Disclaimer: I neither own Supernatural, nor The Magnificent Seven. They belong to their respective owners whose names I don't even bother to type.
Author's note: percobaan pertama menggabungkan dua universe favoritku. Entah bagaimana jadinya. Sepertinya jadi malah OOC dua-duanya. Judul diambil dari Supernatural episode 1.20. Kritik, saran dan masukan sangat diharapkan.
xox
Suatu hari yang panas di Four Corners. Bukan sesuatu yang aneh bagi orang-orang di kota kecil itu. Mereka telah lama belajar untuk hidup berdampingan dengan cuaca yang jarang ramah. Panas membakar dan kering bahkan sebelum pukul delapan, dingin menusuk tulang setelah matahari lenyap di balik cakrawala. Penduduk kota itu telah terbiasa, tetapi bukannya mereka tak pernah mengeluh, dalam hati maupun terang-terangan.
Panasnya sampai bisa untuk menggoreng telur tanpa api, tinggal taruh wajan di jalan dan matanglah sudah, plus debu sebagai penyedap rasa, demikian Chris Larabee seakan mendengar ucapan sobatnya, Vin Tanner di telinganya. Saat itu dia tengah duduk dengan kaki terjulur di depan teras kantor sherrif. Cerutu kecil di sudut bibirnya sudah lama mati, tapi gerahnya udara membuat dia malas bergerak kalau tak benar-benar penting. Orang yang tak mengenalnya pasti mengira pria berpakaian serba hitam itu tidur-tidur ayam. Namun, penghuni lama Four Corners tahu bahwa mata hazel kehijauan Chris yang terbuka sedikit itu menilik situasi di sekelilingnya dengan waspada, seluruh indranya tanggap.
Chris melirik ke kiri sewaktu telinganya menangkap bunyi derap sepatu kuda memasuki jalan utama. Dia membuka mata sepenuhnya, posisi tubuhnya menegak dan tangan kanannya secara otomatis mendekat ke sabuk pistolnya.
Dua ekor kuda berjalan pelan melintasi tempat Chris duduk, meninggalkan gumpalan debu di belakang. Chris memperhatikan sosok penunggangnya dengan teliti, instingnya yang terlatih segera menentukan apa mereka calon biang masalah atau bukan. Kedua pria yang berada di atas punggung kuda itu tampak masih muda, sejauh yang bisa dilihat dari balik topi yang dibenamkan dalam-dalam. Pria berkuda hitam mengenakan jaket kulit yang mengingatkan Chris pada jaket sialan Vin, sedangkan rekannya yang berkuda coklat berpakaian seperti pria daerah Barat pada umumnya, hanya agak terlalu rapi. Keduanya terlihat seperti pengelana yang sudah menempuh perjalanan jauh, debu melapisi pakaian dan topi mereka. Chris dengan cermat mendapati bahwa keduanya sama-sama bersenjata lengkap. Senapan di sadel, sabuk dengan masing-masing dua pistol, wadah amunisi dan Chris berani bertaruh mereka juga membawa pisau.
Membawa senjata belum tentu mendatangkan masalah, pikir Chris. Namun, tak ada salahnya mengawasi kedua pendatang itu.
Pria di atas kuda hitam memberi tanda pada temannya untuk berhenti di depan Saloon. Chris baru saja bangkit, hendak berjalan menyeberangi jalan dan menanyai mereka ketika JD Dunne menghambur keluar dari dalam kantor sherrif. Nyaris dia bertabrakan dengan Chris.
"Lihat ke mana pergimu, JD," Chris memperingatkan.
"Maaf, Chris," JD agak merona dan dia menjelaskan, "aku ingin pergi menanyai dua orang yang baru datang itu. Kau tahu, kan? Hal rutin yang biasa kita lakukan kalau ada orang baru yang datang. Memastikan mereka tidak bawa masalah dan semacamnya. Jadi..."
Chris memotong ocehan JD dengan lambaian tangannya. "Yeah," sahutnya pendek.
JD mengangguk pada bos tidak resminya itu, merapikan setelah wol kotak-kotak yang dipakainya, memastikan lencana sherrif yang dipakainya terlihat dan berjalan ke depan Saloon. Chris kembali ke kursinya dan matanya mengikuti JD.
xox
"Kamu yakin kita ada di kota yang benar?" Dean Winchester mencopot topinya dan mengusap peluh yang bercucuran di dahinya, hanya sukses membuat debu lebih merata di mukanya.
Sam Winchester menghela nafas. "Ini satu-satunya kota yang bernama Four Corners di daerah ini dan menurut kabar dari Bobby, jejak Pa mengarah ke sini."
"Juga jejak barang brengsek yang sudah kita kejar sejak lima kota yang lalu," gerutu Dean.
Sam mengangguk. "Mudah-mudahan kita tidak kalah cepat lagi," ujarnya, selesai menambatkan kudanya, menepuk-nepuk tengkuk hewan itu yang minum dari tong air dengan rakus.
Dean mau mengatakan sesuatu, tetapi matanya tertumbuk pada sesosok pemuda yang melangkah dengan sikap sok tegas ke arah mereka. Dean mengerutkan kening kala lencana berbentuk bintang yang tersemat di kerah jas pemuda itu berkilau sesaat memantulkan cahaya matahari.
"Bagus," dumal Dean pelan.
Sam menoleh dan dia mengeluh dalam hati, tetapi dipasangnya seulas senyum di wajahnya.
"Selamat siang," sapa JD, terpaksa mendongak karena tinggi tubuh kedua pria di depannya jauh di atasnya.
Sam mengangguk sekilas, "Siang."
"Namaku JD Dunne, aku sherrif di sini," JD memulai dengan nada yang dikiranya berwibawa, tetapi kalau Buck Wilmington yang dengar pasti dia ditertawakan.
Dean menyodok pinggang Sam, matanya seolah mengatakan, "Apa tidak ada orang lain lagi yang mau jadi sherrif?"
Sam mendelik pada kakaknya, mengabaikan rusuknya yang baru berkenalan dengan sikut Dean.
"Selamat datang di Four Corners," JD meneruskan, sepenuhnya tidak menyadari komunikasi tanpa suara kedua pria itu. "Sebagai sherrif, sudah tugasku untuk menanyakan dari mana kalian berasal, hendak ke mana dan ada keperluan apa kalian di kota ini, sebagai tindakan pengamanan."
"Cuma itu?" sela Dean. "Kamu tidak tanya nama kami sekalian?"
"Uh... yah... itu juga," JD tergeragap.
Dean menyeringai, "Berapa, sih umurmu, Nak?" Dan siapa yang menyuruhmu jadi sherrif boneka di sini?
JD menyipitkan mata, nada sok kebapakan macam itu dibencinya. "Aku lebih tua dari tampangku," sahutnya pendek.
Paling cuma beberapa tahun lebih muda dari Sam, terka Dean. Paling banter dua puluh tahun. Usia yang terlampau belia untuk menyandang dua pistol kembar di sabuknya dan lencana di kerah jasnya.
Sam menengahi. "Namaku Sam... Wesson," diulurkannya tangan pada JD yang menjabatnya mantap.
Dean mengikuti teladannya. "Dean Smith."
JD berkata, "Smith dan Wesson. Seperti merek senjata."
Dean dapat merasakan tatapan "kubilang juga apa" dari Sam tertuju padanya, tapi tak diacuhkannya adiknya itu dan dia berbicara pada JD, "Yeah. Kami dari Dry Springs, sedang dalam perjalanan ke Texas."
"Kami tidak akan lama di sini. Hanya beristirahat beberapa hari, mungkin menambah perbekalan, kemudian melanjutkan perjalanan," tambah Sam.
JD berkata lagi, "Kalian tidak terdengar seperti orang daerah sini dan aku tak pernah melihat kalian di Dry Springs."
Sam yang menjawab, "Yah, kami aslinya dari California," senyumnya disetel sedih, "penambang emas yang gagal. Kami dengar ada teman kami di Texas yang membutuhkan tenaga di peternakan, jadi kami pikir lebih baik kami ke sana."
"Mungkin suatu hari nanti kami bisa memiliki penangkaran kuda sendiri," dukung Dean.
"Jauh juga dari California ke Texas," pancing JD.
"Begitulah. Kami gemar bepergian."
"Baiklah. Kalian berdua pasti lelah. Kalau ingin istirahat, kusarankan kalian segera memesan kamar di hotel atau rumah penginapan. Ada kereta kuda yang dijadwalkan singgah dan bakal ada serombongan koboi penggembala ternak yang datang ke kota. Jika baru cari kamar nanti malam, kalian bisa kehabisan," saran JD.
"Terima kasih," ucap Sam.
"Omong-omong, kau ada rekomendasi tentang tempat makan yang enak di sini?" Siapa lagi yang bertanya kalau bukan Dean.
"Kami punya beberapa restoran, di hotel juga ada restorannya, tapi," JD menunjuk gedung di depannya, "kalau kalian ingin makanan rumahan yang sedap dengan harga murah, datanglah ke Saloon."
"Dan di mana kami bisa menempatkan kuda-kuda kami?" kali ini Sam buka suara.
JD menuding ke sebuah bangunan di arah kanan, "Itu istal, kalian dapat mengandangkan kuda di sana. Dengan tambahan sedikit ongkos, Yosemite akan bersedia merawatkan kuda-kuda kalian."
Dean meringis. "Wah, tidak perlulah itu. Aku mampu merawat kudaku sendiri. Lagipula, Impala cantikku ini," dia mengusap surai kudanya dengan sayang, "temperamental. Dia tak ramah pada orang asing. Aku saja sudah tidak terhitung lagi berapa kali sudah digigit dan disorongnya." Hampir Dean menambahkan tentang bokong Sam yang jadi korban tendangan Impala, tetapi pelototan sengit Sam menggagalkannya.
JD terkekeh. "Kedengarannya seperti Peso dan Chaucer." Melihat tampang heran kedua pria di depannya, JD menjelaskan, "Kuda-kuda milik temanku. Kudamu bisa jadi lawan yang sebanding dengan mereka dalam adu keras kepala."
Mudah-mudahan jangan, Sam berkata dalam hati. Pada JD dia berujar, "Kalau begitu kami permisi dulu. Senang berkenalan denganmu." Sam melepaskan tali kekang kudanya dari tambatan dan menuntun kudanya ke arah istal, sebelumnya dia memberi salut pada JD.
"Sama-sama," JD membalas dengan menyentuh ujung topinya.
Dean mengikuti teladan adiknya dan mengangguk pada JD, "Trim's, Sherrif," kata yang terakhir itu diucapkannya setengah mengolok.
JD memandangi kedua pendatang itu untuk beberapa lama sebelum beranjak kembali ke kantornya.
xox
Nathan Jackson menutup pintu kantor telegraf di belakangnya. Secarik kertas kuning tergenggam di tangan, langkah-langkah panjangnya membawanya ke teras kantor sherrif, tempat rekannya Chris bertengger.
"Ada kabar dari trio sinting itu?" tanya Chris pelan.
Nathan meraih sebuah kursi dengan kakinya, duduk dan menyerahkan kertas kuning itu pada Chris yang membacanya dengan cepat dan menghela nafas tanpa sadar setelahnya.
"Bagus, tahanan yang mereka kawal melarikan diri dan sekarang mereka sedang berupaya mengejarnya. Tidak tahu kapan akan kembali," gerutu Chris.
Nathan memandangnya prihatin. "Aku tidak tahu bagaimana, tapi sepertinya mengutus mereka bertiga mengawal tahanan ke Yuma bukan ide yang baik. Yah, mengirim Buck dan Ezra ke mana pun sudah bukan gagasan bagus. Tambahkan Vin ke dalamnya dan..."
"Mereka memikat masalah segampang madu mengundang beruang. Yeah," lanjut Chris.
"Perlukah kita menyusul?"
Chris menggeleng. "Di sini disebutkan mereka dapat bantuan pasukan pengejar dari penduduk lokal. Aku kenal Vin. Dia akan melacak tahanan itu sampai dapat, Ez dan Buck juga begitu. Lagipula sudah terlambat kalau kita mau pergi membantu sekarang."
"Aku setuju. Kita dibutuhkan di sini, kau tahu, dengan berita akan ada rombongan penggembala ternak yang datang. Bakal repot juga kita nanti. Koboi dan alkohol tidak pernah jadi kombinasi bagus," Nathan berkata. Sosok dua orang pria menuntun kuda mereka ke arah istal menarik perhatiannya. "Siapa mereka?"
"Entahlah. Pendatang. JD baru saja menanyai mereka," sahut Chris, mengamati gerak-gerik kedua pria muda itu secara tidak menyolok. Disipitkannya mata ketika satu dari mereka, yang bertubuh lebih pendek, menatap ke arahnya dan Chris membaca ada keangkuhan yang nakal di sinar matanya. Sikap yang muncul dari pria yang tahu apa yang dilakukannya, juga ketika membikin masalah. Dari kesanggupan pria itu menahan sorot mata intens Chris, dia mau tak mau agak terkesan.
"Kelihatannya, sih tak termasuk rombongan penggembala," komentar Nathan. "Semoga saja bukan pemburu buron berhadiah."
"Justru bagus kalau pemburu buron berhadiah. Enyahkan mereka mumpung Vin sedang tidak di sini."
Nathan baru mau menyahuti sewaktu JD menaiki tangga ke teras kantor sherrif dan mendudukkan dirinya di sebuah tong kosong.
"Masalah, JD?" selidik Chris.
Yang ditanya melepaskan topi dan mengipasi dirinya. "Tidak. Mereka cuma lewat, sedang dalam perjalanan ke Texas. Kelihatannya tak bakal menimbulkan masalah," jelas JD.
Chris mengangguk singkat. Dia cukup mempercayai penilaian anak buahnya yang paling muda itu, tetapi dia akan lebih tenang kalau para pendatang itu sudah meninggalkan kota. Makin sedikit orang yang perlu diawasi, lebih baik. Bukannya Chris merasa keberatan dengan itu, tetapi sesekali dia butuh juga saat rehat yang agak panjang dari satu pertarungan bersenjata ke perkelahian yang lain.
"Hm, kalau kupikir-pikir lagi..." JD mengetuk-ketukkan telunjuk ke bibirnya, "salah satu dari mereka tampak familiar."
"Yang mana?" tanya Chris.
"Yang lebih pendek, mengaku namanya Dean Smith. Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi di mana ya?" kening JD berkerut mengingat-ingat.
"Jangan-jangan kau melihatnya di ilustrasi novel koboi picisan doyananmu itu," seloroh Nathan. "Mereka cenderung menggambarnya berlebihan, terlalu tampan untuk petarung bersenjata pistol."
JD yang tak berhasil menggali memorinya mengalihkan perhatian pada kertas kuning yang masih di tangan Chris dan dia bertanya, "Apa itu dari Ez? Kapan Buck, Vin dan Ez pulang? Bagaimana kabar mereka?"
Chris dan Nathan bertukar pandang, yang disebut pertama itu menyerahkan kertas itu pada JD yang langsung menghembuskan nafas kecewa seusai membaca isinya.
"Ah... kalau saja waktu itu aku tidak terkilir," keluh JD dengan mata menerawang. "Aku bisa ikut mereka. Pasti banyak kejadian yang mengasyikkan di sepanjang jalan ke Yuma," dia menunjuk kertas itu, "ini contohnya."
Kedua rekannya menggelengkan kepala. Sudah agak lupa mereka akan masa-masa muda di mana segalanya terasa seperti petualangan, hidup seperti di arena rodeo: liar, menegangkan dan memacu kegairahan. JD selalu menghembuskan angin segar dalam kehidupan mereka yang keras, seperti kali ini.
"Belajar melacak jejak dengan Vin, menangkap tahanan yang berani-beraninya kabur dan baku tembak yang seru..." JD mengerutkan sudut bibir, "jauh lebih menyenangkan ketimbang terjebak di Four Corners pada puncak musim panas. Udara gerah sekali sampai orang-orang malas keluar rumah, buka mulut pun diirit seolah takut air liur akan menguap habis." JD bertopang dagu, "Bosan." Andai ada sesuatu yang menarik terjadi...
"Jangan pikirkan itu," sergah Chris lirih, membuat JD kaget karena seolah Chris dapat membaca pikirannya. "Nanti masalah betulan akan terjadi justru pada waktu kita tidak siap."
Nathan menimpali, "Kalau kamu ingin kejadian yang menarik, aku tadi bertemu Casey. Sekarang dia di tempat Ny. Potter, tapi dia menanyakanmu. Sesuatu tentang pergi memancing atau..."
Belum selesai kalimat Nathan, JD dengan tampang gembira meloncat bangkit dan berseru, "Trim's, Nate!" Dia berjalan mengebut menuju toko Ny. Potter, sempat juga dia berhenti sejenak, mematut diri, merapikan pakaian dan rambutnya di depan jendela kaca sebuah bangunan yang dilewati.
Dua senyuman merekah di bibir Nathan dan Chris, yang satu sedikit lebih pahit dari yang lain. Ah, romansa anak muda...
xox
"Dean, kaulihat pria berpakaian hitam-hitam yang duduk di depan kantor sherrif itu?" Pertanyaan itu dilemparkan Sam di penghujung acara kedua bersaudara itu mengandangkan dan merapikan kuda-kuda mereka.
Kakaknya mengambil sebuah apel kering dan membiarkan Impala melahapnya dari tangannya. "Yang tampangnya seolah dia sarapan dengan pecahan gelas?" sambutnya.
Sam tertawa pelan. "Yeah. Aku baru saja mau mengatakan wajahnya dapat memasamkan susu dalam sekejap." Dia kembali serius. "Kamu pernah dengar tentang Chris Larabee, Pria Berpakaian Hitam, Penembak Tergegas di Barat?"
Dean mengerutkan kening, setengah karena pertanyaan adiknya, setengahnya karena Impala menyusupkan moncongnya ke saku kemejanya mencari gula balok. "Bukannya dia itu cuma tokoh dalam novel koboi murahan?"
"Hm, kukira juga begitu. Tapi semakin dekat kita ke Four Corners, aku kian sering dengar namanya disebut-sebut orang. Mereka bilang Larabee itu sungguh ada dan dia menetap di Four Corners." Sam dengan terhibur menyaksikan kakaknya berakrobat menghindarkan diri dari gigitan Impala yang jengkel karena saku Dean ternyata kosong.
"Kamu kira orang tadi itu dia, begitu?"
Jawaban Sam adalah anggukan kepala dan penjelasan singkat, "Penggambarannya mirip."
"Penembak tercepat, huh? Aku ingin tahu seberapa cepat," gumam Dean sambil menutup palang kandang.
Sam meraih tas-tas mereka dan mengulurkan satu pada Dean sebelum keduanya melangkah keluar dari istal yang remang-remang itu. "Jangan cari gara-gara," dia memperingatkan. "Ingat apa tujuan kita ke sini."
"Ah, kau terlalu pencemas. Santai sajalah. Eh, apa kata bocah tadi tentang makanan di Saloon?" Dean menoleh pada adiknya, heran melihat Sam tak ada tanda-tanda hendak ikut menyeberang jalan.
Sam mengernyitkan kening. "Kukira kita mau ke pemandian umum dulu."
"Makan dulu, dong. Baru mandi," tukas Dean.
"Terbalik. Mandi dulu, baru makan."
Dean mengeluh, "Aku sudah lapar sekali sampai rasanya sanggup melahap seekor bison. Ayo kita cari makan."
"Dean, aku tidak mau masuk ke Saloon dengan debu setebal satu inci di tubuhku," protes Sam.
"Dasar pesolek," balas kakaknya. "Tidak ada yang mempedulikan apa kamu sudah mandi atau belum. Berani taruhan, hampir semua pengunjung di sana bau badannya bisa disulut."
"Aku peduli. Lagipula apa salahnya, sih mandi dulu? Biar, deh orang lain mau berbau seperti apa. Paling tidak kita tak ikut menyumbang polusi," Sam meneruskan langkah ke arah bangunan dengan plang bertuliskan pemandian umum di depannya.
Dean merengut, tapi dia otomatis mengubah arah jalannya mengikuti adiknya. Sam tersenyum dalam hati. Setiap kali memasuki kota baru, Dean amat jarang membiarkan dia pergi seorang diri sebelum mengenal lekuk-liku dan situasi kota tersebut dan Sam memanfaatkan sifat protektif kakaknya itu. Mandi yang bersih, makanan enak dan kasur yang empuk alih-alih tanah keras berumput seperti yang sudah ditidurinya beberapa hari terakhir ini. Kedengarannya rencana yang bagus.
xox
BERSAMBUNG
