A World that Revolves Around You

By : Mikazuki Hikari

Disclaimer : SM Entertainment©

All Chara is a part of SM Entertainment

This Fiction belongs to Mikazuki Hikari

Rate : T

Genre : Romance

Pairing : Lee Jeno x Huang Renjun

Warning : Shonen-Ai, Male x Male, Alternate Universe (AU), Out of Character (OOC)

Don't Like Don't Read

I have warned you

.

.

Aku sendiri tidak tahu entah sejak kapan cinta ini dimulai. Dimana muaranya pun aku tidak tahu. Bagaikan sebuah bentuk yang belum jelas, yang dapat kulihat hanyalah sebuah bayang semu, seperti refleksi bayangan sekuntum bunga dan bayangan sang rembulan yang terpantul pada permukaan air. Indah, namun semuanya itu hanyalah ilusi semata. Memiliki bentuk, dapat kau lihat namun tidak dapat kau sentuh.

Begitu lah cinta.

.

.

.

Namaku Huang Renjun. Aku hanyalah seorang anak laki-laki biasa ditengah usia yang lazim orang sebut dengan masa peralihan. Tidak, aku sudah bukan lagi seorang remaja karena usiaku yang kini menginjak kepala dua. Tidak seperti orang pada umumnya aku termasuk seseorang yang tidak begitu memikirkan apa itu cinta.

Bunyi detik jam yang terdengar senada dengan kakiku yang ku ayunkan bergantian. Sesekali aku melihat pada gelasku yang masih mengeluarkan kepulan asap dengan aroma khas latte. Bergeming, rasanya sudah hampir lima belas menit lebih aku menghabiskan waktuku membaringkan kepala pada meja kafe. Di luar salju masih turun dengan lebat. Bagiku yang tidam terlalu bersahabat dengan udara dingin, kondisi yang seperti ini jelas tidak memungkinkanku untuk pulang.

Aku melayangkan pandanganku pada jam tangan kulit yang melingkar pada pergelangan tanganku. Waktu menjukkan pukul 12. Tengah malam. Sesaat setelah pandanganku mendarat benar pada permukaan jam tangan, telefon genggamku berbunyi.

"Halo?"

"Ya, baik lah." Aku mengakhiri panggilan dan menghela napas panjang. Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal, hanya sekedar melampiaskan rasa gusarku. Seperti biasa kedua orang tuaku tidak pulang ke rumah. Entah mereka masih merasa memiliki seorang anak laki-laki atau tidak, tidak ada seorang pun yang tahu. Sebagai seorang anak, yang kuketahui hanyalah sebatas sesosok orang tua yang mencari uang untuk menafkahi anaknya, tanpa memikirkan perasaan si anak.

Ya. Mungkin benar seperti itu adanya jika aku harus mendeskripsikan semuanya.

Aku memang sudah berusia dua puluh dua tahun. Sebuah usia yang mungkin orang melihatnya sebagai usia yang sudah layak untuk tinggal seorang diri. Tapi bagiku? Aku hanya ingin kembali merasakan bagaimana rasanya hidup dengan sosok orang tua.

Ah sudah lah, batinku.

Denting bel pintu kafe memecah keheningan dan lamunanku. Seseorang dengan mantel tebal musim dingin melangkah masuk. Barista yang sedari tadi tengah membersihkan gelas kaca menghentikan kegiatannya dan membungkuk untuk sekedar memberikan salam.

"Selamat malam tuan muda Lee." Ucap sang barista sopan.

"Selamat malam master, aku sudah menduga jika kau masih buka jam segini." Pemuda itu tersenyum. Badannya tegap dan tinggi dibalut mantel coklat tebal dengan sebuah beret cashmere yang senada dengan mantelnya. Rambutnya ia sisir dan terbentuk dengan rapi. Kedua mata itu seolah ikut tersenyum saat pemuda itu menyunggingkan gurat senyuman pada bibirnya.

Ia berjalan mendekat dan menghampiri kursi yang berada di dekatku, seolah sedang berjalan menghampiriku yang dimana hal itu adalah mustahil. Air mukanya berubah menjadi seolah ia sedang berkata 'Ah, jarang sekali aku menemukan seseorang jam segini. Apa kau tidak keberatan aku duduk di sebelahmu?'

Aku mencoba tersenyum untuk memberikan sinyal positif untuknya agar tidak keberatan untuk duduk di sebelahku. Pemuda yang nampak baik hati itu akhirnya membuka pembicaraan untuk memecah kecanggungan yang terjadi di antara kami.

"Lee Jeno. Namamu?"

"Namaku Huang Renjun." aku kembali merebahkan kepalaku di meja. Aku tadinya tidak ingin memperlihatkan diriku yang sedang kehilangan motivasi pada pemuda ini namun aku juga tidak bisa berbohong pada diriku sendiri.

"Aku tidak pernah melihatmu disini. Tapi mungkin aku salah."

"Maksudmu?" Aku mengangkat kepalaku yang sedari tergeletak di atas permukaan meja kayu yang dingin, terperanjat dengan pernyataan yang ia lontarkan tadi.

"Master, coklat hangat dua." ucapnya sambil melirik ke arahku.

"Tidak. Tidak usah repot, gelas kopiku masih penuh." aku berusaha menolak dengan tawaran pemuda tersebut. Tidak enak rasanya kalau dapat traktiran mendadak dari orang yang baru saja kau temui.

"Kau terlalu banyak minum kopi makanya kau nampak tidak bersemangat. Kau juga butuh sesuatu yang manis untuk mengembalikan moodmu bukan?" Pemuda itu tersenyum ke arahku. Senyumannya nampak hangat dan silau. Rasanya semua risauku hilang saat melihat senyumannya.

"Minum! dan kembali bersemangat. Aku yakin seseorang di luar sana tidak ingin melihatmu seperti sekarang ini." Tangan lebar pemuda itu menepuk bahuku. Mulutku ternganga dan seolah sulit untuk mengatupkannya kembali.

"Kenapa? habis kau nampak kesepian." Pemuda itu terkekeh. Aku bisa melihat ia memalingkam wajahnya seolah ingin menyembunyikan tawanya dariku. Sejenak air mukanya berubah ketika menyadari adanya perubahan dari milikku. Benar-benar seorang pemuda yang peka.

"Aku menyinggungmu ya?" Air mukanya berubah lagi. Dalam sekejap aku melihat macam-macam perubahan ekspresi pada wajahnya. Kini yang terlihat olehku adalah raut penuh kekhawatiran yang amat mendalam. Orang ini adalah orang baik, begitu pikirku. Aku menyeruput coklat panas yang ada di hadapanku lalu menjawab pertanyaannya.

"Tidak sepenuhnya ucapanmu itu salah." Aku malah membuatnya berpikir. Aku memang tipikal orang yang senang membuat segala sesuatunya menjadi rumit. Aku harap dia tidak terlalu dibuat bingung karenanya.

"Kau tidak pulang?" "Anu, bukan maksudku untuk mengusirmu namun-"

"Aku tidak mau pulang ke rumah." Aku memotong ucapannya. Aku membenamkan wajahku ke dalam tanganku yang sudah kulipat di atas meja.

"Mau menginap di tempatku? Apartemenku mungkin cukup luas untuk kita berdua." Sekali lagi aku terkejut dengan ucapannya. Kali ini tawarannya.

Apakah zaman sekarang menawari orang yang baru saja kau kenal sudah merupakan suatu hal yang lumrah? Tadinya kupikir dia adalah pria yang baik?

"Aku tidak ada niat buruk kepadamu kok, wajahmu jangan seperti itu." sekali lagi dia tersenyum sambil terkekeh.

"Habis?" mataku kupicingkan ke arahnya untuk mencoba sedikit mengintimidasinya.

"Jadi bagaimana?" Ia malah balik bertanya.

Sebenarnya bukan ide yang buruk untuk menerima tawarannya. Lagian, aku juga tidak ingin pulang ke rumah. Jadi aku mengiyakan tawarannya. Aku seolah sedang bertaruh dengan takdir.

-To Be Continued-