A/N: Saran, karena ini side story All For You, mending baca itu dulu biar ngerti soalnya nanti rancu *ini seriusan* tapi ngga maksa sih. Dan, mungkin ini Two-shot atau Three-shot.

Just For Fun and Happy Read, Minna-san! ^^

::∞::

Apa? Apa ia membenci idenya?

Mamori menggigit kuku ibu jarinya yang lebih panjang dari yang lain. Sedikit putus asa melihat wanita di hadapannya itu mengerut kening dengan apa yang ia persembahkan sekarang. Dari matanya, wanita itu menghela napas dan tersenyum—ini fifty-fifty.

"Sebenarnya aku agak kecewa setelah melihat gambar rancanganmu kemarin—

Oh, ya ampun. Ia agak terkejut mendengar perkataan tiba-tiba wanita yang sudah dua tahun menjadi atasannya itu. Apalagi ungkapan wanita itu tentang rancangannya yang—Oh, jangan ingatkan kalau ia tidak bisa gambar!

"Hah ... kau tahu, Mamori?"

"Eh? I-iya?"

"Kau selalu mengesankanku."

Rasanya seperti keluar dari lumpur hisap di Afrika dan terjun bebas di Bunaken. Lega sekali—dan indah tentunya. Ia jadi yakin tentang pilihannya untuk bekerja bersama bibinya dalam desain interior. Mungkin itu memang bakatnya. Lagipula ini bisa menjadi pengisi waktu luangnya sebelum ia lulus dari Universitas Paris, pun ada seseorang yang sangat cerewet tentang—kau-harus-kembali-sebelum-aku-yang-menyeretmu-Pacar-Sialan—yah ... begitulah hidupnya. Seharusnya.

"Mau kuantar, Mamori?" Hari sudah senja, memang. Dan, apa yang harus ia kerjakan setelah ini? Berjalan-jalan? Mungkin ia harus menolak ajakan bibinya untuk ide itu.

"Merci (1) ... tapi mungkin aku ingin pergi keluar sebentar," Mamori mengumpulkan kertas-kertas bergambarnya yang berserak di meja lalu memasukannya kedalam tas. "Aku ingin ... jalan-jalan."

Bibinya itu tersenyum dan menepuk pundaknya, "Ya, kau memang harus begitu, anak muda. Oh iya, restoran baru diujung jalan sana akan mulai menggunakan rancanganmu. Kalau begitu, aku pulang duluan, bonjour (2)."

Tak lama setelah kepergian bibinya, ia hanya duduk pasrah di kursi yang tadi ia duduki. Yah, berita bibinya tadi sebenarnya sangat menggembirakan—pikirkan tentang karya pertamamu yang akan digunakan? Senang 'kan? Oke—tapi ia sedikit gelisah memikirkan kejadian yang telah lewat sepekan; tentang Hiruma, Twitter, mention aneh, sambungan luar negeri yang kacau, pesan yang tidak dibalas—"Kau mau mati ya?" sekarang dia jadi gila karena menatap sengit pada ponselnya.

Yup, sudah seminggu—tolong garis bawahi itu—seminggu pria itu tidak menghubunginya. Mengatakan apa? Ooohhh, ia tidak mengatakan apapun alasannya tidak menghubunginya sampai sekarang, bahkan SMS balik saja tidak pernah! Itu membuatnya kesal setengah hidup dan gondok setengah mati pada Hiruma—My beloved—cih, katakan saja pada tembok kalau dia pacarnya! Bahkan cleaning servis disini lebih perhatian padanya.

Lima tahun mereka menjalani long distance dan apa Hiruma berpikir kalau ia lelah? Oh yeah, ia harus ingat bahwa ia memang pihak yang pergi—berbeda dengan kebanyak hubungan romansa atau drama yang biasanya pihak wanita yang ditinggal—dan ia pikir itu satu langkah kemajuan—ingatlah emansipasi wanita, Mamori. Tapi, kalau begini terus ... apa tahan? Apalagi kau menyadari gelagat aneh kekasihmu. Apa Hiruma mencoba melenceng darinya? AKH!

Sangking kesalnya, Mamori sampai memukul-mukul ponsel keluaran terbaru pada sisi meja dengan gemas dan saat selesai ia sadar dengan apa yang barusan dilakukan, ia cemas sendiri—"Ponselku!"—Dasar.

.

.

.

The Beautiful Life

By Maimei Anna

Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki & Yusuke Murata

All For You's Side Story

Au, Ooc PARAH, Fluffy, Typos, Oc's, dari sisi Mamori, Etc

.

.

.

Mamori berjalan lamat-lamat di keramaian kota Paris yang indah kala malam datang. Dengan lampu-lampu yang bersinar setengah tidak niat pada rumah-rumah, restoran dan toko-toko boutique di salah satu wilayah membuat suasana sangat romantis—seperti julukannya. Bahkan, Mamori sempat—tidak niat sih—melihat beberapa pasangan bergandeng tangan, candle light dinner di balkon restoran, di gang sempit berciuman—Brrr ... Mamori jalan terburu-buru meninggalkan wilayah itu menuju sisi Paris yang melimpah ruah cahaya.

Sebut saja Menara Eiffel, ikon Perancis yang menjadi pusat ketertarikan para pelancong dunia untuk datang ke negara itu, seperti halnya dia. Mamori tidak memungkiri, Eiffel masih tetap memikatnya—entahlah, padahal hanya sebuah menara yang berada di pusat kota. Mungkin karena sejarahnya, mungkin juga karena ia tinggi, tapi mungkin karena ia kokoh, kemungkin ... karena ia ... bercahaya—Hiruma—seperti itu kah ia menggambarkannya?

"Hmm..."

Mungkin juga.

Tapi, Mamori sedang marah, ingat?

"Mati, mati, MATIII!" Mamori melampiaskannya dengan menggigit, memakan dan mengunyah pissaladiere (3) yang ia beli tadi dengan ganas, ia bahkan tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya yang—sedang duduk di sebuah bangku panjang yang tidak jauh dari Eiffel—memandangnya dengan tatapan aneh ... atau ngeri ya?

Perasaan kesalnya benar-benar tidak stabil bila ingat tentang Hiruma yang benar-benar seperti tertelan bumi. Mereka bukan remaja lagi, ia ingat itu kok, tapi mau bagaimana lagi. Bagaimanapun, ia perempuan, ia kekasihnya 'kan? Melihat seorang perempuan lain—apalagi orang itu manager klub tempat kekasihnya bernaung—Ayako dan ia mengirim mention apa?

Ingat janji kita, (a)HiruYou01 dan jangan telat ya :* #kiss

What the—Mamori ingat itu jadi panas dan menggigit makanannya tanpa menikmatinya. Yah ... kebiasaannya kalau lagi stress memang seperti itu. Tapi, ia pikir perempuan itu seperti tidak tahu diri.

Terus ... bagaimana dengan Hiruma?

Hmm ... mungkin samanya.

Memikirkan ini membuatnya lelah, bahkan ia jadi malas melanjutkan mengunyah mulutnya yang masih penuh makanan. Semua tadinya mengesalkan, tapi percuma bila ia masih marah-marah sendiri sedang objek kemarahannya entah dimana. Padahal ia percaya sekali saat Hiruma mengatakan sangat menyukainya, setelahnya mengatakan "Selamat tinggal" padanya, yang nyatanya Hiruma juga tidak bisa—sama halnya dengan dia. Ia menatap cincin yang melingkari jari manisnya.

Pria itu ... tidak tahukah ia sangat merindukannya?

Dirasa pipinya basah, Mamori segera menghapusnya dengan gusar dan melanjutkan menggigit pissaladiere terakhirnya dengan sesekali membersit hidung. Ya ampun, ia pasti sangat berantakan. Masa makan sambil menangis sih. Hah ... peduli amat. Ia akan bergegas kembali ke rumah orangtuanya, apalagi kekosongan di sampingnya mulai diisi seorang pengunjung lain yang mungkin ingin menikmati gemerlap Eiffel. Tadinya—

"Tempat ini biasa saja. Apa menariknya, heh?"

Mamori tidak mau berpikir, ia mengikuti refleks dan hatinya untuk menoleh ke samping kiri dan melihat wajah orang disampingnya itu, sedang yang ditatap seperti melayang pikirannya. Suara yang arogan, sikap yang pongah, wajah menyebalkan yang sedikit lebih dewasa, dan seringai serta mata emerald yang kini menatapnya. Kuso—Hiruma Youichi ada tepat di sampingnya? Sejak kapan? Bagaimana—

"Monster makan?" Hiruma menoleh yang kini beringsut mendekat dengan wajah yang mendekat padanya. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan?

Set!

Mamori segera berdiri dan mengambil langkah cepat untuk menjauh—Oh, apa sekarang ia sempat berpikir? Ia bahkan mengacak-ngacak rambutnya dengan mengacuhkan teriak di belakang yang terus memanggil namanya—"Mamori!"

Namanya?

Kau pasti bercanda!

::∞::

Ya, benar. Si Penenun Jalinan Takdir suka sekali bercanda padanya, bahkan kadang membuatnya bingung dengan jalan hidupnya, bisa dibilang begitu. Dan, ia tidak pernah minta banyak, itu hanya teriakan hati kecilnya meminta Hiruma untuk mengabarinya atau apapun yang menunjukan kalau kekasihnya itu masih dibumi dan tidak pernah mengharapkan kehadiran Hiruma seperti ini—Bukan—bukannya tidak mengharapkan kehadirannya juga, namun tidak seperti ini, kau tahukan. Begitu mendadak.

Mamori berjalan kikuk menerobos jalan setapak menuju rumah orangtuanya. Ia kadang kesana setiap minggu atau bila punya waktu luang sehabis kuliah dan magangnya ia selalu mampir. Memang, sudah tiga tahun Mamori tinggal di asrama Universitasnya yang dikhususkan untuk mahasiswa pertukaran atau dari negara lain, tak jarang juga ia menemui beberapa mahasiswa Jepang atau yang lainnya dan saling bertukar pikiran. Kiranya tinggal di asrama tidak buruk, lagipula ia tidak ingin menyusahkan orangtuanya diumurnya yang sudah cukup dewasa ini.

Setelah dipenuhi begitu banyak pemikiran, Mamori berhenti mendadak di bawah lampu jalanan yang tadi menyala dan sekarang menjadi padam—Streetlight Interference (4). Ini baru sekali untuknya, ia tidak pernah menyangka.

"SLI ya? Aku baru pertama kali melihatnya secara langsung."

Mamori menoleh dan benar, Hiruma Youichi berjalan menghampirinya dengan cara jalan yang tidak pernah berubah, tatapannya masih mempesona dengan kilat emerald di kegelapan. Apa yang lebih sempurna?

Mamori kini dihadapkan dengan Hiruma yang menatapnya.

Ya, seharusnya ia bersyukur pada Si Penenun Jalinan Takdir bahwa Hiruma ada tepat dihadapannya. Ini bahkan lebih dari sebuah kabar, ini seperti sebuah jawaban.

"Biar kuantar pulang."

Dan sekarang Hiruma meraih tangannya. Mereka bergandeng tangan untuk pertama kalinya; dengan beberapa lampu jalanan yang terus padam ketika mereka lewat, wajah memerah, jantung yang berdebar-debar—ia pikir Hiruma dapat mendengarnya juga. Hiruma menuntun mereka ke kediaman Anezaki dengan diam dan meresapi setiap rasa serta rindu.

Aku benar-benar merindukannya...

Dan satu pertanyaan, kenapa Hiruma tahu rumah orangtuanya?

::∞::

Ayah dan Ibunya mempersilahkan mereke masuk dan mengajak serta Hiruma untuk makan malam bersama. Mamori hanya menatap curiga orangtuanya yang begitu sumringah kala mereka tiba tadi. Hm ... ada sesuatu ya?

Mamori meninggalkan Ayah dan Hiruma di ruang keluarga untuk membantu Ibunya di dapur dan menyiapkan makan malam yang ia kira cukup telat bila kita bilang makan malam. Ini jam sembilan malam, apa yang ditunggu orangtuanya? Biasanya juga ia makan sendiri atau memasak mie instan kalau datang kerumah.

Hmm...

"Bu, biar kubantu—

"Aaaa! Jangan-jangan! Kembali sana bersama Ayah dan Hiruma-kun!" Mamori menatap aneh pada Ibunya, "Kau tidak rindu apa dengannya? Sudah lima tahun 'kan?"

What—Bagaimana Ibunya tahu? Maksudnya, kenapa Ibu memperhatikan coba? Perasaan ia tidak pernah bercerita tentang mereka. Mamori jadi makin curiga, tapi ia tetap mematuhi perkataan ibunya untuk kembali ke ruang keluarga.

Ia mengambil tempat di samping Ayahnya dan menghempaskan tubuhnya pada sofa empuk. Ia agak risih kala sadar mata dua lelaki yang ada di sana kini menatapnya dengan intens. Bagaimana ia mendeskripsikannya ya?

"Apa?"

Ayah memejamkan mata lalu menggeleng sambil tersenyum, sedangkan Hiruma menatapnya makin lama makin lekat tanpa seringai seperti ia ingat lima tahun terakhir. Matanya yang hijau itu lebih kelam dari yang ia pernah ingat. Bahunya yang agak lebar dari yang ia ingat dulu. Garis wajah yang lebih nyata—apa ia sempat berpikir Hiruma makin dewasa dan matang?

Hah...

Hiruma semakin tampan. Ia mengakui sekarang.

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Mamori?"

Ada yang memanggilnya ya?

"Apa aku begitu mempesona atau kau memang sangat merindukanku, heh?"

Mamori tersadar, ia hanya tidak terbiasa dengan panggilan Hiruma padanya dan tahu nada menggoda Hiruma yang tetap sama, bahkan itu tidak merubah wajahnya yang tetap memerah karena Hiruma—seperti yang lalu, "Pede kau!" ia pun melempar bantal sofa ke wajah Hiruma yang ditangkap sempurna oleh sang target dengan seringai menyebalkan—tampan.

Hiruma membalasnya dengan melempar bantal kearah Mamori—dengan kekuatan minimal tentunya—hingga mereka benar-benar saling melempar bantal, mengacak rambut lawannya, dan saling melempar kata sindirian—

"Merindukanku 'kan?"

"Siapa bilang?! Kau kali yang merindukanku?"

"Monster Sus? Kau tahu kalau kau makin gemuk sekarang, heh—

"Pengalih pembicaraan! Kau keluar—

"Kau kira kita sedang bermain apa, hah? Kekeke—

"Bilang saja kau merindukanku sampai menyusulku kesini—

"..."

"Be-benarkan...?"

"..."

"..."

Mamori langsung kabur dengan kikuk menuju ruang makan dan sempat beberapa kali menyenggol vas bunga serta tersandung kaki meja, meninggalkan Hiruma yang tadi ia lihat pucat lalu—demi apa Hiruma MEMERAH?

Kenapa juga ia kabur? Ia pun ingat Ayahnya tadi masih ada. Lalu apa kata Ayahnya saat melihat mereka bertingkah seperti anak kecil tadi? Tunggu—

Sekarang Ayahnya tertawa keras? Mereka pasti sangat bodoh—"Hahaha! Dasar anak muda! HAHAHA!"

Dan Hiruma—ah ... ia jadi merasa bersalah karena kabur sendiri. Habis...

::∞::

Setelah makan malam selesai, Mamori naik kelantai dua diikuti Hiruma di belakangnya. Orangtuanya memang selalu mempunyai ide bagus, bahkan tanpa membicarakan lebih dulu padanya. Hah, apa ia masih terlihat kanak-kanak ya?

"Di sana," ia menunjuk kamar diujung sebelah kiri setelah mereka tiba di lantai dua, "Itu kamarmu dan toilet ada sampingnya itu."

"Hm."

Sudah 'kan?

Terus?

Mamori mengelus sisi lengan kirinya dengan kikuk. Suasana menjadi sangat-amat canggung. Kau tahu, ia sangat menunggu Hiruma mengatakan sesuatu. Apapun.

Alasan?

Iya, mungkin itu. Alasan kenapa Hiruma datang kesini, ke Paris. Benarkah hanya ingin menemuinya? Seperti spekulasinya yang tiba-tiba datang seperti menghantamkan palu ke kepalanya saat mereka sedang main ejek-mengejek tadi?

Ayolah, Hiruma!

"Ya sudah. Pergi tidur sana!"

Diluar harapan. Mamori sempat manyun sebelum berbalik dan berjalan ke arah kamarnya yang berlawanan arah dengan kamar Hiruma yang ada di sisi kiri setelah menaiki tangga, kamar Mamori ada di sisi kanan. Walau begitu, "Selamat malam," ucap Mamori pada Hiruma sebelum ia masuk ke kamar dan menghilang di balik pintu.

::∞::

Nyatanya ia tidak bisa tidur lelap malam itu. Jam di dinding sudah menunjukan pukul 01.00 pagi, sedang matanya tidak bisa tertutup dengan mudah seperti dulu atau hari-hari yang lalu—sangat berbeda dengan dirinya yang biasa yang bisa langsung tertidur dengan bujukan lembut angin—tapi ini?

Mamori berguling-guling di ranjang queen size-nya dan berhenti dengan posisi tubuh menelungkup serta kaki yang bermain di udara. Tangannya memainkan ponselnya, seolah menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan untuk mengisi kebosanannya ini. Hm ... ia dapat ide.

To: Hiruma

Sudah tidur?

Ia pikir tidak dibalas juga tidak mengapa, ia cukup mengerti orang normal pasti sudah tertidur bila jam sudah menunjukan pukul dini hari. Yah ... kecuali orang itu punya masalah yang sama seperti dia, insomnia.

I'm at a payphone~ trying to call home

All of my change

I spent on you

Where have the times gone

Baby it's all wrong, where are the plans we made for two?

Mamori agak terkejut kala layar ponselnya menampilkan sebuah panggilan dari Hiruma. Mamori sempat bertanya dalam hati apa yang membuat kekasihnya itu belum tertidur juga. Ia menyambungkan panggilan segera.

"Moshi-moshi?"

Mamori sempat mendengar helaan napas di seberang sebelum Hiruma menjawabnya, "Kenapa kau belum tidur, hah?"

"Apa aku membangunkanmu, Hiruma-kun?" ia merubah posisi tubuhnya menjadi telentang dan menatap langit-langit kamarnya yang putih polos—membosankan. Ia pun baru sadar ketika ia melihat jendela dan hujan sudah turun deras lalu petir menyambar di kejauhan.

"Sudahlah. Kembali tidur. Besok kau ada kuliah 'kan? Tidur!"

Mamori bahkan tidak ingin mengingat itu. Ia bergumam tidak jelas dan menggelengkan kepala walau Hiruma tidak akan melihat sikapnya sekarang. "Aku bosan. Kita main Truth or Dare, yuk—

"Mamori—

"Hirumaaaa ... aku pikir kau berubah!"

"Kau ngelantur. Tidur sana

"Kau bahkan tetap memanggilku seperti itu walau hanya kita disini—

"Apa sih—

"Kalau begitu, Truth or Dare?"

"Oke-oke! Tapi berjanjilah di putaran ke tiga kau harus tidur, oke? Truth!"

Mamori tersenyum simpul dan mulai duduk di ranjangnya. Coba ia berpikir dulu, "Hemm ... umur berapa kau jatuh cinta?"

Mamori jadi kesenangan sendiri. Ia jadi ingin tahu bagaimana seorang commander from hell itu jatuh cinta. Apa benar ia yang pertama?

"Dua belas. Kau, Truth or Dare?"

Dua belas? Dua belas tahun? Dengan siapa? Masih muda sekali. Terus, bagaimana mantannya? Cantik? Ia ingin bertanya siapa, tapi ini bukan gilirannya. Dengan sedikit ketus ia menjawab, "Truth!"

"Kau, sama seperti pertanyaanmu—

"Tidak adil!"

"Takut, heh?"

Mamori jadi sebal dengan keadaan yang tidak menguntungkan ini. Dengan menahan rasa malu serta emosi, ia menjawab lirih, "Tujuh ... belas..."

"..."

Mamori memerah dan dengan takut bertanya, "Hiruma...?"

"Cinta pertamamu ... aku?"

"Bukan giliranmu! Truth or Dare?" Mamori segera menutup wajahnya dengan bantal. Bagaimana ini bisa terjadi? Ini seperti bumerang. Apalagi Hiruma harus tahu kalau ia memang pertama kali jatuh cinta dengan Hiruma. Siapa pula orang pertama yang secara terang-terangan mengatakan suka padanya saat hari ulang tahunnya juga hari dimana ia pergi? Kita semua pasti tahu.

Sedang Hiruma?

"Dare."

AKH! Curang! Padahal Mamori ingin sekali membalas Hiruma dengan pertanyaan yang sudah ia siapkan di otaknya, tapi Hiruma memilih Dare. Licik. "Kau harus telanjang di tengah jalan dan menari dengan hula hup!" Hanya itu yang terlintas dipikirannya yang sedang kesal. Tapi ia sadar itu kejam, "Simpan sampai aku mau kau lakukan itu suatu hari nanti."

"Hah ... terserah. Kau?"

Mamori jadi malas dengan ini. Ia pu teringat sesuatu—ya, tentang Hiruma yang menghilang dan manager diklub tempat Hiruma berjuang. Bikin panas saja.

"Dare!" Ia bahkan tidak peduli dengan apa yang Hiruma minta, ia hanya ingin mendapatkan gilirannya bertanya.

"Tidurlah, sudah malam."

"Jangan seenaknya! Truth or Dare?" Mamori merasakan napasnya tersendat-sendat dengan emosi yang luap-luap bila mengingat kemungkinan Hiruma berselingkuh. Ia berubah buruk moodnya kalau tidak mendapatkan kepastian sekarang.

"Baiklah. Dare."

Mamori menangis dalam heningnya. Kenapa Hiruma tidak mau jujur? Kenapa tidak truth? Benci dengan keadaan yang menyebalkan ini. Omong kosong bila ia tidak marah, "Jujur pa-padaku—

"Mamori—

Suaranya sangat kentara bergetar, "Kenapa ... hiks ... Kenapa kau tidak menghubungiku selama seminggu? Ma-maksudku—

"Kau bicara ap—

"Maksudku ... aku mengerti kau sibuk, " Mamori menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya, "Kau sangat memperhatikan masa depanmu dan aku sa-sangat mengerti." Ia tahu ini sangat melenceng dari permainan, tapi apa peduli?

"Hanya ... kalau kau memang ingin membuangku, jangan mendiami panggilanku seperti itu," Mamori tahu ia berbicara mulai melantur, tapi hatinya memang seperti itu. Ia ingin berkata jujur agar Hiruma dapat merasakan ketulusannya, dan bila Hiruma tetap bersikap mengacuhkannya seperti tempo hari (lupakan kedatangan Hiruma yang mendadak) ia akan terima kalau itu memang jalan mereka untuk berpisah.

Duh, apa yang ia rancaukan?

Mamori menjatuhkan ponselnya yang kini tergeletak di samping kakinya. Ia meringkuk sambil memeluk kakinya untuk menangis. Payah, katanya terima, tapi terpuruk juga. Semua ini karena permainan itu yang mengingatkannya serta manager bernama Ayako.

Mamori. Ia gadis yang cengeng ya? Bahkan sangat posesif bila ia memikirkannya. Pasti Hiruma sangat terganggu dengan perempuan berisik sepertinya. Ia jadi pesimis.

Tok! Tok! Tok!

Mamori tidak ingin peduli, sangat tidak ingin peduli. Tapi suara lirih Hiruma lagi-lagi mengusiknya, memintanya untuk membuka pintu.

"Mamori, aku tahu kau belum tidur. Keluarlah dan jelaskan! Aku tidak akan menanggung resiko bila aku menyeretmu dan membangunkan orangtuamu," suara Hiruma terdengar tidak sabar, tapi mencoba untuk menahan oktafnya. "Cepatlah!" katanya lagi dibalik pintu.

Mamori beringsut dengan malas dari ranjangnya dan sempat ragu berjalan ke arah pintu. Ia berusaha paksakan tanpa berusaha menutupi airmata dan wajahnya yang kusut. Ketika ia memutar kenop pintu, ia melihat sosok Hiruma berdiri diambang pintunya. ia menunduk, menolak menatap emerald Hiruma yang lebih berkilau di kegelapan lorong lantai dua rumahnya yang gelap.

"Ada apa? Ada apa denganmu?"

Air matanya makin jatuh tidak terkendali.

"Kau baik-baik saja tadi. Kau masih tertawa, masih cerewet, masih menyebalkan, masih lucu—Kenapa tiba-tiba seperti ini?" Hiruma menunduk, mencoba mendapat perhatiannya, "Mamori Anezaki?"

Hiruma. Mamori hanya ingin Hiruma sadar kalau sikapnya yang seperti itu membuatnya ragu. Ia mau Hiruma sadar sendiri dengan apa yang ia lakukan padanya. Menghilang tanpa kabar dan sekarang muncul tiba-tiba? Great!

"Mamori—

"Kau makhluk menyebalkan yang pernah kutemui...," ia berkata lirih, sangat, sampai-sampai Hiruma terdiam seperti menunggu ia mengulanginya lagi. Ia menarik napas—"Kau pria menyebalkan! Pria yang mengacuhkan aku seenaknya dalam waktu seminggu lalu muncul bagai setan! Pria yang katanya menyukaiku tapi jalan dengan managernya! Pria macam apa itu!"

Mamori tidak peduli suaranya begitu keras, lagipula diluar hujan deras dan petir sempat menyambar beberapa kali. Ia hanya lelah dan ingin Hiruma mengerti perasaannya. Perasaan cemburu yang sudah lama ia acuhkan. Tapi—

Tapi Hiruma mengerut kening dengan mulut sedikit terbuka. Benar-benar! Sikap apa itu?

Mamori segera memukul-mukul dada Hiruma, "Kenapa"—pukul—"Kau"—pukul—"Bersikap"—pukul—"Seperti itu, BAKA HIRUMA!"

Grep!

Hiruma menangkap tangannya dan mencium bibirnya—tidak—menempelnya lama hingga ia kehabisan napas dan mendorong tubuh Hiruma menjauh.

Mamori menatapnya tajam, sedang Hiruma menyeringai.

"Kenapa kau banyak sekali berkesimpulan, hah?"

Kini Mamori yang dibuat bingung.

Hiruma melipat tangannya di depan dada dan menerobos batas kamarnya hingga ia berjalan mundur dengan gugup. Tatapan Hiruma kini begitu seram, bahkan ia tidak bisa berpaling barang sedetik. Mata Hiruma seperti berkata, Lihat aku atau tanggung akibatnya.

"Kenapa kau tidak berpikir sederhana saja, sih?"

Maksudnya?

Mamori terpojok pada meja di tengah kamarnya.

"Harusnya kau bisa menebak saat aku tiba di sini secara mendadak, bukan?"

Mamori membuat dirinya sulit sendiri dengan merendahkan tubuhnya kearah belakang untuk menghindari tubuh Hiruma yang mendesaknya makin parah. Darahnya naik kepermukaan wajah.

"Kalau begini, bukan jadi kejutan lagi. Tapi bila kubiarkan kau akan marah begini, bukan?"

Marah? Apanya? Mamori tidak dapat merasa yang lain selain sesuatu yang aneh saat Hiruma menarik punggungnya hingga ia tidak merendahkan tubuhnya lagi, tapi jarak rendah tercipta diantara hidung dan bibir mereka.

Hiruma berbisik, "Ayako seorang pria, Mamori," Hiruma menyeringai sedang Mamori sulit mencari udara, "Pacar—Sialan—yang aku sangat cintai, bisakah berpikir baik tentangku?"

Belum sempat Mamori mengangguk, bibirnya telah diinvasi dengan bibir Hiruma. Gerakan lumatan yang lambat dan lembut berubah jadi lumatan tergesah-gesah dan penuh hasrat kala Mamori mengajukan Dare yang tertunda di antara mereka.

Dare yang manis.

Dare yang tidak terlupakan.

Dare yang pertama dalam asmara mereka.

To Be Continued

(1) Makasih.

(2) Selamat Pagi/Siang (matahari masih terlihat, berarti sore termaksud kan? #tolong koreksi).

(3) Pizza ala Paris yang lebih gurih.

(4) Fenomena lampu jalanan akan mati saat dilewati oleh orang tertentu (SLIder).

A/N:

Mei: *Tepar* Mau bobo dulu ya *Liat jam* udah jam 3 pagi. ZZzzz... *Tepar didepan kamar Mamori*

Hiruma: *Keluar kamar Mamori* *nyisir rambut pake jari* *Baju ngga dikancing* Review ya? *Masuk kamar lagi*

Mei Anna