipercaya sebagai penyebar teluh, orang-orang yang dianggap tukang sihir, merapal mantra guna-guna agar seluruh manusia di dataran dunia mampus saja. Tidak tahu apa manfaatnya.
Harus berapa banyak nyawa yang mati sia-sia karena dianggap menyebar teluh? Mereka dibakar hidup-hidup di tengah kota, digantung, membiarkan orang-orang menyoraki gembira dengan harapan penyakit-penyakit terkutuk itu lenyap setelah kematian mereka yang diyakini sebagai penyebabnya. Tapi lantas panyakit itu tetap ada, tetap meluas—bahkan semakin luas. Pusat kota terasa seperti tempat manusia-manusia siap mati, penduduk di pedesaan mulai terkena imbasnya. Wabah menyebar cepat seperti lemparan batu yang memantul-mantul di atas sungai sebelum akhirnya tenggelam (batu yang seakan menenggelamkan seluruh umat ke dalam jurang kesengsaraan, di mana kematian lebih dekat daripada Tuhan).
Mendadak, Tatsuya mengingat bagaimana belatung-belatung meledak pada perut-perut buncit tak bernyawa, bertebaran di setiap sudut kota. Serta, kedua orangtuanya yang juga harus mati karena maut hitam. Kulit mereka membengkak dengan bercak-bercak hitam. Dan kematian, tiba-tiba saja, merupakan pemandangan yang biasa.
(Tapi tetap tidak bisa diterima.)
Jangan dekati ibumu. Dia sudah tidak ada harapan.
Tapi ayahnya mendekati ibunya. Dan ayahnya sudah tidak ada harapan.
Merupakan suatu keajaiban Tatsuya tidak ikut mati karena wabah penyakit. Tuhan masih ingin ia tetap hidup (dan kehidupan itu, yang diberikan dengan murah hati kepadanya, sudah sepatutnya dihabiskan dengan hal-hal yang berkenaan Tuhan; menyerahkan seluruh diri, tanpa peduli pada apa pun selain untuk memperjuangkan dan membela kebenaran atas nama-Nya). Segala puja-puji hanya untuk Tuhan saja; sebab manusia adalah ketidaksempurnaan—makhluk yang diciptakan paling sempurna, tapi tetap saja kalah oleh hasrat yang membinatangkan kemanusiaan, seperti juga pembakaran orang-orang tak berdosa, pembunuhan yang tidak jelas penyebabnya, hanya karena menginginkan wabah itu lenyap padahal belum tentu mereka penyebabnya.
Nafsu seringkali memenuhi diri. Serta amarah. Mereka lupa, bahwa pada hakikatnya manusia hidup untuk kembali dan maut hitam merupakan salah-satu cara Tuhan memanggil jutaan orang untuk menghadap, untuk pulang, mempertanggung-jawabkan hidup. Begitulah mengapa Tatsuya percaya bahwa kematian orangtuanya merupakan bagian dari suratan takdir, takdir yang juga membawanya menjadi seperti sekarang ini; menjadi seorang pastor yang mengabdi sepenuhnya pada gereja di desa kecil.
Tatsuya memanjatkan syukur.
Selalu ada makna. Selalu. Jika saja manusia mau berpikir.
Demikianlah mengapa ia berada di hutan kini, selain untuk mengabdikan diri kepada Tuhan yang Maha Agung, ia juga ingin mengabdi pada masyarakat desa, memberi mereka harapan hidup yang lebih panjang dengan tanaman-tanaman obat yang hendak ia tanamkan di pelataran gereja. Sejak dulu, harapannya menjadi dokter tak pernah pupus meski kini ia telah menjadi pelayan Tuhan. Dan ia tetap ingin menyembuhkan banyak orang dari segala jenis penyakit apa pun; bahkan jika itu merupakan suatu wabah yang dianggap sebagai kutukan dari para tukang sihir. Tatsuya tahu ia bisa menemukan obat-obatan untuk maut hitam.
Setiap penyakit memiliki obat, dan setiap obat pasti menyembuhkan penyakit. Karena Tuhan tidak pernah bermain-main jika menyangkut apa yang diciptakan-Nya. Ia percaya. Begitulah ia tetap berusaha mencari tanaman-tanaman obat di hutan, tak peduli pada peringatan si pria jangkung yang kulitnya gelap itu. Kalau benar ada tukang sihir, Tatsuya mau bertanya mantra semacam apa yang bisa mendatangkan penyakit tak berkesudahan, dan mantra semacam apa yang dapat menyembuhkan penyakit itu. Tentu, ia berpikir demikian karena ia tahu, tidak akan ada tukang sihir yang bersembunyi di hutan, terlebih jika sudah melintasi tahun-tahun yang suram lagi panjang. Hutan merupakan sumber kehidupan, tapi juga malapetaka kalau manusia berlaku sembarangan.
(Dan hidup di hutan merupakan sesuatu yang tak lazim dilakukan oleh seorang manusia; ya, manusia yang selalu membutuhkan manusia lain. Kecuali kalau memang benar si manusia ini bukan manusia biasa, melainkan tukang sihir yang diperingatkan pria barusan.)
Tapi ada pondok.
Di tengah hutan.
Pondok yang berdiri sendirian saja. Sedikit tersembunyi karena dihimpit oleh dua pohon besar.
Pondok yang seakan sengaja disamarkan dari pandangan.
Tatsuya tak ingin menarik dugaan, tidak pula terlintas dalam benaknya bahwa penyihir benar-benar ada (bahwa keberadaan mereka adalah untuk menyengsarakan umat manusia, entah kenapa). Tapi pondok itu membuatnya kembali berpikir mengenai keberadaan seorang penyihir, yang mana sekian tahun lalu berlari dan sembunyi di hutan ini. Dan, anehnya, tak pernah ditemukan—atau penduduk desa berpikir bahwa hilangnya si penyihir dari desa, hilang pula penyakit yang mereka derita. Tetap saja, orang-orang desa sepertinya enggan masuk ke hutan lebih dalam, enggan bertemu seseorang yang dianggap tukang teluh itu, enggan mati.
Pondok itu benar-benar ada, benar-benar berpenghuni.
Dan seorang lelaki terpaku memandangnya, seperti juga dirinya sendiri yang tak menyangka akan bertemu satu-satunya manusia di tengah hutan yang rimba.
Mengingat kembali kata-kata si pria bernama Aomine itu; memperingatinya untuk tidak masuk ke hutan, memberitahu bahwa ada tukang sihir yang berdiam di sana. Refleks saja, bibirnya terbuka, menggumamkan satu kata, satu kata itulah yang membuat si lelaki tanpa nama berlari meninggalkannya.
Tatsuya bergumam; penyihir.
Tanpa ia berpikir bahwa lelaki itu benar-benar seorang tukang sihir.
.
.
Tidak ada yang tahu siapa laki-laki yang tinggal di hutan itu. Tidak ada, selain tentu saja, melalui praduga warga desa yang mendengar cerita Tatsuya, segera meyakini bahwa laki-laki itu adalah tukang sihir yang pernah kabur ke dalam hutan dan tak pernah kembali, sekian tahun lalu, ketika maut hitam sedang berada di puncaknya; menghabisi puluhan jiwa di desa.
"Berhati-hatilah, Bapa, kau tidak akan tahu apa yang bakal diperbuatnya padamu, pada kami semua."
"Tapi kita tidak pernah tahu apakah laki-laki itu memang benar seorang penyihir."
Wanita paruh baya yang anaknya sakit panas itu segera saja mengulas senyum sedih. Berkata dia kepada Tatsuya. "Tidak ada manusia sebaik dirimu, kau selalu berprasangka baik pada hal-hal yang belum tentu baik. Tuhan menyertaimu dan seluruh hidupmu, semoga engkau selalu diberkati."
"Terima kasih. Amin."
Wanita tersebut lantas pergi setelah meminta izin memetik tanaman obat-obatan yang dibawa Tatsuya dari hutan dan ditanamnya di pelataran gereja selama sekian minggu ini. Ia berharap anak wanita paruh baya itu bisa segera sembuh. Wabah penyakit memang sudah mereda, namun, walaupun begitu, kemungkinan kembalinya wabah tersebut tetaplah ada. Dan Tatsuya ingin menjadi orang pertama yang menyembuhkan penyakit itu dan menjauhkan umat-umat Tuhan dari segala kesengsaraan.
"Bapa, saya mendengar dari seseorang, katanya Anda berjumpa dengan seorang laki-laki di tengah hutan."
Tatsuya tengah memetik pucuk tanaman obat-obatan untuk dikeringkan ketika suara pria yang ditemuinya sebelum memasuki hutan beberapa minggu lalu itu menginterupsi kegiatannya.
"Ah, ya. Kupikir dia laki-laki biasa. Semoga saja."
"Tapi selama ini tidak pernah ada yang berani ke tengah hutan. Tidak mungkin dia merupakan bagian dari warga desa. Kalau boleh saya tahu, bagaimana ciri-cirinya?"
Tatsuya mengingat-ingat, samar-samar, tidak begitu jelas. Lelaki itu mendadak saja melarikan diri sehingga ia tak mampu melihat ciri-ciri lain selain warna rambutnya yang biru muda—yang, entah kenapa mengingatkannya pada langit kota yang damai dan tentram sebelum maut hitam melanda. Ia mengingat ketenangan. Begitulah ia mencoba menjelaskan pada pria itu, pria yang membawa ikan untuk keluarganya itu, pria yang bernama Aomine.
"Tidak ada lelaki yang memiliki warna rambut semacam itu di desa ini."
Seperti bagaimana Tatsuya selalu menanggapi. "Mungkin dia dari desa lain, desa yang ada di seberang hutan."
Aomine tidak bicara lagi.
Ia sebetulnya meragukan jawabannya sendiri. Andai kata benar dari desa di seberang hutan (desa yang belum tentu ada atau tidaknya) lalu untuk apa pondok itu dibuat? Ia bahkan tanpa sengaja menyebut laki-laki itu penyihir. Satu-satunya cara untuk menemukan jawaban sejelas-jelasnya adalah kembali ke tengah hutan dan melihat pondok tersebut (serta, kalau diberi kesempatan, menemui laki-laki yang rambutnya sewarna langit itu dan mengajaknya bicara, membuktikan bahwa dugaannya memang benar bahwa lelaki tersebut bukan tukang sihir).
.
.
Pondok itu masih ada.
(Kadang, ia berpikir bahwa apa yang dilihatnya adalah apa yang sebetulnya tidak pernah dilihatnya; siapa tahu ia berhalusinasi, sebab, di sepanjang perjalanan mencari tanaman obat, ia terus saja memikirkan kata-kata Aomine yang memperingatinya bahwa ada penyihir di dalam hutan. Dan laki-laki yang dilihatnya waktu itu mungkin saja adalah hewan, hewan yang entah bagaimana bisa terlihat seperti manusia.)
Tapi pondok itu benar-benar ada. Berdiri. Dihimpit dua pohon besar, tersamarkan. Serta seorang anak manusia yang terlihat bersembunyi di balik batang pohon, mengintip sesekali sebelum Tatsuya memergoki. Seperti apa yang terjadi beberapa minggu lalu, lelaki tersebut segera berlari memasuki hutan yang lebih dalam. Namun, tidak seperti beberapa minggu lalu, kali ini Tatsuya ikut berlari. Mengejar. Ia percaya tidak ada penyihir yang menyebarkan teluh di kota, di pedesaan, tidak juga di manapun.
"Tunggu!"
Apa sekiranya yang membuat lelaki tersebut melarikan diri? Atau memang betul lelaki itu adalah lelaki yang dianggap penyihir dan bersembunyi di dalam hutan—mungkin lelaki itu takut dibunuh. Tetapi jika benar dia tukang sihir, seharusnya dia bisa dengan mudah membunuhnya. Sebagai bukti lain, Tatsuya masih hidup.
Dan masih mengejar.
Sebelum akhirnya pakaian lusuh yang dikenakan lelaki tersebut sedikit robek akibat tarikan tangannya.
"Aku tidak akan membunuhmu. Aku tahu kau bukan orang jahat." Entah kenapa, Tatsuya merasa perlu mengatakan itu. Ketakutan di wajah lelaki yang ternyata memiliki warna mata sebiru warna rambutnya tersebut terlalu kentara, terlihat begitu jelas. Pancaran rasa takut perlahan memudar, walau masih tersisa di dalam bola matanya. Tatsuya tahu ia harus mengatakan hal lain, hal yang mampu membuat si lelaki menjadi tenang. "Aku tidak pernah percaya mengenai keberadaan tukang teluh, sama sekali. Aku hanya percaya pada keagungan Tuhan. Seluruh umat manusia adalah putra-Nya. Dan seluruh umat manusia, sudah sepatutnya saling mengasihi."
Lelaki itu enggan bicara. Namun ketakutan di matanya nyaris lenyap.
"Namaku Himuro Tatsuya."
Lelaki itu masih bisu.
"Aku seorang pastor."
Ada keterkejutan, walau tidak begitu jelas.
"Jadi kau benar-benar percaya pada Tuhan?"
Demikianlah kalimat pertama itu terucap dari bibir si lelaki yang hidup di pondok tersebut (yang juga barangkali dituduh menjadi seseorang yang menyebarkan malapetaka berupa penyakit tak berkesudahan). Tatsuya selalu tersenyum menanggapi pertanyaan semacam itu.
"Tentu saja. Aku mengabdi sepenuh diri hanya pada-Nya."
"Tapi mengapa mereka ingin membunuhku? Bukankah seperti ucapmu, bahwa manusia adalah anak-anak Tuhan yang seharusnya saling mengasihi."
Jawaban semacam apa yang ingin didengar lelaki itu? Tatsuya tidak ingin menarik praduga, tidak pula ia berniat membohongi diri. Ia menundukkan kepala, mendadak saja teringat pada dosa-dosa yang diperbuat orang-orang tatkala maut hitam menyerang. Orang-orang sudah tidak lagi berpikir jernih, saling mengasihi berubah menjadi saling menyakiti. Tak ada yang peduli siapa yang bakal mati (selain, tentu saja, anggota keluarga mereka sendiri, atau sanak-saudara, atau kawan lama). Atau justru mereka sama sekali tidak peduli asalkan bukan mereka yang mati.
Orang-orang yang tertuduh tukang sihir dibantai habis, sementara maut hitam tidak juga berhenti memakan korban. Tidak begitu banyak manusia yang tersisa, terlebih di kota. Mereka nyaris habis. Sebagian manusia kehilangan nyawa, sebagian lagi justru kehilangan kemanusiaan. Tatsuya jadi mengerti ketakutan yang dirasakan lelaki itu.
"Manusia, tentu saja, sesekali pernah berbuat dosa. Mereka tidak berniat membunuhmu, mereka hanya ingin penyakit terkutuk itu lenyap. Dan cara yang mereka gunakan adalah cara yang paling kejam dan tak berkeprimanusiaan. Ampunilah mereka yang berbuat dosa kepadamu. Percayalah pada takdir Tuhan. Niscaya akan kau temukan ketenangan."
Terdiam cukup lama, lelaki itu akhirnya bicara. "Tampaknya kau adalah lelaki yang benar-benar mengenal Tuhan."
Tatsuya mengulas senyum. "Seluruh manusia mengenal Tuhan. Tapi tidak seluruh manusia peduli."
Lelaki itu, yang semula matanya dihiasi ketakutan, yang terus melarikan diri, yang hidup di pondok di tengah-tengah hutan, yang semula Tatsuya pikir merupakan suatu hal mustahil dapat bercengkerama dengan tenang dan khidmat seperti ini, mendadak saja, ada segaris senyum simpul di mukanya; ya, ya, di muka lelaki itu. Serta kata-kata yang menentramkan hatinya, seperti juga warna rambut serta bola mata lelaki itu yang mengingatkannya pada langit kota penuh ketenangan dan ketentraman.
"Aku percaya pada Tuhan. Aku selalu percaya. Demikianlah kenapa aku diberi kesempatan untuk hidup, meski manusia-manusia lain berpikir bahwa tanganku adalah tangan iblis."
.
"Namaku Tetsuya Kuroko."[]
.
{to be continued}
10:55 AM – 28 February 2017
