Naruto © Masashi Kishimoto

.

.


Master's Haruno

.

Remake DraKor "Master's Sun"

.

Prologue


.

Don't Like YA Don't Read

.


Enjoy for Reading…

.

"Apa ini cukup?" ucap seorang gadis dengan suara seraknya. Gadis ini berjalan mengelili gondola supermarket dan kembali memasukkan barang pilihan seseorang yang berjalan di depan kereta belanjaanya. "Aku sungguh ingin cepat-cepat pulang, untuk apa kau membeli persediaan sebanyak ini?"

Karin menoleh ke arah adiknya. "Kau tanyakan pada dirimu sendiri, Sakura!" dia berbalik lagi dan berjalan duluan meninggalkan Sakura.

"Kau tahu, kadang-kadang aku membencimu karena berlaku seenaknya seperti ini," Sakura menyusul Karin dan berjalan bersampingan. Mereka berjalan ke arah kasir. "Oh, akhirnya. Terima kasih, Tuhan."

Karin membongkar semua belanjaannya saat sudah sampai di kasir dan pegawai kasir memindai belanjaan, Sakura yang berdiri di depan pintu keluar menunduk karena menghindari sesuatu, dia merasa hawa lain di sekitarnya sejak dia memasuki gedung supermarket ini. Sebuah kantong belanjaan disondorkan ke arahnya.

"Kau harus memakai ini, Sakura."

Gadis bersulai merah jambu bernama Sakura ini menerima kantong belanjaan. "Kau belanja banyak dan hanya memberikanku ini, kak?" Sakura mengecek ke dalam kantong belanjaan dan hanya menemukan shampoo, sabun dan alat kebersihan lainnya.

Karin menarik Sakura, mereka berjalan bersampingan dan berjalan keluar supermarket. "Aku sudah tidak tahan melihatmu seperti ini," gadis bersulai merah darah dan memakai kacamata ini menoleh dan memperhatikan adiknya yang menatapnya bingung. Coba kita lihat apa yang salah dari Sakura, rambut merah jambu sepunggung yang terlihat kusut, muka kusam, aku berani bertaruh Sakura jarang atau sama sekali tidak memakai bedak atau pelembab, mata panda, oh tunggu! Ini melebihi mata panda, mata merah, baju kusut, dan Sakura seperti mayat hidup yang berjalan. "Kau terakhir mandi dan keramas kapan, heh?!"

Sakura mendesah, dia tahu kakaknya ini khawatir dengannya. Ini semakin membuatnya merasa bersalah dan tidak berguna sebagai adik. "Kak… kau terlalu memanjakanku," manik emerlandnya semakin redup. "Aku tahu kau khawatir padaku, tapi aku baik-baik saja. Sungguh."

"Jangan bicara begitu," Karin memeluk bahu Sakura dan menempelkan pelipisnya dengan pelipis Sakura. "Aku bersyukur kau kembali, mengerti." Sakura mengangguk, Karin melonggarkan pelukannya sambil tersenyum. "Sekarang, kau harus mandi. Aku hampir muntah setelah mencium rambutmu. Kapan terakhir kau keramas, Sakura?"

Sakura menyeringai, dia mengusap rambut merah jambunya. "seminggu yang lalu," Karin menganga. "Aku akan keramas, karena kau sudah membelikanku ini." Ucapnya sambil mengangkat kantong belajaannya.

"Ya sudah, cepat pulang sana," Karin mendorong tubuh Sakura menjauh, "Dan berhati-hatilah." Karin menangkup tangannya di pinggir bibirnya saat mengucapkan kalimat terakhirnya dan suarnya dibuat pelan.

"Baik-baik bu manajer."

Karin tertawa dan Sakura berlalu meninggalkan kakaknya. Mereka berbelanja di dekat tempat tinggal Sakura, mereka berpisah rumah. atau sebenarnya Sakuralah yang meminta hal ini. Gadis bersulai merah muda itu berjalan sambil menundukkan kepala dan selalu bergumam entah mengucapkan apa, aku sendiri tidak tahu karena dia bergumam cepat sekali. Jadi, biarkan saja Sakura dengan gumamnya.

Dia sudah sampai di apartement tempat tinggalnya, dia sudah lama tinggal di sini dan menjadi wakil dari pemilik apartement ini jika ada keluhan atau meminta pertolongan dari penghuni lain di apartement ini.

Sakura memasuki apartement dan melihat tempat sampah yang sudah penuh isinya, dia mendesah. Inilah tugasnya sebagai wakil dari pemilik apartement, dia harus menjaga kebersihan untuk menarik minat seseorang kalau ingin menghuni di apartement ini dan tentu saja menjaga penghuni di sini supaya terjamin kesehatan dan kebersihan mereka. Sakura melewati ruangan pemilik apartementnya tinggal berada yang bernama—nona Tsunade—dan dia tidak menemukannya, Sakura menyeret kakinya yang sudah lelah karena berbelanjaan dengan kakaknya ditambah keletihan yang semakin meningkat karena kurangnya dia tidur.

Sakura menempati apartement paling atas, di lantai sepuluh, hanya ada satu kamar dan itu miliknya. Sungguh istimewa bukan? Dia kembali turun dengan setelan baju terusan berwarna putih, masih dengan rambut yang belum keramas selama seminggu itu. Dia tidak berniat untuk mandi lagi, dan hujan tiba-tiba turun dengan derasnya saat Sakura sampai di lantai dasar. Dia membawa kantong plastik besar untuk mengangkut sampah-sampah yang sudah terkumpul di ketiga tong sampah yang dibedakan sesuai jenisnya.

Disaat dia memilah semua sampah, teriakan dari lantai atas membuatnya menoleh ke atas.

"Sakura-chan… Sakura-chan… kau'kah itu?" Tsunade—pemilik apartement ini berdiri di tangga lantai empat dengan kepala menunduk menatap Sakura yang mengandah menatapnya. "Oh, kau tidak perlu membersihkan itu, biar aku saja."

"Benarkah?"

Tsunade mengangguk, "Sebaiknya kau membersihkan kamar enam ratus lima," kantong plastik yang sedari tadi dipegang Sakura kini jatuh ke lantai. "Kamar itu baru saja kosong lagi beberapa jam yang lalu, aku heran kenapa kamar itu selalu kosong dan anehnya lagi kenapa penghuni baru selalu mengeluh laci di lemari kamar itu tidak bisa dibuka," suara langkah Tsunade menggema ditiap tangga turun dan itu semakin membuat wajah Sakura semakin pucat. "Kau bereskan kotoran-kotoran di kamar itu, Sakura-chan."

"Baik." Sakura hampir tidak mengeluarkan suara saat menjawab perintah Tsunade. Dia mengambil kantong plastik yang sempat terjatuh tadi dan membawanya naik ke lantai enam. Dia kembali bergumam dan wajahnya semakin memucat. Hujan yang turun deras tidak membantunya mencairkan situasinya saat ini.

Sakura sudah berada di lantai enam dan berdiri di depan kamar enam ratus lima yang masih tertutup. Ada berdebatan, terlihat dari mimik wajahnya yang mulai bimbang ingin memasukki ruangan ini atau tidak. Akhirnya tangan Sakura menggapai kenop pintu dan dia membuka pintu kamar tersebut bersamaan suara petir yang menggeleggar di luar sana.

Suasana di kamar ini gelap dan cahaya terang akibat pintu yang dibuka Sakura membuat sebagian ruangan kamar ini terang. Sakura mengedarkan tatapannya. Dan saat suara petir kembali berbunyi Sakura melihat sosok yang duduk di atas meja di ujung ruangan, Sakura tersentak dan menekan saklar lampu yang terletak di samping pintu.

Ruangan akhirnya terang karena cahaya, Sakura memasuki ruangan dan memberesi sampah kertas, botol dan plastik yang bertebaran di ruangan ini. Dia memasukkan sampah-sampah tersebut ke dalam kantong yang dia bawa tadi, suasana masih sunyi dan mencekam ditambah hujan yang turun dengan lebatnya dengan suara petir yang tidak mau berhenti.

Sakura kembali menangkap sosok putih di dalam kamar tersebut, hal itu membuat Sakura memunguti sampah dengan buru-buru. Dan tiba-tiba lampu menyala hidup dan berakhir mati. Sakura menjerit dan sosok putih tadi menampak diri, dia berwajah seram dengan mulut lebarnya. Dia berjongkok di atas meja.

Sakura kembali menjerit dan berlari keluar kamar tersebut dan meninggalkan kantong plastik yang dia bawa tadi, dia berusaha lari dan sosok putih menakutkan yang dia lihat tadi masih mengikutinya. Dia menaiki tangga dengan kecepatan tinggi. Lampu-lampu tiba-tiba mati semua saat Sakura melewati tangga demi tangga dan koridor. Sakura berlari sampai ke lantai sepuluh dan masuk ke kamarnya. Dia menutup pintu dan memegang kenop pintu kamarnya yang bergerak seperti ada yang ingin masuk ke kamarnya.

"Pergilah!" serunya sambil menahan kenop pintu agar tidak terbuka. "Ku mohon pergi!" kenop pintu kamar Sakura masih bergoyang digenggaman Sakura untuk beberapa saat dan tiba-tiba kenop itu berhenti bergerak. Sakura mendesah dan menempelkan telinganya di pintu, memastikan bahwa makhluk itu benar-benar sudah pergi.

Sakura mendesah dan jatuh terduduk di dekat pintu, dia bersandar di meja. Petir kembali membuat Sakura tersentak dan dia melihat kembali sekeliling kamarnya. Dan saat dia menoleh ke belakangnya, sosok itu menampakkan diri dan menganga, membuat mulutnya mebesar dan menakutkan, Sakura kembali menjerit. Kemudian sosok itu berubah menjadi seornag nenek-nenek renta yang masih sangat cantik.

Nenek itu tersenyum, Sakura mengatur nafasnya yang terengah-engah akibat aksinya.

Sakura mengandahkan kepalanya, dia masih bersandar di meja dapurnya. Dia menatap nenek yang barusan menakutinya dengan berubah wujud menjadi sangat manakutkan seperti tadi. "Ada apa nek?" ucap Sakura.

"Tolong bantu aku," nenek ini masih mengatupkan bibirnya, hanya Sakura yang mampu mendengar suara batin ini. "Tolong kau ambilkan buku tabungan yang aku letakkan di dalam laci lemariku."

"Lalu apa yang harus aku lakukan dengan buku tabunganmu, nek?"

Wajah nenek tersebut berubah sendu. "Tolong berikan buku tabungan itu kecucuku, kau bisa membantuku?"

Sakura mendesah, dia kembali mengandahkan kepalanya ke atas. Dia berpikir, kapan semua ini berakhir. Dia menatap nenek di sampingnya. "Baiklah nek, aku akan membantumu."

Nenek itu tersenyum. "Dan tolong sampaikan juga ini, nak…"

.

.

Dan di sinilah Sakura sekarang, di kediaman nenek bernama—Chiyo—yang baru meninggal kemarin malam, butuh waktu kurang dari dua jam perjalanan dari pusat Konoha ke rumah nenek tersebut. Sakura memasuki rumah dengan jas hujan terpasang di badannya. Suasana di rumah ini masih dalam masa berkabung. Ada beberapa orang yang berkumpul di sudut rumah menikmati sajian yang disediaakan di sini.

Sosok Sakura yang memakai jas hujan putih dengan hoodie yang terpasang di kepalanya membuat keluarga inti tersentak kaget saat melihatnya berdiri di depan rumah saat dia berbisik mengucapkan kata 'permisi'.

"Siapa anda?" tanya seorang pria tampan berambut merah yang lengan kanannya dibalut perban yang sangat banyak, ada dua gadis di belakang laki-laki ini. "Ada perlu apa?"

Sakura melihat ke dalam rumah dan menemukan foto nenek Chiyo yang sudah meninggal. Dia kembali menatap laki-laki di depannya. "Aku ingin memberikan titipan nenek Chiyo," mereka bertiga mendekat ke arah Sakura. kedua gadis itu tetap berdiri. Posisi rumah yang tinggi membuat Sakura berdiri, laki-laki yang bertanya tadi duduk bersimpuh di depan Sakura. "Nenek Chiyo menitipkan ini untuk diberikan padamu."

Laki-laki ini menerimanya dan memeriksanya sebentar, kemudian beralih menatap Sakura. "Apa ini, nona?"

"Bukalah sendiri."

Laki-laki itu membuka kertas pembungkus agar tidak terkena air hujan dan membuka buku yang ternyata adalah buku tabungan. Dia menganga melihat nominal di dalam tabungan itu. "lima belas juta yen?" ucapnya sambil membelalak matanya.

Kedua gadis di belakangnya yang berdiri dan melihat buku tabungan dari balik bahu laki-laki tampan bersulai merah darah dengan mata hazelnut yang memerah karena sehabis menangis. "Benar… ini lima belas juta yen, inikah yang disembunyikan nenek selama ini." Salah satu gadis berseru kaget.

Sakura memandang ketiga cucu nenek Chiyo. "Nenek kalian mengatakan padaku, uang itu untuk biaya pemakamannya dan untuk membayar semua hutangmu," Sakura menatap laki-laki bersulai merah darah itu.

"Nenek Chiyo…" bisik laki-laki itu.

"Ada pesan lain yang disampaikan nenek Chiyo ditujukan padamu," laki-laki itu menatap Sakura, dia menunggu. Sakura mendekat dan menarik kerah kemeja putih dan jas hitamnya, membuat laki-laki itu tersentak kaget. "Hei! Bocah nakal, kau, kau berhentilah bermain judi! Atau kau akan kuhampiri dan kupotong tanganmu sendiri! Degar itu… jangan berjudi lagi!"

Sakura mendorong laki-laki itu saat mengucapkan pesan nenek Chiyo dengan keras, membuat semua orang kaget melihatnya, Sakura menutup mulutnya dengan kedua tangan saat ketiga saudara itu menatapnya takut. "Itulah yang diucapkan nenek kalian." Kedua gadis yang berdiri mendesah lega.

Gadis itu merebut buku rekening yang digenggam laki-laki tadi, dia masih menganga karena terkejut mendengar ucapan Sakura. "Ini benar-benar buku rekening nenek?" ucap salah satu gadis berambut perak bernama Ryuuzetsu, dia memegang buku tabungan.

"Dan ini lima belas juta yen," ucap gadis lainnya, bernama Yome. "darimana nenek mendapatkan uang ini?"

Laki-laki tadi tersadar dan ikut berdiri, dia merebut kembali buku tabungan dari kedua gadis di depannya. Sakura menonton mereka. "Berikan padaku."

"Uang ini bergitu banyak, ini harus dibagi dua denganku. Sasori-nii." Ucap Ryuuzetsu menggebu, kedua orang yang berdiri di antaranya terkejut mendengar ucapannya.

"Apa maksudmu dengan membaginya?" ucap Sasori. Dia menjauhkan buku tabungan dari pandangan Ryuuzetsu. "Memang apa yang akan kau gunakan uang setengahnya, eh? Nenek menitipkannya padaku, bukan padamu. Kau bahkan tidak pernah peduli pada nenek."

Ryuuzetsu terperangah, dia memutar mata dan dia mulai marah, Sakura menjauh dari ruang inti. "Lalu kau gunakan apa uang itu, eh? Kau akan berjudi bukan?" tangan Ryuuzetsu beristirahat di pinggang. Sakura berjalan dan orang-orang yang masih hadir di acara pemakaman ini menyaksikan keributan keluarga inti. "Kau selalu kalah berjudi, setelah kalah kau menjual barang-barang dan juga mengambil depositku, aku bercerai juga karenamu!"

Sakura menoleh ke arah pertengkaran keluarga itu, bukan ini hasil dari kunjungannya ke sini. Sasori mendengus, "Kau menyalahkanku atas peceraianmu?!" Sasori menggeleng. "Itu bukan tanggung jawabku, Ryuuzetsu. Dan sekali kukatakan padamu, itu bukan kesalahanku!"

Sakura mengedarkan pandangannya, dia menemukan nenek Chiyo berdiri di gerbang rumah, dia menyaksikan cucunya yang saling bertengkar. Sakura menunduk lesu.

Teriakkan kembali terjadi. "Ini jelas salahmu, aku akan selalu menyalahkanmu, Sasori-nii!"

"Kalau kau menyalahkanku karena hal itu," Sakura mengintip dari bahunya. Sasori mengancungkan tangannya yang berbalut perban tadi. "Kau membuat jari-jariku terluka, kau lihat?!"

Ryuuzetsu kembali terperangah. "Jadi kau menyalahkan tanganmu terluka karena aku?" ucapnya sambil menunjuk dirinya dengan jari telunjuknya dan melotot ke arah Sasori. "Baiklah, kau boleh memukulku dengan tanganmu itu, ayo pukul, pukul aku!" dia menyondorkan wajahnya ke arah Sasori.

Sasori sudah mengangkat tangannya, tapi tidak memukul dan menjatuhkan tangannya kembali. "Kau… kau benar-benar keterlaluan!"

Yome, gadis berambut coklat itu menarik tangan Ryuuzetsu. "Kau juga melakukan kesalahan," Ryuuzetsu memandang gadis di samping. "Kau bahkan berteriak pada Sasori-kun."

Sakura kembali berbalik lagi, mulai berjalan pelan meninggalkan rumah yang seharusnya berduga justru menjadi panas karena aksi pertengkaran saudara. "Kau diam saja, Yome! Kau tidak seharusnya menyelamatkannya."

"Astaga, jadi kau mau Sasori-kun mati begitu? Untuk saat ini prioritaskan keselamatan Sasori-kun."

Sakura memandang nenek Chiyo yang masih melihat pertengkaran yang terjadi saat ini, Sakura semakin memasang wajah sedihnya. Nenek Chiyo mengangguk, mengisyaratkan bahwa ini tidak salah Sakura. gadis bersulai merah muda ini mengangguk, sang nenek juga mengangguk dan mengucapkan terima kasih yang hanya bisa di dengar di pikiran Sakura.

Nenek Chiyo berbalik dan perlahan menghilang.

"Aku sudah muak dengan semua ini, sudah cukup!" Sakura kembali melirik ke belakang. Ryuuzetsu sudah duduk dengan meronta-rontakan kakinya.

"Tenanglah!" ucap Sasori.

"Ini bukan salahnya, Sasori-nii," Yome memandang Ryuuzetsu, Sakura sudah berbalik dan berjalan cepat tapi suara mereka masih terdengar di telinganya. "Kau tidak pernah peduli pada kami, kau datang dan mengambil semuanya!"

Sakura mendengar Ryuuzetsu menangis, sudah cukup. Dia tidak mau dengar lagi, dia datang bukan bermaksud membuat suasana menjadi panas seperti ini. Dia hanya menyampaikan amanat yang diberikan nenek Chiyo padanya. Tugasnya sudah selesai dan sekarang waktunya kembali ke rumah.

Dan hujan masih turun dengan deras.


oOo


Sebuah mobil berhenti di sebuah rumah megah bergaya kuno yang terlihat sangat bagus dan masih kokoh berdiri di jajaran pepohonan asri di sekelilingnya, turunlah seorang pria tinggi tegap dengan setelah jas warna biru dongker, dia dipayungi oleh seorang laki-laki berambut perak.

Guntur masih berbunyi dan hujan semakin deras.

Pria ini berjalan dengan orang yang memayunginya. Dia mengetuk pintu rumah dan seorang pria paru baya membuka pintu dan mempersilakan pria muda ini masuk.

Pria bersetelan jas ini duduk berhadapan dengan pemilik rumah bernama—Namikaze Minato, dan pendamping pria tadi berdiri di sampingnya.

"Jadi… bisa kau jelaskan padaku kenapa kau membatalkan tanda tangan jual beli rumah ini, Namikaze-san?" suara berat dari pria bersetalan jas itu memulai percakapan dan dia langsung ke intinya.

Pria bernama Minato itu mendesah. "Aku sudah menjelaskan padamu lewat telepon tadi siang, Uchiha-san."

"Kau bilang di telepon, kalau ada roh orang mati di sini, di rumahmu ini, sekarang?"

"Itu benar," Minato mengangguk, dia melihat sekeliling rumahnya. "Istriku, dia sudah meninggal dan rohnya masih di sini sekarang," Minato melihat di balik bahu pria di depannya. "Aku memikirkan masa depan anak-anakku, sehingga aku menjual rumah ini. Tapi…" Minato menunduk dia meremas tangannya yang terletak di atas meja. "Ini bukan keinginan roh istriku, Uchiha-san."

"Tunggu sebentar, jadi kau ingin menjadi batu besar yang harus kuhilangkan untuk pembuatan lapangan golfku, Namikaze-san?!" suara berat pria ini naik beberapa oktaf.

Pendamping pria ini melihat sekeliling rumah, hujan masih deras dan sekarang disertai petir.

Mereka terdiam, pria bersetalan jas tadi duduk tegak. "Baiklah, Namikaze-san, mari kita berunding."

"Roh istriku masih di sini, Uchiha-san. Bagaimana aku menyuruhnya pergi begitu saja?"

"Roh orang mati itu… dia di sini, bukan?" Pria itu memggerakkan kedua tangannya yang berada di masing-masing sisi lututnya di bawah meja. "Kita lakukan perundingan ini bersama-sama." Kemudian dia membawa tangannya ke atas meja dan menautkan satu sama lain. "Roh itu bilang apa?"

Minato menunjuk sebuah bunga di atas meja di belakang pria berjas tadi. pendamping pria berjas tadi melihat ke arah belakang. "Dengan bunga itu, kau akan tahu nantinya, Uchiha-san," minato memandang pria di depannya yang menatapnya serius. "Itu bunga kesayangan istriku, mawar merah muda." Pria itu menoleh dan melihat setangkai bunga mawar merah muda tumbuh di pot kecil di samping tiga figura, salah satu figura ada foto seorang gadis cantik sendirian diletakkan berjajar dengan pot bunga tersebut.

Minato kembali melanjutkan ceritanya. "Saat aku memutuskan akan menjual rumah ini, tiba-tiba bunga ini menjadi layu. Dan saat aku memutuskan tidak menjual rumah ini, bunga itu kembali segar dan berdiri kokoh seperti sekarang itu."

Pria berjas itu kembali memandang Minato, "Jadi… istrimu berinteraksi denganmu melalui bunga itu maksudnya?" ucapnya sambil lalu. Terlihat pria itu tidak tertarik akan hal itu.

Minato mangangguk. "Benar."

Pria itu memukul pelan meja, raut jenaka terlukis di wajahnya saat ini. "Kalau begitu, yang harus kulakukan adalah berunding dengan mawar merah muda itu," pria itu tersenyum sejenak dan menolehkan kepalanya ke arah bunga mawar yang masih segar menghiasi meja itu.

Pendamping pria berjas tadi hanya memaklumi kekonyolan atasannya ini.

Pria tadi berdiri dan memandang mawar merah muda dan beralih ke foto seorang wanita cantik bersulai merah di belakang pot tersebut. Sasuke melihat sekeliling, mencari sesuatu dan di samping meja terdapat tempat penyimpanan barang dan salah satu alat ada yang membuatnya tertarik dan meningkatkan minat pria itu. Dia mengambil alat itu.

Gunting untuk memotong tangkai bunga.

Pria itu menggerakkan jarinya sehingga kedua sisi benda tajam itu bertemu, Minato yang memandang pria itu dengan dahi berkerut bingung. "Selamat malam bunga istri," dia mulai berbicara menghadap bunga mawar di depannya. "Tolong dengarkan baik-baik ucapanku ini dan beri tanggapanmu. Suamimu, Namikaze-san, tidak mau menjual rumahnya. Padahal perjanjian awal dia menyetujui untuk menjual rumah ini dan tiba-tiba dia membatalkannya, tapi aku harus membeli rumah ini dan apa benar yang dikatakan suamimu itu, kalau kau benar-benar tidak ingin dia menjual rumah ini padaku? Jika benar begitu, tolong anggukkan tangkaimu sekarang juga, jika tidak…"

Pria ini diam sejenak, Minato dan pendamping pria itu menunggu kelanjutan pria berjas ini. Dia bersandar mendekat ke bunga. "Jika tidak, aku akan memotong bungamu ini."

Minato membelalak matanya. "Apa yang kau maksud itu, Uchiha-san?!"

Pria itu mengangkat tangan kirinya yang bebas dari alat yang dipegangnya, dia menyuruh Minato diam, "Tidakkah kau lihat kalau aku sedang berunding dengan istrimu, Namikaze-san?" ucapnya sambil melirik ke arah Minato, dia menurunkan tangan kirinya dan menatap bunga mawar di depannya dengan mengarahkan gunting tadi ke tangkai bunga. "Aku akan menunggu dan menghitung sampai angka tiga."

Di antara sisi tajam dari gunting sudah ada tangkai bunga, Minato menatap pria di depannya dengan menahan amarah. "Satu…" Pria itu mulai berhitung, dia sambil menatap foto wanita cantik di dalam figura, "Dua…" dia kembali menghitung, tidak ada yang terjadi, bahkan di foto wanita itu. "Tiga…" dan mata wanita itu berubah yang semula berekspresi senang kini berubah marah, namun pria berjas tadi sudah memotong tangkai bunga mawar merah muda tadi.

Kelopak itu jatuh.

Minato marah dan berdiri dari duduk bersipunya tadi, "Apa kau gila?!"

"Kau yang gila," Pria itu menyela. "Kau membatalkan perjanjian dengan membawa-bawa orang mati, bukankah itu yang namanya gila?" ucapnya sambil mendekat ke pendampingnya, mengerti akan maksud atasannya, pendamping itu menyerahkan dokumen yang sedari tadi dia bawa. Pria ini melihat sejenak dokumen yang dia terima barusan. "Aku sudah memutuskan keinginan istrimu, dan sekarang kau harus memenuhi keinginan anak-anakmu yang masih hidup." Pria ini mengandahkan kepalanya dan menatap Minato yang sudah memerah karena marah.

"Tolong… tanda tangan di sini, Namikaze-san." Dia mengangkat dokumen di depan Minato dengan senyum miringnya.

Minato menatap pria di depannya dengan tatapan amarah, tangannya sudah terkepal disisi tubuhnya, dia merampas dokumen dari tangan pria itu dan menandatangani dokumen itu.

Pendamping pria tadi mengambil dokumen dan mereka berjalan ke arah pintu keluar, Minato ikut keluar masih dengan amarah yang kian meningkat, pria itu sudah dipayungi kembali dengan pendampingnya, mereka berjalan dan Minato berseru. "Dasar orang kaya brengsek!" pria berjas dan pendampingnya berhenti. "Kau mau percaya atau tidak dan terserah apa katamu, istriku benar-benar ada di sini!"

Pria berjas itu berbalik dan memandang Minato. "Dia tidak ada di sini," dia melihat sekeliling rumah. "Dan tolong sadarlah."

"Jika kau menganggap remeh hati seseorang dan meremehkannya dengan alasan kau tidak bisa melihatnya…" Minato menunjuk pria di depannya dengan marah. "Kau akan disambar petir!"

Pendamping pria itu mulai khawatir dengan ucapan Minato, pria berjas itu tersenyum. "Aku akan tetap melanjutkan hidup dengan baik, mengabaikan hal-hal yang tidak bisa kulihat. Jika yang kukatakan tadi adalah salah…" pria itu menyingkirkan tangan pendampingnya yang membawa payung untuk membuatnya tetap terlindung dari hujan, dan kini pria itu terkena hujan karena menjauhkan payung dari atasnya. "Maka aku akan disambar petir sekarang juga." Pria itu merentangkan kedua tangannya dan mengandahkan kepalanya ke langit, menerima jutaan tetesan air yang jatuh dari langit.

Dan ucapannya tadi bersamaan dengan suara guntur dan petir yang tidak mengenainya, pria itu menggerakkan kepalanya yang mengandah. Menanti sesuatu.

Pria itu tidak lagi mengandah dan menurunkan kedua tangannya, pendampingnya kembali memayungi atasannya ini, pria ini tersenyum. "Lihatlah… tidak ada petir yang mau menyambarku." Minato yang menatap keberanian pria di depannya semakin geram, apalagi ucapan penuh kesombongan yang keluar dari mulut pria itu. "Dan kau baru saja menandatangani dokumen penjualan rumahmu. Selamat!" Pria itu masih tersenyum dan bertepuk tangan sambil berbalik meninggalkan Minato.

Minato menatap tajam punggung pria berjas tadi. "Jika ada arwah gentayangan, aku pastikan mereka akan mendekati dan bahkan akan menemui orang sepertimu."

Pendamping pria berjas tadi melirik Minato dari balik bahunya, masih terlihat jelas kemarahan Minato dan mereka keluar dari halaman rumah itu dan masuk ke dalam mobil, pendamping itu menyalakan mobil dan mereka berjalan menjauh dari rumah itu.

Suasana sepi saat mereka menjauh dari kompleks tadi.

Pendamping tadi melirik atasannya dari spion atasnya. "Apa kau benar-benar tidak takut dengan hantu, Sasuke-sama?" tanyanya sambil menyetir ditengah-tengah hujan yang masih saja turun.

Pria berjas yang bernama Sasuke itu menyudahi aksinya yang melihat suasana dari balik jendela mobilnya, dia melirik pendamping atau bisa disebut sekretarisnya ini. "Tidak ada alasan untuk takut pada hantu, Kakashi. Dan kenapa aku harus takut hantu? Kalau hidupku saja sudah sangat menakutkan." Sasuke kembali melirik keluar jendela. Dan jawabannya ini membuat Kakashi tidak bisa membalasnya, Sasuke melirik dokumen di samping tempat duduknya. "Aku harus memastikan lagi kontraknya, tolong berikan rekamannya."

"A.. baik," Kakashi memberikan perekam suara pada Sasuke, "Aku sudah membaca seluruh dokumennya, dan sudah kusimpan di file nomor lima."

Sasuke menerima perekamnya dan memasang headphone sambil mencari file yang dikatakan Kakashi, dia mengeluarkan dokumen dari map dan mulai memplay perekam yang sudah dia temukan filenya tadi. Suara Kakashi terdengar, dan Sasuke melihat dokumen di depannya.

"Kontrak pembelian Uchiha corp Golf Course, penjual : Namikaze Minato, selajutnya sebagai Pihak Pertama." Sasuke melihat tulisan di dokumen dengan mata menyipit, karena tulisan itu bergerak-gerak sendiri saat dia mulai mencoba membaca dan mencerna makna dari dokumen itu berserta perekam dari Kakashi. "Pembeli : Uchiha corp, selanjutnya sebagai Pihak Kedua." Sasuke mengalihkan tatapannya dari dokumen keluar jendela, suara Kakashi masih berjalan di perekam suara. "Kesepakatan pembelian Pihak Pertama dan Pihak Kedua yang sudah disepakati adalah sebagai berikut:"

Hujan masih deras, dan ada seseorang yang berdiri di pinggir jalan mengenakan jas hujan berwarna putih. Kakashi yang menyetir menyipitkan mata saat melihat sosok itu.

"Apa itu? Apa dia manusia?" ucapnya, Sasuke mengalihkan perhatiannya dari samping jendela ke depan, sosok itu melambaikan tangan saat ada cahaya lampu yang menerpanya. "Sepertinya dia butuh tumpangan, apa sebaiknya aku berhenti, Sasuke-sama?"

Sasuke kembali melihat dokumennya. "Tidak, teruslah berjalan saja."

Kakashi mengalihkan tatapannya dari spion atas dan menatap depan, dia tetap melajukan mobilnya dan tidak menghentikannya sampai melewati sosok yang masih melambaikan tangan. Mobil itu melewatinya dan sosok itu berwajah sedih.

Kakashi melihat melalui kaca spion samping, ada perasaan tidak enak karena tidak memberikan tumpangan ke sosok yang terlihat seperti seorang perempuan. Dan saat dia menatap depan lagi, dia tiba-tiba menginjak rem dan mobil berhenti mendadak, membuatnya dan Sasuke terhuyung ke depan.

"Kakashi, ada apa?"

Kakashi masih menatap depan sambil menggeleng. "Tidak, aku tadi melihat pohon Sakura di depan dan tahu-tahu tidak ada di sana, apa tadi hanya halusinasi?"

Sasuke menatap depan, memperhatikan pohon Sakura yang berjejer rapi di setiap pinggir jalan. Dan saat dia menoleh ke samping. "Astaga!" dia terlonjak kaget melihat sosok putih berdiri di samping mobilnya.

Pintu mobil dibuka dan dia memasukki mobil. "Terima kasih sudah mau menghentikan mobilnya." Sasuke sudah bergeser ke samping saat gadis ini tiba-tiba masuk tanpa permisi. Kakashi menatap gadis itu dengan wajah panik, dia tidak bermaksud menghentikan mobilnya dan tidak mendengar perintah Sasuke dan jika memungkinkan dia juga berharap bisa memberi tumpangan ke gadis yang berkeliaran di tengah malam ini, ditambah sedang hujan lebat sekarang.

Gadis itu melepas hoodie jas hujan dan tersenyum ke Kakashi. "Kukira kalian tidak melihatku karena itu kalian terus melaju dan tidak akan memberiku tumpangan."

Sasuke menatap gadis di sampingnya, dia adalah Sakura, dia butuh tumpangan setelah dari rumah nenek Chiyo dan beruntungnya dia menemukan seseorang yang mau memberinya tumpangan ke Konoha. Kakashi menatap Sasuke. "Bagaimana?"

Sakura menatap Sasuke dengan menangkupkan kedua tangannya di dada sambil tersenyum. Mungkin kedinginan. Sasuke masih menatap Sakura, dia menarik pembatas di tengah kursi penumpang, kemudian menatap Kakashi. "Teruslah berjalan."

Kakashi menoleh ke depan lagi sambil tersenyum, begitu juga dengan Sakura, terlihat sangat bersyukur dia. Kakashi kembali menjalankan mobil.

Sasuke masih memegang dokumennya sambil menatap keluar jendela, suasana masih sunyi. Kakashi menatap Sakura dari balik kaca spion di atasnya. "Apa yang membuatmu keluar dicuaca seperti ini, Nona?" Kakashi bertanya, Sasuke menatap Kakashi seolah membiarkan sekretarisnya ini.

Sakura membuka kancing dari jas hujannya. "Tadi ada seorang bibi menemuiku." Jawab Sakura masih dengan membuka setiap kancing jas hujannya, Sasuke melirik ke arah Sakura, ikut mendengar ceritanya.

"Kenapa bibi itu datang di saat seperti ini? Dia seperti hantu." Kakashi menanggapi dengan guruannya.

Sakura tertawa pelan. "Sepertinya memang dia hantu," dia menoleh ke Sasuke. "Dia memberitahuku, meskipun kau bisa menghindar dari petir, kau tidak akan bisa menghindariku." Sakura kembali menatap depan dan Sasuke manatap Sakura seolah ucapannya tadi adalah sindiran untuknya, benarkah? Sakura sudah melepas jas hujannya. "Dan kurasa dia benar."

Suasana kembali hening, Sakura memperhatikan sampingnya, dia menghisap bibir bawahnya. "Tapi…" Sakura bersandar ke depan. Sasuke melihat gerak-gerik Sakura. "Apa kalian akan menuju Konoha?"

"Benar." Ucap Kakashi, "Tidak!" ucap Sasuke, mereka berucap bersamaan, Sakura menatap keduanya secara bergantian, saat bertemu tatap dengan Sasuke, dia beringsut ke tempat duduknya.

Sasuke menatap Kakashi. "Turunkan dia di suatu tempat." Ucapnya sambil membenarkan tempat duduknya dan melihat keluar jendela.

Kakashi mengangguk, "Baik, Presedir."

Sakura mendesah dan menatap ke sampingnya, dia mungkin memaklumi pemuda di sampingnya ini. Dia sudah bersyukur ada yang memberinya tumpangan, kemudian pandangannya teralih saat melihat dokumen yang dipegang Sasuke, dia melihat gambar logo kipas angin di sana, warna merah di atas dan putih di bawah, dia tahu logo itu. "Mall Uchiha? Kau pimpinannya, Presedir?" ucap Sakura sambil menunjuk dokumen.

Sasuke yang melihat tangan Sakura menghalangi dokumen dari pandangannya, terlebih karena tangan gadis ini berada di atas tangannya membuat Sasuke merasa terganggu. Dia menyinggirkan tangan kanan Sakura yang mengacung tadi dengan tangan kanannya. Dan tiba-tiba sengatan terasa saat tangan mereka bersentuhan.

Mereka tersentak, terlebih Sasuke menatap kaget kejadian barusan sambil menatap tangannya, dan Sakura terperangah membuat Kakashi melihat kedua orang berbeda gender ini melalui kaca spionnya.

"Apa kau merasakannya tadi?" ucap Sakura sambil mengusap tangannya yang bersentuhan dengan Sasuke. "Tadi rasanya geli."

Sasuke memalingkan wajahnya. "Tidak!"

Kakashi masih melirik mereka dari kaca spion. "Oh, tapi aku merasakannya, dan rasa geli tadi itu kuat sekali. Apa kau tidak merasakan geli?" Sakura melotot ke Sasuke masih mengusap-usap tangannya. Berusaha membuat Sasuke percaya dengan ucapannya.

Sasuke mendesah dan dia menatap Sakura. "Tidak sama sekali!" serunya.

Sakura diam dan dia menutup mulutnya, kemudian menunduk. Sasuke melirik Sakura yang sedang merapikan rambutnya yang masih basah karena air hujan tadi. rambutnya semakin kusut, ditambah semakin lepek. Sasuke melihat tangan kanananya. Dia sebenarnya juga merasakan sengatan tadi.

Tapi tidak mau mengaku.

Sakura cemberut karena ternyata hanya dia saja yang merasakan sengatan geli tadi, dia menatap Sasuke dan bertanya ke Kakashi. "Apa mungkin Mall Uchiha itu benar-benar tempat pembelajaan yang besar?" Sasuke kembali melirik Sakura yang masih mengoceh, dia mengatupkan bibir. "Begini, aku tinggal di dekat sana. Jika kau akan ke sana…"

"Di depan sana ada persimpangan, bukan? Kau turunlah di sana." Sasuke menyela ucapan Sakura sambil menatapnya dengan kilatan onyx miliknya.

Sakura menghisap bibir bawahnya, mengangguk dan menundukkan kepala. Dia tidak bisa membalas ucapan pria di sampingnya, karena pria ini yang memegang kendali. Dia mendesah. "Baiklah, kalau begitu." Sakura tersenyum, setidaknya dapat tumpangan gratis. Tidak masalah baginya. Sasuke yang semula menatap gadis ini beralih memandang depan lagi. dokumen sudah terlupakan.

Sakura mengalihkan pandangannya dari bawah kursi ke depan, dan sosok pria tinggi muncul di depan mobil dan dia terlonjak kaget sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hal itu membuat Kakashi kaget dan dia menginjak rem, mobil menabrak pria tinggi yang dilihat Sakura tadi, tapi pria itu tidak terpental dan justru tertembus ke dalam mobil.

"Tolong jalanlah terus, kumohon jangan berhenti!" Sakura merancau dalam kata-katanya, tubuhnya gemetaran hebat.

Sasuke dan Kakashi menatap Sakura yang masih menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Nona, ada apa?" tanya Kakashi sambil menyerongkan tubuh menatap Sakura. Tubuh Sakura masih gemetaran, dia masih menutup wajahnya tidak mau membuka. Sasuke menatapnya bingung. "Nona…"

Sakura menarik nafas, dia menghelanya berlahan dan dia mulai menurunkan telapak tangan yang menutupi wajahnya secara perlahan. Dan saat matanya tidak tertutup lagi. sosok pria tinggi tadi menatap Sakura intens dan hanya Sakura yang bisa melihat pria itu, kembali Sakura berseru sambil menutupi wajahnya ke belakang tangan Sasuke. Dia memegang tangan Sasuke yang sejak tadi mengabaikan Sakura yang bertingkah seperti orang aneh. Ini membuatnya kaget juga.

Sakura yang masih memegang tangan Sasuke menatap kursi penumpang di samping Kakashi dan sosok pria tinggi tadi hilang, membuat Sakura kebingungan, Sakura melihat ke kanan dan ke kiri, tapi sosok itu tidak ada. Dia hilang.

Tangan kiri Sasuke terangkat, dia mulai kesal. Dia menyentuh pelipis Sakura dan mendorongnya menjauh, sehingga genggaman tangan Sakura di tangan Sasuke terlepas. Sakura menunduk dan menyibakkan rambutnya ke belakang telinga, Sasuke menatap tajam Sakura sambil membersihkan jari telunjuk yang dia buat untuk menyingkarkan Sakura tadi.

Kakashi mendesah dan melajukan mobil kembali, mereka berjalan beberapa menit dan berhenti di pom bensin, Sakura keluar dari mobil, berjalan ke tempat kafetaria dan duduk di kursi yang sudah di sediakan sambil mengaitkan kedua tangannya di atas paha. Dia merenungkan sesuatu saat ini. Sasuke dan Kakashi ikut keluar juga, Kakashi mendekati Sakura sambil membawa minuman hangat.

"Kau baik-baik saja, Nona?" ucap Kakashi sambil meletakkan gelas plastik berisi minuman hangat ke arah Sakura.

Sakura mengangguk sambil tersenyum. "Ya, aku baik-baik saja, terima kasih." Ucapnya sambil menerima gelas tadi. Sakura ingin meminum minumannya, tapi dia menghentikan gerakkannya dan menaruh kembali gelas tadi dan dia berdiri. "Aku permisi sebentar." Dia membungkuk sebentar dan berlalu meninggalkan Kakashi, Sasuke menatap Sakura dengan tangan dimasukkan ke saku celana.

Sambil melihat punggung Sakura yang menjauh, Sasuke mendekat ke Kakashi. "Di situasi kebingungan saat gadis itu berteriak, kita harus membawanya ke sini. Dia sengaja bukan? Karena dia tahu aku menyuruhnya turun."

"Kelihatannya bukan begitu," Kakashi ikut menatap Sakura, laki-laki yang lebih tua dari Sasuke ini seperti tahu ada sesuatu yang disembunyikan dari Sakura. "Apa yang membuatnya takut seperti tadi? dia seperti melihat sesuatu." Sasuke menatap Kakashi, kemudian beralih menatap ke Sakura lagi.

Dan ini memangganggu pikiran Sasuke.

Sakura sendiri berada di dalam ruangan, memikirkan kejadian yang dialaminya. Dia melihat ke tangan kanannya yang tadi bersentuhan dengan Sasuke, dia mengingat-ingat kenapa hantu pria tinggi tadi menghilang setelah dia menyentuh Sasuke. Dan saat memikirkan hal ini, ada sesosok berdiri di belakang Sakura, dia bisa merasakannya, karena sekarang tengkuk lehernya merinding.

Dia melirik dari bahunya, Sakura meringis sambil menangkup kedua tangannya di dada. Dia kembali bergumam. Mau tidak mau Sakura harus menuruti permintaan pria tinggi ini, atau tidak dia akan selalu dihampiri dan dia tidak akan tenang. Dia berbalik dan menemui sosok pria tinggi yang sudah menakutinya di mobil Sasuke dan melibatkan orang lain dalam hal ini.

Sasuke yang mulai memikirkan ucapan Kakashi berjalan cepat menyusuri jalan di sekitar kafetaria, dia mencari sosok merah muda yang sudah membuatnya tidak tenang. Dia berjalan dengan buru-buru dan saat sampai di taman, kakinya terhenti saat melihat sosok yang dia cari sedang berjongkok di jalan setapak di tengah taman. Sasuke menajamkan tatapannya dan dia menemukan gadis itu menuangkan sake ke dalam gelas plastik.

"Apa yang dia lakukan?" gumam Sasuke.

Dia masih melihat Sakura sudah selesai menuangkan sakenya. "Kau bilang, kau mengalami kecelakaan setelah minum?" Sakura berbicara sendiri, tidak ada seseorang di depannya, Sakura memeluk lututnya masih berjongkok. Raut wajahnya terlihat sedih. "Kenapa kau bisa minum setelah kejadian itu. Aku benar-benar tidak mengerti."

Sasuke menganga dan menoleh ke arah kanan dan kiri, dia mencari seseorang yang mungkin sedang diajak Sakura berbicara, dia masih setia memperhatikan keanehan Sakura saat ini. "Tidak, aku tidak mau, dan tidak apa-apa. Aku tidak bisa minum sekarang, maaf." Sakura menunduk sambil melambaikan tangan. Seolah tidak mengingankan sesuatu.

Mulut Sasuke yang tadi menganga kini terperangah dan dia mendengus sambil menggelengkan kepala. Sia-sia dia mencari gadis ini jika kenyataannya membuatnya ingin segera enyah dari tempat ini. Tapi dia masih memperhatikan Sakura, dan gadis itu mengambil gelas plastik di depannya dengan tersenyum masam. Sakura memajukan sedikit gelas tadi dan membawanya ke depan mulutnya, Sakura hanya meminum sedikit dan dia menaruhnya kembali ke tanah.

Bibir Sasuke mengatup dan dia masih menggeleng melihat kelakuan Sakura. "Tidak masalah, aku juga belum menikah." Sakura kembali memiringkan kepala dengan lutut masih dipeluknya. Ekspresinya berubah sedih, dan detik kemudian dia tersenyum sampai tertawa kecil sambil memegang wajahnya. "Aku cantik?" ucapnya masih tertawa. Sasuke ngeri melihat itu, "Sungguh?" Sakura kini tertawa lepas, dia menutup mulutnya saat tertawa. Dan saat tertawa, dia melihat Sasuke dan dia berhenti tertawa.

Sasuke yang ketahuan melihat, langsung berbalik dan meninggalkan Sakura. "Uh… Tunggu, Presider!" Sakura berdiri dari jongkoknya dan menyusul Sasuke.

Sakura berjalan cepat menyusul Sasuke yang sudah berjalan di depannya, dan pria ini mengabaikan seseorang yang berjalan mengikutinya. "Jangan mengikutiku, pergilah." Sakura berbicara dengan sesosok yang mengikutinya di belakang, dia menoleh saat berjalan dengan sosok itu. Sosok itu malah melambaikan tangan, menyuruh Sakura untuk berhenti.

Sakura semakin berjalan cepat karena takut, dia tidak sadar kalau Sasuke berjalan pelan saat ini. "Sudah kukatakan jangan mengikutiku, pergila—" Sakura berhenti karena menabrak Sasuke dan sosok yang mengikutinya alias hantu pria tinggi tadi hilang saat Sakura menyentuh Sasuke, dia menatap Sasuke lalu memandang belakangnya, Sakura melalukan hal itu sampai ketiga kalinya, dan sosok itu benar-benar tidak ada.

"Dia tidak mengikutiku lagi." Sasuke menoleh ke Sakura, dan Sakura menatap Sasuke. "Dia tidak mengikutiku lagi dan dia pergi." ucapnya, dia menatap tangannya yang memegang lengan Sasuke, dia menekan telapak tangannya ke lengan Sasuke.

"Kau tahu?" bisik Sasuke, Sakura memandang pria yang bisa dikategorikan sebagai pria tampan ini. "Ada dua hal yang benar-benar kubenci, yang pertama, seseorang yang menyetuh uangku dan yang kedua, seseorang yang menyentuh tubuhku. Aku bahkan sudah memotong setangkai bunga karena menyentuh uangku, dan apa yang harus kulakukan saat tangan ini…" Sasuke menatap tangan Sakura, tangan itu masih memegang lengannya. "Saat dia menyentuh tubuhku."

"Oh…" Sakura menarik tangannya dan menangkupkannya di depan mulut. "Maafkan aku jika aku membuatmu merasa tidak nyaman," ucapnya berbisik sambil menunduk dan kemudian dia mengandahkan kepalanya. "Aku melakukannya karena ada paman yang mengikuti terus, dia menakutiku juga." Sakura kembali menunduk, dia bermain dengan tangannya yang saling bertautan.

Sasuke memiringkan kepala, melihat ke belakang Sakura. "Aku tidak melihat apa-apa."

Dan tiba-tiba Sakura kembali memegang tangannya sambil melihat ke belakang, Sasuke melebarkan mata saat gadis ini melakukan hal itu lagi kepadanya. "Dia tadi ada di sini, di belakangku dan mengikutiku," Sakura menatap tangan Sasuke dan menekan kembali telapak tangannya ke lengan Sasuke. "Dan saat aku menyentuhmu seperti ini, dia menghilang." Sakura kembali memeriksa ke belakangnya, mengabaikan Sasuke yang mulai geram dengan kelakuan Sakura. "Tapi kurasa dia masih mendengarkan kita, aku merasakan punggungku sangat geli."

Sasuke mendesah. "Hantu bibi itu…" ucapan Sasuke membuat Sakura menoleh ke arahnya, dia menyinggung tentang bibi yang membahas masalah petir tadi dan Sakura mengangguk. "Apa dia berteman dengan paman yang mengikutimu?" Sakura mengedipkan matanya, dia mulai berpikir tentang hal itu, Sasuke meluruskan tubuhnya ke arah Sakura. "Kau pergilah minum dengan mereka berdua."

Sakura tersenyum sambil melihat di sekelilingnya. "Tapi… mereka sudah tidak ada di sini, dan kurasa ini berkat dirimu di sini." Sakura menatap lengan Sasuke dan mengusapnya pelan.

Sasuke menghisap bibirnya dan mendesah. Senyum licik keluar dari bibir Sasuke. "Dan lagi, aku punya kemampuan khusus untuk menghilangkan bahkan menyingkirkan gangguan yang melekat," ucapnya dalam, masih tersenyum menyeringai. Sakura tampak tertarik dan dia menaikkan alisnya. "Apa kau mau lihat?" Sakura dengan semangat mengangguk.

Kakashi datang dengan membawa mobil, Sasuke melihat sejenak ke arah Kakashi dan beralih menatap Sakura. dia membawa tangannya memegang pergelangan tangan Sakura yang masih memegang lengannya, Sasuke kemudian melepasnya. "Kau lepaskan tangamu… dan tetaplah di sini." Sakura mengangguk dengan tersenyum, mendengar penjelasan Sasuke yang terlihat serius itu. "Jangan takut dan perhatikan dengan teliti dan seksama." Setelah mengucapkan itu Sasuke tersenyum sebentar dan berbalik menuju mobilnya.

Sasuke memasuki kursi belakang dan mobil melaju pergi.

Sakura yang masih tersenyum memandang Sasuke mulai menghilangkan senyumnya. "Hei!" Sakura berjalan menyusul Sasuke, tapi Kakashi sudah melajukan mobilnya. Sakura berlari kecil masih melambaikan tangan.

"Dia mengikuti kita, Sasuke-sama." Ucap Kakashi sambil melihat kaca spionnya, dia kemudian menatap Sasuke ke kaca spion di atasnya.

"Biarkan saja, dia gila dan lanjutkan perjalanannya, Kakashi."

Sakura mendesah saat mobil semakin menjauh dan tidak berhenti, dia menunduk dan wajahnya semakin sedih.

Sasuke mendesah lega setelah terhindar akan gangguan yang membuatnya naik darah, dia mengalihkan perhatiannya dari jendela ke arah sampingnya, dia melihat jas hujan warna putih tergeletak di kursi penumpang. Dia menyingkirkan jas hujan itu dan menemukan kelopak bunga mawar merah muda yang pernah dia lihat, di rumah Namikaze Minato, bunga yang sudah dipotongnya. Dia mengambil bunga itu, dan ucapan Sakura terulang kembali diingatannya.

"Dia memberitahuku, meskipun kau bisa menghindar dari petir, kau tidak akan bisa menghindariku. Jadi itulah sebabnya aku berada di sini."

.

.

.

.

.

.

.

.

=To be Continued=


Holla….

Indah membawakan cerita baru nih…

Ini remake dari salah satu DraKor favorit indah, yang udah nonton pastinya sudah tahu.^^

Bagaimana dengan epilogue ini? Minta pendapat teman-teman semua… Mau dilanjut atau tidak?

Sekian chit chat indah…

Dan ingat, tolong tulis pendapat kalian di kolom review…

Terima kasih^^