Penderitaan
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Genre : Romance, High school love life
Rated : T
Warning :
AU!, Typo(s), gaje, pake nama Indonesia
.
Present~
.
.
20 Desember 2027
Kaki-kaki yang menggantung bebas di atas kursi, jemari-jemari yang telaten membuka berlembar buku album, dan wajah yang berseri-seri memperhatikan tiap halamannya, serta…
…Hidung yang memerah.
Wanita berusia 29 tahun itu tersenyum berkali-kali. Layaknya seorang muda yang tengah berbinar-binar mendapat surat cinta pertama, hanya saja ia tidak sedang mengagumi sebuah surat cinta.
Apa yang tengah ia baca adalah album kenangan sma, yang mana sudah lewat 13 tahun lalu.
Di sampingnya, sang suami yang tengah bersiap-siap berangkat kerja menyadari sesuatu yang timbul di hidung istrinya. Sudah lama warna itu tidak muncul, membuat sang suami rindu masa-masa di mana ia menjadi orang yang paling sering melihat warna itu timbul dan memudar.
Wanita berusia 29 tahun itu tiba-tiba merasakan hidungnya dihinggapi kecupan singkat. Awalnya ia kaget, namun suaminya tersenyum. Sudah pasti hidungnya memerah saat ini, terlebih karena ia yang sedari tadi berimajinasi.
Anak lelakinya yang berusia 2 tahun yang baru saja bangun tidur juga mencium hidungnya, meniru kelakuan sang ayah. Wanita 29 tahun itu tak pelak tertawa menatap satu persatu keluarga kecilnya, dan hidungnya juga mau tak mau kembali memerah karena tersipu malu.
Red Nose
Ready?
.
.
.
Turn back time, 15 years ago.
Januari 2017
Bagi sebagian orang, memiliki jenis kulit yang sensitif benar-benar menjengkelkan. Mereka nampak risih mendapati kulit mereka sendiri memerah ketika cuaca panas, ketika tertawa berlebihan, dan bahkan ketika sedang gugup atau malu.
Aku adalah gadis berumur 16 tahun yang memiliki masalah pada hidungku yang selalu memerah ketika dihadapkan pada situasi tegang, atau sesuatu yang menyudutkan. Hidungku yang awalnya hanya lamat-lamat memerah berubah menjadi bertambah sering ketika usia ikut bertambah.
Sejak aku masih kecil, orang-orang lewat selalu bertanya pada orang tua mereka tentang apa yang terjadi padaku. Seolah hidung memerah menjadi hal lucu untuk dibicarakan. Bahkan tidak sedikit yang menyatakan red nose sebagai penyakit, akibat dari gigitan nyamuk, dan bahkan sindrom yang menular. Yah, walaupun aku sendiri tak tahu apa arti sindrom yang sesungguhnya.
Red nose bukan penyakit dan tidak mungkin menular. Jika orang-orang hanya bisa menerka-nerka, memberi pendapat sebatas pengetahuan mereka, mengapa tidak mencoba bertanya padaku saja? Asal mereka tahu, meski baru 16 tahun aku sudah paham banyak tentang masalah yang menjadi buah bibir ini.
Di umurku yang ke-13, aku diam-diam ikut perkumpulan red nose yang sering mengadakan pertemuan di gedung kecil di pinggiran kota. Mungkin banyak yang mengira di sana sangat menyenangkan, dan ada banyak orang yang saling memotivasi satu sama lain atas penderitaan yang mereka hadapi. Namun kenyataannya berbeda jauh, orang-orang di sana hanya sibuk memoles hidung dengan berbagai krim dokter untuk mengurangi merah di hidung.
Bagiku perkumpulan itu tidak berguna sama sekali. Dan dari situ juga aku menyadari, bahwa tidak setiap masalah bisa diselesaikan bersama.
Tapi intinya, red nose bukanlah penyakit apalagi menular. Red nose hanyalah sebuah situasi yang kurang menguntungkan bagi sebagian orang.
Tapi beruntunglah, karena ketika menginjak dewasa, orang-orang dengan pemikiran semacam itu sudah punah. Sekarang yang ada hanya orang-orang dengan pemikiran terbuka dan bahkan tanpa canggung bersedia berfoto bersama para penderita red nose.
Justru aku yang canggung dengan orang lain.
Tahu sendiri apa yang terjadi ketika aku canggung, bukan?
…
18 Februari 2017
Aku dinyatakan lolos seleksi tim pemandu sorak. Ibuku sampai terharu begitu tahu aku akan berada di kalangan orang-orang cantik dan populer di sekolah. Namun suatu hari saat masa orientasi klub, penderitaanku yang sesungguhnya baru dimulai.
Di depanku ada rombongan senior dengan wajah berpoleskan bedak lumayan tebal. Dengan kostum pemandu sorak yang sering jadi idaman, mereka membentuk sekelompok anak baru menjadi 2 grup resmi, yaitu…
Grup tinggi dan grup cantik.
Aku yang sudah didoakan setiap hari oleh ibuku agar masuk grup idola sekolah, justru masuk grup tinggi. Memang sih grup tinggi berisi 11 siswa tinggi semua, tapi apanya yang membanggakan kalau aku jadi yang paling pendek di grup ini.
Maaf bu, anakmu ini sedang mengarungi penderitaan panjang.
"Wow, ternyata yang namanya Mei banyak juga ya. Ayo, sini yang namanya Mei baris, lalu perkenalkan diri kalian seunik mungkin."
Pengeras suara mulai bekerja, dan betapa kurang beruntungnya aku karena harus memiliki nama Mei. Pasti pertanyaan mereka macam-macam dan mengancam kelestarian hidungku.
"Hai, namaku Meisa, panggil aku Icha."
Perkenalan dimulai, dan aku mulai gugup mempersiapkan diri.
"Aku Meika, panggil saja Eka."
Entah mengapa ku rasa nama mereka lucu-lucu.
"Namaku Meylani, panggil aku Meli."
Sekarang giliranku, sekarang giliranku!
"Mei yang selanjutnya kenapa diam saja?"
"Ak-aku…"
"Mei, kenapa?"
Anak-anak lain yang tadinya tidak peduli pada sesi perkenalan mendadak menaruh fokus padaku.
"Na-namaku… Mei Rah Sylvino, panggil aku…"
Aku menutup mulut, terlalu malu menatap para manusia yang menaruh perhatian padaku. Bukan, bukan aku tidak tahu nama panggilanku. Ino adalah nama panggilanku, tapi entah kenapa sulit sekali kata itu keluar dari mulutku. Terlalu banyak atensi.
"Namanya Meirah, panggilannya pasti merah!"
Salah satu angkatan baru menceletuk, diteruskan temannya yang lain.
"Maksudmu seperti bawang merah?"
Tidak, bukan begitu. Namaku Ino bukan bawang merah.
Ledakan tawa tidak terkendali setelahnya, dan aku hanya bisa menatap orang-orang dalam diam. Mengapa namaku dijadikan leluco-
"Lihat, hidungnya memerah!"
Aku dengan sigap menutup hidungku dan berlari menjauhi ruangan klub pemandu sorak.
…
5 Maret 2017
Latihan pertama grup pemandu sorak angkatan baru dimulai. Dua grup sudah diminta membuat pom-pom untuk dipakai hari ini. Mungkin bagi orang yang melihat, latihan kami hanya dianggap main-main, namun kenyataannya jauh berbeda dari itu.
Mungkin aku bisa menyebutnya mengerikan.
Latihan keras bisa dilakukan selama berjam-jam dalam sehari, namun dua grup baru diputuskan harus dipisah untuk menyemangati cabang olahraga yang berbeda.
Beruntungnya menjadi tim cantik, karena mereka akan berhadapan dengan para pemain basket yang rata-rata tinggi, putih, dan tampan. Mungkin karena tim basket sekolah lebih aktif berkompetisi dibanding tim lain, jadi kelihatannya lebih elit.
Bukannya aku bicara tentang kelemahan tim lain, hanya saja aku merasa aneh untuk menyemangati tim voli sekolah. Karena secara tidak langsung para senior menganggap grup cantik lebih berbakat dibanding grup tinggi, padahal belum ada kompetisi cheers terbuka untuk menjadi pembanding kami.
Sekali lagi aku menggugurkan harapan ibuku.
Tenten Anggrahita Wijayanti yang menjadi kapten grup tinggi membentuk kami menjadi satu lingkaran dan mendiskusikan beberapa hal yang dianggap perlu.
"Kita jangan berkecil hati, menjadi tim pemandu sorak bukan perkara sering atau tidaknya kita dibutuhkan di lapangan, melainkan bagaimana menunjukkan kemampuan kita."
Anggota yang lain mengangguk paham.
"Kita semua cantik, itulah kenapa kita lolos menjadi tim pemandu sorak, mengerti?"
"Mengerti!"
"Suatu saat kita akan ikut banyak kompetisi untuk menunjukkan kalau kita lebih baik dari mereka!"
"Setuju!"
Semangatku berkobar lagi, semua demi ibuku yang selalu berdoa untuk kesuksesanku.
Aku juga berharap akan menjadi anggota grup yang paling beruntung di sekola-
Duakh!
Seperti drama mingguan yang biasa ku tonton bersama ibuku, tubuhku terhuyung ke belakang. Sebuah bola telah menghantam sendi-sendi kepalaku. Aku lupa bahwa sedari tadi kami berdiskusi tepat di dekat para pemain voli yang sedang latihan.
.
.
.
15 menit kemudian…
Ruangan serba putih ini tidak mungkin membuatku harus bertanya sedang ada di mana aku sekarang.
Lagipula ini bukan sinetron.
Aku pasti sedang di ruang kesehatan. Tapi tunggu…
"Sedang apa kau?"
Seseorang dengan kacamata tebal mendekatkan wajahnya tepat di atasku.
"Kamu sudah sadar?"
Aku lantas mendudukkan diri, menempatkan bantal di belakang punggungku terlebih dulu. Pemuda itu tidak berhenti menatapku.
"Kamu siapa?"
"Aku Kiba Anggara, orang yang melempar bola ke arahmu tadi."
Astaga, memang siapa yang menanyakan nama lengkapnya?
Aku geleng-geleng heran. "Sudahlah, tidak apa-apa. Aku sudah baikan kok. Aku mau kembali ke lapangan."
Aku turun dari ranjang ruang kesehatan, hendak kembali ke lapangan. Andai saja aku benar-benar bisa kembali ke lapangan dan melanjutkan latihan, tapi sepertinya seseorang di belakangku tidak mengijinkan.
"Kenapa kamu mengikutiku?!"
"Aku tidak mengikutimu kok, aku memang mau lanjut latihan voli di lapangan."
Oh.
Hampir saja aku dibuat malu.
"Hidungmu merah, kamu sakit?"
Yah, aku memang sudah malu.
"Jangan bicara macam-macam tentang hidungku, ini limited edition tahu!"
Aku kembali berjalan seraya menutupi hidung, tidak peduli kalau pada akhirnya harus dibuntuti olehnya. Oh iya, dia kan tidak membuntutiku.
"Limited edition? Apa maksudnya?"
Banyak tanya juga laki-laki ini.
"Bukan apa-apa. Memangnya kamu tidak tau tentang red nose?"
Dia menggeleng.
"Banyak yang suka membicarakan tentang ini." Aku melanjutkan.
Dia tetap menggeleng.
Astaga, kemana saja dia sepanjang hidupnya? Aku saja dari usia 6 tahun sudah harus merasakan pahit manis kehidupan.
"Semacam penyakit menular ya?"
Aku membelalak, merasakan kembali memori di suatu hari yang sudah lama terlewati.
Aku hampir saja memarahinya, tapi tidak jadi begitu sadar bahwa aku tidak ditakdirkan untuk memiliki karakter temperamental di cerita ini.
"Oh ya, ngomong-ngomong sedari tadi kamu tidak berhenti bertanya? Seolah sudah kenal saja."
Laki-laki berkacamata di hadapanku malah tersenyum kikuk seraya menggaruk belakang kepalanya. "Maaf, aku hanya penasaran."
Aku berpikir sejenak dan akhirnya menjulurkan tangan. "Karena kamu sudah banyak tanya, kenapa kita tidak berkenalan saja? Aku Ino."
Dia dengan setengah bingung menerima uluran tanganku. "Oh oke, panggil aku Kiba."
…
4 April 2017
Sudah sepatutnya sebagai tim pemandu sorak junior untuk tidak memakan tempat tim senior. Peraturan ini memiliki masa berlaku sampai senior lulus, dan harus dipatuhi tanpa protes dalam bentuk apapun.
Namun peraturan tak resmi antar tim junior juga tak kalah menyenangkan kok. Kami yang notabenenya dari grup tinggi memang jarang mendapat siulan dari siswa laki-laki ketika latihan, tapi kami tetaplah lebih berkuasa.
Berkat tubuh kami yang menjulang, kami selalu mendapat tempat di kantin. Grup cantik akan menyingkir dengan sendirinya karena merasa lebih rendah dibanding kami.
Berkat kaki kami yang jenjang, kami bebas menentukan kostum apa saja untuk dipakai, apalagi jika sudah bersangkutan dengan rok mini. Tidak akan ada yang protes karena memang kaki kami bagus untuk dilihat.
Sebenarnya kami semua cantik ketika bermake-up, ya setidaknya menurut grup kami sendiri. Selain memoleskan bedak, mungkin kami perlu perawatan agar kecerahan wajah kami bisa dibandingan dengan grup cantik.
"Kalian ini jangan cuma modal kaki jenjang dan dianggap cantik oleh semua orang!"
Pengeras suara mulai berkumandang lagi. Kali ini senior memarahi kami.
"Kami tidak memilih kalian hanya karena tampang, tapi karena kami melihat potensi di diri kalian sejak pendaftaran, tapi sekarang kemana perginya potensi itu?"
Aku hanya menghembuskan napas lelah berulang kali. Kami ini sebenarnya dilatih keras, di hari libur juga datang ke sekolah demi latihan. Jadi bisa dikatan kami ini kelelahan, tapi di saat energi kami habis, kami justru menerima kemarahan yang begitu membekas.
Lagipula kami ini bukan robot!
"Jangan karena popularitas lalu kemampuan kalian dinomor duakan!"
Aku hanya memperhatikan sekeliling, memandangi anak basket dan voli yang sedang latihan juga.
Bibirku tidak sanggup menahan gurat senyum ketika melihat kapten tim basket yang dulu pernah jadi kakak kelasku di smp tengah mendribble bola. Aku sudah menyukainya sejak kelas satu smp, tapi belum berani berbicara langsung dengannya.
Saat sedang senang-senangnya, mataku tanpa sengaja menangkap seorang berkacamata di lapangan voli tengah melihat ke arahku. Lama-lama anak itu itu tesenyum misterius. Matanya mulai beralih menatapku dan si kapten tim basket bergantian. Ya Tuhan, tanpa sengaja ku bocorkan rahasiaku sendiri.
Sudah ku bilang kan, masa penderitaanku baru saja dimulai.
TBC
A/N : Aih, akhirnya kita bertemu lagi ya temans. :) Inilah hasil kegabutanku selama ngerjain proposal penelitian yang tak kunjung kelar. Bosan aku tuh nulis yang berbau ilmiah terus. Pengennya langsung wisuda aja. :(
Oh iya, fic ini pake nama Indonesia ya, biar lucu gituw. :( nggak tau deh entar pake latar Indonesia juga atau enggak. Semoga terhibur ya, dan jangan protes karena namanya. Ingat, ini hanya fanfiksi. Jangan dibawa serius atuh. :(
Ah iya, biar nggak terjadi salah paham. Ff ini aku remake dari orific milikku sendiri yang ku tulis di wattpad, jadi biar pada tau kalau cerita ini murni milikku. Bukan orang lain. :)
.
.
I'll be back soon~
Hang in there, guys.
