Ansatsu Kyoushitsu © Yuusei Matsui
Kepingan Kisah by La Miyaa
Warning(s) :
AU, AT, OOC (maybe), typo
Rated : T
Summary :
Sempurna. Itulah hal yang diincar oleh banyak orang. Otak jenius yang dimiliki Karma membuatnya diculik. Apa alasan di balik penculikan itu?/ Kau hanya anak kecil yang kesepian./ Apa kau penguntit, tuan?/
Please Enjoy!
Kepingan Kisah
Semua orang pernah bermimpi menjadi seorang yang jenius. Namun hanya sedikit diantara jutaan manusia di dunia ini yang benar-benar jenius. Sedangkan sisanya mereka yang memiliki otak standar atau bahkan tak berotak. Baik secara istilah maupun dalam arti yang sesungguhnya tentu saja.
"Baiklah, sekarang siapa yang bisa mengerjakan ini?" seorang bocah berambut merah berdiri- mengajukan diri- berjalan menuju papan tulis. Saat bocah itu mengerjakan soal, semua orang di kelas itu tercengang, walaupun mereka sudah mengetahui fakta tentang kepintaran anak itu tak pelak membuat mereka berhenti mengaguminya. Sederetan angka itu merupakan jawaban sempurna.
"Terimakasih Akabane-kun, kau boleh kembali."
"Baik."
Lalu sang guru kembali melanjutkan pelajarannya. Menjelaskan tentang operasi perpangkatan dan sejumlah materi angka yang lainnya. Setiap hari terasa membosankan baginya. Tidak ada hal menarik baginya di sekolah ini. Itu karena kecerdasannya yang diatas rata-rata. Dia jeius dan berbakat. Sempurna. Itulah yang terintas di pikiran orang-orang saat mendengar namanya. Sedangkan yang disebut-sebut merasa dirinya hampa. Ada lubang yang menganga di hatinya.
"Karma-kun. Mau pulang bersama?" ajak seseorang yang duduk di sebelahnya. Memiliki postur tubuh yang kecil untuk ukuran laki-laki, berambut bluenette dan pupil mata yang senada.
"Baiklah." Jawaban yang disambut senyuman oleh temannya. "Bukankah kita selalu pulang bersama, Nagisa-kun?" hanya pertanyaan retoris yang hanya ditanggapi dengan tawa ringan oleh temannya.
Sepanjang jalan, Karma merasa ada sesuatu yang aneh. Dirinya merasa diamati.
"Nagisa-kun, sebaiknya kita lari." Karma berbisik pada Nagisa
"Eh ada apa?" Nagisa tak mengerti, saat otaknya sedang memproses apa yang didengarnya Karma menarik tangannya dan segera berlari.
Di tengah kejaran derap kaki, matanya mencuri-curi pandang kebelakang dan melihat seorang pria yang mengejar mereka. Semakin lama jarak diantara mereka semakin terkikis, inilah perbedaan kekuatan antara anak-anak dan orang dewasa.
"Karma-kun!" teriak Nagisa saat melihat wanita yang sudah berdiri di depan Karma. Dengan segera menarik tangannya— memisahkan dari Nagisa— membekapnya dengan kain. Perlahan Karma mulai kehilangan kesadarannya. Nagisa tak bisa berbuat apapun. Tubuhnya dikunci oleh pria yang tadi mengejar mereka.
"Ayo pergi." kata wanita berambut hitam itu. "Biarkan saja bocah itu, kita tidak punya urusan dengannya." kemudian si pria berponi melepaskan Nagisa dan menyusul temannya yang membawa Karma pergi.
Karma-kun, Nagisa berguman pelan.
※
Dimana ini?
Perlahan Karma mulai pendapatkan kembali kesadarannya. Kepalanya pusing. Efek bius belum sepenuhnya hilang. Karma melihat sekeliling, ada banyak barang anyik di ruangan ini. Dia terduduk di sebuah kursi, beruntung, tidak dalam keadaan terikat.
Di seberang ruangan terlihat seorang wanita berambut blonde dengan sepasang mata berwarna biru agak terang, sangat jelas menunjukan dia bukan orang Jepang. Dengan kemeja merah dibalut jas hitam panjang dan celana hitam, wanita itu duduk dibalik meja besarnya. Salah satu tangan digunakan untuk menopang dagu.
"Jadi...Akabane-kun." wanita itu membuka suara. "Kau itu jenius, kan?" wanita itu berbicara bahasa Jepang dengan aksen Serbia. Kemudian beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri Karma, memainkan secarik kertas ditangannya.
"Baca dan ingat." titahnya pada Karma selagi memberikan kertas itu.
Kertas berisi kumpulan angka dan huruf acak, berjumah sepuluh baris. Karma melihatnya sekejap lalu mengembalikannya.
"Sudah selesai." ucapnya datar.
"Kau yakin sudah mengingatnya semuanya?" wanita blonde itu bertanya memastikan.
"Um." jawab Karma disertai anggukan kecil.
Karma tidak tahu untuk apa sekumpulan angka dan huruf itu, tapi otaknya menyimpulkan, mungkin itu semacam kode atau kunci untuk membuka sesuatu.
"Kalau begitu baguslah." wanita itu menyalakan pemantik api dan membakar kertas itu sampai tak bersisa.
"Mulai sekarang..." dia mendekati Karma, meyentuh pipinya lalu melanjutkan "kau akan tinggal disini." bibirnya membentuk sebuah senyum ganjil sebelum akhirnya melangkah pergi.
"Tunggu!" belum sampai ia menggapai pintu, sebuah suara menghentikannya. Dia berhenti tanpa berbalik, menunggu kelanjutan kalimat tadi.
"Apa maksudmu tinggal di sini?" suara itu menyiratkan keterkejutan yang hampir tidak terbaca —kecuali untuk seorang profesional— meskipun dia sudah tahu maksud serentetan kalimat tersebut.
Wanita itu terkekeh "Aku yakin kau paham maksudku." kemudian berbalik "Ada sesuatu yang harus kau lakukan untukku. Tapi tidak sekarang." dan itulah perkataan terakhirnya sebelum meninggalkan Karma bersama dua orang bawahannya.
Ruangan itu kembali senyap. Karma sibuk dengan pikirannya. Sekarang efek dari obat bius itu sudah sepenuhnya hilang. Karma melihat sekeliling, mengamati keadaan, seandainya ada kesempatan baginya untuk kabur. Namun sepertinya mustahil.
Mungkin yang ada di ruangan ini hanya dua orang itu, tapi di luar sana –yang dilhatnya dari balik kaca jendela— ada banyak penjaga.
"Hei bocah." Sebuah suara menyela kegiatannya mengamati keadaan, memuatnya menengok ke sumber suara. Seorang pria dengan rambut yang, aneh –menurutnya— rambut hitam dengan poni yang menutupi matanya.
"Apa?" Karma menjawab dengan sedikit ketus.
"Santai saja." Karma tidak bisa melihat sorot mata seperti apa yang sekarang ditujukan padanya. "Aku mendengar... semacam desas-desus mengenai dirimu," jeda sejenak. Karma hanya menunggu kalimat selanjutnya.
"Mereka bilang kau 'Sempurna' tapi kupikir tidak." Karma melihat sekilas senyum ganjil terukir di wajah pria itu beberapa detik. "Kau hanya anak kecil yang kesepian."
Deg.
Sekilas Karma merasa sebilah anak panah menancap di dadanya. Benarkah itu? Dia kesepian? Mungkin saja. Karma masih bungkam, enggan menanggapi.
"Kau hidup di panti asuhan, ditelantarkan oleh kedua orangtuamu, hanya merasakan kebahagiaan semu –itulah mengapa Karma merasa hampa— dan kau ..." pria itu berhenti, dia teringat dengan wanita berkacamata yang menjadi orangtua angkat Karma di panti.
"Ah lupakan saja itu, " menepiskan tangan di depan wajahnya sendiri.
"Apa kau penguntit, tuan?" Sarkas, itulah kebiasaan Karma sejak dulu.
Pria itu tak menggubris pertanyaan yang lebih menjurus pada tuduhan itu. Ia berjalan menuju kursi yang di duduki oleh seorang wanita. Mata Karma mengikuti setiap gerakan yang dibuatnya. Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa yang membuat wanita terganggu.
"Kau tidak mencoba berbicara padanya, Hime?" yang ditanya membuka mata, menampakkan iris mata keemasan yang cantik.
"Sedang tidak perlu." Suaranya lembut tetapi mengandung kemisteriusan. Hanya ditanggapi dengan kedikan bahu.
Karma mengamati mereka berdua. Pikirannya kembali mengingat setiap kata yang diucapkan oleh pria itu tentang dirinya.
tbc.
mind to review?
