Unseen Bound
.
.
.
.
.
Yang mereka tahu, cinta itu tidak selalu harus ditandai dengan suatu ikatan. Tapi tanpa sadar, mereka sudah terikat satu sama lain.
Arilalee present
Title : Unseen Bound
Author : Arilalee
Genre : Romance, lil-angst, school-life
Cast : 2MIN, Meanie, KaiSoo
Support Cast : SHINee, Seventeen, EXO, Lee Joon, Krystal, Ravi, Timotheo, Lee Yoobi
Warning : Yaoi, BxB, Typo, dramatisasi berlebihan, OOC, perubahan usia
Notes : SHINee dan EXO kecuali Sehun dan Kai kelas tiga. Sehun, Kai kelas dua. Seventeen hyung line ( , Jeonghan, Joshua, Jun, Hoshi, Wonwoo, Woozi) kelas dua. Seventeen dongsaeng line (Dokyeom, Mingyu, The8, Seungkwan, Vernon, Dino) kelas satu. Krystal kelas dua juga. Ravi, Timo, Yoobi kelas tiga. Lee Joon alumni.
Setiap seri, main cast-nya berbeda. Tergantung yang akan disertakan dalam judul. Polanya selalu sama, misal chapter 1 2min, chapter 2 kaisoo, chapter 3 meanie, chapter 4 2min, chapter 5 kaisoo, chapter 6 meanie, dan seterusnya.
Buat yang Cuma pengen baca otp-nya aja, lompat-lompat chapter ngga apa-apa. Karena mereka punya kisah masing-masing yang meski berhubungan tetep nggak membingungkan (semoga) buat dibaca per-pairing.
UNSEEN BOUND
FILE 1
2MIN : ASIDE
"Aku sudah bersamanya sejak dulu. Sejak lama – saat kami belum pernah mengalami sakit hati di luar rasa kecewa saat kita tidak bisa bermain bersama karena suatu hal. Dan berada di sampingnya sampai saat ini, kupikir sudah cukup untuk membuatku bahagia. Ternyata aku salah. Aku tidak mau – tapi hatiku berubah serakah. Aku bukan hanya ingin bersamanya. Tapi juga menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar label teman kecil yang menempel erat di antara kita." – Lee Taemin.
Semalam hujan. Taemin bisa menyimpulkannya meski pun sekarang ia merasa cahaya matahari pagi begitu hangat. Tadi ia mencium aroma khas petritchor begitu ia membuka jendela kamarnya. Dan alasan itu diperkuat dengan munculnya genangan air di dekat gerbang rumahnya.
"Kenapa memandangi genangan air sampai segitunya?"
Taemin mendongak. Tatapannya terkunci pada sebuah objek yang sudah familiar dalam otaknya – juga hidupnya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi menjulang – dia hanya lebih tua beberapa bulan dari Taemin tapi tumbuh lebih tinggi dibanding Taemin – serta wajah kecil yang terlihat pas berpadu dengan mata bulat khasnya.
Namanya Choi Minho. Dan nama itu sudah selalu berseliweran dalam setiap langkah Taemin selama belasan tahun lamanya.
"Aku tidak tahu kalau semalam hujan." Taemin menjawab setelah menyelipkan senyuman balasan untuk seseorang di hadapannya.
Minho mengerutkan dahi dan itu salah satu gestur yang selalu ia lakukan tanpa absen. "Bagus kalau begitu. Tengah malam tadi petir bersahutan."
Wajah Taemin memerah mendengarnya. Entah untuk alasan malu karena tidurnya bahkan tak terganggu oleh petir yang bersahutan, atau karena ia menyadari Minho baru saja mengatakan ia senang Taemin tidak terganggu oleh petir – Minho sudah bertahun-tahun bersamanya, tentu saja ia tahu apa yang membuat Taemin menggigil ketakutan seperti bayi kucing kehujanan. Mendadak saja Taemin berharap alasan kedua-lah yang membuatnya menjadi berdebar seperti ini.
"Ayo pergi." Minho membuyarkan pikiran Taemin dengan rangkulannya di pundak sempit Taemin. Tentu saja tak ada alasan bagi Taemin untuk tidak mengikuti langkah pria tinggi itu.
Samar-samar otak Taemin sedikit memikirkan tentang aroma parfume Minho yang tidak pernah berubah belakangan ini. Taemin tidak ingat tepatnya kapan. Mungkin Minho sudah menemukan aroma yang tepat untuk dirinya atau memang Minho selalu tercium semenenangkan ini?
Mereka pergi ke sekolah dengan bus. Hal itu sudah mereka lakukan sejak sekolah dasar. Sebenarnya orang tua Taemin bukanlah orang yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai tak punya waktu mengantar-jemput anaknya. Justru Taemin-lah yang tidak ingin diperlakukan seperti itu. Seperti kata Minho, Taemin adalah orang yang selalu ingin terlihat keren dimana pun di hadapan siapa pun, dan Taemin jadi setuju mengingat ia sudah melakukan hal itu sejak kecil.
Sementara orang tua Minho – Taemin masih ingat saat kedua orang tua Minho bertengkar dan berakhir bercerai sekitar lima tahun yang lalu. Padahal mereka sudah cukup banyak menghabiskan waktu di luar rumah dengan kesibukannnya yang menggunung. Dan mungkin itu sudah cukup menjadi alasan kenapa Minho selalu duduk di samping Taemin di bus sejak dulu.
"Busnya datang." Taemin bergumam dan membuat Minho yang tadi asyik membaca koran mendongak. "Aku yang pilih kursinya." Taemin berujar semangat tepat saat pintu bus terbuka. Padahal Minho baru akan melipat korannya dan belum sempat bangkit dari duduknya.
Taemin memasuki bus tanpa repot mencari kartu bus-nya karena Minho yang akan membayar semuanya – mereka selalu melakukan ini secara bergiliran, meski Minho yang lebih sering melakukannya. Tapi kemudian bibirnya mengerucut sebal saat tidak ada kursi kosong yang pas untuk dua orang.
"Duduk saja di sini." Minho entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Taemin sebelum menarik bahu Taemin untuk duduk di satu kursi yang kosong. Sementara dirinya tetap berdiri dan mengambil posisi menghadap Taemin sebelum kemudian berpegangan dengan mantap.
Tadinya Taemin ingin protes, di belakang sana masih ada satu kursi lagi. Seharusnya Minho juga duduk bukannya berdiri di hadapannya. Tapi kemudian itu harus tertahan karena Taemin dihadapkan dengan senyuman Minho yang terlihat tulus – seperti biasa.
"Hanya lima belas menit. Aku ingin bersamamu di sini." Seolah ia bisa membaca pikiran Taemin – dan dia memang selalu melakukan itu – Minho mengatakannya. Kemudian dilanjutkan dengan tepukan ganda di kepala Taemin.
Dan hanya dengan itu, Taemin merasa senang. Kepalanya menunduk dan berpura-pura membenarkan seragamnya. Salah Minho sudah membuatnya memerah dua kali pagi ini. Dan pasti akan ada yang ketiga bahkan ke-puluhan kalinya hari ini.
xxxxx
"Aku ada latihan." Minho mengatakannya saat bell pelajaran berakhir siang itu. Taemin bahkan baru selesai merapikan alat tulisnya saat Minho memasuki kelasnya dengan langkah terburu-buru. Mereka memang terpisah kelas sejak kelas dua, tapi itu bukan halangan yang berarti.
Taemin mengerutkan dahinya, "Seingatku tidak ada latihan hari Selasa."
"Memang mendadak. Kau ingat aku pernah mengatakan soal kompetisi sepak bola tingkat distrik bulan depan?" Minho mengatakannya dengan nada yang terdengar menyesal. Dan Taemin menghargai itu dengan sebuah anggukan kecil. "Itu dipercepat menjadi akhir bulan ini."
Taemin dapat menerima kesan kesal dari lawan bicaranya. Dan itu sudah cukup menjelaskan kalau lelaki itu tak mengada-ada. Lagipula, kenapa Taemin harus curiga kalau Minho mengada-ada?
"Baiklah." Tukas Taemin akhirnya.
Minho mengerutkan dahi. "Kita jadi tidak bisa mampir ke toko kaset."
Taemin tersenyum. Mereka memang berencana pergi ke toko kaset sepulang sekolah. Mungkin dilanjutkan dengan makan tteok atau ice cream bersama. "Memang mau bagaimana lagi?"
"Besok." Minho menyela dengan cepat sebelum Taemin sempat merubah ekspresinya. "Aku janji."
"Iya. Aku mengerti. Tak perlu sampai seperti itu." Taemin terkikik sendirian. Menertawakan kekakuan Minho yang tak pernah berubah sejak dulu.
Mereka sudah berjalan di koridor sekarang. Beriringan. Dan Taemin tidak pernah merasa sebahagia ini saat berjalan bersama seseorang. Padahal ia melakukannya setiap hari. Tapi rasa bahagia dalam perut dan kepalanya bukannya berkurang malah semakin besar. Taemin sendiri sempat memaki diri sendiri yang seolah lancang karena merasakan itu.
"Sepertinya – " Taemin menjeda langkahnya, juga ucapannya. Menunggu perhatian Minho kembali tercurah sepenuhnya padanya. " – aku agak lapar."
"Kau mau kita pergi ke kantin terlebih dahulu?" Minho bersiap dan tanpa aba-aba menyeret lengan Taemin. Tapi yang diseret masih menahan langkahnya hingga membuat Minho menoleh dengan heran. "Barusan kau bilang kau lapar, 'kan?"
"Ya, tapi aku bisa pergi sendiri, Minho." Taemin tersenyum setelah menyebut nama itu. "Kau pergilah. Aku akan menunggumu di ruang latihanku setelah selesai makan."
Minho menilirk arlojinya dan ia bisa mendengar suara Chanyeol, temannya, memanggil untuk cepat pergi ke lapangan sepak bola. "Baiklah, hubungi aku kalau terjadi sesuatu."
"Kau pikir akan terjadi apa?" Taemin benar-benar tertawa setelahnya. Benar-benar tak mengerti kenapa Minho sebegitu kaku terhadapnya. Dan sialnya hatinya yang lancang malah merasa hangat dan berbunga-bunga – seperti ada musim semi di sana. "Pergi sana."
"Heum.. Sampai nanti." Satu tepukan lembut di kepalanya sebelum Minho berlari mengejar teman-temannya.
Taemin bertahan di sana. Tersenyum bodoh cukup lama sampai musim semi di dadanya merambat ke pipi. Membiarkan manik kembarnya memperhatikan setiap pergerakan Minho – yang bahkan punggungnya sudah terlihat lebih kecil karena jaraknya. Merekam itu semua dan menyimpannya rapi-rapi, agar suatu hari nanti ia akan bisa dengan mudah membuka rekaman itu kembali.
xxxxx
Taemin selalu bersama dengan Minho dalam kesempatan apa pun, bukan berarti ia tak punya teman selain Minho. Tapi seolah mereka benar-benar berhubungan, sahabat terdekat Taemin – selain Minho – adalah sepupu Minho sendiri. Namanya Kim Jongin.
Taemin dengan Jongin sudah mengenal sejak lama, tapi baru dekat sejak Jongin masuk sekolah yang sama dengan Taemin dan Minho.
Berteman dengan Minho terlalu lama, membuat Taemin bisa merasakan perbedaan yang cukup ketara saat ia berteman dengan Jongin. Minho terlalu serius dan kaku sementara Jongin punya jiwa yang lebih bebas dan ceria. Dan Kim Mingyu, adiknya Jongin, punya aura yang lebih bebas dan lebih ceria lagi.
Taemin pikir berteman dengan Jongin cukup menyenangkan. Sangat malah. Dia bisa menemukan hal lain yang tidak ia temukan saat bersama Minho. Seperti menertawakan hal-hal kecil, melakukan hal-hal konyol dan bertengkar hanya karena masalah sepele tapi kemudian berbaikan lagi dengan cara yang kekanakkan. Mungkin karena usia Jongin yang setahun lebih muda darinya atau memang Jongin terlihat lebih santai dibanding kakak sepupunya.
Dan salah satu yang Taemin senangi dari berteman dengan Jongin adalah mereka memiliki banyak kesamaan. Sementara Taemin harus selalu menemukan banyak hal bertolak belakang antara dirinya dan Minho sejak kecil – seperti variant ice cream kesukaan mereka, kartun kesukaan mereka, warna favorit dan sebagainya. Salah satu yang paling menonjol adalah mereka berdua suka menari – itu kenapa mereka berada dalam klub esktrakurikuler yang sama.
Terlepas dari semua perbedaan antara Jongin dan Minho – serta Mingyu, adik Jongin – mereka bertiga memiliki satu kesamaan yang bisa menggambarkan kalau mereka benar-benar bersaudara. Sebenarnya agak kasar mengungkit ini, tapi Taemin tak bisa mengelak kalau kulitnya dengan kulit Minho dan sepupu-sepupunya benar-benar berbeda. Taemin punya kulit putih alami yang terlihat pucat sesekali, sementara Minho, Jongin dan Mingyu memiliki tone yang lebih gelap. Dan menurut Taemin, kulit mereka terlihat lebih enak dipandang, terkesan sehat dan err – seksi? Oke, itu agak kasar, 'kan?
Sebenarnya tidak terlalu heran bagi Taemin. Dia bisa menemukan warna serupa juga di kulit Ayah Minho dan Ayah Kim bersaudara. Mungkin mereka memang punya keturunan seperti itu?
"Kenapa kemari? Tidak ada jadwal latihan, 'kan?" Jongin bertanya saat Taemin baru saja menginjakkan kaki di ruang latihan.
Pantas saja tidak terkunci, ternyata ada orang di dalam.
"Minho latihan mendadak." Taemin mengatakannya sambil menyimpan tas di lantai. "Kau sendiri – kenapa di sini?"
"Memangnya tempat ini hanya milikmu?" Jongin terlihat mencibir di tengah kegiatannya melakukan pemanasan. Blazzer dan kemeja seragamnya sudah teronggok berantakan di sudut ruangan menyisakan kaos sleeveless berwarna hitam.
"Terserah." Taemin mengerucut dan memilih untuk duduk sambil mengeluarkan ponsel. Membuka aplikasi download lagu terbaru untuk koleksi playlist-nya.
"Kau mau menunggu Minho Hyung?" Jongin yang sudah pemanasan berjongkok di hadapan Taemin alih-alih mulai menari.
Taemin mendelik dan menurunkan ponselnya sebelum berujar, "Kau memanggil Minho dengan imbuhan Hyung sementara aku tidak?"
"Baiklah." Jongin memutar bola matanya malas. "Taemin Hyung si ketua club dance yang hampir lengser."
Taemin mendecih tapi kemudian tertawa menanggapi cibiran si adik kelas. "Menurutmu kenapa aku di sini kalau aku tidak melakukannya?"
Jongin mendengus. "Seharusnya tanpa bertanya pun aku tahu."
Taemin hanya tersenyum sebelum melanjutkan mengangkat ponselnya sebatas wajah. Membiarkan Jongin yang berjalan kembali ke arah radio tape dan menyalakan lagu menghentak yang mengasyikkan. Taemin sedang malas untuk menari hari ini, jadi sudah cukup dengan anggukan beratur dari kepalanya untuk mengimbangi irama musik yang mengiringi Jongin kali ini.
Sesekali Taemin melirik Jongin yang terlihat mengagumkan saat menari. Dan Taemin tertawa saat Jongin sengaja melakukan gerakan-gerakan aneh padanya. Itu adalah salah satu yang tidak akan dilakukan Minho. Karena Minho terasa terlalu lurus, terlalu serius, terlalu kaku. Meski sebenarnya Minho juga suka melemparkan lelucon, tapi Taemin pikir ia tidak selalu sependapat dengan lelucon Minho. Mungkin seharusnya Minho lebih sering berkumpul dengan Jongin dan Mingyu.
Lagu dari tape sudah berganti sebanyak empat kali saat langkah seseorang – atau lebih – terdengar memasuki ruang latihan. Taemin masih di posisinya dengan ponsel yang baterainya tinggal sedikit di depan wajahnya, sementara Jongin sedang merebahkan diri di lantai parket di depan cermin besar.
"Ternyata kau benar di sini. Aku mencarimu, Hyung." Suara seseorang menyeruak begitu saja dan membuat perhatian Taemin serta Jongin dari kesibukan masing-masing teralihkan. "Oh, hai Taemin Hyung? Kau juga ada di sini?"
Taemin hanya mengangguk menanggapi sapaan adik kelasnya yang lain – yang sekarang mengarah pada Jongin yang sudah terduduk di lantai. Karena pandangan Taemin malah teralih pada seseorang lain yang masih berdiri di ambang pintu dengan seragam club sepak bola sekolah yang basah.
"Bagaimana kau bisa bersama Minho Hyung, Mingyu?" Jongin bertanya pada Mingyu yang merebut air mineralnya dengan seenaknya. Sementara Taemin ikut mendukung pertanyaan Jongin dari tatapan matanya pada Minho.
"Bocah itu kutemukan di lapangan." Minho menjawab sambil mengarahkan dagunya pada Mingyu yang masih menenggak air mineral Jongin.
"Kupikir kau ada latihan basket." Jongin mengerutkan dahinya.
Mingyu melepaskan mulut botol dari mulutnya sambil terengah-engah. Ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan secara kasar. "Aku sedang tidak ingin latihan. Seungcheol Hyung sedang marah padaku karena kemarin aku menghilangkan flashdisk-nya."
"Menghilangkan flashdisk?" Giliran Taemin yang bicara. "Bagaimana bisa?"
"Ceritanya panjang." Mingyu bergidik. Enggan memberitahu. "Mungkin aku baru akan kembali latihan kalau aku sudah bisa menemukannya – atau menggantinya."
"Lalu apa urusanmu denganku? Kenapa mencariku?" Jongin mengubah nada suaranya menjadi lebih tinggi saat dilihatnya senyuman mencurigakan Mingyu terplester di wajahnya.
"Ayolah Hyung – kau tahu maksudku." Mingyu merengek dan Taemin terkikik mendengarnya.
Jongin berdecak. Berdiri dari duduknya, mematikan musik dari tape lalu beralih mengambil seragamnya dari sudut ruangan. "Aku tidak punya uang."
"Aku tidak mungkin harus meminjam pada Taemin Hyung atau Minho Hyung, 'kan?" Mingyu menatap orang yang namanya disebutkan.
Dan sejurus setelahnya Minho langsung mengangkat tangannya pada Mingyu tanda ia benar-benar tak mau ikut campur. "Jangan katakan apa-apa. Jangan melibatkan kami. Kalian urus saja sendiri." Pungkasnya sambil menarik Taemin untuk mengikutinya keluar dari ruang latihan.
Taemin terkikik di tengah langkahnya yang terseret. Tapi ia menyempatkan diri untuk menatap kakak beradik yang sudah sangat dikenalnya itu. "Maaf, aku harus pulang. Sampai jumpa Mingyu, Jongin!"
Dan diikuti dengan suara pintu tertutup.
xxxxx
"Dia benar-benar tak berubah. Hanya badannya yang bertambah tinggi dan besar tapi tingkahnya masih saja seperti itu." Minho sedang mengomentari Mingyu saat ia dan Taemin sudah berada di jalanan komplek dekat rumah mereka. Sama seperti biasanya, mereka berjalan beriringan dengan obrolan-obrolan ringan menyertai.
Taemin mengangkat bahu untuk menanggapi. "Kurasa itu memang karakternya. Mana mungkin bisa berubah? Dia anak bungsu, 'kan?"
Minho mengangguk. "Tapi tetap saja tak terlihat sepadan dengan fisiknya."
"Kau benar, tapi dia terlihat imut seperti itu." Taemin berpendapat sendiri. Kemudian menatap Minho yang terlihat tidak setuju dengan ucapannya. "Sudah, biarkan saja. Tak ada salahnya bermanja pada orang-orang terdekat."
Minho terdiam. Kepalanya tertunduk untuk mengabsen langkahnya sendiri. Membiarkan angin yang menyahuti ucapan Taemin sebelumnya.
Merasa aneh dengan reaksi Minho, Taemin menggigit bibirnya. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"
Minho membagi tatapannya. "Tidak."
"Kau terlihat – sedih?"
"Hanya baru menyadari sesuatu."
"Apa?"
Minho menyungging senyuman sebelum menjawab dengan tatapan yang terlempar ke langit. "Saat Mingyu masih saja bermanja-manja sampai tubuhnya sebesar itu, aku bahkan tak pernah punya waktu untuk itu sejak kecil."
Taemin menautkan alisnya. Merasakan hatinya ikut berdesir saat Minho mengatakan itu dengan nada sedih yang terlihat jelas. Tangan mungil Taemin terangkat dan membawanya ke punggung Minho. Memberikan beberapa usapan halus dan berharap itu berhasil meringankan sesuatu yang memberatkan Minho saat ini.
"Maafkan aku." Taemin berucap tapi Minho langsung membalasnya dengan tatapan.
"Bukan salahmu." Minho tersenyum tapi Taemin bisa melihat matanya yang menyiratkan kesedihan. Tapi belum sempat Taemin mengatakannya Minho sudah merubah posisinya untuk merangkul lelaki yang lebih pendek darinya. Membalas usapan yang tadi Taemin berikan padanya, tapi ia melakukannya di pucuk kepala Taemin. "Aku baru ingat barusan – aku sudah melakukannya padamu, juga Ibu dan Ayahmu. Seharusnya aku tidak terlalu serakah."
"Tidak begitu." Taemin menyela. Memprotes kalimat Minho yang terakhir.
Minho mengedik, seolah ingin Taemin berhenti membicarakan itu karena ia tidak nyaman. "Hei, ayo cepat pulang. Aku jadi rindu masakan Ibumu."
Taemin tak menjawab. Hanya membiarkan kakinya melangkah semakin cepat bersama Minho yang masih merengkuh bahunya. Mereka sudah cukup lama terdiam sampai Taemin bisa melihat rumahnya serta rumah Minho yang berhadapan dari sudut matanya.
Tapi Minho menahan langkahnya sebentar sebelum mereka benar-benar sampai.
"Taemin,"
Taemin menoleh dan ia tidak mendapati senyuman di wajah Minho saat ini.
"Aku bersyukur punya kau. Entah bagaimana jadinya kalau kau tidak ada di sampingku." Minho mengatakannya sebelum melepaskan rangkulannya. "Aku mau menyapa Ibumu terlebih dahulu!" Membiarkan Taemin mematung sementara dirinya menepuk kepala Taemin dan berjalan mendahului. Kemudian masuk ke rumah Taemin dengan tanpa canggung sama sekali.
Dan seharusnya Taemin tidak menyimpulkan terlalu cepat kalau ia mendengar Minho mengatakan Taemin adalah miliknya. Karena itu berimbas pada pipinya – seluruh wajah dan telinganya – yang kini berwarna merah muda seperti sakura di puncak musim semi.
Untung saja Minho sudah pergi.
xxxxx
Mereka benar-benar pergi ke toko kaset keesokan harinya. Dan seperti yang sudah dibayangkan Taemin sebelumnya, mereka berakhir di kedai ice cream. Sebenarnya, Minho tidak terlalu suka makanan manis. Padahal saat kecil dulu dia menyukainya. Kalau kata Taemin, mungkin karena Minho sudah menemukan jati dirinya – dan Minho menertawakan pendapat itu. Tapi tidak sepenuhnya salah juga, karena semakin lama rasa tertariknya pada makanan manis jadi berkurang. Bahkan ia berhenti memasukkan gula dalam kopinya sejak berusia lima belas tahun – dan ia tidak tahu kenapa. Maka dari itu sekarang Minho hanya memesan satu scoup ice cream mint.
Sementara Taemin masih sama antusiasnya pada ice cream seperti dulu. Dan kombinasi favoritnya adalah ice cream vanilla dan pisang dengan tambahan saus karamel. Menurut Minho, Taemin yang selalu ingin terlihat keren akan menjatuhkan image-nya sendiri saat dihadapkan dengan ice cream. Tapi Taemin tidak terlalu peduli karena ia menyukainya.
"Sepertinya besok kau pulang duluan saja, Taemin." Minho mengatakan itu saat Taemin baru saja memakan suapan ice cream ke delapannya. Tentu saja karena itu Minho dihadiahi sebuah tatapan bingung Taemin dengan kernyitan dahi.
Taemin menelan ice cream-nya sebelum memfokuskan diri pada topik yang sedang dibicarakan. "Kenapa? Latihan lagi? Aku bisa menunggu di ruang latihan, kok."
"Bukan latihan." Minho menggeleng sambil meletakkan sendoknya ke gelas ice cream yang sudah tandas sejak beberapa detik yang lalu. "Ada tugas praktikum yang harus kukerjakan bersama kelompokku. Tidak di sekolah, mungkin di rumah temanku. Makanya aku tidak bisa memastikan bisa pulang bersamamu."
"Praktikum apa?" Taemin menyembunyikan nada tak sukanya sambil menyuap ice cream-nya lagi. Mengalihkan tatapan dari wajah Minho kembali ke ice cream-nya yang sudah bercampur di gelas. "Aku tidak mendapatkan tugas apa-apa sekarang ini."
"Biologi. Mungkin kau akan mendapatkannya besok atau akhir Minggu." Minho menjawabnya dengan kasual. Ia memundurkan tubuhnya untuk bersandar ke punggung kursi. "Pelajaran biologi-mu hari Kamis, 'kan?"
Taemin mengangguk sementara tangannya sibuk mengaduk-aduk ice cream-nya. Sedikit memaklumi karena memang kelasnya terpisah dengan Minho. Dan Minho berhasil memasuki kelas unggulan di kelas dua belas ini. Tidak heran kalau Minho sering mendapatkan materi lebih dulu dibanding dirinya.
"Ya sudah." Tukas Taemin setelah ia sempat mendiamkan Minho yang kelihatannya sangat menunggu jawabannya.
"Aku harap besok segera selesai dan kita akan pulang bersama lagi lusa." Minho mengatakannya sambil menatap Taemin yang langsung meliriknya secara refleks.
"Hmm.." Taemin sendiri hanya membalas dengan gumaman. Enggan melepaskan sendok dari mulutnya karena ia takut bibirnya akan tersenyum lebar dengan lancang dan membuat dirinya malu di hadapan Minho.
Minho terkekeh – entah kenapa – seraya mengeluarkan ponselnya. Mengecek sesuatu sepertinya, karena Taemin sempat mendengar suara getaran ponsel sebelumnya. Taemin terdiam sementara ia sedang mengontrol detakan jantungnya yang menggila. Bisa-bisa ia jadi sungguhan gila kalau membiarkan dirinya terus melayang karena ucapan-ucapan manis Minho.
"Oh! Kalian ada di sini!"
Taemin menoleh dengan keterkejutan luar biasa saat seseorang bersuara nyaring datang dengan gebrakan di mejanya secara tiba-tiba. Mata Taemin hampir membulat saking terkejutnya. Dan semakin terkejut lagi saat mendapati Baekhyun, teman sekelasnya ketika kelas sebelas dulu sedang tersenyum padanya – juga Minho.
"Kau di sini juga?" Taemin mencoba untuk menetralkan keterkejutannya dengan bertanya. Minho sendiri memang tidak terlalu akrab dengan Baekhyun dulu – atau lebih tepatnya, Minho tidak pernah akrab dengan siapapun sejak dulu.
"Iya. Aku dan Chanyeol sedang jalan-jalan mencari sesuatu dan mampir ke sini karena kehausan." Baekhyun mengatakannya sambil menarik kursi dan duduk di salah satu sisi meja Taemin dan Minho yang duduk berhadapan. "Dia sedang memesan sekarang. Aku mencari meja yang kosong tapi malah menemukan kalian. Apa kalian sedang berkencan?"
Eh?
"Uhuk uhuk uhuk!" Taemin terbatuk setelah Baekhyun melontarkan pertanyaan itu. Minho dengan cepat menyodorkan tissue pada Taemin dan menepuk-nepuk bahunya perlahan-lahan. Membiarkan Baekhyun yang terlihat kaget di tempatnya.
"Kenapa sampai tersedak? Makan pelan-pelan." Minho mengatakannya sambil terus menepuk Taemin.
Baekhyun melirik dua orang di hadapannya sambil tersenyum miring, "Aisshh, kenapa kalian malah bermesraan di depanku begini? Aku jadi merasa seperti pengganggu."
"Bermesraan apanya?" Taemin menyahut setelah ia selesai dengan acara tersedaknya. "Lagipula aku dan Minho tidak berkencan."
"Oh? Tidak, ya?" Baekhyun melebarkan matanya. Agak malu karena salah bicara sebelumnya. "Aku pikir kalian sudah menjadi sepasang kekasih."
"Kita hanya bersahabat!" Taemin menyangkal lagi. Kali ini dengan suara yang agak dinaikkan. Tapi kemudian ia melirik Minho yang tidak berekspresi apa-apa. "Sepertinya kau dan Chanyeol yang perlu dicurigai."
"Tak perlu curiga, aku dan dia memang sudah resmi sejak kemarin." Baekhyun mengatakannya tanpa beban seolah ia baru saja mengataka kalau ia baru saja makan pizza untuk sarapan. Dan itu berhasil membuat Taemin dan Minho bertatapan canggung mendengarnya. "Oh ayolah, semua orang di dunia ini selalu penasaran dengan kalian. Aku pikir kalian benar-benar berpacaran tetapi menutupinya dari semua orang."
"Tidak ada yang seperti itu." Kali ini Minho yang bicara. Membuat Baekhyun dan Taemin menatapnya secara bersamaan. Tapi mata Minho hanya tertuju pada Taemin yang entah kenapa merasa kecewa. "Kami hanya teman kecil." Imbuh Minho sebelum memutuskan kontak matanya dengan Taemin untuk menoleh ke arah arlojinya. "Ah, sudah semakin sore. Sepertinya aku dan Taemin harus pulang."
"Yah, kupikir kita bisa makan ice cream bersama." Baekhyun terlihat mengerucutkan bibirnya tidak suka. "Bahkan Chanyeol belum selesai memesan."
"Maaf tapi kami benar-benar harus pulang." Minho mengatakannya dengan kasual dan Taemin semakin sakit hati mendengarnya. "Ayo Taemin."
"Ya." Taemin mengangguk patuh dan berdiri dari kursinya. Menyungging senyum sambil menggumamkan 'sampai nanti' pada Baekhyun yang tidak rela ditinggal di sana. Meski selanjutnya Taemin kembali memudarkan senyumannya saat ia sudah berlalu dari meja yang ditinggalkannya.
xxxxx
"Masuklah. Kita sudah pergi seharian, kau pasti lelah." Minho mengatakannya saat mereka sampai tepat di depan rumah Taemin – juga rumah Minho.
Taemin menoleh dan mengangguk. Memindahkan paper bag berisi kaset yang tadi dibelinya dari tangan kanan ke tangan kiri. Ia membuka gerbang rumahnya sambil bergumam, "Sampai jumpa."
"Taemin."
Langkah Taemin terhenti dan ia menoleh pada Minho yang masih berdiri di tempatnya sebelumnya. Dan Taemin menyesali itu karena ia malah terpesona pada Minho yang terlihat indah dari posisinya saat ini. Lelaki tinggi itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan cahaya matahari tenggelam terlihat membias dengan indah ke kulitnya yang kecokelatan.
Detik itu juga Taemin lupa caranya bernafas.
"Jangan lupa bawa payung untuk besok, kau akan pulang sendirian – siapa tahu akan hujan. Dan kartu bus-mu, siapkan di saku blazzer saja agar mudah dicari. Jangan bermain ponsel selagi berjalan sendirian. Kalau anjing Tuan Kang lepas lagi, jangan berlari. Ambil saja jalan memutar melalui Blok D. Kalau terjadi sesuatu, telepon aku, mengerti?" Dan Minho mengakhirinya dengan sebuah senyuman simpul yang bisa membunuh Taemin kapan saja.
Taemin terdiam cukup lama di tempatnya seusai Minho menepuk kepalanya dan berbalik menuju rumahnya sendiri. Bahkan sampai Minho sudah melambaikan tangannya dan menutup kembali gerbang rumahnya, Taemin masih berdiri di sana seperti seorang idiot.
Sebelah tangan Taemin yang tadi memegang gerbang beralih ke dadanya sendiri. Merasakan detakan jantung menggila yang sama seperti yang ia rasakan setiap ia bersama dengan Minho. Tadi ia memang sempat kecewa saat Minho mengatakan dengan jelas kalau mereka berdua hanya teman, tapi kemudian rasa itu menguap begitu saja dengan apa yang Minho lakukan barusan.
Dan Taemin mengutuk dirinya sendiri karena ia rasa ia semakin jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.
xxxxx
"Sudah kuduga kalau mereka akan saling jatuh cinta."
Taemin baru saja berpisah dengan Minho saat mendengar ocehan dari dalam kelasnya. Ia melangkah masuk dan meletakkan tasnya di meja yang sudah menjadi miliknya selama hampir satu tahun ini. Jonghyun, teman sebangkunya menyambutnya dengan senyuman lebar khasnya.
"Kau tahu? Anak-anak sedang menggosipkan Baekhyun dari kelas sebelah." Jonghyun melapor.
Taemin melirik namja itu sebelum mengertkan dahi. "Kenapa dengan Baekhyun?"
"Dia berpacaran dengan Chanyeol, kelas 12-1. Sepertinya kau juga mengenalnya." Jonghyun mengira-ngira dan mendapatkan satu anggukan dari Taemin. "Dia teman Minho."
"Aku bahkan sudah tahu mereka berpacaran." Taemin menukas jujur. Lalu mengeluarkan ponselnya dan memainkannya di atas meja.
"Woah, tahu dari mana?" Jonghyun terlihat penasaran sekali.
"Kemarin aku bertemu mereka saat sedang berkencan."
"K-kencan? K-kau?"
Taemin terkesiap mendengar pertanyaan Jonghyun. Kemudian ia menggeleng keras. "Bukan aku, maksudku aku melihat mereka berkencan."
"Ah – " Jonghyun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian hening sesaat hingga suara-suara ocehan para perempuan menyeruak begitu saja.
Taemin sendiri tidak peduli karena ia sudah fokus bermain games di ponselnya – membunuh waktu. Sementara Jonghyun sudah mengobrol dengan Wonshik dan Moonkyu yang duduk di belakang mereka. Tapi bagaimana pun telinga Taemin tetap bisa mendengar obrolan para wanita.
"Aku tidak heran mereka bisa berpacaran, mereka terlihat sangat serasi sekali pun sedang berkelahi."
"Tapi bagaimana pun Jongin dan Kyungsoo lebih serasi menurutku."
"Ah! Benar, Jongin dan Kyungsoo.."
"Mereka relationship goals, sungguh."
Taemin mendongak saat mendengar suara-suara itu menyebut nama yang dikenalnya. Jongin memang sudah berpacaran dengan Kyungsoo cukup lama. Jongin – meski ia adalah seorang junior – memang sudah populer sejak ia kelas satu. Dan itu membuat kabar berkencannya Jongin dengan Kyungsoo – yang sekarang satu kelas dengan Taemin – bisa begitu cepat menyebar.
Dan seperti kebetulan yang selalu Taemin temukan dalam drama picisan, sosok Kyungsoo muncul di ambang pintu dengan tas abu-abu di punggungnya. Taemin sedikit menyungging senyum pada Kyungsoo – calon kakak ipar Mingyu, begitu Mingyu memanggilnya – dan mendapat balasan sebuah senyuman simple sebelum namja Do itu berlalu.
Ternyata gerombolan wanita di kelas itu masih saja tak berhenti merumpi. Mengabaikan kenyataan bahwa objek pembicaraan mereka benar-benar ada di kelas itu untuk mendengarkan semuanya.
"Itu Kyungsoo."
"Dia pasti pergi ke sekolah bersama Jongin seperti biasa."
"Aku jadi ingin punya pacar."
"Kalau untuk pergi ke sekolah bersama, bukan hanya sepasang kekasih yang seperti itu."
"Benar! Taemin dan Minho juga melakukannya."
DEG
Taemin mendongak untuk kedua kalinya. Tapi kali ini dia benar-benar merutuki gadis-gadis itu alih-alih mendengarkan dengan seksama. Memangnya siapa yang tidak risih dijadikan bahan obrolan oleh orang yang tepat berada di belakang punggungmu? Taemin mendadak saja lupa kalau Kyungsoo juga merasakannya beberapa saat yang lalu.
Berdecak, Taemin menundukkan kepalanya lagi saat ia merasa semakin malu. Tapi kemudian pejaman matanya kembali terbelalak saat sebuah kalimat terdengar jelas melalui telinganya.
"Kupikir mereka sepasang kekasih. Tapi saat kutanya Minho, mereka hanya teman kecil."
"Aku sudah puluhan kali bertanya, tapi jawabannya selalu sama."
"Memang apa salahnya sahabat kecil melakukan apapun bersama? Mereka akan menemukan kekasih tanpa merusak persahabatan mereka, itu terdengar manis."
Mendadak saja telinganya berubah tuli setelah kalimat itu pergi. Atau mungkin kesadaran Taemin yang pergi karena sekarang ia malah melamun di kursinya. Menopang dagu sambil menatap kosong ke arah ponselnya yang mulai menggelap – terkunci. Membiarkan dadanya teremat sesuatu karena ia sadar posisinya saat ini.
Ya, memang apa lagi yang ia harapkan selain menjadi teman kecil Minho?
Kemarin juga mereka mengatakannya pada Baekhyun – juga mengatakannya pada semua orang yang bertanya. Tapi kenapa setiap ia mengingatnya, hatinya terasa sakit?
xxxxx
Minho benar-benar pergi kerja kelompok ke rumah temannya. Ia menyempatkan diri untuk menunggu Taemin keluar dari kelas sebelum pergi dengan sebuah usapan lembut di kepala. Membuat Taemin semakin enggan untuk ditinggalkan – juga merasa malu karena Minho melakukan itu di depan kelasnya yang ramai.
"Kelihatannya seperti seorang suami yang minta izin istrinya untuk pergi berperang." Komentar Wonshik saat ia melintasi Taemin yang masih berdiri di ambang pintu. Kemudian tawa dari Moonkyu dan Jonghyun menyahut di belakangnya.
Taemin melirik tajam trio Kim itu. "Aku mendengarnya, sialan."
"Memang itu tujuanku." Wonshik mengangkat bahu dan lagi-lagi tawa Jonghyun dan Moonkyu menyambar-nyambar.
"Aku menyesal berteman dengan kalian." Taemin mendengus dan berbalik untuk pergi. Meninggalkan area sekolah seorang diri. Benar-benar sendirian. Tidak seperti hari-hari biasanya dimana ia selalu melakukannya bersama Minho.
Langkahnya kemudian melamban saat halte sudah terlihat di ujung matanya. Helaan nafas terdengar saat Taemin mengingat lagi kalau sekarang ia benar-benar sendirian. Tentu saja tidak boleh ketiduran di bus karena tak ada Minho yang akan membangunkannya.
"Eh!" Taemin terkejut saat tidak sengaja kakinya menginjak tali sepatunya sendiri. Beruntung tidak sampai jatuh karena ia punya fleksibilitas tubuh cukup tinggi – dia penari, omong-omong. Dan satu lagi hal yang semakin membuatnya kesal, biasanya Minho yang akan mengikat tali sepatunya sebelum ia melakukan kecerobohan seperti barusan.
Baru saja Taemin akan membungkuk untuk mengikat tali sepatunya, saat ia melihat seseorang berjongkok di hadapannya dan mengikat tali sepatunya dengan cepat. Taemin mengernyit, masih mencoba memahami situasi. Sebelum akhirnya sosok itu mengangkat tubuhnya dan menunjukkan wajahnya yang familiar.
"Joon Hyung?"
xxxxx
"Untuk yang tadi, terima kasih." Taemin mengatakannya setelah ia duduk di bus bersama Joon – kakak kelasnya yang sudah lulus dua tahun yang lalu, saat Taemin masih kelas satu.
Laki-laki yang lebih tinggi dari Taemin itu tersenyum tulus dan menganggukkan kepalanya. "Kau sudah mengatakannya berulang kali, Taemin. Hentikan, karena aku hanya mengikat tali sepatumu. Bukan menyelamatkanmu dari hujan meteor."
Taemin terkekeh mendengar jawaban Joon yang hiperbolis. Mereka memang cukup dekat saat itu karena Joon adalah anggota dewan departemen sekolah yang menangani langsung club tari sekali pun ia bukan anggotanya. Joon adalah penanggungjawab club saat itu dan Taemin pernah menjadi utusan sekolah untuk kompetisi tingkat kota – itu kenapa mereka bisa akrab.
"Bagaimana kabarmu, Hyung? Rasanya sudah lama sekali tidak melihatmu." Taemin memulai perbincangan karena ia memang tidak suka suasana yang kaku. Kecuali kekakuan Minho, tentu saja.
Joon mengedik sebelum menoleh ke arah wajah Taemin, "Kelihatannya bagaimana?"
"Kau keliahatan – " Taemin mengernyit, berpura-pura berpikir sebelum menambahkan, " – sudah menjadi orang sukses?"
"Kau sedang bertanya?"
"Aku hanya takut salah menebak. Siapa tahu kau hanya mahasiswa tukang bolos yang suka berpakaian branded, Hyung."
"Ah – anak ini."
Taemin terkekeh melihat raut kesal Joon yang disembunyikan di balik senyuman miring. "Kau tidak berubah dari terakhir kali aku melihatmu, Hyung."
"Kalau kau, semakin tinggi kurasa." Joon mengira-ngira sambil memandangi penampilan Taemin. "Dan semakin keren."
Taemin tersenyum sebelum kembali melemparkan pandangan ke depan. Membiarkan Joon yang susah payah untuk tidak tersenyum bodoh melihat Taemin yang bergumam-gumam sendiri sambil mengintip melalui jendela.
"Taemin,"
"Ya?"
"Kupikir kau masih suka pergi dan pulang sekolah bersama temanmu – siapa namanya? Minho?"
Raut Taemin kembali berubah sekarang. Rasa kesal itu kembali muncul saat nama Minho disebut. "Kau benar. Hanya saja sekarang dia sedang ada keperluan."
"Ah.." Joon menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya tadi aku melihatnya di ujung jalan bersama seorang gadis cantik. Kupikir dia sedang berkencan atau apa."
"Dia hanya akan pergi mengerjakan tugas kelompok." Taemin memungkas dengan suara yang ditekan. Dan rasa sakit itu kembali menghantam dadanya. Memaksa Taemin membuang wajahnya ke arah jendela. Mengabaikan Joon yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun.
xxxxx
Taemin keluar dari rumahnya dan berharap tidak menemukan senyuman lebar Minho di depan gerbangnya. Ia sengaja keluar lebih awal pagi ini, sebenarnya. Tapi dia malah menemukan punggung pria itu di teras.
"Oh – kau sudah siap?" Minho berdiri dan berbalik. Memandang Taemin yang susah payah menahan diri untuk tidak memberondong Minho dengan pertanyaan seputar apa yang Joon laporkan kemarin. "Bagaimana kemarin? Tidak terjadi sesuatu padamu, 'kan?"
Taemin menggeleng. Tanpa ada niat sedikit pun untuk melontarkan suaranya. Sebenarnya sedikit kesal pada diri sendiri karena alih-alih terlihat marah, Taemin pasti terlihat sakit.
"Kau – kenapa?" Dan akhirnya Minho bertanya setelah Taemin bungkam selama beberapa saat.
Taemin menggeleng lagi dan memaksakan sebuah senyuman sungging yang tidak bertahan lebih dari tiga detik. Lalu berjalan mendahului Minho yang masih mengerutkan dahinya tidak mengerti. Dan Taemin cukup bersyukur karena Minho tidak bersikeras untuk berjalan di sampingnya atau memaksanya karena pria itu berjalan tenang di belakangnya.
Atau mungkin – Minho memang tidak peduli?
Lagi-lagi hati Taemin terasa tertusuk sesuatu.
Tanpa sadar Taemin menunduk sepanjang perjalanan. Halte sudah ada di depan mereka. Dan Taemin berharap tidak hanya ada mereka berdua di halte nanti.
"Taemin,"
Minho akhirnya memanggilnya setelah keheningan yang bertahan cukup lama. Taemin belum sempat menoleh saat Minho mengejarnya dan menjongkokkan diri di hadapannya dengan gerakan cepat. Tapi Taemin tetap tak mau kalah cepat untuk menarik kakinya menjauh dari Minho. Dan sejurus kemudian ia berjongkok dan mengikat tali sepatunya sendiri. Mengabaikan tangan Minho yang masih tergantung di udara.
"Taemin," Minho memanggilnya lagi, tapi Taemin lebih memilih untuk melanjutkan langkahnya dan duduk di halte dengan membuang wajahnya.
Minho masih ikut bungkam sampai akhirnya bus datang dan beruntungnya sedang ramai. Mereka bahkan tak mendapatkan kursi kosong sehingga harus berdiri di tengah-tengah bus. Minho berdiri di belakang Taemin yang enggan menoleh sama sekali, memfokuskan matanya pada jalanan yang terefleksi dari kaca depan mobil. Padahal sebenarnya, Taemin sedang mati-matian menahan diri agar tidak pingsan karena terlalu banyak mencium aroma Minh –
CKIIT!
GREPP!
Mata Taemin mengerjap. Belum menyadari posisinya yang sudah tepat berada dalam pelukan Minho karena insiden pengereman bus yang mendadak. Taemin masih membeku saat retinanya yang semula buram mulai menangkap wajah Minho tepat berada di hadapannya. Dan saat kesadarannya kembali, Taemin segera menarik diri, menjauh dari tempat Minho berdiri dengan dentuman dada yang menggila.
xxxxx
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Minho bertanya pada akhirnya. Ini sudah jam istirahat dan Taemin sukses mengabaikannya sampai sejauh ini. Tapi sepertinya Taemin bisa melihat kefrustasian yang Minho sembunyikan di balik kekakuannya. "Katakan padaku, Lee Taemin."
Dan Taemin paham kalau Minho akan jauh lebih serius setelah ia menyebut nama lengkapnya.
"Baiklah, sepertinya kami harus pergi?" Jonghyun yang tadinya sedang menikmati makan siang bersama Taemin juga Moonkyu dan Wonshik terlihat risih. Ia bersiap mengangkat nampannya, "Ayo, Won, Kyu."
"Tidak perlu." Minho yang menahan mereka. Kemudian ia meraih lengan Taemin dan mengajaknya berdiri – sedikit memaksa. "Kami yang akan pergi."
Dan dengan itu Taemin dibawa menjauh dari area kantin, menimbulkan banyak pertanyaan dari para saksi mata yang berada di tempat.
xxxxx
"Kau menghindariku."
Taemin membuang tatapannya saat Minho mengatakan itu. Mereka ada di atap sekarang. Angin cukup besar bertiup menerbangkan rambutnya. Tapi tidak cukup membuat segala beban di hatinya ikut hilang.
"Apa yang membuatmu seperti ini, Taemin?" Minho berdiri sangat dekat di hadapannya. Dan itu tidak membantu apa pun, selain membuat Taemin semakin gila akan aromanya.
Taemin mendongak dan membiarkan egonya jatuh begitu saja saat mulutnya dengan lancang langsung menyerbu dengan sebuah pertanyaan pamungkas, "Siapa teman sekelompok yang kau maksud kemarin?"
Minho menghela nafas. Seolah ia lega – menemukan apa penyebab Taemin menghindarinya hampir seharian ini. "Lee Yoobi."
"Aku tidak pernah mengenalnya." Taemin menggumam tapi Minho masih mendengarnya dengan jelas. "Dia sangat cantik?"
"Ya." Minho mengangguk jujur dan rasanya seperti baru saja meremas lemon di atas luka Taemin. "Tapi itu tidak berarti apa-apa, dia hanya partner tugasku."
Taemin ingin bersorak mendengar itu, tapi ia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Kemudian Taemin hanya mengangguk mengerti. "Maaf karena aku bersikap seperti ini – yeah, aku memang menghindarimu."
"Setidaknya aku tahu apa alasannya." Minho melunakkan suaranya dan Taemin benar-benar memuja suara itu. Kemudian Minho menarik Taemin dalam sebuah pelukan erat yang menyenangkan. Memaksa Taemin tersenyum tipis di balik bahu Minho yang tegap. "Apakah aku harus meminta maaf juga?"
Gelengan terasa di bahu Minho saat Taemin melakukannya.
"Aku tetap akan melakukannya." Tukas Minho. "Maafkan aku, Taemin. Lain kali akan kujelaskan siapa orang yang akan menjadi partner tugasku."
"Aku hanya terlalu berlebihan." Taemin mengatakannya samar-samar. Bibirnya menabrak permukaan seragam Minho dan membuat suaranya teredam. Tapi Minho benar-benar mengerti dirinya – itu kenapa pria itu mengeratkan pelukannya lagi.
Sebenarnya Taemin tahu, ia tidak perlu terlalu banyak menuntut dari Minho karena hanya dengan sebuah pelukan seperti ini, rasanya Taemin ingin mati karena kenyamanan yang terlalu besar. Taemin seharusnya tidak boleh berharap terlalu besar, berada di samping Minho sampai saat ini saja sudah membuatnya sesak nafas karena besarnya rasa kebahagiaan.
Seharusnya Taemin cukup sadar, kalau ia – posisinya – hanyalah seorang sahabat kecil untuk Minho.
xxxxx
Mereka berakhir dengan berbaring di lantai atap sambil menatap langit. Sebenarnya hanya Taemin yang melakukan itu karena Minho sudah memejamkan matanya sejak beberapa menit yang lalu. Tak ada topik yang mereka bicarakan selain Taemin yang berseru kalau awan di atasnya berbentuk seperti permen kapas dan Minho yang menanggapi kalau semua awan berbentuk seperti itu. Sisanya hanya diisi dengan keheningan.
Keheningan yang nyaman.
Taemin melirik Minho dan mendapati side-profile Minho yang selalu membuatnya berdecak kagum. Taemin pikir Minho adalah orang paling sempurna baik dalam bentuk fisik mau pun karakter. Atau mungkin itu hanya karena Taemin menyukainya, maka ia berpikir seperti itu.
"Apa ada sesuatu di wajahku?"
Taemin tak bisa untuk tidak melonjak. Minho – yang ia kira tertidur – mengejutkannya dengan suara rendahnya yang familiar dalam otaknya. Dan sekarang si tersangka malah sudah membuka matanya yang langsung membalas tatapan manik cokelat Taemin.
Berdehem samar untuk menghilangkan kecanggungan, "Kurasa kau sedikit lebih kurus." Taemin mencoba membuat topik baru agar tidak terlalu malu sudah tertangkap basah memandangi wajah orang lain saat sedang tidur.
Minho menaikkan alisnya. "Benarkah? Seseorang mengatakannya juga padaku."
"Siapa?"
"Ibumu."
Taemin mengangguk dan kembali menatap langit. Membiarkan matanya merekam bagaimana pergerakan lambat awan yang berarak di atasnya.
"Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu." Minho mengatakannya dan membuat Taemin menoleh lagi padanya.
"Apa?"
"Bagaimana kau bisa marah tentang partner tugasku sementara sebelumnya kau terlihat baik saja?"
Wajah Taemin memerah dan ia tidak sempat menyembunyikannya karena Minho terus memandanginya. Taemin yakin Minho pasti menyadari perubahan warna itu, tapi Minho yang kaku tetap saja tidak mengomentarinya.
"Kenapa kau penasaran?" Taemin bertanya balik – berusaha menyembuhkan degupan keras di dadanya.
Minho mengedik, "Hanya begitu saja."
"Sebenarnya –" Taemin menjeda. Membiarkan Minho menunggunya. " – kemarin Joon Hyung bilang padaku kalau ia melihatmu bersama seorang gadis cantik. Dia bertanya padaku, dia pikir kau sedang berkencan."
Taemin pikir Minho akan tertawa atau mungkin tersenyum padanya, tapi yang ia dapatkan malah sebuah kerutan dahi. "Joon Hyung? Maksudmu Lee Joon Sunbae?"
Kerjapan di mata Taemin menjelaskan semuanya.
Minho bangkit dari posisinya. Ia langsung menarik sebelah lututnya seraya mendengus kasar.
Melihat itu Taemin jadi heran. Ia ikut mendudukkan dirinya di samping Minho yang terlihat gusar. "Kenapa denganmu?"
"Apa kau masih berhubungan dengan Joon Sunbae?"
Taemin terlonjak saat ia mendengar nada marah yang sarat dalam suara Minho. Ia tak bisa untuk tidak mematung barang sejenak.
"Minho – "
"Tak bisakah kau hanya menjawabnya?"
"Kami tidak sengaja bertemu kemarin di halte. Dan akhirnya naik bus bersama."
Minho mengusak rambutnya sendiri dan Taemin semakin heran melihatnya. "Dia adalah Joon Sunbae, Taemin."
"Aku tahu."
"Dan kau pikir itu tidak menggangguku?" Minho hampir berteriak dan Taemin bisa melihat tonjolan urat di leher sang lawan bicara. "Kau kira kau sudah melakukan hal yang benar dengan menghindariku seharian ini hanya karena aku pergi bersama Yoobi untuk mengerjakan tugas?"
Taemin membelalakkan matanya. "Kau bicara apa, Minho? Aku tahu aku berlebihan soal itu. Kita baru saja membicarakan hal itu dan kau – "
"Joon Sunbae yang kau sebut itu adalah orang yang pernah menyukaimu, Taemin!"
Dan Taemin tergugu. Membiarkan suara bentakan kasar Minho menggema begitu saja di atap, menabrak dinding-dinding pembatas lalu menguar ke udara. Ke langit dan menghancurkan arakan awan yang seperti permen kapas.
"Kupikir – itu tidak mengganggumu?" Taemin berujar lirih sambil menundukkan kepalanya. Bingung untuk bersikap. Entah harus senang atau sedih karena Minho melakukan ini.
Minho berdecak sebelum kembali menarik Taemin dalam pelukannya. Tapi pelukan yang terasa berbeda dari sebelumnya. Pelukan yang terasa menyesakkan dada Taemin.
"Kalau kau bisa menghindariku seharian ini, seharusnya kau bisa melakukannya pada Joon Sunbae setiap kalian bertemu."
Ucapan Minho di dekat lehernya barusan membuat Taemin semakin kehilangan arah. Bukannya ia tidak suka saat Minho memaksanya untuk tidak dekat dengan Joon. Tapi sesuatu yang lain yang membuatnya terpukul dan memaksa air matanya turun begitu saja.
Minho – pria itu melakukan semua ini bukan karena dia mencintaimu, Taemin. Tapi karena Minho adalah sahabat kecilmu.
Dan kalimat itu terus saja terngiang di seputaran kepala Taemin. Menghantuinya setiap hari dan menghiasi mimpi buruknya setiap malam.
TO BE CONTINUED
PS(s) :
(1) Aku tau ini melo banget, kayaknya karena aku emang lagi melankolis karena suatu hal
(2) Next part adalah KaiSoo, dan di part ini sudah dikasih spoiler tentang hubungan KaiSoo, 'kan?
(3) Sebenarnya aku ngga tau kenapa gaya penulisanku jadi kaya begitu. Semoga cocok dan nggak ngebosenin buat dibaca, yak
(4) Btw, aku Shawol tapi bukan Exo-L, cuma suka KaiSoo (karena rata-rata temenku adalah exo-l). Aku bahkan nggak pernah download lagu Exo kecuali MAMA, Miracle in December dan Overdose. Dan aku juga bukan Carat, cuma suka Hiphop team especially Meanie :* (tapi aku suka lagu2 Seventeen dan sering download reality shownya juga, tapi tetep bukan Carat *maksa*)
(5) Komentar itu selalu jadi hal yang paling ditunggu sama author online kaya aku. Seriusan deh.
Love, arilalee
