.
I Write My Life Not My Love
Disclaimer: Masashi Kishimoto (c) Naruto
Cerita ini? Murni milik saya. Jika ada kesamaan cerita itu hanya kebetulan belaka dan saya tidak mengambil profit dari fanfic ini.
Warning: TYPO udahpasti-OOC emangiya-GAJENESS ga bisa dilepas-Rated M untuk tema dewasa dan main aman aja :P
Pairing: SasuSaku seperti biasanya!
.
Don'tLikeDon'tRead!
Perempuan berambut merah muda itu terpekur diam di atas futon-nya yang hangat. Di balik selimut tebal, dia menatap atap plafon kamarnya dengan pandangan kosong. Telunjuknya sibuk mengorek-ngorek 'harta karun' yang ada di dalam hidungnya. Kamarnya terlihat berantakan dengan banyak kertas-kertas berhamburan, mie cup bekas dan gelas berisi cairan hitam yang sudah di kerubungi lalat bertumpuk di pojok ruangan, baju dalam (terutama bra dan celana dalam) tergeletak di atas meja kecil tempat ia biasa menaruh laptop, buku-buku referensi yang ia pinjam dari perpustakaan juga tercecer sana-sini.
Walaupun penampakan kamar dari seorang Haruno Sakura begitu menjijikan, tapi inilah dirinya. seorang perempuan berumur dua puluh tujuh tahun yang penuh dengan seni. Seni menghambur dan malas maksudnya. Sakura yang bekerja sebagai penulis novel memiliki kebiasaan menungurung diri selama berhari-hari di dalam kamar-nya. Seolah bersemedi untuk mendapatkan ilham, sesekali sambil mengupil agar otaknya bisa berjalan dengan baik seiring berjalannya waktu.
Banyak teman dan keluarga-nya yang menasehati Sakura untuk rajin bebersih dan jangan jadi perempuan yang malas dan jorok. Ibunya yang paling teguh untuk menasehati Sakura lewat ponsel. Kalau dia terus jadi perempuan yang tidak bisa merawat diri, mana mungkin ada pria yang mau menikah dengannya. Jangankan menikah atau berhubungan seks. Mungkin kalau melihat tampang Sakura yang kucel mereka sudah mundur duluan dan berlari jauh-jauh dari Sakura.
Sebenarnya Sakura sudah berusaha untuk tidak malas dan rajin membersihkan apato serta dirinya. Tapi tiap kali dia membersihkan kamar apatonya, sepuluh menit kemudian kamarnya akan berantakan kembali. Dia juga berpikir lebih baik menghemat air untuk mandi, jadi kalau bayar air nanti tidak akan terlalu mahal. Paling tidak, seminggu sekali adalah jadwal rutin Sakura untuk mandi besar.
Peduli amat apa kata orang. Dirinya adalah dirinya. asal tidak merugikan orang lain Sakura akan tetap menjadi Sakura yang bebas menentukan hidupnya sendiri. Dia tidak ingin dikekang apalagi diatur-atur oleh orang lain. Yah, kecuali oleh orang tuanya. Bagi Sakura orang tua harus tetap dihormati. Walaupun telinganya bisa memerah bengkak karena mendengar omelan ibunya. Untung sang ayah tidak terlalu tegas seperti ibunya. Ayahnya Haruno Kizashi, lebih pengertian dan membiarkannya berkreasi sesuka hati asal tidak melanggar hukum saja.
Sakura juga memiliki beberapa teman yang baik dan juga cerewet. Misalnya saja seperti Yamanaka Ino, wanita karir yang sukses di bidang pekerjaannya sebagai seorang model. Sudah mempunyai tunangan bernama Shimura Sai yang dikenal sebagai pelukis terkenal. Selain itu juga ada Tenten, temannya yang sama cerewetnya dengan Ino. Tenten membuka bisnis online yang cukup populer di Jepang, dengan bantuan suaminya, Hyuuga Neji, mudah saja bagi Tenten untuk mempromosikan bisnis online-nya tersebut. Sebab Neji adalah pemilik salah satu stasiun televisi swasta di Jepang. Jangan lupakan juga Temari yang menjadi seorang politikus bersama sang suami Nara Shikamaru.
Yang belum menikah dan belum punya pacar sama sekali di antara teman-teman Sakura hanya Hyuuga Hinata. Perempuan lemah lembut dan disebut sebagai 'Yamato Nadeshiko' (istri ideal di Jepang) dari keluarga Hyuuga, sepupunya Neji. Bukan berarti Hinata tidak laku seperti Sakura. Hinata bahkan sudah banyak dilamar oleh keluarga terpandang dan kaya raya. Namun pihak keluarga Hyuuga tidak mau menerima sembarangan keluarga kaya. Mereka akan memilihkan calon suami yang terbaik, terkaya, tertampan, tersempurna, terberkuasa, dan ter, ter lainnya.
Sebenarnya Hinata sendiri tidak menyukai perjodohan yang diatur-atur keluarganya. Sebab cinta itu tidak bisa dipaksakan dan dia tidak mau membangun sebuah keluarga tanpa cinta. Begitulah curhatan Hinata yang sering Sakura dengar saat di ponsel atau berkunjung ke apato-nya. Sakura sudah menjadi tempat curhatan Hinata karena diantara semua temannya hanya Sakura yang mendukung usahanya untuk lebih berani mengemukakan pendapatnya.
Bagi Sakura, hidup di tengah keluarga yang terpandang dan penuh kekangan itu benar-benar rumit dan merepotkan. Dia sudah cukup bersyukur bisa lahir di keluarga yang biasa saja namun pengertian satu sama lain, dan yang terpenting bisa bebas mengatur dirinya sendiri. Persetan dengan pacar atau pernikahan yang merepotkan. Hidup seorang diri saja lebih menyenangkan daripada harus berbagi kasur, kamar mandi, terutama makanan dengan orang lain.
"Nah, akhirnya dapat juga!" Sakura menyibak selimut yang menutupi badannya dan mengambil selembar tisu untuk menaruh upil yang ia dapatkan.
Yang dia maksud sebagai 'dapat' itu bukan hanya upil, tapi juga kelanjutan cerita dari novel misteri yang sedag diketiknya. Dengan penuh semangat perempuan bersurai pendek itu mulai mengetikan kata demi kata yang sudah tersusun di dalam otaknya. Di saat sedang asyik mengetik, ponsel pintar-nya tiba-tiba bordering nyaring. Awalnya Sakura mengabaikan panggilan itu karena dia ingin fokus dengan novelnya saat ini. Tapi dering sialan itu tidak berhenti juga selama satu jam. Mau tidak mau dia pun menjawab panggilan itu denga malas-malasan sambil menggerutu sebal.
"Hinata?" gumamnya bingung, sambil melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukan ke angka tiga dini hari.
Tumben sekali Hinata menelponnya di jam tidur bagi orang normal. Apa mungkin ada masalah penting atau darurat yang mengharuskan Hinata untuk menghubunginya saat ini? Tak mau berpikir lebih lama, Sakura pun langsung menjawab panggilan Hinata.
"Halo, ada apa Hinata?"
Tidak ada jawaban dari si penelpon. Yang terdengar malah isak tangis pelan dari Hinata. Kontan saja Sakura langsung panik. Jangan bilang Hinata saat ini sedang berada di tangan seorang penjahat dan diancam keselamatan serta keperawanannya. Seperti yang ada di film-film itu lho. Wah, bahaya ini!
"Kau dimana sekarang?! Aku akan ke sana sekarag juga dengan polisi!" Sakura langsung beranjak dari tempat ia duduk dan berlari keluar kamar.
"Tunggu Sakura! Aku sedang ada di kamarku saat ini…" jawab Hinata sedikit panik.
Sakura langsung memasang tampang bete dan kembali lagi ke kamarnya sambil mengomeli Hinata.
"Jadi, kenapa tadi kau menangis?" Tanya Sakura setelah puas mengomel.
"Aku…aku akan dijodohkan….dengan pria yang serba 'ter' pilihan keluargaku, Sakura. Bahkan tanggal pernikahannya sudah ditetapkan hari sabtu, minggu ini."
"APA?! Kau bercanda?!" Sakura berteriak tak percaya. Dari mana orang tua Hinata bisa mendapatkan pria serba 'ter' itu coba? Memangnya bisa semudah membalikan telapak tangan gitu ya?
"Kau tahu aku tidak pernah berbohong kan?" ujar Hinata, sungguh-sungguh.
Sakura menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Benar juga sih, Hinata itu benar-benar orang yang jujur. Kelewat jujur malah. Kalau dia bilang dahi Sakura lebar seperti landasan udara itu artinya dahi Sakura memang selebar itu. mengesalkan memang, tapi itulah kenyataannya.
"God…siapa nama pria itu? Biar kuterror dia lewat media sosial!" salah satu keahlian Sakura adalah men-stalking orang di dunia maya. Mudah saja baginya untuk menerror orang tanpa diketahui oleh siapa pun. Kecuali oleh Kami-Sama dan orang yang tahu kebiasaannya ini.
"Jangan Sakura! Dia bukan pria sembarangan. Bisa-bisa kau terlacak dan dipenjarakan…aku tidak mau kalau itu sampai terjadi denganmu!" cegah Hinata.
"Tapi aku lebih tidak mau lagi kalau sahabatku harus terkekang lagi di sebuah sangkar! Kau sudah cukup lama dikurung di dalam keluargamu itu Hinata! Kau itu manusia yang punya hati, bukan boneka yang tidak punya perasaan!" seru Sakura kesal.
Hinata terdiam di seberang sana cukup lama. Sepertinya dia merenungi perkataan Sakura barusan.
"Halo? Hinata kau masih hidup kan?"
"Te-tentu saja Sakura! Kau ini! Aku hanya kagum karena perkataanmu tadi sama seperti yang diucapkan oleh 'dia'…"
"Dia? Dia siapa?" Tanya Sakura bingung.
Hinata dengan sedikit malu-malu menjawab, "Itu lho…senpai kita...Uzumaki Naruto."
Sakura menernyitkan dahinya, berusaha menggali lagi ingatannya tentang 'Uzumaki Naruto' yang tersembunyi di otaknya. Ah, benar juga! sekarang dia ingat siapa pria itu. Dia adalah senpai yang disukai oleh Hinata saat masih kuliah dulu. Kalau tidak salah Hinata pernah cerita kalau dia bertemu lagi dengan Naruto di sebuah kafe langganannya setahun yang lalu. Setelah itu Sakura tidak tahu lagi hubungan mereka selanjutnya. Tapi tunggu dulu deh. kalau dilihat dari reaksi Hinata barusan. Jangan-jangan mereka itu…
"Kau…berpacaran dengannya?" Tanya Sakura.
"….Iya, setahun yang lalu. Tepat setelah kami bertemu di kafe Evergreen."
"God! Hinata! Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?! Dasar teman yang kejam!" ujar Sakura, berpura-pura marah. Sebenarnya dia senang kalau Hinata akhirnya bisa lebih membuka perasaannya kepada orang lain. Apalagi dengan orang yang benar-benar dicintainya sejak Sembilan tahun yang lalu. Hinata memang perempuan yang setia dengan cintanya.
"Maaf Sakura. Bukan maksudku untuk menyembunyikannya darimu, aku sendiri bingung untuk memberitahukannya padamu. Di hari saat senpai memintaku untuk jadi kekasihnya itu benar-benar bagaikan mimpi indah…" ungkap Hinata dengan perasaan bersalah.
"Jangan khawatir. Aku tidak marah kok! Justru senang kalau kau bisa bersama dengan orang yang kau cintai! Nanti traktir aku lho ya!" Sakura nyengir lebar.
Derai tawa Hinata yang khas terdengar dari seberang sana, namun tawanya berhenti seketika saat mengingat sesuatu yang akan dihadapinya saat ini.
"Walaupun begitu aku takut, Sakura. Sudah saatnya bagiku untuk bangun dari mimpi itu dan menghadapi kenyataan menyakitkan yang tidak bisa kuhindari. Untuk sekali saja, aku ingin bebas dari kungkungan ini…" ungkap Hinata. Tangisan yang tadinya berhenti kini terdengar kembali di telinga tajam Sakura.
Jujur, ini pertama kalinya Sakura mendengar Hinata menangis. Selama ini Hinata selalu tersenyum pada siapa saja, dia bahkan tidak pernah melihat Hinata marah atau membentak-bentak orang seperti dirinya. Hinata selalu menyembunyikan kesedihannya seorang diri agar orang lain tidak ikut merasakannya. Itulah yang membuat Sakura selalu ingin melindungi dan mendukung Hinata agar lebih terbuka dengan perasaannya.
Tapi, disituasi seperti ini memang sulit untuk menghindarinya begitu saja. Pernikahan bukan masalah sepele yang bisa kau buat sebagai mainan. Tapi penuh dengan komitmen dan kepercayaan dari kedua mempelai. Sakura ingin sekali mengeluarkan Hinata dari zona bahaya ini, tapi bagaimana caranya?
Ting!
Sebuah ide kecil tiba-tiba muncul, saat Sakura menolehkan kepalanya ke arah tumpukan novel yang terdapat di sebelah laptopnya. Iris emerald-nya terfokus pada salah satu judul novel yang membuatnya mendapatkan sebuah ide untuk membantu Hinata. Mungkin ini ide tergila dan penuh resiko yang pernah terlintas di dalam pikirannya, tapi tidak ada salahnya jika dicoba bukan?
"Hinata, aku punya sebuah ide gila yang mungkin bisa membantumu keluar dari masalah ini. Apa kau mau mendengarnya?"
…..
I Write My Life Not My Love
…..
Semua teman Hinata, kecuali Sakura, sangat terkejut saat mendapat undangan pernikahan Hinata. Mereka tidak menyangka kalau akhirnya Yamato Nadeshiko mereka akan menikah secara tiba-tiba seperti ini. Sebenarnya bukan hanya itu saja yang membuat mereka semua terkejut. Calon mempelai pria Hinata ternyata benar-benar bukan orang kaya biasa. Dia adalah Uchiha Sasuke, pengusaha terkaya di dunia saat ini.
Perusahaannya tersebar di seluruh penjuru dunia dan bergerak di berbagai bidang. Di usia muda dia dapat memimpin uchiha corporation peninggalan mendiang ayahnya yang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Walau hanya seorang diri namun dia mampu mengatur seluruh perusahaan Uchiha dengan sangat baik, bahkan membuat uchiha corp. lebih maju daripada sebelumnya.
Sesuai dugaan mereka juga, tempat pernikahan Sasuke dan Hinata diadakan di Hall Royal Palace Hotel. Hotel bintang enam milik Sasuke yang berlokasi di pusat Tokyo, Jepang. Dengan dekorasi elegan yang dibuat sekian rupa Hall yang luas tersebut dapat di sulap dengan indah dan mewah oleh tim wedding organizer pesanan Sasuke. Seluruh tamu undangan kebanyakan berasal dari dunia bisnis dan politik. Bahkan ada beberapa seleberiti terkenal yang menjadi tamu di sana.
Banyak perempuan dari kalangan atas yang iri pada Hinata karena bisa menikahi seorang Uchiha Sasuke. Bagi mereka hal itu adalah impian indah bagi hampir semua perempuan single di seluruh dunia.
Kecuali bagi Sakura yang saat ini lebih memedulikan lima potong cheese cake, lima mont blanc, sepuluh cup cake mini beraneka rasa, dua potong daging kalkun, sepiring daging lada hitam dan bergelas-gelas coklat hangat yang ia ambil dari meja prasmanan. Itu pun belum semua makanan yang Sakura ambil. Rencanannya dia akan mencoba makanan yang lain lagi setelah makanan yang ada di mejanya saat ini sudah habis.
"Beruntung sekali Hinata bisa menikah dengan Uchiha Sasuke, masa depannya sudah pasti akan terjamin! Yang aku khawatirkan sekarang adalah masa depan Sakura…" ujar Ino, sambil melirik ke arah Sakura yang saat ini duduk di sampingnya.
"Khenhapha?" gumam Sakura tidak jelas, karena asyik mengunyah dua potong cheese cake sekaligus ke dalam mulutnya.
"Sakura, di antara kita semua hanya kau saja lho yang belum punya gandengan. Apa kau tidak mau mencari pasangan? Mumpung banyak pria berkualitas yang datang kemari." tukas Tenten, gemas.
"Kurasa kau akan cocok dengan pria itu, dia dikenal sebagai pria baik yang mau mengerti wanita apa adanya. Atau pria yang itu? Dia juga tidak buruk dan berteman dekat dengan suamiku." Temari malah mau mencomblangkan Sakura dengan orang yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Mana mungkin dia mau! Memangnya dia barang obralan?
"Shudahlah! Akhu hidak mahu mngehurusi-"
"Habiskan dulu makananmu!" seru mereka bertiga, serempak.
"Glek! Aku tidak mau mengurusi hal itu dulu! Yang terpenting sekarang adalah, aku ingin melihat Hinata benar-benar bahagia dengan orang yang dicintainya." Jawab Sakura setelah menelan cheese cake-nya.
"Tentu saja dia akan bahagia. Pasangannya adalah Sasuke, apalagi yang kurang?" Tanya Tenten bingung.
"Ckckck! Tentu saja ada yang kurang! Kalian tidak lihat kalau pria yang bernama Uchi-apalah itu namanya, kurang senyum? Aku memang tidak pernah mengenalnya, tapi dilihat dari wajahnya saja, dia itu akan jadi suami kaku dan dingin seperti gunung es yang membuat kapal Titanic tenggelam." Kata Sakura, sambil mengambil satu mont blanc dan langsung mengunyahnya dengan penuh kebahagiaan.
"Yaah, memang sih. Dia irit bicara, dingin dan kaku. Tapi bukannya itu charming point dari Sasuke ya? Dia jadi kelihatan lebih seksi kalau seperti itu." timpal Ino.
"Seksi apaan! Tuh baju yang kamu pakai itu tuh yang seksi, kekurangan kain!" Sakura mengejek gaun Ino yang memperlihatkan bagian punggung dan belahan dada-nya.
"Hei, masih mending aku pakai gaun. Kamu? Malah pakai baju hem dan jeans bututmu itu! Kalau kamu tidak bawa undangannya mungkin sudah di usir duluan sama petugas keamanan di sini!" jawab Ino kesal.
"Sudah, sudah! Kalian ini dari SMA memang tidak pernah berubah. Suka sekali beradu mulut. Lebih baik kita doakan saja semoga hari ini pernikahan Hinata berjalan lancar." Seperti biasanya, Temari selalu jadi penengah bila Ino dan Sakura sudah mulai berkelahi.
"Benar juga. bersulang untuk kebahagiaa teman kita!" Tenten langsung mengambil gelas kaca berisi red wine miliknya, dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ketiga temannya pun ikut mengangkat gelas mereka masing-masing dan bersulang demi kebahagiaan Hinata.
Namun perbedaannya adalah, bila Ino, Tenten dan Temari mendoakan kebahagiaan Hinata dengan Sasuke, Sakura justru mendoakan agar rencananya dengan Hinata berjalan dengan baik hari ini. Semoga saja begitu.
.
.
.
.
"Sela..mat..ya..semoga bahagia selalu…send!"
Sakura yang saat ini sedang berada di luar Hall tengah mengetik SMS ke nomor Hinata. Rencana mereka ternyata berjalan dengan sukses. Hinata kini berada di dalam pesawat rute penerbangan dari Tokyo ke London, bersama Naruto. Mereka berdua akan menikah diam-diam di sebuah gereja desa terpencil yang terdapat di Inggris. Kata Hinata desa itu adalah tempat tinggal Naruto selama ia bekerja sebagai dokter di Inggris.
Sakura melangkahkan kakinya menuju ke toilet dengan senyuman lebar. Ide tentang kawin lari itu ternyata benar-benar berhasil. Dia sedikit tidak menyangka, kalau Hinata ternyata mau melakukannya. Tapi dia senang kalau rencana ini berjalan dengan baik. Walau dia agak merasa bersalah juga dengan orang tua Hinata. Paling tidak sekarang Hinata bisa bahagia sesuai harapannya.
"Maafkan kami Uchiha-Sama!"
Langkah Sakura terhenti saat mendengar permohonan maaf yang diiringi isak tangis seorang wanita. Sakura menajamkan pendengarannya. Suara itu berasal dari ruangan yang disiapkan khusus untuk kedua calon mempelai pengantin dan keluarganya sebelum upacara pernikahan dimulai. Jangan-jangan kaburnya Hinata dari pernikahan ini sudah diketahui orang tua serta Sasu..sau, sa, agh! Siapa sih nama mempelai pria Hinata itu? karena terlalu tidak peduli Sakura jadi malas mengingat namanya.
Gadis bersurai soft pink itu menengok ke kanan dan ke kiri, ingin memastikan kalau situasi di sekitarnya aman untuk bisa menguping pembicaraan di dalam ruangan itu. Setelah yakin, sudah aman, dia pun menempelkan telinganya di dekat pintu jati yang tertutup rapat tersebut.
"Kami tidak menyangka kalau putri kami akan melarikan diri dari pernikahan ini. Padahal dia adalah anak yang penurut." Suara besar namun tersirat kekecewaan itu pasti suara ayah Hinata. Hyuuga Hiashi.
"Benar, Uchiha-Sama. Mu-mungkin dia sedang merenung di suatu tempat. Setiap wanita yang akan menikah biasanya akan dilanda keraguan, tapi dia pasti akan kembali sebentar lagi…" nah, kalau suara yang lembut ini Sakura yakin pasti suara Kikuyo Hyuuga. Ibunya Hinata.
"Sudah tiga puluh menit berlalu dan dia tidak mengabari kalian sama sekali. Bisa ditebak kalau dia melarikan diri dari pernikahan ini." kali ini terdengar suara baritone yang tidak dikenal Sakura. Apa itu suara si calon mempelai pria?
"Tolong tunggu saja sebentar lagi. Tiga-tidak, se-sepuluh menit lagi! Kalau Hinata tidak kembali maka-"
"Aku tidak peduli." Ucapan Hiashi terpotong oleh suara yang dingin itu. "Sekarang juga bayar hutang-hutang perusahaanmu. Kalau tidak kau tahu konsekuensi-nya."
Mendengar kata 'hutang' dahi Sakura kini mengernyit bingung. Hutang? Hutang apa? Apa hubungannya hutang dengan pernikahan ini? Sakura sama sekali tidak mengerti.
"Sasuke-Sama! Beri kami waktu untuk membayarnya! Ka-kami akan membayarnya secepat mungkin." Suara Hiashi terdengar lagi.
"Jangan sentuh aku, menjijikan."
Duk!
Suara tendangan kecil terdengar dari dalam ruangan tersebut. Diikuti pekikan ngeri dan tangisan dari istri Hyuuga Hiashi. Tanpa melihat pun Sakura bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di dalam sana. Gadis bersurai soft pink itu merenung senejak. Memang benar, dia ikut senang jika sahabatnya bahagia. Tapi di sisi lain, idenya itu justru menghancurkan hidup banyak orang. Tidak hanya membuat malu seluruh keluarga Hyuuga, tapi juga merugikan pihak si mempelai pria. Mereka semua akan kecewa, marah, malu. Dan kejadian ini akan terus diingat serta diungkit untuk selama-lamanya.
Kenapa dirinya begitu bodoh, tidak berpikir sampai ke arah sana? Sakura memukul-mukul kepalanya dengan kesal. Dia kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa berpikir panjang. Tidak mungkin juga dia menelpon Hinata dan menyuruhnya kembali saat sedang di dalam perjalanan menuju ke Inggris. Seharusnya ada solusi yang lebih baik lagi daripada kawin lari. Ini semua salahnya. Seandainya saja dia bisa membantu orang tua Hinata.
Krieet…
Pintu kayu jati itu tiba-tiba terbuka lebar, memperlihatkan sosok dingin dari seorang Uchiha Sasuke yang kini menatap tajam ke arah Sakura yang masih dalam pose menguping di depan pintu.
Kata pertama yang muncul di benak Sakura saat itu adalah…
'Sial!'
Sedangkan kata kedua yang muncul dibenaknya adalah…
'Ketahuan!'
Cukup lama mereka saling berpandangan satu sama lain. Atmosfer canggung dan berat yang menguar di sekitar mereka benar-benar membuat Sakura kehilangan suara. Apa yang harus dia katakan sekarang?! Sudah ketahuan sekali kalau dia sedang menguping pembicaraan penting tadi. Dari pada dikira penguntit dan didepak langsung ke dalam jeruji besi mending dia jelaskan saja situasi yang sebenarnya.
"Etto…Maaf, tadi aku kebetulan lewat dan mendengar pembicaraan kalian. Kau calon mempelai pria Hinata bukan? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan Hiashi-San, tapi kuharap kau mau memaafkannya dan melupakan kejadian ini…"
Sakura rasanya betul-betul ingin memukul dirinya sendiri kuat-kuat. Kenapa dia malah berkata seperti itu?! Mana bisa pria berambut raven itu melupakan kejadian ini! Tidak bisa, bahkan di dalam mimpi pun tidak! Kalau ada orang yang mengatakan hal seperti itu kepada dirinya dia pasti akan menghajar orang itu.
'Kau ini benar-benar bodoh Sakura!' makinya dalam hati.
Pria raven tersebut tidak menjawab perkataan Sakura. Dia justru menatap perempuan di hadapannya itu dari atas ke bawah, seolah sedang menilai penampilan Sakura. Setelah lama memandang Sakura dengan tatapan intimidasi, pria itu membalikan tubuhnya dan berjalan ke arah Hiashi yang tengah duduk di sofa bersama istrinya.
Dia berhenti tepat di depan Hiashi dengan wajah dingin yang angkuh. Telunjuknya lalu terangkat dan mengarah ke sosok Sakura yang masih berdiri bengong di depan pintu yang terbuka lebar. Sakura tidak mengerti, kenapa mempelai pria Hinata itu menunjuk dirinya?
"Kalau gadis itu menjadi pengganti putri kalian. Maka aku akan menganggap hutang kalian lunas…" ucapnya, tegas dan jelas tanpa mau dibantah.
.
.
.
.
.
"Kemana sih Sakura?" pertanyaan itu keluar dari bibir merah Ino saat menyadari kalau sahabat pink-nya itu menghilang selama satu jam lebih.
"Tadi dia bilang mau ke toilet sebentar. " jawab Temari sambil membalas beberapa pesan penting yang masuk ke e-mailnya.
"Bikin khawatir banget sih anak itu! Apa disusul aja ya?" Ino sudah bersiap mau berdiri dari kursinya, namun Tenten menahan kepergian Ino.
"Nanti saja Ino! Tuh upacara pernikahannya mau dimulai!"
Ino mendesah kesal dan kembali duduk di kursinya. Memang benar upacara sudah di mulai. Akhirnya setelah dua jam menunggu tanpa kepastian dari pihak keluarga acara inti-nya dimulai juga. Seorang pendeta sudah bersiap di atas podium. Di depan sana juga sudah berdiri Uchiha Sasuke yang mengenakan wedding suit putih, senada dengan celana dan sepatunya yang mengkilap. Wajahnya yang tampan jadi semakin tampan walau tidak tersenyum sekali pun. Dentingan piano dan biola yang memainkan musik pernikahan mulai terdengar, menggema merdu di dalam hall tersebut.
Seluruh tamu undangan berdiri, menyambut kedatangan mempelai wanita yang sudah masuk melalui pintu masuk Hall bersama sang ayah yang akan mendampinginya. Seruan selamat dan tepukan riuh dari para tamu ikut mendominasi musik pernikahan yang indah. Semuanya nampak sempurna. Namun ada sedikit keganjilan yang terlihat pada mempelai wanita-nya. Perempuan yang mengenakan gaun putih penuh renda itu bukan Hinata.
Dia adalah perempuan bersurai soft pink pendek yang menyerupai laki-laki, dengan badan papan gilasan yang tidak menarik perhatian, serta dahi lebar seperti landasan udara yang hanya ada satu di dunia ini. Ino, Tenten dan Temari yang kini terbelalak kaget. Tidak percaya dengan apa yang mereka lihat sekarang. Perempuan pemalas yang memiliki filosofi 'hidup sesukaku' itu ada di sana, menggantikan Hinata!
"Sakura?!" seru mereka, serempak.
'Kenapa jadi beginiiii!' tangis Sakura di dalam hati.
.
.
.
.
.
To Be Continued…
A/N: Maaf ya belum Update SMP! udah nelurin satu cerita lagi. Ide cerita ini mendadak muncul pas saya lagi dengarin lagu 'I Write Sins Not Tragedies' dari band Panic At The Disco(ada yang suka sama lagu ini juga nggak?:) ). Makanya judul ceritanya hampir mirip, Cuma saya ganti 'Sins' dan 'Tregedies'-nya, fufufu.
Terima kasih banyak bagi kalian yang masih mau membaca cerita absurd ini! ;D
