Selain plot cerita, adalah bukan kepemilikan saya.
Pair: HunHan
Judul:
You're everything I've been looking for
.
Aku menatap lembar ujian di tanganku. 100. Nilai yang sempurna lagi. Sedah bisa kutebak sejak menatap soal ujian kala itu. Bukannya sombong atau apa, mungkin guru itu harus dibayar lebih untuk membuat soal yang lebih sulit. Yang membuatku heran, kenapa teman-teman sekelasku masih sibuk mengeluh kesulitan dengan soal ujian itu. Mungkin mereka harus lebih banyak belajar.
Dengan nilai sempurna itu, aku bisa lebih bersantai di sisa semester kedepan lalu kemudian naik ke kelas 3. Ya, aku sekarang duduk di kelas 2. Baru satu tahun enam bulan yang lalu aku menginjak sekolah ini, bahkan kota ini yang beribu kilo jauhnya dari kampung halamanku. Aku lahir dan besar di Beijing, China. Kenapa aku repot-repot bersekolah di Seoul, Korea Selatan? Jawabannya karena selain kualitas pendidikan yang lebih baik disini, aku juga perlu belajar mandiri. Lagi pula, kemampuanku berbahasa asing tidak boleh disia-siakan. Satu lagi, aku suka selera music negara ini.
Namaku Xi Luhan. Remaja normal, yang sedang menuntut ilmu. Tinggiku rata-rata. Sedikit kurus, dengan rambut kecoklatan. Wajahku tampan, manly. Entah kalian mau percaya atau tidak. Yang jelas aku cukup punya banyak fans di sekolah ini. Dan yang terbaik dariku, adalah otakku yang cerdas ini. Tiap tahun aku selalu juara umum, mengalahkan ratusan siswa lain seangkatanku.
Meski menurutku masih ada yang lebih pintar dariku, misalnya saja siswa yang biasanya duduk di sebelahku. Ia pintar, tapi sedikit nakal. Pintar karena di usianya yang lebih muda 4 tahun, ia bisa sekelas denganku, akselerasi katanya. Nakal karena sejak kejadian bulan lalu ia tidak pernah masuk bersekolah. Mungkin kalian penasaran dengan kejadian itu?
Bulan lalu, ia sempat memukuli 3 kakak kelas dan membuat mereka masuk rumah sakit. Alasannya? Katanya ia hanya sedang badmood dan ingin memukuli seseorang. Sungguh tidak logis alasannya itu dan dia itu sudah keterlaluan memukuli sunbaenya. Orang-orang tidak berhenti membicarakan kejadian itu, gara-gara bekas pemukulan misalnya jejak darah masih tertinggal di TKP. Tapi gara-gara kejadian itu ia diskors. Sekarang orang-orang takut mendengar namanya, Oh sehun.
Sepulang sekolah, aku harus bekerja. Aku memang masih dibiayai orangtuaku. Tapi kiriman bulanan dari mereka hanya cukup untuk membayar apartemen sederhana yang kutinggali sekarang beserta kebutuhan makanku sehari-hari. Alhasil, untuk uang jajan dan sebagainya, aku memilih bekerja paruh waktu. Dan berita buruknya, aku baru saja dipecat dari minimarket tempatku bekerja kemarin.
Rencananya, aku akan pergi melamar pekerjaan lainnya siang ini. Aku melihat iklan lowongannya di Koran. Tempatnya tak jauh dari sekolah, meski bersimpang jalan dari apartemenku. Tapi, setidaknya gaji bulanan yang dijanjikan lumayan untuk ukuran siswa sepertiku. Pekerjaannya juga tidak sulit, hanya menjaga sebuah game center. Dan kesanalah aku sepulang sekolah.
Tempatnya tampak lumayan dari luar. Sebuah ruko lumayan besar bercat hijau dengan spanduk-spanduk bergambar karakter game yang menyambut. Kulangkahkan kakiku memasuki tempat itu. Lumayan berisik begitu masuk ke ruangan utamanya. Ruangan itu luas, yang terbagi dengan bilik-bilik kayu yang masing-masing di dalamnya berisi satu perangkat computer. Dan ramai.
Setelah dimana ruang servernya, aku menuju ke lantai dua. Disana, seorang pemuda berkulit tan menyambutku. "Ada yang bisa ku bantu, noona?" tanyanya langsung membuatku dongkol. "Eh—aku ini namja!" kataku tegas. Apa dia buta? "—dan aku kesini untuk melamar pekerjaan. Apa masih dibutuhkan?"
Ia masih menatapku dengan mulutnya yang menganga. Apa seheran itu? "Oh, i-iya. Kami masih mencari seorang operator disini. Kau berminat?"tanyanya. wah, sepertinya ini kesempatan yang bagus. "Persyaratannya sesuai dengan yang di iklan." Katanya lagi.
Kalau masalah persyaratan sih, sepertinya tidak masalah buatku. Aku sehat dan punya banyak waktu luang untuk bekerja sepulang sekolah. Dan untungnya lagi jadi operator di game center bisa sambil mencuri waktu untuk kerja tugas sekolah dan belajar. "Upahnya juga sama kan dengan yang di iklan?" tanyaku memastikan.
"Tentu saja, kau membawa surat lamaranmu?" tanyanya. Aku langsung membuka tas dan mengeluarkan sebuah map berisi dokumen yang ia minta lalu menyerahkannya. Ia membuka dan mengecek isi mapku. "err—Xi Luhan?" aku mengangguk. "Namaku Kai, aku juga bekerja disini. Kebetulan yang punya game center itu pamanku." Ia tersenyum.
"Kapan aku mulai bekerja?" Tanyaku. Ia mengecek sebuah kertas dari dalam laci. "Kau bisa mulai bekerja besok, emm—hyung?" Jelas aku lebih tua darinya. Aku tersenyum menanggapi. "Kalau begi—eh?" Aku tersentak ketika tiba-tiba seseorang menarik paksa tanganku, menyeretku menuruni tangga dan melemparku melalui pintu keluar. "Hentikan! Apa yang kau lakukan? Berhenti menyeretku!" Pria itu mengenakan hoodie berwarna hitam dan menatap ku dengan garang.
Setelah meneliti wajahnya dengan seksama, ternyata dia. Wajah dingin dengan hidung mancung, bibir tipis dan tatapannya yang tajam. Oh Sehun. "Kalau kau kemari karena diutus oleh wali kelas kita, katakan padanya berhenti mengurusi urusan orang lain. Aku akan ke sekolah kalau memang aku mau. Mengerti?" katanya dengan nada tidak santai.
Aku merapikan lengan bajuku yang kusut karena genggaman Sehun. Sepertinya ia salah paham. "Jangan menyimpulkan sendiri, idiot! Aku bahkan tidak tau kenapa kau disini."
Ia menatapku skeptic. "Benarkah? Aku tidak percaya padamu. Kalau bukan suruhan sekolah, lalu untuk apa kau kemari dengan masih menggunakan seragam?"tanyanya. Aku menatapnya tidak suka, apa urusan anak ini disini. "Bukan urusanmu. Harusnya pelajar seperti kita tidak hanya bermain game disini." Aku pun berbalik melangkahkan kaki menjauh darinya. Aku malas berurusan dengannya dan lagipula urusan ku disini sudah selesai.
"Hei, Kau! Aku masih tidak percaya denganmu, tapi terima kasih sudah jauh-jauh menjengukku meski disuruh oleh guru!" teriaknya masih bisa kudengar. Sudahlah, biarkan saja dia berspekulasi sendiri.
Seperti hari-hari sebelumnya, bangku Oh Sehun masih kosong. Setelah kejadian kemarin aku sempat menanyakan perihal skors ke wali kelas, dan ternyata masa skorsnya sudah berakhir sejak 3 hari yang lalu. Tapi kenapa ia belum masuk sekolah? Aku sendiri heran kenapa sempat-sempatnya merepotkan diri untuk memperhatikan anak itu.
Ngomong-ngomong soal Oh Sehun, aku baru tau ternyata game center tempat kerja ku yang baru ternyata milik orang tuanya. Tidak heran kenapa ia bisa berada di sana kemarin. Ini bias jadi fakta yang menguntungkan sekaligus merugikan. Tapi ya sudahlah, aku butuh pekerjaan itu.
Aku merapikan buku-bukuku dari atas meja. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Sedang sibuknya merapikan, handphone ku bergetar menandakan pesan masuk.
Dari nomor tak dikenal. 'Luhan-ssi, kau jadi bekerja hari ini? Kau bisa mulai pukul 2. By Kai' bacaku isi pesan tersebut. Dari mana Kai mendapatkan nomorku? Ah, tentu saja dari surat lamaranku kemarin. Aku mengetikkan balasan setelah menyimpan nomor Kai di kontak. Kalau dimulai pukul 2, berarti masih ada setengah jam bebas. Aku harus kesana sekarang, lebih cepat lebih baik. Aku tidak mau telat di hari pertama bekerja. Bisa jadi kesan yang buruk.
Tak jauh sebelum game center, aku memutuskan singgah di minimarket untuk membeli minuman. Melelahkan juga berjalan dari sekolah. Dan ini harus ku lakukan di hari-hari ke depan, jadi aku harus membiasakan diri.
Di depan mini market, beberapa siswa SMP sedang berkumpul memegang stik es krim coklat. Sepertinya menggiurkan. Aku jadi ingin membeli juga. Aku menatap genggamanku setelah merogoh saku. Kalau aku membeli es krim, itu artinya tidak ada jajan esok hari. Berhubung uang bulananku sudah menipis dan tidak ada orang yang mendapatkan gaji di hari pertaman bekerja. Terpaksa kuurungkan niatku. Air putih sudah cukup.
Setelah mengambil minuman yang kubutuhkan, aku segera membayarnya di kasir. Lalu buru-buru keluar dari sini sebelum es krim itu menggodaku. Aku bahkan bisa mendengar es krim itu berteriak minta dibeli olehku.
Melangkah keluar dari minimarket, aku melewati gerombolan anak smp tadi. Masih dengan es krimnya. Sial. Kenapa mereka tidak segera menghabiskan es krim mereka? Apa mereka berniat mengejekku? Begitu melewati mereka, seseorang memegang pundakku. Aku segera berbalik.
"Kau mau es krim? Kulihat kau sempat memandangi lemari es di minimarket itu." Bagus. Sekarang sialnya aku harus bertemu dengan anak ini. Mungkin aku harus membiasakan diri dengannya, berhubung dia adalah anak dari pemilik game center. Oh Sehun.
"Jangan asal menebak. Sepertinya kau punya kebiasaan menyimpulkan segala sesuatu seenaknya." Bantahku. Sepertinya cukup memalukan untuk mengakuinya. Apalagi dihadapan bocah ini.
"Yeah, katakan itu pada siswa SMA berwajah childish yang barusan menatap lemari pendingin sambil ngiler." Sindirnya. Wajahku jadi memanas. Ini memalukan. "Aku tidak ngiler!" –dan apa-apaan itu, aku tidak berwajah childish.
"Yes, you are." Katanya. Aku mendengus. Lebih baik aku pura-pura tidak peduli dan meninggalkannya. Aku tidak mau mencari masalah dengan anak ini. "Dasar bocah." Gumamku lalu beranjak dari sini. "—eh, tunggu! Aku hanya ingin memberimu ini." Ia menahanku dan memberikan stik es krim padaku lalu berlari meninggalkanku.
Aku tatap stik es krim di tanganku. Apa-apaan anak itu, apa ia mau mengejekku? Untuk apa ia memberikan stik es krim padaku. Mendingan kalau masih ada es krimnya. Apa ia tidak bisa membuangnya sendiri di tempat sampah? Atau ia mengaanggapku tempat sampah? Dasar bocah sialan. Tapi tunggu—
Ada tulisan di stik kayu itu, 'Bonus satu es krim, segera tukarkan.' –eh, itu artinya, aku buru-buru kembali ke mini market lalu menanyakannya pada salah satu pegawai. Dan ternyata benar, pegawai itu memberikan satu es krim gratis sambil menucapkan selamat dengan nada datar. Sepertinya ini hari keberuntunganku. Puja Es Krim Gratis!
Dan terima kasih pada bocah sialan bernama Oh Sehun.
"Jadi Hyung, kau cuma harus duduk disini, mengawasi layar ini, dan melayani orang yang akan bermain." Kata Kai menjelaskan tugasku. "—kau bisa klik disini untuk menambahkan billing, semua petunjuknya ada disini." Aku memperhatikan layar computer yang ada di hadapanku. Kami sedang ada di lantai dua, ruang server dan operator. Di ruangan ini ada beberapa perangkat computer dan peripheral pendukungnya. Juga lemari kedai kecil untuk menjual makanan dan minuman untuk para pelanggan.
"Berhubung kita kerja di waktu yang sama, kau tidak perlu khawatir Hyung." Katanya sambil tersenyum.
"Baguslah kalau begitu. Aku pikir kau juga pasti masih sekolah. Kau kelas berapa Kai?" Tanyaku penasaran. Aku pikir dia cukup mandiri dengan umur yang masih muda tapi memilih bekerja paruh waktu sepertiku. "Aku masih kelas 3 SMP, Hyung."
"Benarkah? Kau tampak lebih dewasa." Kai manyun mendengar penuturanku. Aku nyengir. "—dan juga lebih mandiri tentunnya, melihat kau sudah bekerja paruh waktu." Dia tersenyum senang.
"Bukan begitu, Hyung. Sebenarnya orang tua ku sudah lama meninggal, aku dibesarkan oleh paman dan bibiku, yang kebetulan pemilik game center ini." Katanya sambil menatap sendu. "—aku tidak mau menyusahkan mereka terlalu banyak, makanya aku bantu-bantu di sini." Aku menggumamkan kata maaf, tidak enak juga mengungkit hal pribadinya yang tidak menyenangkan. Ia hanya tersenyum menanggapi.
Paman dan Bibinya pasti orang baik. Eh tunggu dulu, "Kalau begitu kau bersepupu dengan Oh Sehun?" Jelas karena Oh Sehun kan anak dari pemilik game center ini. "Iya, Umma dan Paman Oh bersaudara. Ngomong-ngomong dari mana Hyung mengenal Sehun?" Tanya Kai balik.
"Dia teman sekelasku di sekolah." Kataku singkat. Tidak mungkin aku menjelaskan padanya seberapa menjengkelkannya sepupunya itu. Bisa-bisa ia mengadukanku padanya. Walaupun dari tampangnya Kai bukan tipe yang pengadu seperti itu. Ia tampak baik dan easy going.
"Oh begitu ya, Hyung. Apa Sehun punya masalah di sekolahnya? Kulihat ia jarang masuk." Tanyanya. Dan ku ceritakanlah masalah pemukulan dan skors yang Oh Sehun jalani. "—tapi anehnya, masa skorsnya sudah berakhir beberapa hari yang lalu. Aku heran kenapa ia belum masuk sekolah. Kau tau alasannya, Kai?"
Kai menggeleng. "Entahlah, Hyung. Mungkin karena ibunya…" aku menatap Kai meminta penjelasan lebih lanjut. "—Ibunya masuk rumah sakit sekitar dua bulan yang lalu. Ia koma dan belum sadar hingga sekarang. Paman dan Sehun sepertinya sudah putus asa." Aku jadi kasihan dengan anak itu. Pasti menyedihkan dengan keadaan ibunya yang seperti itu. Aku harus sedikit melunak dengannya. Ia sudah cukup menderita.
Aku selesai bekerja pukul delapan. Kata Kai ia tidak perlu mengambil jam hingga larut malam, meskipun game centernya buka hingga tengah malam. Ia juga akan pulang sejam lagi, menunggu karyawan lain yang memang mengambil shift malam.
Suasana jalan malam ini lumayan sepi. Padahal baru jam berapa. Tidak heran karena kawasan ini memang dipenuhi rumah-rumah besar bak istana. Orang kaya yang hanya membeli rumah besar hanya untuk investasi. Aku heran mengapa membeli rumah yang besar kalau anggota keluarga mereka yang hanya beberapa orang.
Lama berjalan, aku mendengar suara langkah dari arah belakangku. Sepertinya aku baru sadar ternyata suara itu seudah mengikutiku sejak tadi. Was-was. Bisa saja orang ini punya niat buruk padaku.
Aku berpura-pura tidak menyadarinya dan terus berjalan. Suara langkah itu juga ikut berjalan seirama dengan langkahku. Tidak salah lagi, ia membuntutiku. Setelah beberapa langkah, aku sontak berhenti lalu berbalik dan melayangkan tendangan ku ke arah orang itu. Aku sudah memperkirakan jaraknya denganku. Satu tendangan maut dan—BUGH!
Tepat kena di perut. Namja itu merintih kesakitan, tertunduk memegangi perutnya. Jangan meremehkan tendanganku, aku ini cukup mahir bermain sepak bola. Ia merintih tertahan, menimbulkan bunyi seperti orang yang akan muntah.
"Apa-apaan kau ini. Owh, sakit tau!" katanya mengangkat wajahnya menatapku. Oh Sehun? Matilah aku. "S-Sehun? Aku tidak tau kalau itu kau. M-Maaf." Kataku membungkuk 90 derajat. "—lagipula untuk apa kau membuntutiku. Ini bukan sepenuhnya salahku." Aku buru-buru membantunya berjalan dengan memegangi punggungnya. Ia masih merintih, membuatku makin bersalah saja.
"K-Kau tidak akan mengadu pada ayahmu kan? Aku tidak akan dipecat kan?" kataku panik. Ini tidak boleh dibiarkan, aku tidak mau repot-repot lagi mencari pekerjaan yang baru. Apalagi dengan gaji yang lumayan itu. Ia menatapku dengan tajam. "Untuk orang dengan wajah yang sangat-tidak-manly itu, tendanganmu cukup kuat." Kenapa ucapannya itu selalu terdengar menyebalkan?
"Kalau kau bukan anak dari bosku, aku akan menendangmu sekali lagi!" kataku berhenti bersikap baik dan membantunya berjalan. Lagipula ia terlihat baik-baik saja. "Serius Oh Sehun, untuk apa kau mengikutku malam-malam begini dengan gerakan sangat mencurigakan?" kataku. Ia tersenyum bodoh ke arahku.
"Hm—begini Hyung." Ia memanggilku Hyung, Apa tidak salah dengar? "—Kau belum mengambil jatah makan malammu. Jadi, aku mau mengajakmu makan sebelum pulang." Katanya. "Makan malam? Apa ada yang seperti itu?" Kai tidak pernah mengatakannya hal macam itu padaku. "Tentu saja ada. Ini salah satu kebijakan kami untuk karyawan seperti Hyung."
Aku menatapnya curiga. Ia hanya menatap ke sembarang arah. Tapi kalau dipikir-pikir lumayan juga untuk menghemat uang sakuku. "Baiklah. Kita akan makan dimana?" tanyaku. Setauku di sekitar sini tidak ada tempat makan sederhana yang menurutku terjangkau, semuanya restoran-restoran mahal. "Di ujung sana ada makanan cepat saji. Kita kesana saja."
Ia melangkah lebih dulu, dan aku berjalan dua langkah di belakangnya. "Kenapa Hyung berjalan lama sekali, seperti perempuan saja." Sepertinya aku harus pintar-pintar menahan diri di sekitar anak ini. Benar-benar menyebalkan. Aku berjalan lebih cepat untuk mengimbanginya. Sekarang dia berjalan di sampingku.
Setibanya di resto cepat saji, kami memilih duduk di dekat jendela. Ia menanyakan pesananku yang hanya kujawab: "Samakan saja denganmu." Lalu mengambil tempat di antrian untuk memesan. Tak lama kemudian ia dating membawa pesanan kami berdua.
Aku menggumamkan terima kasih, sebelum mulai menyantap makananku. Sepertinya perutku tidak bisa ditolerir lagi, aku makan dengan lahapnya. Sehun juga sepertinya sibuk dengan bagiannya sendiri.
"Hyung, bagaimana kabar di sekolah?" tanyanya memecah keheningan.
"Seperti biasa, tidak ada yang berubah." Kataku seadanya. "—Kalau kau benar-benar ingin tau, kenapa tidak datang saja sendiri. Masa skors mu kan sudah selesai." Kataku sedikit penasaran. Ia meneguk colanya sebelum menatapku lalu menjawab, "Aku malas saja. Tidak ada motivasi."
Malas? Tidak ada motivasi? Jawaban macam apa itu. Aku menatapnya heran, ia buru-buru menambahkan, "Maksudku, aku kan juga masih muda—tidak seperti Hyung—jadi tertinggal dan mengulang bukan masalah untukku." Cara dia membandingkan umurku itu menjengkelkan. Aku menatapnya kesal lalu bergumam, "Terserah." Dengan acuhnya.
"Lagipula, Hyung. Aku masih takut sunbae yang kemarin aku pukul akan mencariku." Aku mendengarnya sambil menyedot colaku. "—selain itu, aku tidak punya teman untuk diajak bergaul. Cukup sulit menyesuaikan diri jika berbeda umur. Apalagi setelah kasus kemarin, pasti mereka akan semakin menjauhiku karena takut. Makin mustahil untuk mendapat teman." Sehun menatap kosong ke bawah meja. Pandangannya sulit diartikan.
"Aku mengerti." Kataku setelah hening beberapa saat. Ia memandangku masih dengan tatapan yang sama. "—aku juga tidak terlalu pandai bergaul. Bukan karena apa, aku hanya lebih mementingkan pelajaranku daripada keluyuran tidak jelas bersama teman." Colaku habis, gelasnya aku letakkan di atas meja.
"Pantas saja nilai Hyung selalu sempurna. Walau tidak punya teman, Hyung kan punya pelajaran untuk jadi motivasi. Sedangkan aku? Tidak ada yang menarik menurutku." Katanya lagi. Aku berpikir sejenak. Aku mengerti kendala yang dialaminya. Tapi bagaimana membuatnya peduli dengan sekolah lagi? "Tapi yang aku lihat, nilaimu juga bagus dan kau dulu kelas akselerasi kan?"
Ia mengangguk. "Itu karena sejak dulu Umma selalu memaksaku untuk belajar. Ia juga yang selalu membantuku mengerjakan tugas rumah. Tapi sekarang—" ucapannya terputus begitu saja. Tatapan itu terlihat lagi, tapi lebih sendu. Seketika aku ingat perkataan Kai mengenai Ibu Sehun yang sedang koma. "M-Maaf, bukan maksudku menyinggung masalah Ibumu. Aku doakan semoga beliau lekas sembuh."
Ia menatapku terkejut. "Hmm—Kai yang memberitau ku masalah Ibumu." Kataku mengartikan keterkejutannya.
Selanjutnya, hanya keheningan yang cukup canggung yang mengisi waktu hingga sesi makan mala mini berakhir.
Pelajaran hari cukup membuat ku lelah. Aku disuruh tiga kali mengerjakan soal kalkulus di depan kelas. Itu semua karena teman-temanku lebih dulu menyerah sebelum mencoba mengerjakannya. Padahal soalnya tidak sesulit itu. Aku yakin Oh Sehun bisa mengerjakannya. Aku pernah melihatnya mengerjakan soal serupa di buku miliknya.
Ngomong-ngomong soal Oh Sehun, tadi di jam istirahat, wali kelas memanggilku ke kantor. Aku diminta menyerahkan sebuah surat untuk orang tuanya. Pertanyaannya, kenapa harus aku? Apa seongsangnim tau aku berkerja di game centernya? Sepertinya mustahil. Kecuali ia memang tidak punya kerjaan selain memata-mataiku.
Tidak terlalu merepotkan sih, berhubung aku memang harus kesana untuk bekerja. Aku tinggal menyerahkannya ke Oh Sehun, atau mungkin Kai. Karena sampai hari ini, aku belum pernah bertemu langsung dengan orang tua Oh Sehun baik itu di tempat kerja maupun di tempat lain. Menurut tebakanku, ini pasti surat pemanggilan karena anak mereka belum juga masuk sekolah dikala masa skorsnya sudah selesai. Ini sudah tepat seminggu ia tidak masuk.
Yang perlu ku lakukan sekarang adalah buru-buru ke game center. Seperti biasanya, aku berjalan kaki ke sana. Melewati perumahan elit dan kawasan pertokoan yang tidak terlalu ramai. Hanya terlihat beberapa anak muda yang entah melakukan apa di gang-gang antar toko. Mungkin sekedar berkumpul atau apa. Ketika melewati salah satu gang, seseorang tiba-tiba saja menarik lenganku paksa. "Eh—"
Entah kenapa aku tidak terlalu kaget. "Oh Sehun!" kataku dengan wajah datar. "Kenapa kau selalu mengagetkanku?" tanyaku melepas pergelangan tanganku darinya. "Diamlah, Hyung! Lebih baik kau ikut denganku sekarang." Katanya datar. Ia lalu kembali menyeretku tapi kali ini sedikit lebih lembut. "Tapi aku harus segera bekerja."
"Aku bilang diam. Ini lebih penting dari bekerja." Aku mendengus kesal. Kenapa dia berlagak bos seperti itu? "—Lagipula aku ini bos mu, jadi jangan membantah." Katanya seolah membaca pikiranku. Lagipula, bisa-bisanya dia menyuruhku diam seperti itu, aku kan lebih tua darinya. Dasar tidak sopan.
Dengan terpaksa aku mengikuti kemauannya. Ia menyeretku jauh arah game center. Melewati beberapa blok dan tiba di dekat sebuah gedung olahraga. Ia berhenti tepat di belakang gedung itu. Setelah melepas pergelanganku, ia maju beberapa langkah lalu berjongkok menyentuh sebuah kardus yang sepertinya ada isinya. "Hyung, kemarilah!"
Aku berjalan mendekatinya dan kardus itu. Lalu ikut merendahkan diri, mencoba mengintip apa isi kardus itu. Sehun menyelipkan tangannya diantara tubuh 'sesuatu' itu lalu menangkatnya ke udara. Baru setelah 'sesuatu' itu berbunyi, tepatnya menggonggong, barulah aku sadar itu seeokor anjing. Anak anjing. Bertubuh mungil, berbulu coklat muda dan memiliki mata besar yang lucu.
"Tidakkah kau pikir ia mirip seseorang, Hyung?" kata Sehun menoleh padaku. Ia tersenyum jahil. "—matanya mirip denganmu. Warna bulunya juga sama dengan rambutmu, Hyung." Katanya lalu diakhiri dengan tawa mengejek. Dasar kurang ajar. Aku menatap Sehun dengan tatapan garang semaksimal mungkin.
Tapi mata ku kembali teralih ke anak anjing itu. Biarkan saja Sehun mau berkata apa. Lihat matanya yang lucu itu, gonggongannya juga lucu. Tanpa sadar anak anjing itu sudah beralih ke gendonganku. Ia bahkan menjilat tanganku dengan lucu. Aku tidak bisa menahan senyumku. Dan Sehun ikut tersenyum padaku.
"Anak anjing siapa ini?" Tanya ku pada Sehun.
"Aku tidak tau, Hyung. Tadi aku menemukannya disini. Tapi karena takut aku ambil, makanya aku membawamu kesini." Kata Sehun. Aku perhatikan kardus tempat puppy itu. Sepertinya sih anak anjing ini dibuang oleh pemiliknya. "Kita bawa saja!" kataku langsung meletakkan sang puppy di kardusnya, lalu mengangkat kardus itu.
"Karena game centermu banyak orang, jadi akan aku bawa ke apartemenku!" kataku memutuskan. Sehun tampak tidak setuju. "Tapi, Hyung! Kan aku yang menemukannya!"
"Kan sudah aku bilang, di tempatmu itu terlalu ramai. Aku juga tidak yakin kau bisa mengurusnya dengan baik." Sehun mendengus kesal, dan bergumam sesuatu. Kalau dipikir-pikir kami seperti orang tua bercerai yang sibuk rebutan hak asuh anak. Kami? Wajahku jadi sedikit memanas. "Baiklah." Kata Sehun pada akhirnya. "—tapi, karena aku yang menemukannya duluan, maka aku yang harus memberinya nama."
Aku mengangguk setuju. Sehun tampak berpikir. Sepertinya ia mahir dalam menemukan nama yang sesuai dengan anak anjing ini. Lihat saja matanya yang lucu, bulunya yang lembut. Setidaknya ia harus punya nama yang sesuai dengan ciri-cirinya itu. "Aha—" teriak nya dramatis. "—aku sudah dapat nama yang cocok." Aku menatapnya penuh antusias. "Kita akan memanggilnya—Panda!"
Aku melongo. "Panda? Kau memberi nama 'Panda' untuk seekor anjing?" kataku heran. "Hehe, bagus kan Hyung? Tadinya aku mau menamainya Gajah atau Lalat." Gajah? Lalat? Kenapa ia ingin memberi nama binatang lain untuk seekor anjing? Tapi kalau dipikir nama Panda lebih baik dari Gajah atau Lalat.
"Oke! Jadi, sekarang kita akan ke rumah barumu, Panda!" teriakku bersemangat. Panda juga tampak bersemangat, ia menyahut dengan kerasnya. Sementara Sehun hanya tersenyum simpul ke arah kami.
TBC
