Hello, Mint here, I'm only here to post Vanilla's story. Blame her for any typos, LOL.

There, enjoy.

She own nothing, also, I own nothing including this story.


Fifteen

Lonceng sekolah berbunyi, menandakan bahwa sudah saatnya para murid masuk ke kelas dan memulai jadwal belajar mereka. Kecuali, lima orang bocah dengan rambut bak pelangi yang malah berdiam diri diatas atap sekolah SMA Teikou.

"Aominecchi, bagaimana ini? Kurokocchi-sensei pasti akan marah karena kita tidak masuk ke kelas." ujar seorang anak lelaki dengan rambut kuning terang. Mata berwarna cokelat madunya menatap pintu besi yang berada di tengah bangunan itu. Sedangkan anak lelaki lain yang memiliki surai biru kehitaman hanya mendengus kesal. Si pirang hanya menyikut pria disebelahnya dengan perasaan dongkol. Bagaimana ia bisa bersikap dengan sangat tenang saat guru favorit mereka akan sangat marah karena mereka tidak mengikuti pelajaran, melainkan berkumpul di atap tanpa alasan yang jelas.

"Ayolah, Kise. Tetsu-sensei tidak akan bisa marah. Kita tidak pernah bolos satu pun mata pelajaran sebelumnya. Hanya hari ini. Lagipula, kita tidak bisa bertemu dengan sensei tanpa kena demam, 'kan?" anak lelaki yang disikut oleh si pirang menyahut dengan nada bosan. Ia membaringkan tubuhnya diatas lantai keramik putih yang berada di atap sekolahnya. Lantai yang dingin membuatnya sedikit mengantuk. Ia pun menguap dan hendak tertidur, tapi..

JLEB

-sebuah gunting kecil berwarna merah melayang tepat disamping telinganya. Menancap tegak pada keramik yang tak berdosa. Aomine bersumpah ia akan melihat lubang disana pada keesokan harinya. Ia mendudukan diri dengan tergesa dan kepalanya pun berputar karena terlalu cepan membuat gerakan. Ia menoleh dan mendapati anak lelaki lain dengan rambut merahnya, sedang menatap kesal kearah anak yang memiliki kulit lebih gelap dari empat yang lain.

"Jangan coba-coba tidur, D-A-I-K-I. " si surai merah berujar dengan ancaman di setiap kata. Membuat empat orang lain bergidik ketakutan, ralat, hanya tiga, karena satu diantara mereka, pemilik surai ungu masih sibuk dengan camilan yang berada di genggamannya. "Aku mau kalian duduk membentuk lingkaran. Aku ingin mencari tahu apa kalian selalu kena demam saat berhadapan dengan Tetsuya-sensei." dan seketika, anak-anak berambut pelangi itu duduk membentuk sebuah lingkaran kecil.

"Aka-chin, aku terkena demam saat Kuro-chin-sensei menggandengku." si anak berambut ungu bergumam pelan. Si pemilik surai merah yang dipanggil Aka-chin,-nama panjangnya Akashi Seijuuro, hanya mengangguk pelan dan melirik ke arah ke anak dengan kacamata yang memiliki gumpalan rambut berwarna hijau, mata heterokromatiknya seakan meminta jawaban.

"Kena demam saat Kuroko-sensei memberi barang keberuntungan minggu kemarin." Si surai hijau menunjukan sebuah buku kecil dengan sampul biru muda bertuliskan 'Kuroko Tetsuya' yang menjadi barang keberuntungannya minggu lalu. Sebuah journal berwarna biru muda. Dan lagi, si pemilik mata emas dan merah itu mengangguk lalu memutar kepala ke arah si pirang yang tengah gelisah. Terlihat ada genangan air mata pada kelopak bawah matanya dan wajahnya berkerut seakan hendak menangis.

"Ryouta." panggilnya dan anak itu langsung menghapus genangan air yang berada pada matanya.

"Aku takut, Akashicchi." ujarnya. Namun ia tercekat saat si kepala merah menatapnya dengan tatapan mengancam. "U-um, a-aku kena demam saat Kurokocchi-sensei bilang foto-fotoku bagus." ia menjawab dengan kepala tertunduk. Akashi yakin, si pirang tengah menahan tangisannya.

"Daiki."

"Huh, merepotkan. Aku kena demam saat Tetsu-sensei bermain basket denganku, walaupun dia tak bisa mengalahkanku." Aomine menjawab dan menatap si kepala merah. "Bagaimana denganmu?"

"Aku.."

"Ya?"

"Kena demam saat Tetsuya-sensei menciumku."

"APA?!"

"Di kening."

Dan seketika, keempat anak lainnya menghembuskan nafas lega. Tapi, seorang Akashi Seijuurou mendapat sebuah ciuman oleh guru favorit dan kesayangan mereka, siapa yang tidak cemburu?

Disaat mereka hendak melanjutkan diskusi mereka, seseorang membuka pintu besi menuju lantai bawah dengan keras. Wajah kelima anak lelaki itu berubah tegang saat sosok yang mereka kagumi kini berjalan kearah mereka dengan alis berkerut tanda marah.

"Akashi-kun, Murasakibara-kun, Midorima-kun, Aomine-kun, dan Kise-kun. Maukah kalian menjelaskan kenapa kalian tidak masuk kelas dan membolos dari pelajaran pagi ini?"

Mereka bersumpah bahwa mereka tidak akan membuat guru kesayangan mereka marah lagi.''


Kuroko Tetsuya, seorang guru yang mengajar di SMP dan SMA Teikou selama beberapa tahun ini adalah guru kesayangan lima orang murid paling berprestasi yang selalu dijuluki Generation of Miracles oleh murid-murid lain, dan juga guru lain. Sudah tiga tahun ia mengajar di SMP Teikou, dan sudah tiga tahun juga ia bertatap muka dengan lima orang murid berambut bagai pelangi itu. Kini, ia kembali mengajar di SMA Teikou, dan tebak apa? Ya, ia bertemu kembali dengan lima murid yang sangat menyayanginya itu.

Hari ini adalah upacara penyambutan murid baru lalu dilanjutkan dengan para murid belajar seperti biasa. Walaupun waktu belajar mereka belum maksimal dan akan berakhir hanya dengan sesi perkenalan. Tapi itu bukan alasan kelima murid istimewa itu membolos dari hal biasa itu. Bagi Kuroko, perkenalan adalah hal terpenting yang harus dilakukan agar bisa lebih akrab antara satu dengan yang lain. Jujur, saat kelima muridnya membolos, ada perasaan marah dan kecewa yang membuncah dalam dada Kuroko.

Tapi ia hanya bisa menghela nafas. Disini mereka sekarang, di dalam ruang kerja khusus untuk Kuroko. Ia menatap kelima muridnya yang tengah menundukan kepala tanda mereka amat sangat menyesal. Kise hanya bisa menangis sembari menggenggam erat bahan sweaternya. Ia terus mengulang permohonan maaf pada sang guru, padahal Kuroko sudah memaafkan mereka beberapa menit lalu setelah ia mendengar penjelasan mereka.

"Jangan diulang lagi, ya." akhirnya ia angkat bicara, berusaha menenangkan murid-muridnya yang masih bertingkah layaknya murid sekolah dasar ketimbang murid SMA yang baru saja masuk semester baru. Ia tersenyum saat Kise menghentikan tangisannya dan segera memeluk guru yang lima belas senti lebih pendek dari si pirang.

Kuroko merasa tulang-tulangnya diremuk oleh si pirang yang kenyataannya memang jauh lebih besar dari si guru sendiri. Ia selalu bertanya-tanya, suplemen apa yang murid-muridnya konsumsi sehingga mereka lebih tinggi melampaui standar anak umur lima belas tahun. Setidaknya, Akashi adalah satu-satunya murid yang memiliki tinggi badan normal. Tingginya dan Akashi hanya berbeda empat senti. Akashi memiliki tinggi badan 174 cm, sedangkan dirinya 170 cm. Yah, Kuroko mengakui dia sangat pendek untuk ukuran pria dewasa berumur dua puluh delapan tahun.

Apa boleh buat. Mungkin ia akan minta Aomine mengajarinya main basket.


"Kurokocchi-sensei sangat manis saat dia tersenyum." gumam Kise sumringah setelah memeluk Kuroko dan mereka dibubarkan untuk kembali ke kelas masing-masing. Si pirang tidak menyadari adanya ancaman dari tatapan keempat temannya, terlebih lagi yang memiliki surai merah dan warna mata berbeda. "Ah! Pelajaran di kelasku sudah mulai! Sampai nanti ya, semuanya!" ia berlari menuju kelasnya yang berada di lantai satu. Midorima, si pemilik surai hijau mengikuti si pirang dari belakang. Kelas mereka bersamaan, dan Midorima harus bertahan dengan segala ocehan Kise nanti.

Tiga anak lain hanya mengendikkan bahu dan berjalan ke kelas mereka masing-masing.

Kehidupan SMA mereka pun dimulai.


AN :

Aomine Daiki 190 cm, Murasakibara Atsushi 198 cm, Midorima Shintarou 195 cm, Kise Ryouta 185 cm
, Akashi Seijuuro 174 cm, Kuroko Tetsuya 170 cm.

Reviews are welcomed.