Title:
School AU!
Chapter 1 – Student!Hijikata/Student!Gintoki
Disclaimer:
Gintama by Hideaki Sorachi
Rated:
T
Summary:
Kompetisi antar rival semasa sekolah itu memang yang paling panas! But wait! Awas kalau terlalu panas –bisa kebakar api cinta nanti.
Kompetisi antara Hijikata Toushiro –wakil unit kedisiplinan sekolah- dan Sakata Gintoki –murid albino serampangan- adalah pemandangan biasa. Keringat, air mata, dan darah tidak asing lagi bila mereka sudah memulai kompetisi bodoh mereka. Tapi kok... makin hari makin 'belok', ya?
Warning & Note:
Typos, weird plot line, homosexuality, inappropriate language, OOC, etc.
Kasih ripiu ya! ;))
Genre:
Humor; Romance
.
.
Hari senin biasanya jadwal adu jotos. Gintoki selalu terlambat bangun di hari senin –yang pastinya jadi terlambat ke sekolah. Ujung-ujungnya pasti akan ditahan Hijikata selaku penegak kedisiplinan di sekolah. Gintoki yang berjiwa rebel pasti menolak diatur-atur Hijikata yang dia anggap terbutakan kekuasaan.
Gintoki berusaha kabur – ditangkap Hijikata – lalu adu jotos.
Seperti itu. Selalu. Setiap minggu.
Kok enggak capek, ya?
Beda hari senin, beda hari selasa. Sebenarnya, hari selasa sampai hari kamis jadwalnya adu bacot. Kalau hari-hari biasa seperti ini, bukan tentang kedisiplinan. Biasanya tentang semua hal kecil. Mulai dari arah sisiran rambut – sampai teknik ngupil.
Super enggak penting. Tapi rasanya harus diributin. Berhubung dua-duanya bersumbu pendek dan merasa penting.
Seluruh penghuni sekolah –iya, termasuk guru yang belakangan kosmetik anti aging-nya enggak mempan berkat kelakuan Hijikata dan Gintoki- paling senang hari Jumat. Hari damai, katanya. Mungkin efek weekend. Kepala jadi lebih dingin.
No adu jotos.
No adu bacot.
Damai. Tentram. Berfaedah.
Meski berpapasan pun, hanya saling lempar muka. Aman.
Selain sering membuat keributan –Hijikata dan Gintoki juga hobi dengan yang namanya kompetisi. Bukannya mereka siswa penuh ambisi berjiwa kompetitif. Mereka bukan siswa teladan seperti itu –yang bilang begitu pokoknya bohong. Jangan percaya. Intinya, mereka hanya senang melihat satu sama lain kalah atau mengaku kalah. Jiwa mereka sadis. Kompetisi mereka tidak hanya berakhir di sekolah. Sampai bel pulang berbunyi dan seluruh siswa dipulangkan pun mereka akan berkompetisi.
Misalnya seperti hari ini: keduanya biasa menunggu bus dengan jurusan sama dan di halte yang sama. Berbeda dengan di sekolah –mereka biasanya tidak bicara dengan satu sama lain. Hanya diam dan menatap kosong aspal hitam di hadapan mereka.
Bus datang –dan pintu membuka otomatis. Keduanya membayar bagian masing-masing dan mulai mencari kursi kosong. Tinggal satu. Mampus.
Gintoki yang memang naik terlebih dahulu pastinya menyadari kursi kosong itu terlebih dahulu. Begitu Hijikata selesai membayar sewa bus –ia menyadari hal yang sama. Kursi kosongnya tinggal satu. Gintoki sadar sesuatu:
'Hijikata akan mengincar kursi yang sama.'
Sikut bergerak cepat.
Telak menuju ulu hati Hijikata.
"OHOK!"
Sakit mampus –tapi, tidak akan membuat Hijikata menyerah. Enak aja.
Hijikata menjambak rambut Gintoki. Mencegah anak albino itu untuk beranjak.
"Aduh! Lepas, poni V sialan!"
"Kursi itu milikku!"
Hijikata mendorong tubuh Gintoki ke samping dan segera berlari menuju kursi kosong.
"Gah! Brengsek!"
Gintoki tidak sudi kalah dari si poni V alay itu. Tangan membentang –apa saja yang kena yang penting tarik.
"Jangan tarik ikat pinggangku! Kalau celanaku melorot bagaimana?!"
"Itu tujuannya, alay!"
"Sialan!"
Hijikata memegang ikat pinggangnya –agar tidak melorot- dan sekuat tenaga melepaskan diri. Pegangan Gintoki terlepas. Hijikata segera mendudukkan bokongnya ke kursi kosong terakhir.
"Hah! Rasakan!"
"Cih!"
Dengan wajah kesal dan rapalan kutukan untuk Hijikata dalam hati, Gintoki berdiri di sebelah kursi Hijikata.
"Kau hanya kurang beruntung, Gintoki. Hahaha!"
"Enggak perlu nebar garem di atas luka kali!"
Tiba-tiba bus oleng karena stir tiba-tiba dibanting. Sumpah serapah meluncur dari bibir sang supir. Ada mobil bandel yang memotong jalan ternyata. Gerakan tiba-tiba seperti itu menyebabkan seluruh penumpang juga oleng. Terutama Gintoki yang tidak siap. Berakhir menahan malu karena jatuh.
Kepangkuan Hijikata.
Hijikata yang juga kaget refleks menangkap pinggang Gintoki agar tidak jatuh ke lantai bus. Baik hati –tapi bikin salah paham. Gintoki merinding –napas Hijikata mengenai tengkuknya. Hijikata juga merinding –bokong Gintoki ternyata kenyal dan ternyata anak albino ini baunya enak.
Mesum.
Gintoki buru-buru bangkit. Wajahnya merah. Hijikata memalingkan wajah. Wajahnya menghijau –sadar dirinya homo.
Selamat, ya.
.
.
Setelah kejadian memalukan di dalam bus, keduanya tidak berubah. Masih suka adu jotos atau adu bacot. Cuma Hijikata jadi sedikit mellow. Misalnya saja seperti hari ini -14 Februari, hari valentine. Hari yang tepat untuk dijadikan kompetisi –siapa yang dapat lebih banyak cokelat.
Gintoki kalah telak.
Dia tidak dapat cokelat sama sekali –kecuali dari ibu kantin yang tidak masuk hitungan 'cewek mulus'-. Hijikata sendiri mendapatkan cokelat segunung –bukan melebih-lebihkan. Ini serius. Tumpukan cokelat di meja Hijikata mengancam erupsi dadakan. Membuat siswa sekelas wanti-wanti.
Wajah Gintoki sudah masam. Bibir dimajukan, alis ditekuk. Kalau mau dikata dengan bahasa keren –sulking.
"Mana cokelatmu, Gintoki?"
"Tidak dapat! Apa? Mau pamer ya! Mentang-mentang dapat cokelat banyak!"
"Galak banget, sih? Nih, kukasih! Kau suka rasa strawberry, 'kan?"
Kotak pocky berwarna pink dilemparkan Hijikata ke atas meja Gintoki –niatnya. Tapi, salah sasaran dan mata siswa bersurai perak itu mulai memerah karena terkena lemparan kotak pocky.
"Sialan! Niat ngasih, enggak? Kampret!"
Hijikata buru-buru kabur sebelum kena tampar.
Kotak pink dibuka kasar. Batang pocky berbalut gula berwarna pink dikunyah sadis.
"Enak, manis."
Dan terbentuklah fan club pendukung kehomoan dua rival itu.
Happy end.
.
.
Gintoki bingung. Hijikata sepertinya kesambet, deh. Kelakuannya belakangan ini aneh. Suka melantur pula.
"Minggir, poni V alay! Mau lewat, nih!"
"Jangan menghina rambutku! Dasar rambut keriting! –tapi rambut itu membuatmu terlihat imut, sih."
Tuh, 'kan. Melantur.
Yang seperti ini butuh penanganan cepat dan tepat. Sebelum ada kejadian yang bisa disesali.
"Kondou-san, bagaimana menurutmu?"
"Apanya?"
"Hijikata-kun. Dia belakangan suka melantur aneh-aneh."
"Maksudmu flirting denganmu, danna?"
"Flirting?"
"Danna enggak gaul, deh. Maksudnya gombal."
"...zaman sekarang memuji setelah menghina itu namanya menggombal, ya?"
"Aduh, danna kok goblok, sih?"
"Ngajak ribut, ya?"
Tidak ada solusi. Salah Gintoki juga berusaha mengandalkan teman-teman tidak waras si poni V itu.
"Tadi mengobrol apa dengan Shougo dan Kondou-san?"
Baru diomongin langsung muncul. Bakal panjang umur si Hijikata.
"Kepo."
"Kepo lah! Dengar-dengar Shougo suka padamu soalnya."
"Huh?"
"Aku enggak mau ditikung."
"Aku mau pulang aja."
.
.
Gintoki baru akan berangkat sekolah. Baru saja keluar pintu rumah –langsung disambut wajah berbinar Hijikata.
Mampus.
"Pagi."
"Ayaaahh! Ada stalker!"
Hijikata berlari kalap menuju sekolah sambil dikejar Yoshida Shouyou –ayah angkat Gintoki yang mengacungkan tongkat baseball kayak yakuza.
.
.
Penyakit Hijikata ternyata tidak kunjung sembuh. Memang tidak menunggu di depan rumah. Sekarang Hijikata hobi menunggunya di depan loker sepatunya.
"Kau tahu hari ini hari apa?"
"Ulang tahunmu? Klise, ah!"
"Bukan. Ini masih Maret. Ulang tahunku 5 Mei."
"Kode minta kado banget."
Gintoki melengos.
"Eh, tunggu. Kau belum jawab."
"Maksa!"
"Ayo, tebak."
"Enggak tahu. Enggak perduli juga."
"Hari ini white day."
"Dibilang enggak perduli."
"White day itu hari dimana orang yang mendapatkan cokelat di hari valentine membalas pemberi cokelat."
"Membalas?"
"Iya, dengan bergantian memberikan cokelat."
"Oh. Terus?"
"Punyaku mana?"
"Apanya?"
"Aku 'kan memberikanmu cokelat. Kau harus membalasku."
"Kau tidak memberiku cokelat, Hijikata-kun."
Gintoki meninggalkan Hijikata yang tiba-tiba mematung dan berwajah pucat.
"OH IYA! ITU 'KAN RASA STRAWBERRY!"
Tuh 'kan mulai aneh. Sepertinya memang kesurupan.
.
.
Gintoki sedang piket membersihkan kelas. Hijikata malah nongkrong di pojok kelas. Dari mukanya sepertinya ingin menghina. Gintoki erat-erat menggenggam sapu. Siap mukul kalau dihina.
"Cepat, dong."
"Pulang sana."
Hijikata membuat Gintoki darah tinggi. Banyak bacot. Meski begitu –anak itu tetap setia menunggu Gintoki membersihkan kelas. Kelas sepi. Tinggal mereka berdua. Mungkin ini saat yang tepat untuk bicara serius dengan Hijikata.
"Hijikata-kun?"
"Iya?"
"Kau –jangan-jangan kena kutuk."
"Kutuk?"
"Iya. Kemarin aku menonton anime. Di anime itu –ada karakter yang mirip denganmu. Dia tiba-tiba jadi otaku menjijkkan setelah kena kutuk sebuah pedang."
"Lalu apa hubungannya denganku?"
"Belakangan kau jadi aneh. Mungkin saja kau kena kutuk dewa. Kau kencing sembarangan di area kuil, ya?"
"Aku bukan temanmu si Katrura itu. Dan apa maksudmu aku jadi menjijikkan? Kata Kondou-san aku belakangan jadi perhatian."
"Itu dia masalahnya. Kau itu berjulukan oni, Hijikata-kun. Mana ada oni yang baik dan perhatian."
"Aww, kau sadar aku perhatikan selama ini, Gintoki?"
"Aku akan lapor polisi."
.
.
Hijikata sungguhan dibawa ke police station dekat sekolah. Untung pak polisi baik dan hanya tersenyum sambil mendengarkan cerita dari masing-masing pihak.
"Dia menguntitku, pak!"
"Bukan menguntit, pak! Mengawasi dengan penuh perhatian namanya."
Tatsugorou hanya bisa tersenyum. Rekannya –Jirouchou memijat dahi pening.
"Hijikata-kun, itu namanya menguntit. Tidak boleh, ya?"
"Tapi! Aku cuma ingin menunjukkan perhatianku pada Gintoki, pak!"
"Perhatian itu bisa diperlihatkan dalam bentuk lain."
Pak polisi bernama Tatsugorou itu begitu bijak. Hijikata merasa tercerahkan.
"Seperti mengancam orang yang berani macam-macam pada Gintoki?"
"Pulang kamu."
Pak polisi Jirochou habis sabar.
"Bukan. Maksudku, kau bisa mengajaknya kencan, atau membelikan hadiah. Begitu."
"Kenapa aku/dia harus mengajak kencan atau membelikan hadiah?"
Dua bocah beda warna itu mengucap bersamaan.
Jirouchou menggunakan kekerasan untuk membuang kedua makhluk bodoh itu dari sarang cin- ehem! police station kesayangannya.
.
.
"Toushirou, kenapa pulang telat?"
"Habis dari kantor polisi."
Jantung Tamegorou sempat berhenti.
"Kak, Gintoki marah padaku tadi."
"Bukannya sudah biasa?"
"Tapi –dia sampai melaporkanku ke polisi."
Tamegorou menangis dalam hati.
"Sudah kakak katakan untuk tidak menguntit Sakata-kun, bukan?"
"Lalu, tadi pak polisi menyarankanku untuk mengajak Gintoki kencan."
"Kakak pernah mengatakan itu juga padamu."
"Tapi, aku bingung. Kenapa aku harus kencan dengan Gintoki? Aneh."
Tamegorou elus dada. Adiknya bahkan sudah nyaris dipenjara karena men-stalking Gintoki. Tapi tidak sadar juga kalau dia suka pada rivalnya itu. Miris.
"Karena kau suka padanya, Toushirou."
"Suka? Siapa?"
"Sakata-kun.
"..."
"..."
"...kalau dipikir-pikir benar juga, ya?"
Tamegorou mau pergi ke kuil dulu. Mandi air suci.
.
.
Pagi-pagi Hijikata sudah nongkrong di depan rumah Gintoki.
"Pagi, Gintoki."
"Ayaaahhh! Muncul lagi stalker-nya!"
"Tidak! Tunggu! Please! Give-me –a-chance!"
Makin alay. Kasihan.
"Apa?"
"Aku datang pagi-pagi karena sudah tidak sabar mengatakannya padamu."
"Sok puitis."
"Biarin."
"Jadi, kenapa?"
"Nge-date yuk!"
"Ayaaahhh! Stalker-nya makin creepy."
"Dengar dulu bisa kali! Ehem! Jadi, ternyata aku suka padamu dan aku ingin kita pergi kencan. Kemana aja yang penting kamu senang."
Gintoki jadi tidak bisa berkata-kata. Siapa juga yang tidak doki-doki saat diajak kencan seorang pemuda yang cukup tampan. Meski creepy –Hijikata sebenarnya baik. Meski suka galak –Hijikata sebenarnya lembut. Gintoki tahu. Gintoki juga paham. Sebagai rival Hijikata, setidaknya Gintoki bisa membanggakan dirinya sebagai orang yang memahami dalam-dalamnya Hijikata.
"Boleh. Asal paman juga ikut."
Mampus.
"Eh, Shouyou-san. Pagi. Hehehe."
Hijikata buru-buru ciao begitu melihat ayah angkat Gintoki yang sudah siap. Kali ini dengan payung transparan.
"Berani ajak Gin kencan, ya? Sudah berani, ya? Sini biar paman hajar."
"Ampun, paman! Saya enggak akan macam-macam, kok!"
"Alasan. Sini kamu!"
Gintoki hanya geleng-geleng kepala. Jawabnya di sekolah saja, deh.
