I Purple You, Hyung

.

.

.

.

Notes : One-shot to celebrate my baby's birthday, Kim Taehyung. I hope you like it! Jangan lupa RnR!

.

.

.

"Kenapa ungu?"

"Apa kau tau apa arti dari warna ungu, Gukkie?"

"Tidak begitu banyak, aku tak pernah mendalami arti warna sebaik dirimu."

"Aku pernah membaca bahwa ungu selama ini digambarkan sebagai kekayaan, royalty, kemewahan, spritualisme, dan misteri. Tapi rasanya bagiku, yang pengetahuannya tentang ungu hanya sebatas warna terakhir dari pelangi, aku kadang senang berpikir bahwa ungu artinya 'aku akan percaya dan mencintaimu sapanjang masa'"

"Sepertinya, aku lebih suka arti yang seperti itu."

"Benarkah? Padahal aku baru saja mengarangnya, Gukkie."

"Hyung!"

.

i purple you

.

0 - yeong

Pertama kali Jeon Jeongguk bertemu Kim Taehyung, ia mendengus geli.

Saat itu, pertengahan musim gugur. Jeon Jeongguk sedang berjalan terburu-buru menuju kelas pertamanya di hari itu. Tiga tahun menghabiskan waktu belajar di Yonsei University dan mengambil program seni dan kemanusiaan tidak pernah membuat Jeongguk benar-benar jera dalam kelalaiannya mengatur waktu. Profesor Kwon plus terlambat bukanlah kombinasi yang baik. Buruk, bahkan.

Tepat lima belas menit sebelum kelas dimulai, Jeongguk terbangun dengan penuh rasa panik. Ia mengenakan jeansnya, mengambil hoodie hitam yang bahkan belum sempat dicuci, serta memakai converse putih tulang yang tergeletak sembarangan di lantai goshiwon sempitnya.

Diperjalanannya menuju kampus, Jeongguk tak berhenti mengutuki Hoseok dalam hati. Kalau saja teman satu kru dancenya itu tidak membujuknya pergi ke pesta yang diadakan Mark di penthouse miliknya, Jeongguk tidak akan membuat keputusan bodohnya dan meneguk bergelas-gelas alcohol, tidak akan bermain beer pong hingga pukul dua malam, tidak akan pulang dengan keadaan mabuk berat, dan pasti akan bangun tepat waktu untuk kelas mingguannya bersama Profesor Kwon hari ini.

Sebenarnya ia bisa saja bolos dan meminjam catatan maupun rekaman kelas hari ini. Tapi Jeongguk butuh lulus dan mendapatkan gelarnya, dan untuk mencapai itu, ia butuh menghadiri kelas Profesor Kwon.

Karena itu, sekarang, Jeongguk akan menjadi sedikit kesal pada apapun dan siapapun yang membuatnya menjadi lebih terlambat untuk menghadiri kelas. Termasuk ketika seorang pria berpenampilan mencolok berada tidak jauh dari koridor didepannya dan terlihat kebingungan. Jeongguk yang sudah memiliki perasaan buruk semenjak keluar dari goshiwonnya, semakin merasa tak nyaman ketika ia melihat lelaki itu berdiri dan sesekali melihat ke secarik kertas ditangannya.

Ada dua kemungkinan. Pertama, si pria asing sadar bahwa Jeongguk terlihat terburu-buru dan bukanlah orang yang tepat untuk ditanyai mengenai arah jalan – karena sepertinya orang itu tampak tersesat- dan memilih untuk membiarkan Jeongguk berjalan melewatinya. Kedua, si pria asing sangat putus asa dan walaupun telah melihat wajah Jeongguk yang sangat jelas tak ingin diganggu, ia akan tetap memanggilnya untuk bertanya sesuatu yang nantinya pasti akan membuat Jeongguk semakin terlambat.

Jeongguk mempercepat langkahnya. Alis bertemu dengan tujuan menambah kesan pemarah. Berharap ia semakin jelas mengirimkan sinyal 'JANGAN GANGGU AKU' ke sekitarnya.

Sialnya, entah kenapa, sekarang hanya Jeongguk seorang yang tengah berjalan menuju orang itu. Ini menambah resiko Jeongguk untuk diberhentikan dari langkahnya. Kemudian mata kedua orang itu bertemu. Jeongguk tak bisa menghindari gerutuan didalam hatinya karena tampaknya, ini akan menjadi kemungkinan yang kedua.

Benar saja, saat sebuah ucapan yang sering dilontarkan manusia ketika ingin memulai pembicaraan itu mencapai telinganya, Jeongguk hampir berteriak.

"Ah, permisi!"

Sial, Jeongguk hampir saja berhasil melewati si pria mencolok. Ia menutup matanya spontan, menarik nafas, dan menahan segala macam kata-kata yang tak sepantasnya keluar dari mulutnya. Demi norma dan moral kemanusiaan, Jeongguk berbalik.

Dan, wow. Jika tadi ia berpikir bahwa lelaki ini mencolok, ia harus berpikir lagi untuk memberi sebutan itu.

Lelaki ini benar-benar terang.

Maksud Jeongguk, ini musim gugur, dude. Musim gugur artinya pumpkin spice latte dan semua yang berhubungan dengan warna teduh : cokelat, oranye, hitam, merah anggur, mauve dan warna gelap lainnya. Adalah sebuah peraturan tidak tertulis untuk mengenakan pakaian yang bernada sama dengan warna-warna itu. Kalau kau melanggar sedikit saja, biru muda misalnya, kau mungkin dapat terlihat menonjol dilautan manusia dengan mantel cokelat.

Tetapi pria ini bukan hanya melanggar. Konsep musim gugur mungkin tak berlaku baginya.

Sweater berwarna hijau neon yang dikenakannya hampir membuat Jeongguk meringis, dibalik sweater tebal itu, kerah kemeja berwarna pink bertengger dileher si pria seakan menjulurkan lidah, mengejek mata Jeongguk, diikuti dengan celana hijau tua dengan garis putih di kedua sisinya, serta sneakers biru terang dari adidas. Semua unsur terang dan riang itu bersatu menyerang mata hungover Jeongguk sehingga mau tak mau kepalanya terasa semakin berdenyut. Belum berakhir sampai disitu, si lelaki juga mengenakan beret berwarna maroon dikepalanya, menutupi rambut blonde yang tampak kering bahkan dilihat dari jauh sekalipun.

Jeongguk ingin mengigit jarinya. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengus geli.

"Permisi?" oke, mungkin Jeongguk menghakimi terlalu lama dan terlalu jelas karena detik berikutnya, sang pria tampak menyadari tatapan mengintimidasi Jeongguk. Senyum formalnya memudar.

"ah, sorry, ada apa?" tanya Jeongguk berkedip terlalu cepat. Berusaha memberi istirahat pada matanya setelah diserang dengan kumpulan warna melelahkan itu.

Mulutnya ingin sekali melontarkan "Apa itu yang kau pakai?" Tetapi Jungkook masih manusia yang mengerti tata krama.

Si lelaki neon mengangkat kertas kecilnya. Ada peta kecil dan berantakan yang tergambar disana. "Aku benar-benar minta maaf karena merepotkanmu, tapi apa kau tau letak gedung D? Aku sudah mencarinya sedari tadi dengan petunjuk peta ini tapi aku terus saja kembali kesini lagi. Sepertinya mereka tidak memberiku peta yang benar." Dibalik kebingungannya, sang pria malah terkekeh kecil.

Jeongguk melirik kertas itu sebentar. Dibawah beberapa garis yang digambar menuju sebuah X kecil, ada sebuah catatan kecil yang bertuliskan 'X = gedung D = cari warna gedung yang paling pucat'

Dahi Jeongguk berkerut. Menurutnya itu peta yang cukup jelas untuk digunakan walaupun dibuat terlalu terburu-buru. Bukan hal yang sulit untuk mencari gedung yang juga ingin ditujunya itu. Apalagi mereka sedang berdiri didekatnya, hanya tinggal berjalan lurus, mengambil belokan kanan satu kali, maka gedung pucat seperti yang ditulis oleh si pembuat peta akan terlihat menjulang kelangit.

"Tidak. Kurasa peta itu benar." Kata Jungkook kemudian membalikkan punggungnya. "Sepertinya hari ini hari keberuntunganmu karena aku juga sedang tergesa-gesa menuju gedung itu." lanjut Jeongguk dengan menekan nadanya di kata tergesa-gesa.

Ia kembali berjalan, kali ini bahkan lebih cepat. Yakin bahwa si lelaki neon mengikuti dibalik punggungnya, Jeongguk tidak bisa menahan pertanyaan yang muncul didalam kepalanya itu.

"Ada apa ke gedung D?"

Sang pria asing tampaknya senang mendapat pertanyaan itu. Terdengar dari nada suaranya yang tiba-tiba menjadi antusias. "Kelas pertamaku! Aku mahasiswa pertukaran dari Daegu."

Jeongguk mengernyit."Ini hari pertama dan kau tidak punya siapapun menemanimu berkeliling?" Jungkook mengambil belokan.

Si pria neon menggeleng walaupun Jeongguk tidak bisa melihatnya. "Bukankah itu yang dialami setiap mahasiswa baru?"

"Tidak juga kalau mereka tidak mau tersesat dihari pertamanya." Balas Jeongguk melempar sarkasme.

"Kalau begitu, berarti aku tidak seberuntung yang kau bilang." Lagi-lagi, pria itu terkekeh kecil. Seperti ia tidak terpengaruh sedikitpun atas sarkasme yang Jeongguk berikan padanya.

Jeongguk mengangkat tangannya, melirik jam tangan yang melingkar. Bagus. Kelas pasti sudah dimulai. Kenapa jarak gedung sialan itu menjadi semakin jauh?

"Apa kelas pertamamu?"

"Properti psikologis warna."

Jeongguk memberhentikan langkahnya tiba-tiba. Ia membalikkan punggungnya cepat hingga membuat si pria neon hampir menabrak tubuhnya. "Profesor Kwon?"

Lelaki itu mengangguk.

Bagus ganda! Jeongguk memutar bola matanya. "Bukan hanya kita menuju gedung yang sama, tapi kita juga menuju kelas yang sama. Selamat." Ketusnya sambil kembali melanjutkan langkah.

"Benarkah?" si pria bahkan terdengar lebih antusias. "Akan kutarik kata-kataku tadi. Aku cukup beruntung hari ini."

"Ya, dan aku cukup sial." Gerutu Jeongguk dengan suara yang amat pelan.

Beberapa langkah kemudian, mereka mencapai gedung itu. Jeongguk kembali terheran-heran. Jika pria ini benar mengatakan bahwa ia sudah berputar-putar, bukankah dari kejauhan saja warna putih pucat gedung D akan terlihat?

Jeongguk membuka pintu gedung. Berdoa dalam benaknya agar hari ini Tuhan memberikan Profesor Kwon suasana hati seriang warna pakaian si pria neon.

Disaat yang bersamaan, Jeongguk juga mempertanyakan dengan kesal kenapa pintu ruangan kelas itu berderit begitu hebat setiap kali dibuka. Itu hanya akan menambah efek dramatis terlambatnya Jeongguk menghadiri kelas dan membuatnya menjadi pusat perhatian yang berlebihan.

Pintu sialan.

"Kalau aku jadi kau, tuan Jeon, aku akan memastikan aku mengatur setidaknya tiga alarm sebelum aku tidur tadi malam. Kau tau bagaimana aku menjadi sangat sensitif dengan orang-orang yang tidak menghargai waktu?"

Waktu hanya ilusi. Kita tidak menghargai waktu. Kita diperbudak oleh waktu. setidaknya itulah yang ingin Jeongguk ucapkan jika saja ia tak begitu membutuhkan gelar sarjananya.

"Maafkan saya, Prof. Ada beberapa kendala ketika saya menuju kemari." Jeongguk memasang senyum kakunya. Membuka pintu lebih lebar dan masuk kedalam ruangan besar itu. Ada dua hal yang Jeongguk khawatirkan sekaligus merasa lega membawa si pria asing bersamanya. Ia khawatir dirinya akan dianggap aneh berjalan bersama mahasiswa baru dengan beret konyol dan sweater menyilaukan tapi juga lega ketika pusat perhatian dengan mudah berpindah dari dirinya kini menuju si pria tersebut.

Seketika Jeon Jeongguk seperti menghilang begitu saja. Bahkan sang professor yang beberapa detik lalu terlihat seperti tidak akan melepaskannya dengan mudah, sekarang tampak jauh lebih tertarik dengan orang dibelakang Jeongguk.

Pria itu punya cara yang sangat baik untuk membuat dirinya terlihat menonjol.

"Maafkan saya, Prof. Tapi kendala yang dimaksud tuan Jeon itu mungkin saya."

Jeongguk menyetujui dengan dengusan kecil saat mengambil langkahnya menuju kursi kosong disamping seorang wanita dengan specs, rambut magenta, dan tindik yang jumlahnya mungkin saja melebihi jemarinya. Sepertinya seni memang menjadi tempat berbagai orang aneh berkumpul.

"Perkenalkan, saya Kim Taehyung, mahasiswa pertukaran Universitas Kyungpook, Daegu. Kalau saja tadi tidak bertemu Jeongguk, saya pasti akan melewatkan kelas anda."

Mendengar itu, wajah berkeriput Profesor Kwon terlihat kaget. "Ah, anda Kim Taehyung-ssi, yang dijadwalkan masuk mulai musim gugur ini! Tentu saja!"

Oke, Jeongguk tidak pernah melihat si pria tua itu tersenyum begitu sumringah bahkan padanya ketika menyerahkan tugas.

"Apa Namjoon tidak memberimu semacam petunjuk? Atau mengajak berkeliling terlebih dahulu?"

Si pria ne-, Taehyung menggeleng kecil sambil tersenyum, "Asisten Kim tadi terlihat sangat sibuk, tetapi dia memberi saya kertas petunjuk. Hanya saja, mungkin asisten Kim tidak membaca portofolio saya."

Sekarang, profesor Kwon tampak mengingat-ingat sesuatu dan ketika dia mendapatkan entah apa yang ingin ia ingat, wajahnya dengan mengherankannya malah berubah menjadi seperti merasa bersalah Jeongguk sampai tersedak ludah sendiri melihatnya.

"Maafkan aku, Taehyung-ssi, aku lupa mengingatkannya. Lain kali, aku akan coba lebih berhati-hati."

Profesor Kwon meminta maaf pada seorang mahasiswa? Sihir macam apa ini?!

"Aku tidak keberatan, Prof Kwon. Kalau begitu, bolehkah saya duduk, saya tidak ingin mengganggu waktu kelas lebih lama dari ini."

Sekarang Jeongguk benar-benar tertarik. Ia menopang dagunya dan tidak melepaskan pandangan dari Taehyung. Mengikuti gerak pria itu menuju kursi kosong paling depan, tepat dihadapan Profesor Kwon yang mahasiswa manapun tak pernah mau tempati. Hanya saat sang profesor berdehem, Jeongguk mengalihkan pandangannya menuju pria tua itu. Sedikit berharap ia mendapat sesuatu dari si pria tua yang terhormat untuk memuaskan rasa penasarannya akan Taehyung.

"Baiklah, kalian sudah mendengar, Kim Taehyung-ssi akan melanjutkan studinya disini bersama kita di jurusan Seni dan Kemanusiaan. Aku harap kalian bisa membantunya karena Taehyung-ssi punya sedikit keistimewaan, -uhm-," itu juga pertama kalinya Jeongguk melihat Profesor Kwon ragu dalam memilih kata-kata.

"Kekurangan, prof." Taehyung memotong cepat.

"Aku lebih suka berpikir bahwa buta warna bukan suatu keistimewaan. Itu hanya sebuah kekurangan yang sederhana." Tidak ada unsur kesedihan apapun. Tidak ada intonasi putus asa yang mewarnai kalimatnya. Taehyung mengucapkan itu dengan amat kasual seperti bukan suatu masalah besar.

"dan juga, aku rasa aku bisa melakukan apapun dengan baik sendirian, aku tidak begitu memerlukan bantuan." Taehyung melanjutkan kemudian membalikkan tubuhnya seakan ingin berbicara pada semua kelas. "Jadi aku mohon, untuk tidak memperlakukanku seperti kaum difabel." Senyuman lebar merekah diwajahnya. "Tidak ada yang salah jika tidak bisa membedakan mana oranye mana hijau tua."

Seperti ditampar oleh buku yang sangat tebal, seribu perasaan bersalah tiba-tiba membanjiri Jeongguk. Jika saja ia tau lebih cepat, Jeongguk tidak akan mengejek pilihan fashion pria itu didalam benaknya. Walaupun ia tak memberikan komentar apapun secara langsung, Jeongguk tetap saja sempat menganggap Taehyung orang aneh dan itu sangat sangat membuatnya merasa seperti orang paling kurang ajar.

"Kalau dia buta warna kenapa dia ada dikelas properti psikologis warna? Aku rasa dia berada ditempat yang salah." Orang kurang ajar kali ini bukan Jeongguk. Pertanyaan itu dilempar dengan keras dari belakang ruangan. Sukses membuat Jeongguk semakin merasa buruk walaupun bukan dia yang membuka mulut. Tetapi secara bersamaan juga membangkitkan pertanyaan yang sama yang menusuk-nusuk kepala Jeongguk semenjak ia tahu bahwa pria itu buta warna.

Dan lagi-lagi, senyuman Taehyung tidak hilang sedikitpun. Ekspresinya malah semakin menyala. "Ada empat psikologi primer dari warna. Merah, biru, kuning, dan hijau. Aku memang tidak pernah melihat mereka dengan baik, tapi aku tau dengan pasti bahwa warna-warna ini berhubungan masing-masing dengan tubuh, pikiran, emosi, dan keseimbangan esensial antara ketiga unsur tersebut. Aku rasa untuk mempelajari warna, butuh lebih dari kedua mata yang berfungsi dengan sempurna. Psikologi warna tidak sedangkal itu. Dan menurutku tidak ada yang salah dalam mempelajari hal yang menurut kita mustahil kita pelajari. Aku menganggapnya seperti kembali belajar berbicara. Sedikit sulit, apalagi dilakukan bila kau tak punya mulut. Tetapi bukan berarti selamanya kau tidak akan pernah mampu menyampaikan pesanmu pada orang lain, bukan? Pasti ada jalan lain untuk membuat mereka mengerti."

Taehyung membalikkan posisinya. Duduk bersandar dengan bahu yang tenang tanpa keraguan sedikitpun sebelum akhirnya berbalik lagi. "Lagipula aku buta warna parsial yang artinya dunia ini tidak terlihat hitam dan putih atau hanya kumpulan abu-abu jika menurutmu begitu."

Setelah itu tidak ada lagi yang berani melemparkan pertanyaan apapun.

Tanpa sadar, Jeongguk telah menahan nafasnya sedari tadi.

.

i purple you

.

1 – il

Kedua kali Jeongguk bertemu dengannya, ia membawa sekaleng milkis dingin.

Katakan Jeongguk hipokrit tetapi ia tidak bisa menahan rasa bersalah yang membendung didalam dirinya setelah sebelumnya tanpa pikir panjang memberikan penilaian buruk pada Kim Taehyung, si mahasiswa baru. Jeongguk tau ia lebih baik dari itu.

Ia sudah merencanakan untuk berbicara pada Taehyung setelah kelas berakhir –kali ini ia mengingatkan dirinya untuk mengenakan senyuman yang lebih ramah- tetapi Profesor Kwon sialnya mengambil kesempatan Jeongguk karena segera setelah kelas selesai, Taehyung lantas berjalan mengekor dibelakang si Kwon tua itu. Mungkin mengenai hal menjadi mahasiswa baru di Yonsei atau apapun itu, Jeongguk tak begitu peduli.

Oleh sebab itu sekarang ia harus menutup layar macbooknya, meraih ranselnya, berjalan keluar kelas menuju vending mechine yang terletak di lobby gedung, mengeluarkan seribu won dari dompetnya, serta menekan tombol untuk milkis. Oke, mungkin ia baru saja membuat kesalahan karena bagaimana jika Taehyung lebih suka kopi atau teh?

Jeongguk menggeleng dan meraih kaleng milkisnya keluar dari mesin. Jika pria itu pada akhirnya menolak milkis karena ia tidak menyukainya, artinya Taehyung bukan warga korea yang baik atau ia jangan-jangan seorang mata-mata. Menyadari apa yang baru saja ia pikirkan, Jeongguk menggigit bibir bawahnya. Astaga, kau sekali lagi menilai terlalu cepat, Jeon Jeongguk!

Kaleng biru minuman dingin itu kini telah berada digenggamannya. Diam seakan melihat kearah Jeongguk dan seolah memberi pertanyaan, 'Sekarang apa?'

"Sekarang tentu saja mencari Taehyung." Jeongguk mungkin harus mempertimbangkan untuk mengambil sesi konsultasi dengan dokter psikologi setelah menyadari ia baru saja berbicara pada sebuah kaleng ditangannya.

Wow, musim gugur memberikan efek yang sangat aneh untuknya.

Jeongguk berjalan keluar dari gedung. Conversenya membawanya ke tempat dimana ia yakin sebagian besar mahasiswa akan pergi bahkan jika mereka baru disini. Kafeteria. Walaupun ia tidak begitu yakin Taehyung akan ada disana mengingat mungkin saja ia masih berada di kantor profesor Kwon, tapi itu bukanlah sesuatu yang merugikan untuk dicoba.

Kafetaria selalu menjadi tempat terakhir yang ingin didatanginya di universitas ini. Terlalu ramai, terlalu penuh, dan makanan yang disajikan tidak terlalu enak baik untuk matanya maupun lidahnya.

Ketika sampai disana, Jeongguk mengeratkan pegangan tas ransel dibahunya. Apa yang baru saja Jeongguk pikirkan? Bagaimana dia bisa mencari satu orang tertentu dilautan murid Yonsei yang berlalu lalang bersiap menyantap makan siang mereka? Tetapi pria itu, Taehyung dengan segala corak terang diseluruh tubuhnya, seharusnya bisa langsung menjadi sesuatu yang mencolok dan menarik mata Jeongguk dengan mudah. Tetapi setelah mengedarkan pandangannya kebeberapa penjuru kafetaria, ia tetap tak menemukan si pemilik sweater neon.

Tepat setelah Jeongguk memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, sebuah tangan menyentuh pundaknya dari belakang membuat Jeongguk spontan berbalik.

Kim Taehyung, dengan senyuman secerah warna pakaiannya, berdiri dihadapan Jeongguk.

"Jeongguk!" suara dalam namun riang itu menyapa telinganya.

Baru saja Jeongguk ingin membalas kalau saja ia tak sadar pernah memberikan namanya pada Taehyung.

"Profesor Kwon! Aku menanyakan namamu padanya." sergah Taehyung cepat seakan tau isi kepala Jeongguk sekarang.

"Ada alasan kenapa?" Jeongguk harus akui ia mulai melihat kemungkinan Taehyung dan si Kwon tua bersekongkol untuk menjatuhkannya.

"Tentu saja karena aku harus tau nama dari malaikat penyelamatku."

Jeongguk yang mendengar sebutan itu hampir saja tersedak ludahnya sendiri. "Bukankah itu sedikit berlebihan?"

Pria dihadapannya menggeleng. Masih dengan senyuman kotak yang menunjukan deretan giginya, Taehyung menjawab "Kalau kau tidak datang kearahku tadi di koridor, kemungkinan besar aku akan melewati kelas pertamaku disini dan aku benar-benar benci absen dari kelas yang aku suka. Jadi kau seperti malaikat penyelamatku."

Jeongguk sempat lupa akan respon yang ingin ia berikan karena tiba-tiba saja dengan anehnya, kedua pipinya menghangat. Apa pemanas ruangan baru saja dinyalakan? Tidak mungkin kalimat senorak itu bisa membuatnya tersipu layaknya wanita.

Melihat Jeongguk yang tak juga membalasnya, Taehyung memutuskan untuk melanjutkan. "Sepertinya sekali lagi aku beruntung karena tadi aku berniat mencarimu keseluruh Yonsei bila perlu. Untunglah aku tidak perlu berjalan mengitari gedung-gedung besar ini."

"Kau mencariku?" Jeongguk bersyukur kali ini ia bisa menemukan kembali kemampuannya untuk berbicara. Ia mulai bertanya-tanya kapan senyuman yang menghiasi wajah Taehyung menghilang dari sana. Jeongguk mulai bertanya-tanya bagaimana bisa lelaki dihadapannya tersenyum begitu riang, bergeming dari segala macam tatapan-tatapan aneh orang-orang di kafeteria terhadapnya, atau mungkin lebih terhadap sweater neonnya.

Taehyung mengangguk.

"Yep. Aku ingin membalas kebaikanmu tadi. Bagaimana kalau sepotong kue di kafe sekitar sini?"

Sesuatu didalam Jeongguk seakan menekuk. Pria ini, pria penuh kejutan ini baru saja menyebut apa yang Jeongguk lakukan sebuah kebaikan saat Jeongguk jelas-jelas merasa terganggu dan memperlihatkannya dengan ekspresi wajahnya yang keras dan nada bicaranya yang ketus sepanjang waktu berjalan menuju gedung D dengannya. Ia semakin merasa mual.

Jeongguk kemudian teringat milkis yang digenggamnya dari tadi dan mengangkat tangan ragu-ragu. "Untukmu." Ucapnya pelan.

Taehyung terlihat sedikit terkejut. "Kau membelikannya untukku? Kenapa?"

"Karena aku sempat berpikir kau seorang kutu buku yang eksentrik dan aneh. Bukan berarti itu hal yang salah, hanya saja tetap tidak baik bagi seorang manusia untuk memberikan penilaian seperti itu dan aku berusaha menjadi warga negara yang pantas dan berperilaku baik-"

"Anggap saja hadiah dariku sebagai ucapan selamat datang di Yonsei." Jeongguk akhirnya memasang senyum. Sedikit kaku tapi terlihat cukup untuk membuat Taehyung mengambil milkis dari tangannya dengan senang hati.

Jeongguk menghela nafas.

Ia lega Taehyung tidak menolak milkisnya.

.

i purple you

.

2 – i

Sepotong kue nyatanya berakhir menjadi sepotong marble cheese cake dan segelas latte di Starbucks yang terletak diseberang universitas. Taehyung bilang karena ia baru disini ia belum tau kafe keren manapun sehingga terpaksa mentraktir Jeongguk di kedai kopi yang terlalu umum dengan harga kopi yang menjulang tersebut.

Jeongguk sebenarnya tidak keberatan. Jika itu artinya ia mendapat kesempatan duduk berhadapan dengan Taehyung dan mendengarkan pembicaraan maupun ocehan-ocehan darinya, Jeongguk tidak akan menolak.

Sesuatu tentang diri Taehyung membuat Jeongguk tidak bisa mengalihkan pandangannya. Awalnya ia sempat berpikir bahwa sore itu akan menjadi sore yang canggung diantara mereka. Dua mahasiswa seni yang baru saja saling mengenal beberapa jam yang lalu sekarang tengah duduk ditemani kue dan kopi, bersusah payah mencari topik pembicaraan sambil mencoba menghabiskan desert mereka secepat mungkin sehingga mereka juga dapat berpisah dari sana secepat mungkin. Ew.

Tetapi Kim Taehyung berhasil membuktikan bahwa skenario didalam kepala Jeongguk salah besar. Pria itu penuh energi bahkan dalam obrolan santainya. Jeongguk yang biasanya sulit untuk tetap fokus saat lawan bicaranya mengoceh terlalu banyak, kali ini ia tidak bisa mengalihkan sedikitpun perhatiannya dari Taehyung. Semua yang Taehyung ucapkan tercatat secara otomatis dalam kepalanya, membuat Jeongguk perlahan-lahan mulai mengenal lebih banyak tentang pria itu. Lambat laun tertarik dalam arus yang diciptakan Taehyung dengan sangat kasual. Jeongguk menikmatinya.

Taehyung lebih tua darinya setahun.

"Apa?! Kau lebih muda dariku?! Kalau begitu panggil aku hyung, itu sebuah kewajiban!"

Taehyung tidak mampu melihat warna semenjak ia lahir.

Pertama kali ia menyadarinya adalah saat taman kanak-kanak. Dirinya bingung saat semua temannya menyerukan kotak-kotak yang disusun berjejer oleh guru mereka didepan kelas dengan nama-nama yang berbeda dan terdengar asing baginya.

Hijau.

Merah.

Kuning.

Biru.

Semua kotak tersebut terlihat serupa baginya. Oleh karena itu Taehyung bergegas menanyakan apa yang membedakan satu kotak dengan kotak yang lain kepada salah satu temannya. Warna.

Sayangnya, bahkan setelah mendengar jawaban itu, Taehyung masih belum juga bisa melihat perbedaannya. Dengan senyuman sendu ia berkata "Bahkan jika mereka menghadapkanku pada kotak-kotak itu sekarang, aku masih tidak akan tau perbedaannya."

Seni adalah hal yang terdengar mustahil bagi Taehyung pada awalnya.

Tetapi lelaki itu telah menunjukan ketertarikannya dalam menggambar semenjak ia mengenal pensil dan tinta. Tidak masalah untuknya jika ia tidak mampu memberi warna pada setiap gambar yang ia ciptakan. "Lagipula Tata sudah cukup tampak menakjubkan tanpa warna apapun." Tata merupakan karakter ciptaan pria itu saat ia menginjak umur 10 tahun. Mahluk dengan kepala berbentuk hati dan tubuh yang bisa berubah menjadi berbagai macam bentuk, kata Taehyung.

"Aku suka tantangan. Aku suka melakukan hal yang orang banyak bilang mustahil. Dengan kekuranganku yang seperti ini, seni adalah hal yang mustahil." Taehyung menatap lurus kedepan. Bahunya tegap dan kuat. Ia tidak menunjukan keraguan sedikitpun. "Karena itu aku harus mengambil jurusan ini."

Tak hanya apa yang Taehyung ucapkan tapi semua gerak gerik Taehyung bahkan detil kecil seperti busa cappuccino yang melekat dibibir atasnya entah kenapa terlihat begitu menarik untuk Jeongguk. Bagaimana Taehyung berkedip terlalu cepat saat rasa cokelat dari kue menyentuh lidahnya, saat pria itu membenarkan letak beret dikepalanya, dan ketika Taehyung memainkan ujung lengan sweaternya hingga menutupi setengah jari-jarinya.

Tanpa Jeongguk ketahui dengan pasti, si eksentrik pemilik sweater neon tiba-tiba saja berubah, uhm, sedikit, ya sedikit.. sedikit manis.

Oke, Jeongguk mengakuinya. Taehyung benar-benar manis.

Sore itu saat mereka berpisah Jeongguk pulang ke goshiwonnya dengan dua hal yang terus melekat di kepalanya.

Satu, Taehyung orang yang menakjubkan.

Kedua, bulu mata Taehyung begitu panjang hingga mampu menggelitik hati Jeongguk.

.

i purple you

.

3 – sam

Secepat musim gugur berlalu, Jeongguk menemukan dirinya dengan mudah berteman dengan Kim Taehyung, si mahasiswa seni yang buta warna. Mereka bertemu sesering yang mereka bisa. Awalnya hanya berupa waktu luang setelah menyelesaikan kelas tetapi Jeongguk begitu menyukai menggunakan waktunya bersama Taehyung hingga mereka selalu membuat waktu kosong di hari tertentu untuk sekedar menonton film bersama di goshiwon Jeongguk maupun berkeliling Seoul dengan subway kota.

"Kau secara teknis adalah seorang turis di Seoul, hyung. Karena itu kau harus menjalaninya sebagaimana turis menjalaninya."

"Gukkie, bukan berarti kita harus berjalan kaki sepanjang pasar Namdaemun!" rengek Taehyung ketika suatu hari Jeongguk menemaninya menjelajahi Seoul.

Walaupun Jeongguk sangat menikmati waktu yang ia habiskan dengan Taehyung, energi yang dimiliki Taehyung serta keceriaan dan kecemerlangannya mungkin bukan hal yang cocok untuk sebagian orang. Jeongguk mengerti ini. Tetapi terkadang, ia tidak bisa menahan untuk tidak menggertakan giginya saat mendapati pemandangan dimana Taehyung duduk sendirian dibarisan depan ruang kuliah ketika jelas-jelas sekelompok mahasiswa ada disampingnya sebelum itu.

Mereka menghindari Taehyung, Jeongguk tau. Ia selalu memperhatikan bagaimana Taehyung mencoba untuk berteman tetapi orang-orang dikelasnya masih terlalu dangkal dan menganggap Taehyung sebuah anomali yang buruk dijurusan seni. Rasanya Jeongguk ingin menarik keluar setiap bola mata yang memberikan Taehyung lirikan sinis dan menghakimi.

Jeongguk masuk keruangan kuliah dengan langkah mantapnya, melempar tatapan tajam pada sekelompok mahasiswa dibelakang Taehyung, dan menghempaskan tubuhnya tepat dikursi disamping Taehyung. Hari ini kelas Profesor Kwon dan seorang Jeon Jeongguk baru saja duduk dibarisan paling depan. Pemandangan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Taehyung melihatnya sebentar sebelum kemudian memberi senyuman penuh arti. Seolah mengucapkan terimakasih dari pancaran matanya.

Hari ini Taehyung mengenakan oversized collar coat berwarna krem dipadukan dengan syal berwarna mustard yang menutupi seluruh lehernya bahkan sedikit dagunya apabila pria itu menunduk. Pakaiannya pagi ini membuat Jeongguk sedikit penasaran tentang siapa yang memilihkannya untuk Taehyung karena ini pertama kalinya Jeongguk melihat Taehyung dengan warna yang lebih gelap dari biasanya.

"Bukankah terlalu cepat untuk pakaian musim dingin?" Bulan oktober baru saja berakhir dan udaranya belum cukup dingin untuk membuat siapapun mengenakan syal menurut Jeongguk.

Taehyung melihatnya lagi dan baru ketika itulah Jeongguk sadar akan warna kemerahan diujung hidungnya. "Aku mudah sekali kedinginan." Tangannya meraih sesuatu dari saku mantelnya dan mengangkatnya kedepan Jeongguk. "Lihat, aku bahkan membawa dua heat pad di sakuku"

Hal berikutnya yang Jeongguk tau kedua sisi pipinya tiba-tiba diselubungi rasa hangat yang mengalir dari heat pad Taehyung. Jeongguk tidak bisa menentang bahwa yang ia rasakan saat itu adalah kenyamanan yang tidak ingin dilepaskannya. Lenyap sudah emosi dan kekesalan yang sempat ia rasakan terhadap orang-orang yang menghindari Taehyung barusan.

Ia sekarang diapit oleh kedua tangan Taehyung dengan dua heat pad disisi kiri dan kanan wajahnya dan juga disuguhkan senyuman kotak yang aneh dari pria yang sama. Sesungguhnya Jeongguk tidak menyesal duduk dibarisan paling depan dikelas profesor Kwon kali ini. Yep, ini begitu setimpal dengan apa yang akan dialaminya ketika si tua itu menginjakan kaki kedalam kelas.

"Aku pikir aku juga mudah sekali kedinginan." ucap Jeongguk pelan dengan bibir yang sedikit terjepit.

Taehyung terkikih sambil mengangguk menyetujui.

.

i purple you

.

4 – sa

Jeongguk menyukainya.

Pertama kali ia menyadari bahwa ia telah jatuh hati pada Kim Taehyung adalah saat jam menunjukan pukul empat pagi dihari Sabtu.

Letih yang menumpuk selama seminggu menjadi mahasiswa membuat Jeongguk tertidur digoshiwonnya layaknya seekor kungkang. Pemanas ruangan menyala selama berjam-jam. Mangkuk karton mi instan yang telah kosong tergeletak disamping tumpukan buku sketsa dan cat warna dimeja disamping tempat tidurnya. Bergelas-gelas kaleng pepsi dan energy drink yang belum juga didaur ulang ditinggalkan berserakan di ruangan itu.

Jeongguk tidak peduli. Ia hanya ingin waktu tidurnya. Menghangatkan diri dari salju diluar dengan selimut tebal dan kaos kaki iron man edisi terbatas miliknya, ia berniat tidur bahkan hingga siang hari menjelang.

Saat tiba-tiba bel pintu unitnya berbunyi beberapa kali hingga mengganggu lelapnya, Jeongguk mengerang keras. Ia membuka kedua matanya perlahan namun tidak membuat gerakan apapun. Berencana terlebih dahulu menunggu siapapun orang iseng dibalik pintu goshiwonnya untuk pergi dan menghilang. Sayangnya, bel sialan itu terus dibunyikan dan sukses membuat Jeongguk mengutuk dalam hatinya sembari menendang selimutnya kesal. Ia berjalan kearah pintu sambil menaikkan tudung hoodienya kekepala. Bersiap memaki siapapun yang ada dibalik pintu itu.

"Sialan, apa kau tidak tau ini jam ber-, Taehyung hyung?!"

Disana, dengan salju yang turun perlahan dari langit Seoul menjadi latar belakangnya, Taehyung berdiri dengan sweater, mantel panjang, dan syal yang amat tebal, tersenyum kearahnya dengan pipi dan hidung yang memerah karena udara dingin, tanpa ekspresi bersalah apapun walaupun kenyataannya dia baru saja membangunkan Jeongguk pukul 4 pagi di hari sabtu.

"Selamat pagi, Gukkie!"

Jeongguk menatap tidak percaya. "Hyung! kau bercanda? ini masih dini hari dan apa yang kau lakukan disini?"

"Aku ingin donat."

"Lalu?" Jeongguk mengernyit bingung. Dari semua jawaban yang bisa Jeongguk pikirkan, aku ingin donat bukanlah salah satunya.

"Tepatnya donat blueberry dari california donuts."

"Aku tau merk itu, lalu kenapa?"

Sekarang gantian Taehyung yang terlihat makin tak sabaran. "Gukkie, aku pasti merasa buruk kalau harus membeli satu donat saja. Karena itu aku harus membeli setidaknya tiga donat."

Jeongguk masih menunggu kelanjutan kalimat Taehyung tetapi yang pria itu lakukan hanya memberi mata memohon kepadanya.

"Dan?"

Dengan desahan kecil Taehyung menjawab "Dan tentu saja aku tidak bisa menghabiskan ketiganya karena perutku sangat sensitif dengan makanan manis yang terlalu banyak dan aku benci membuang makanan karena masih banyak sekali anak-anak yang kelaparan di Liberia, Nigeria, Sudan, Timor Leste, dan negara-negara lainnya, bukankah itu artinya aku manusia yang tidak peduli akan dunianya sendiri,-"

Jeongguk menghela nafas sebelum akhirnya menutup mulut Taehyung yang masih saja bertele-tele dengan esai spontannya soal donat. Tentu saja itu menghasilkan erangan protes dari pria itu dan berusaha melepaskan telapak tangan Jeongguk dari bibirnya.

"Apa kau sudah selesai, hyung?" tanya Jeongguk ketika Taehyung mulai berhenti memberontak dari tangannya.

Setelah beberapa detik mendapatkan tatapan tajam dari Taehyung, pria itu akhirnya menyerah dan mengangguk pelan.

Jeongguk menarik tangannya karena lebih lama dari itu pikirannya akan benar-benar kacau merasakan lembutnya bibir Taehyung di permukaan kulitnya.

"Bagus. Sekarang ayo pergi ke California untuk membeli donat."

Mendengar itu Taehyung mengangkat kedua tangannya keatas. Matanya menyala. "Yeay! Walaupun leluconmu barusan tidak begitu lucu kau tetap yang terbaik, Gukkie!"

Jeongguk tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum kecil saat berbalik dan mengambil mantelnya. Kejutan apalagi yang Taehyung berikan sekarang di pukul empat pagi?

Ia tidak pernah membayangkan akan memulai salah satu hari sabtunya begini. Dengan donat ditangan dan saus blueberry dibibir, mereka duduk di trotoar menghadap ke jalanan. Salju yang turun telah menumpuk menjadi lapisan yang cukup tebal. Membuat seluruh jalanan menjadi berselimutkan warna putih yang lembut. Jeongguk menyukainya. "Dari semua jenis warna putih, aku paling suka putih salju. Bagaimana denganmu, hyung?" Jeongguk seketika menoleh kearahnya dan hampir saja merasa bersalah menanyakan hal itu jika saja Taehyung tidak membalasnya dengan senyuman yang ia pasang seperti sekarang. Lebar dan tulus. Selalu seperti itu. Seakan-akan berkata 'Tidak apa-apa' pada dirinya yang bodoh dan asal membuka mulut.

"Apakah ada hal lain yang berwarna putih selain salju?" tanya Taehyung sebelum mengigit donatnya kembali. Saus bluberry menempel disudut bibirnya.

Untuk beberapa saat Jeongguk terdiam. Tiba-tiba saja ia bertanya-tanya tentang seberapa banyak Taehyung mendapatkan pertanyaan semacam ini dan bagaimana ia mengatasinya setiap kali.

"Ya."

"Contohnya?"

"Putih awan, putih tulang, putih pada lembaran buku sketsa, bahkan warna sepatuku saat kita pertama kali bertemu, uhm-, kalau kau masih ingat, mungkin tidak, mungkin,konyol sekali kalau kau memperhatikan sepatuku, tapi-"

Kedua pasang mata mereka bertemu lagi dan kali ini Taehyung belum juga menghilangkan senyuman itu dari wajahnya. Senyuman yang semakin lama semakin membuat mahkul imaginer dengan sayap seakan berterbangan didalam perut Jeongguk.

"Tentu saja aku ingat, Gukkie." balas Taehyung lembut. Donat blueberry miliknya hanya tinggal setengah. "Lagipula, menurutku aku tau mana yang kalian sebut dengan warna putih. Aku hanya buta warna parsial, ingat kan?"

Udara dingin membuat Taehyung seolah menghembuskan awan dari mulutnya setiap kali ia berbicara. Warna hidungnya semakin merah. Jeongguk harap ia sudah menempelkan heat pad ditubuhnya sebelum keluar tadi.

"Hanya saja mereka sering kali terlihat sama bagiku. Aku hanya tidak tau mana yang kau sebut dengan putih tulang dan putih salju." Taehyung mengalihkan matanya kearah jalan yang tertutup salju. Walaupun ia tersenyum, Jeongguk bisa menangkap dengan jelas warna kesedihan dinada suaranya. "Apa putih salju yang paling cantik?"

Jeongguk tidak tau apa yang telah merasukinya namun melihat kepingan kepingan salju yang terjebak diantara helaian rambut Taehyung serta membaur dengan warna pirang rambutnya, profil samping wajah Taehyung yang tajam namun tak terlihat kasar, bulu mata lentik dan bibir yang sedikit bergetar karena kedinginan namun masih ada saja senyum kecil menghiasinya berhasil membuat Jeongguk merombak ulang apa yang baru saja dipikirkannya.

'Tidak. Kau yang paling cantik.'

"Yeah, bagiku putih salju yang paling menawan."

"Benarkah? Tapi mereka sangat dingin, bukan?" Taehyung menopang sebelah pipinya dikedua lutut yang menekuk kemudian melihat tepat ke mata Jeongguk. Mendapatkan perhatian penuh dari Taehyung seperti itu mensinyalir rasa hangat yang berlebihan diwajah Jeongguk. Jika sebelumnya sensasi yang Jeongguk rasakan adalah kupu-kupu yang berterbangan didalam perutnya, kali ini kupu-kupu itu seakan bertransformasi menjadi binatang yang lebih besar dan melakukan jungkir balik diseluruh tubuhnya.

Mungkin karena udara saat itu terlalu dingin hingga menusuk masuk keleher Jeongguk dan membuat suaranya perlahan menjadi parau. "Aku tau. Mereka sangat sangat dingin"

"Tapi sekaligus begitu cantik. Karena itu semua orang mencintainya."

Taehyung menggumam. Beralih menopang dagunya kedepan dan memainkan salju dibawah sepatunya. "Kalau begitu aku juga paling suka putih salju."

Setelah itu tak banyak yang mereka ucapkan. Donat terakhir dibagi menjadi dua bagian. Taehyung melahapnya dalam satu gigitan besar dan mengundang tawa Jeongguk yang melihatnya. Musim dingin membuat Seoul sedikit terlambat memunculkan mataharinya. Jam sudah menunjukan pukul enam lewat lima belas menit tapi langit masih gelap gulita. Salju turun tanpa henti. Lapisan putih yang tadinya hanya setebal satu sentimeter kini telah menenggelamkan sepatu Jeongguk dan Taehyung hingga kebagian atas tumit mereka.

Mereka menghabiskan donat-donat blueberry itu, bangun dari trotoar jalan dan mengencangkan mantel. Jalanan menjadi sangat licin karena salju yang tak berhenti turun dan membasahi seluruh bagian jalan bahkan trotoar tempat Jeongguk dan Taehyung sedang berjalan kaki kembali ke komplek universitas.

Jeongguk harus menahan malu karena beberapa kali hampir jatuh terpeleset jika saja Taehyung tidak ada disampingnya untuk menahan lengannya setiap kali Jeongguk kehilangan keseimbangan. Musim dingin di Korea adalah musim yang teramat kasar bagi Jeongguk. Karena itu ia lebih memilih musim gugur. Kau mendapat udara sejuknya namun minus terpeleset setiap kali berjalan. Walaupun ia menyukai salju Jeongguk tetap tidak ingin melukai bokongnya diatas benda dingin itu.

"Kau seperti anak kecil yang baru belajar berjalan, Gukkie." Ledek Taehyung masih memegangi bicepnya.

"Bukan salahku terlahir tidak memiliki kemampuan berjalan diatas salju tebal tanpa terpeleset sedikitpun sepertimu, tuan Kim Taehyung."

"Bercanda. Sini, pegang tanganku."

"Kau jelas-jelas sedang memegang tanganku sekarang, hyung?"

Jika pendengaran Jeongguk tidak salah ia bisa menangkap Taehyung yang menghela nafas. "Maksudku telapak tanganmu, Guk."

"Oh"

Oh.

Jeongguk suka salju. Apalagi saat kepingan demi kepingannya turun dengan tenang dan lembut. Ia hanya tidak menyukai rasa dingin berlebihan yang dibawa bersama salju. Terlebih hari-hari dimana ia lupa membawa atau mengenakan heat pad ditubuhnya. Jari-jari dan ujung hidung Jeongguk akan seperti mati rasa. Tanpa heat pad atau setidaknya dua lapis mantel, itu akan menjadi mimpi terburuk bagi Jeongguk.

Kali ini dia tidak membawa satupun hot pack di kantung mantelnya. Tidak juga menempelkannya di perut atau punggungnya. Mantel yang ia pilih dengan buru-buru tadi berbahan tipis. Jeongguk bahkan tidak menggunakan sarung tangan untuk menutupi jari-jari membekunya. Tetapi entah bagaimana, tidak ada satupun bagian tubuh Jeongguk yang mati rasa. Dan mungkin, mungkin saja, itu karena Taehyung dan dirinya sedang berpegangan tangan.

Erat dengan jemari yang saling bertaut.

Taehyung pernah bilang ia mudah sekali kedinginan. Tetapi tidak pernah sekalipun Jeongguk merasakan sensasi dingin dari tangan pria itu tiap kali Taehyung menyentuhnya. Tangan Taehyung selalu saja terasa hangat. Jeongguk pikir mungkin itu faktor berpuluh-puluh heatpad yang ia gunakan setiap hari atau mungkin hanya karena dia memang seorang Taehyung.

Taehyung dengan hati yang hangat.

Taehyung yang masih tersenyum pada sejumlah mahasiswa yang awalnya menjauhinya namun meminta pertolongan ketika mendapati masalah tugas kuliah. Taehyung yang sering menempelkan heatpad dikedua pipi Jeongguk dengan alasan iseng walaupun Jeongguk tau kalau ia sebenarnya tidak mau Jeongguk kedinginan. Taehyung yang rutin memberi makan kucing liar yang hidup disekitar universitas. Taehyung yang menawarkan tangannya untuk digenggam agar Jeongguk tidak terpeleset walaupun Jeongguk yakin dengan pasti pria itu pasti tengah menahan dingin dari kontaknya dengan jari-jari Jeongguk yang hampir membeku.

Taehyung yang punya senyuman yang selalu berhasil menghangatkan Jeongguk secara ajaib.

Wow, tanpa disadarinya, Jeongguk telah jatuh cinta dengan cara yang paling klise persis seperti yang hanya bisa ditemukannya didrama atau novel roman picisan.

Jeongguk dimasa lalu tidak akan pernah menyangka bahwa dirinya suatu saat nanti akan dibangunkan dini hari oleh seseorang yang ingin mengajaknya membeli donat ditengah musim dingin yang menusuk. Ia sekaligus tidak akan pernah menyangka bahwa telah jatuh hati pada seseorang tersebut dan baru saja menyadarinya saat mereka berjalan pulang sambil bergandengan tangan dibawah langit gelap Seoul.

Jalanan menuju goshiwonnya begitu hening sehingga yang bisa terdengar hanyalah nafas dan langkah kaki berat milik kedua insan itu. Taehyung tidak mengucapkan apapun dan Jeongguk larut dalam pikirannya tentang perasaannya sendiri. Sampai ketika suara tawa kecil terdengar ditelinganya, barulah Jeongguk berhenti melamun dan menoleh kearah sumber suara itu.

"Apa ada yang lucu, hyung?" tanyanya bingung.

Taehyung menggeleng cepat. "Tidak, Gukkie." "Hanya saja aku sebenarnya tidak mengharapkan siapapun mau pergi denganku membeli donat jam empat pagi seperti ini."

"Sebenarnya aku kadang-kadang terbangun tengah malam dan tiba-tiba saja ingin makan banyak hal. Aku pernah pergi keluar jam 2 malam hanya untuk membeli es krim rasa cokelat dan mint yang letak kedainya lima blok dari rumahku. Waktu itu, tidak ada yang mau menemaniku. Mereka bilang hanya manusia gila yang mau berjalan kaki di jam 2 malam hanya untuk sebuah es krim. Sejak saat itu aku tidak pernah meminta siapapun untuk menemani petualangan tengah malamku membeli makanan."

Taehyung berhenti sebentar saat mereka mengambil tikungan. "Lalu aku tiba di Seoul. Entah kenapa semua terasa sangat berbeda. Untuk pergi sendirian keluar seperti itu rasanya begitu sulit. Hyung sekaligus teman satu kamarku terlalu mencintai tidurnya untuk sekedar kubangunkan dan membeli donat bersama. Jadi aku berpikir, siapa yang cukup gila dan mau menemaniku pergi membeli donat di jam empat pagi dan ditengah turunnya salju?"

"Aku." Jeongguk bahkan tak menyadari betapa cepat ia menjawab itu. "Aku cukup gila dan mau menemanimu membeli donat di jam empat pagi dan ditengah turun salju."

Ketika Jeongguk menoleh, ia mendapatkan senyuman Taehyung entah sudah keberapa kalinya hari ini. Hanya saja, yang satu ini seolah mempunyai lebih banyak arti dari yang sebelumnya.

"Benar." Taehyung mengeratkan genggamannya. "Kau baru saja melakukannya."

Jika saja salju yang menutupi seluruh jalanan itu bisa melihat dan berbicara, mereka pasti sudah mengomentari betapa anehnya Jeongguk dan Taehyung sekarang. Dua mahasiswa bergandengan tangan menyusuri jalanan sepi Seoul bahkan sebelum matahari muncul, dengan sepatu basah dan super licin, kaus kaki yang terlalu tipis untuk menahan dingin, saus blueberry yang tertinggal disudut bibir dan tak dihiraukan, kemungkinan besar satu-satunya murid Yonsei yang terjaga dan berada diluar kamar sepagi ini diakhir pekan.

Tetapi jika kau tanya Jeongguk, sesungguhnya ia tidak mau menukarkan momen ini dengan apapun.

.

i purple you

.

5 – o

Satu lagi hal yang membuat Jeongguk jatuh semakin dalam untuk Kim Taehyung.

Ungu.

Jeongguk hanya ingin berbuat hal manis untuknya. Seminggu lagi ulang tahun Taehyung. Hyungnya itu memutuskan untuk tidak pulang ke Daegu akhir tahun ini dengan alasan menghemat. "Aku butuh sedikit uang ekstra untuk membeli sesuatu." katanya saat Jeongguk bertanya alasannya. Taehyung bisa tersenyum dan tertawa seriang mungkin, tapi netranya yang terkadang memancarkan kesedihan tidak mampu luput dari perhatian Jeongguk. Lagipula pria itu begitu dekat dengan keluarganya – Taehyung sendiri yang bilang ayahnya selalu mengirim pesan 'beruang ayah, apa kau sudah makan?' setiap malam- jadi tidak mungkin Taehyung tidak merasa kecewa ketika tidak bisa pulang ke Daegu untuk berlibur.

Karena itu Jeongguk menemukan dirinya tengah menyusun rencana terbaik untuk Taehyung. Dari nekad mentraktir Taehyung makan di restoran mahal dengan uang tabungannya yang sudah kritis sampai berniat hanya membelikan pria itu sebungkus penuh hot packs. Namun akhirnya pilihan Jeongguk jatuh pada yang paling norak. Membawa Taehyung melihat bintang.

Yeiks, Jeongguk tau itu terdengar sangat sangat ketinggalan jaman. Tapi ia rasa Taehyung pantas untuk diberikan sesuatu yang sangat indah dan menawan dihari ulang tahunnya dan Jeongguk belum punya cukup uang untuk membeli cincin berlian ataupun rolex sehingga bintang menjadi alternativenya kali ini.

Melihat bintang itu romantis dan gratis. Kombinasi sempurna untuk mahasiswa miskin sepertinya. Ia hanya perlu meminjam mobil Hoseok, membawa selimut sebagai alas mereka, dan menghubungi Jackson agar mendapat akses atap gedung apartemen mewahnya. Mudah.

Namun yang menjadi sedikit sulit adalah membuat itu menjadi sebuah kejutan tanpa Taehyung ketahui sedikitpun. Hyungnya itu mudah sekali curiga.

muscle bunny :

Hyung?

Kau sibuk?

hyungie :

Nopeeeeee!

Kenapa, gukkie?

Kau kangen hyungmu? Aku pikir kita bertemu kemarin?

muscle bunny :

ew hyung.

hyungie :

kekeke..

serius, ada apa?

muscle bunny :

tidak begitu penting

tapi apa malam ini kau bisa menemaniku?

aku ingin mencari beberapa perlengkapan seni mungkin didaerah Itaewon

kalau kau tidak sibuk tentunya

hyungie :

sibuk untukmu?

AKU BAHKAN AKAN MELEWATI PROFESOR KWON UNTUKMU, ADIKKU YANG MANIS!

Bercanda, aku tidak mau melewati satupun kelasnya.

Karena itu kau beruntung!

Aku punya banyak waktu luang malam ini.

muscle bunny :

baguslah

hyungie :

yup baguslah

kita naik subway atau?

aku jemput kau di goshiwonmu?

muscle bunny :

tidak perlu, hyung

aku yang akan menjemputmu

hyungie :

oh baiklah

sampai jumpa malam nanti,Gukkie !

Jeongguk mengunci layar smartphonenya kemudian menenggelamkan wajahnya diatas bantal. Menghela nafas berat, Jeongguk bergumam kecil.

'Malam ini harus jadi malam yang sempurna untuk Taehyung.'

"Jaga babyku yang satu itu. Aku tidak mau ada satupun goresan di tubuhnya, yeah?" perintah Hoseok melempar kunci mobilnya kearah Jeongguk.

"Lihat saja apa yang berani kulakukan padanya, hyung." Seperti biasa, Jeongguk tidak pernah mendengarkannya.

"Bocah! Jangan main-main, dia baru saja kulunasi!" Kepalan tangan Hoseok tepat berada didepan wajahnya. Jika bukan karena refleksnya yang bagus dahi Jeongguk mungkin akan merasakan sakit yang luar biasa dari jitakan super Hoseok hyung.

"Aku tau, aku tau! Kau pikir aku tidak lulus ujian lisensi mengemudiku, hyung?" Jeongguk menarik tangan Hoseok menjauh dari kepalanya dan membenarkan letak beanie merahnya. Bergegas berjalan meninggalkan apartemen Hoseok. Lebih lama dari ini Hoseok mungkin saja berubah pikiran.

"Sebenarnya, yep, aku selalu berpikir kau tidak pernah lulus ujian itu." Jeongguk memutar bola matanya. Jika saja ia tidak meminjam mobil dari Hoseok malam ini, Jeongguk akan benar-benar melepaskan kaus kakinya dan menjejalkan itu kemulut Hoseok.

"Lagipula kemana kau akan membawanya? Malam kencan? Setauku, kau bukan tipe yang begitu peduli untuk membuat pasangan kencanmu terkesan. Siapa orang spesial ini, huh?" Hoseok mengikutinya berjalan keluar.

Jeongguk setengah berjongkok dan mengikat kedua timberlandnya. "Taehyung."

Mendengar itu nada Hoseok spontan meninggi. "Kim Taehyung? Teman sekelasmu yang buta warna parsial? Apa aku tidak salah dengar? Pria populer dengan pakaian cerah yang orang bilang aneh itu? Kau serius?"

Helaan nafas lolos dari bibir Jeongguk. Ia berdiri dari memasang sepatunya, membenarkan jaket jeans dibahunya dan bersiap keluar. "Yup. Kim Taehyung. Kim Taehyung teman sekelasku yang buta warna parsial. Kau tidak salah dengar, hyung. Ya, dia pria mencolok karena pilihan warna pakaiannya tapi tidak, dia tidak aneh dengan artian yang jelek. Dan terakhir ya, aku serius."

Dengan itu, Jeongguk menjawab semua pertanyaan Hoseok.

Sebelum menutup pintu, Jeongguk melambai ke Hoseok yang mulutnya sedikit terbuka sambil tersenyum. "Jangan khawatir. Aku akan mengembalikan Mang dengan kondisi sempurna seperti sedia kala."

Tangannya berulang kali menyentuh tengkuknya sendiri. Sebuah hal yang sudah menjadi kebiasaan Jeongguk ketika dirinya gugup atau sekedar tidak tau apa yang harus dilakukan. Seperti sekarang.

Jeongguk sampai lima menit lebih cepat dari waktu yang ia janjikan. Membuatnya berjalan bolak balik tak menentu didepan pintu unit apartemen Taehyung. Ia tidak segugup ini saat mengendarai mobil menuju kemari. Sampai di anak tangga terakhir lantai unit Taehyung barulah ia menyadari betapa norak dan menjijikannya malam yang ia rancang untuk pria itu.

Pikiran aneh tiba-tiba berkelebat di otaknya.

'Apa pakaianku terlalu berlebihan?'

'Apa aku terlalu berusaha keras?'

'Apa ini saja cukup?'

'Apa ini akan menjadi kencan yang sempurna?'

'Astaga, apa Taehyung bahkan sadar kalau ini sebuah kencan?'

'Apa aku mengirimkan sinyal yang terlalu jelas?'

'Bagaimana kalau dia tiba-tiba tidak menyukainya?'

'Bagus sekali Jeon Jeongguk! Sekarang kau seperti wanita yang berpikiran berlebihan di kencan pertamanya.'

Jeongguk menarik nafas dalam-dalam. Dengan keyakinan bahwa Taehyung tidak sejahat itu untuk menganggapnya laki-laki menjijikan, Jeongguk mengetuk. Ia menunggu setidaknya sepuluh detik sebelum pintu itu dibuka.

Dengan senyuman lebar Jeongguk berniat menyapa terlebih dahulu. Namun yang ada dibalik pintu bukanlah orang yang ia tunggu-tunggu melainkan seorang pria dengan kulit super pucat dan rambut hitam legam, wajah mengintimidasi, serta kaos dengan gambar wajah salah satu karakter Stranger Things dibagian depannya. Si pria pucat menatap Jeongguk seperti sudah menduga kehadiran pria itu.

"Kau Gukkie?" bahkan suaranya terdengar memojokkan.

"Yeah, uhm, sebenarnya Jeongguk. Jeon. Jeon Jeongguk."

Si pria kemudian bersandar kedaun pintu dengan tangannya yang kini terlipat didepan dada. Semakin menambah kesan menghakimi Jeongguk. "Sori, aku tidak tau ternyata Gukkie bukan nama aslimu karena hanya itu yang kudengar dari Taetae selama ini."

Jeongguk mengangkat bahunya. "Ah, ya, tidak masalah. Panggil saja Gukkie."

"Yeiks. Tidak. Itu terdengar seperti nama anjing peliharaan. Hanya Taetae yang bisa berpikir kalau itu manis."

Oke, baiklah, Jeongguk hanya akan memilih diam untuk sekarang. Dimana Taehyung-hyung saat ia membutuhkannya?!

"Satu pertanyaan, kiddo."

Jeongguk seketika menelan ludahnya. Apa ini semacam wawancara mertua pada calon menantunya? Jeongguk mulai berpikir jika ia tidak bisa menjawab dengan baik ia tak akan bisa mengajak Taehyung keluar malam ini.

"Apa kau pernah melontarkan kata-kata buruk pada Taehyung soal pakaian yang ia kenakan?"

Baiklah. Dari semua pertanyaan yang Jeongguk pikirkan akan diberikan padanya, ia tidak menduga itu akan menjadi soal pakaian Taehyung. Tentu saja Jeongguk sempat merasa sedikit aneh dengan pilihan pakaian Taehyung yang berbeda dan tak biasa, tapi tidak pernah sekalipun Jeongguk merasa tidak nyaman apalagi sampai melontarkan komentar buruk tentang itu. Lagipula, Jeongguk pikir Taehyung terlihat bagus disemua pakaian yang ia kenakan.

Baru saja Jeongguk membuka mulut untuk menjawab, derap cepat terdengar dari belakang punggung si pria pucat. "Yoongi-hyung! Apa yang kau lakukan pada Gukkie?" Taehyung muncul sedetik kemudian. Memukul pelan bahu pria yang ternyata memiliki nama Yoongi itu dan menyuruhnya minggir dari pintu.

"Tidak ada. Hanya memberinya beberapa pertanyaan."

Taehyung merengek. "Hyuuuunnng, dia tidak disini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anehmu. Kau berlagak mengintimidasi lagi, kan?"

Yoongi kemudian berbalik sambil berdecak. "Terserah." Gerutunya berjalan masuk kembali. "Hanya jangan lupa kenakan syalmu."

"Aku tidak pernah lupa memakai syalku!"

"Ya, ya, ya, katakan itu pada dirimu sendiri yang selalu melupakannya dan membuatku harus mengejarmu keluar untuk membawakannya. Setiap hari."

Selama dua orang itu bercekcok dihadapannya, Jeongguk tidak bisa berkata apapun. Tentu saja! Bagaimana ia bisa berpikir dengan benar ketika Taehyung muncul didepannya dengan penampilan seperti itu. Rasanya baru saja kemarin Jeongguk bertemu dengannya dan secepat jentikan jari sekarang Taehyung terlihat amat berbeda.

Rambut Taehyung kini berwarna ungu. Ungu?!

Dan itu terlihat sangat menakjubkan. Wajahnya terlihat lebih kecil. Taehyung yang sudah tampak mencolok sekarang lima puluh kali lebih mencolok karena warna rambutnya. Bagian depan rambutnya, Jeongguk sadar, sudah tumbuh lebih panjang hingga menutupi seluruh kening Taehyung.

Dorongan untuk menyentuh surai terang itu begitu kuat. Jadi Jeongguk melakukannya. Tangannya meraih helaian rambut Taehyung dan tampaknya aksinya itu membuat Taehyung sedikit terkejut dan memindahkan perhatian penuhnya ke Jeongguk sekarang.

Mata Taehyung melebar. Mungkin tak menduga tangan Jeongguk akan berada disana. Mengelus rambutnya dari puncak kepala dan perlahan turun hingga kebelakang telinga Taehyung.

Sementara Jeongguk tidak bisa melepaskan pandangannya dari rambutnya, Taehyung malah tidak menatap kearah lain selain kebawah. Setidaknya ia mencegah Jeongguk melihat rona merah yang kini menghiasi pipinya. Sedikit saja Taehyung menengadah maka wajah mereka akan bertemu mengingat tinggi kedua orang itu yang hampir sama.

"Wow." Jeongguk membuang nafas yang sedari tadi ternyata telah ditahannya. "Kau mewarnainya ungu?"

Taehyung mengangguk. Masih dengan mata yang tak juga bertemu dengan Jeongguk. "Sebenarnya Yoongi hyung bilang ini lavender. Versi ungu yang lebih lembut."

"Ah, ya, tentu. Lavender." Jeongguk perlahan menarik tangannya.

"Apa terlihat bagus?"

Kau terlihat luar biasa tampan dan cantik secara bersamaan. Apa kau bahkan manusia?

"Ya, kelihatan lebih segar dan stylish, hyung." Jawaban sederhana itu tampaknya membuat Taehyung bersemangat. Bayangkan kalau ia tau yang sebenarnya Jeongguk pikirkan.

Sepertinya Jeongguk harus menambahkan lavender dalam daftar hal favoritnya.

.

i purple you

.

6 – yuk

Ungu kedua yang membuatnya jatuh cinta.

"Gukkie, kenapa kita butuh mobil kalau hanya membeli peralatan gambar untukmu?" tanya Taehyung sambil memasang sabuk pengamannya. Disinilah bagian rumitnya bagi Jeongguk. Membuat berbagai macam alasan palsu agar Taehyung tak menebaknya dengan mudah.

"Uhm, aku lelah kalau harus naik subway. Lagipula Hoseok-hyung memang sedang menitipkannya padaku. Apa untungnya kalau mobil ini menganggur di basement goshiwonku, kan?"

Satu pertanyaan ditaklukan. Jeongguk membuang nafas lega ketika melihat Taehyung mengangguk menyetujui.

Jeongguk menyalakan mesin. Mobil itu melaju membelah jalanan Seoul. Jeongguk dalam hati bersyukur penghangat mobil itu bekerja dengan baik karena Taehyung tampak nyaman dengan kursi hangatnya bahkan menguap berkali-kali. Jika pria itu tidur akan lebih mudah untuk Jeongguk membawa Taehyung menuju tempat yang ia rencanakan tanpa mendapat pertanyaan apapun.

Mata Taehyung perlahan-lahan tertutup, namun kembali membuka dan mengerjap cepat seakan ia mencoba bertahan untuk terus terjaga. Jeongguk yang mengetahui itu melalui lirikannya berdehem kecil. "Hyung, kau bisa tidur kalau kau mau. Aku akan membangunkanmu nanti kalau kita sampai, oke?" kata Jeongguk meyakinkan.

"Maafkan aku, Gukkie. Tugas minggu ini sepertinya benar-benar menguras tenagaku." Kepalanya bersandar pada jendela disampingnya. Menghela nafas berat kemudian menutup mata sepenuhnya. Jeongguk tersenyum kecil. Tentu saja Taehyung lelah. Melihat semangatnya mengerjakan tugas kuliah dan menjadi individu dengan energy dan keceriaan berlebihan setiap hari bukanlah hal yang mudah. Jeongguk bahkan tidak bisa menjadi keduanya secara bersamaan.

Jadi disinilah Jeongguk. Menyetir sendirian di malam yang dingin, dengan seorang pria yang disukainya tertidur disampingnya, dan berbagai macam skenario bermain dikepalanya. Jeongguk hanya berharap Taehyung terus tertidur hingga mereka sampai dan tidak tiba-tiba terbangun serta melihat sesuatu yang tertutup selimut di jok belakang.

Jeongguk memarkirkan mobil dan mematikan mesin. Semua itu ia lakukan dengan perlahan dan halus sehingga kemungkinan kepala Taehyung untuk terbentur jendela tidak terjadi. Ia turun dari mobil dan berjalan memutar. Membuka pintu Taehyung dan menumpu kedua tangannya dilutut untuk sejenak. Untuk sekedar menatap Taehyung yang tertidur lelap dan tak sadar akan sekitarnya. Untuk sekedar memiliki momen itu sedikit lebih lama.

Taehyung yang bangun adalah Taehyung yang terlalu berusaha keras menjadi sempurna. Prinsipnya kuat dan pandangannya lurus. Ia penuh energi. Hanya ingin tersenyum dan tertawa. Selalu berusaha menutupi kekurangannya. Terkadang Jeongguk bahkan tidak bisa menyamai langkah cepatnya.

Tapi Taehyung yang tertidur merupakan pemandangan yang jauh berbeda. Fitur wajah yang tajam berubah melembut. Mata yang selalu memancarkan kemauan yang kuat kini tertutup dan lemah. Tiba-tiba saja Jeongguk tidak merasa bahwa tinggi mereka sama karena sekarang Taehyung terlihat jauh lebih kecil. Rapuh.

Jeongguk ingin merengkuhnya.

"Hyung" suaranya berbisik dan parau. Berniat membangunkan Taehyung dengan cara selembut mungkin. Tangan Jeongguk bergerak tanpa diperintah otak sadarnya. Jari-jarinya menyentuh pipi Taehyung perlahan-lahan. Seakan takut pria itu akan terbangun dan menghilang karena sentuhannya.

Pria yang tertidur perlahan-lahan membuka matanya. Mendapati wajah Jeongguk yang begitu dekat, ia kemudian tersenyum kecil. "Gukkie…"

"Kita sudah sampai?" tanyanya masih tampak tidak terganggu dengan tangan Jeongguk dipipinya.

Jeongguk membalas dengan anggukan. Bersandar lebih jauh untuk membukakan seatbelt Taehyung sehingga membuat tubuh keduanya bahkan berjarak lebih dekat dari sebelumnya. Jeongguk bisa merasakan nafas Taehyung ditengkuknya sekilas dan ia harus menahan gejolak dihatinya agar tak meledak ditempat saat itu juga.

Setelah turun Jeongguk membawanya menuju lobi bangunan. Melihat interior mewah pada lobi tersebut dengan petugas yang memakai seragam ala hotel membuat Taehyung terbangun sepenuhnya. Ia melempar pandangan heran. "Huh? Ini tidak terlihat seperti toko alat-alat kesenian, Guk?"

Jeongguk membuang nafasnya. "Tentu saja bukan."

Ada remasan kecil diujung lengan jaket jeansnya. Ia menoleh dan menemukan mata Taehyung yang kini terlihat sedikit khawatir. Jeongguk tak tahu. Mungkin kemewahan yang berlebihan dari bangunan itu sedikit mengintimidasinya. Sesuatu yang jarang terjadi karena Taehyung hampir tidak pernah terintimidasi dengan apapun.

"Apa kau ingin mampir terlebih dahulu sebelum ke toko alat seni?"

Jeongguk menggeleng. Melepas perlahan remasan Taehyung di jaketnya dan menggantinya dengan meraih tangan Taehyung kegenggamannya. Gesture yang ia buat untuk menenangkan dan meyakinkan pria itu kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Tidak. Ini memang tujuan kita, hyung." kata Jeongguk tersenyum penuh arti.

Setelah itu Taehyung lebih memilih untuk tidak mempertanyakan apapun lagi. Bahkan saat Jeongguk menekan nomor kemudian berbicara pada seseorang yang Taehyung tidak tau di handphonenya. Atau setelah itu, ketika Jeongguk menutup telepon kemudian menggandeng Taehyung kedalam lift serta menekan tombol dengan nomor lantai paling tinggi. Lantai 29.

Dilift yang terus bergerak keatas, Jeongguk hanya meremas tangannya dan sesekali berbalik untuk memberikan senyum yang Taehyung tidak mengerti. Apapun itu yang Jeongguk rencanakan sekarang, Taehyung harap ia tidak berakhir di sandera digedung yang tidak dikenalnya itu kemudian keluarganya di Daegu dimintai uang tebusan oleh Jeongguk karena kalau memang begitu malam ini akan berakhir Taehyung akan menyesali keputusannya berteman dengan pria ini, itu akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupnya, dan,-

Layar kecil di lift menunjukan angkat 29. Pintu silver itu terbuka. Jeongguk dan Taehyung dihadapkan dengan lorong besar dan lantai marmer yang bahkan terlihat lebih mewah dari lantai di lobi tadi. Pintu demi pintu dihiasi dengan mesin kecil untuk menginput kode pengaman. Fasilitas tipical apartemen mahal yang Taehyung tidak miliki mengingat harga sewa apartemennya yang mungkin bahkan tak lebih dari seperempat harga sewa disini.

Jeongguk menariknya dari lift. Mereka terus berjalan melewati lorong besar itu. "Apartemen? Apa kau akhirnya muak dengan goshiwon sempitmu, Guk?"

Si lelaki yang ditanya malah hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak berniat menghabiskan seluruh uang orang tuaku, hyung." katanya ringan sambil terus menggenggam tangan Taehyung menuju ujung lorong. Disana ada sebuah pintu yang bahkan ukurannya dua kali lebih besar dari semua pintu disini. Dari jauh, Taehyung bisa melihat laki-laki dengan tank top dan celana olahraga bersandar didinding sebelah pintu itu.

"Jackie!" seru Jeongguk ketika mereka mulai mendekatinya. Si pria asing mengangkat wajah dari handphone yang ia mainkan dan tampak tidak terlalu senang dengan panggilan itu.

"Berhenti memanggilku seperti itu, bocah. Kau pikir aku apa? Golden retriever?" Gerutunya sambil merogoh sesuatu dari kantung celananya.

"Oh astaga, bagaimana bisa aku lupa nama panggilan favoritmu. Maafkan aku, tuan Jackson yang agung."

Sebuah kunci kemudian disodorkan ketelapak tangan Jeongguk yang sedang tidak menggenggam tangan Taehyung. "Kalau saja kau tidak membantuku mendekati Somi dulu, aku akan menolak permintaanmu mentah-mentah, Jeon Jeongguk."

Jeongguk menyengir lebar dan menerima kunci itu kemudian menepuk bahu Jackson keras. "Kau selalu bisa kuandalkan, Jackie."

Jackson yang sekali lagi mendengar nama menjijikan itu mengerutkan hidungnya dan memasang ekspresi seperti berniat mencekik leher Jeongguk dengan lengannya. Tapi setelah melihat Taehyung yang hanya melongo dari tadi, Jackson tiba-tiba berubah menjadi pria yang penuh senyum.

"Kau Taehyung-ssi?"

Taehyung mengangguk.

"Aku banyak mendengar tentangmu. Jeongguk tidak pernah diam dua hari ini, dia merengek-rengek 'aku mohon, Jackie', 'akan kubalas kebaikanmu, Jackie' 'ini harus jadi malam yang indah untuk,- Awww!" Timberland Jeongguk menginjak kaki Jackson yang hanya beralaskan sandal jepit. Jika itu yang harus Jeongguk lakukan demi menutup mulut lebar si sialan Jackie, maka ia akan dengan senang hati melakukannya.

Jeongguk menatap tajam. "Berhenti disitu atau aku akan menghasut Somi untuk memutuskanmu. Dan aku tidak merengek. Aku tidak pernah merengek"

Jackson tampaknya masih tidak mau kalah walaupun mulai berjalan meninggalkan mereka sambil mengangkat kedua tangan. "Seperti kau tega saja melakukan itu, rambut mangkuk."

Baru saja Jeongguk ingin kembali meluapkan emosinya terhadap sibedebah Jackson, Taehyung menyela dengan kembali bertanya. "Gukkie, untuk apa kunci itu?"

Tidak ada jawaban keluar dari mulutnya. Jeongguk menatap kearah kunci ditangannya kemudian ke Taehyung. Tampak berpikir sementara apakah dia akan meneruskan bualannya atau memberi tau Taehyung yang sebenarnya. Lagipula mereka sudah berada tepat dihadapan tempat yang ingin Jeongguk tunjukan. Sudah waktunya memberi tau Taehyung bahwa dari awal Jeongguk tidak pernah ingin membeli perlatan seni apapun.

Ia menarik nafas dalam "Hyung, berjanjilah kau tidak akan marah, oke?"

"Marah? Kenapa aku harus marah? Apa kau mau melakukan tindakan kriminal padaku, Gukkie?"

Jeongguk spontan menggeleng. "Astaga.. tentu saja tidak! aku.."

Jeongguk, lakukan saja. Suara dikepalanya bahkan sudah terdengar tak sabar. Ini hanya sekedar melihat pemandangan langit dan kota Seoul dari atas bangunan apartemen yang sangat tinggi. Tidak ada yang spesial. Jeongguk bahkan sering menghadiri rooftop party disini yang diadakan Jackson dan harusnya ia tidak sebersemangat sekarang.

Tapi kali ini ia bersama Taehyung.

Dan Taehyung, seiring berjalannya waktu, seorang Kim Taehyung telah berjalan melenggang masuk kedalam kehidupannya.

Pesta Jackson tidak begitu spesial.

Taehyung spesial.

Mungkin itu yang sekarang membuat tumit kakinya seakan melompat-lompat ditempat.

Jeongguk menggigit bibir bagian dalamnya. "Kalau begitu begini saja. Berjanjilah untuk tidak membenciku saat pintu ini terbuka oke?"

"Gukkie sekarang aku benar-benar berpikir kau manusia yang menyeramkan."

Jeongguk tidak menjawab lagi. Ia hanya menekan sedikit kegelisahan dihatinya kemudian membuka pintu tersebut dengan kunci ditangannya.

Pintu itu berderit terbuka.

Yang ia tau detik berikutnya adalah genggaman tangan Taehyung tiba-tiba terlepas dan suara yang melengking memenuhi telinganya.

"TAMAN DIATAP GEDUNG?! KAU BERCANDA?!"

Batin Jeongguk seketika menghela nafas lega. Jika matanya tidak membohonginya, Taehyung tampak sangat terkejut tapi juga sekaligus menikmatinya. Ia menjadi sedikit menyesal membuang-buang tenaga untuk khawatir ketika ia tau dengan jelas bahwa Taehyung bahkan akan senang dan bersemangat hanya dengan dihadiahi satu kotak heat pack.

Tapi Taehyung pantas mendapatkan jauh lebih dari bungkusan penghangat tubuh itu.

"Gukkie, lihat! Mereka memotong rumput mereka menjadi seekor jerapah! SEEKOR JERAPAH!"

Jeongguk akhirnya berjalan menyusul tempat Taehyung berdiri. Mereka hanya dipertengahan bagian atap dan Taehyung bahkan belum sampai ke keindahan yang sebenarnya.

"Tentu saja, hyung. Mereka punya penata rumput pribadi, kau tau?"

Kedua mata Taehyung melebar. Mulutnya terbuka. Andai saja Jeongguk cukup cepat untuk menangkap wajah tercengang yang manis itu dengan kamera handphonenya.

"Hebat. Aku dulu pernah ingin menjadi seniman topiary tapi mimpi itu berakhir segera setelah tanaman yang dibelikan eomma untukku mati dalam tiga hari."

Jeongguk tersenyum dibelakang Taehyung. Hatinya seakan-akan terkilir dengan tingkah laku Taehyung yang menggemaskan.

"Gukkie! Gukkie!" Taehyung kembali berlari mendahuluinya. Ia sampai didepan bagian taman dengan berbagai macam tanaman bunga. Pria itu kemudian berjongkok, melipat kedua tangannya diatas lutut. Menatap lekat-lekat kebeberapa bunga disana.

Seperti ini, Taehyung terlihat seperti anak kecil. Layaknya pangeran mungil dengan teman barunya yang berwujud bunga.

"Ini, bukankah ini bunga iris?" tanya Taehyung ketika Jeongguk telah kembali menyusul dan ikut berjongkok disampingnya.

Jeongguk melihat bunga itu dan berpikir sejenak. Ia tak banyak mengetahui soal ilmu bunga. Tapi iris bukan bunga yang sulit untuk dikenali. "Yup. Itu iris."

Setelah itu Taehyung kembali membisu sebelum beberapa saat kemudian bertanya lagi.

"Apa dia berwarna ungu?"

Gantian Jeongguk yang tidak menjawab untuk beberapa detik. Matanya tertuju pada Taehyung yang masih juga belum mengalihkan pandangannya dari sang iris. Setelah itu ia ikut melihat kebunga tersebut lalu menjawab pertanyaan kedua Taehyung. "Ya. Dia berwarna ungu."

"Mhm.."

Keheningan yang nyaman menyapa kembali. Taehyung dan bunganya seperti memiliki panggungnya sendiri sekarang dan Jeongguk hanyalah seorang penonton. Penonton yang senang hati menjadi pengagumnya.

"Bukankah dia cantik?"

"Yeah.." Jeongguk menghembuskan nafas berawannya. "Dia cantik."

"Walaupun aku tidak bisa melihat dirinya yang sempurna seperti yang kau bisa lihat, dia sudah sangat sangat cantik bagiku." Intonasi Taehyung merendah. Sesuatu yang selalu terjadi setiap kali pria itu mencoba menutupi kesedihannya. Dengan senyuman, dengan tawa, dengan ekspresi bahagia yang terlihat palsu di mata Jeongguk.

Saat itu juga Jeongguk menemukan dirinya memohon kepada siapa saja diatas langit untuk memberikannya kemampuan membagikan matanya untuk Taehyung. Membagikan penglihatannya.

Jeongguk tidak ingin apapun selain keajaiban dimana Taehyung bisa melihat dunia persis seperti bagaimana Jeongguk melihatnya.

Karena jika Taehyung bisa membawa beribu-ribu warna dalam kehidupan Jeongguk yang tadinya hanya penuh dengan nuansa monokromatik, kenapa Jeongguk tidak bisa melakukan hal yang sama untuknya?

"Gukkie! Gukkie!" Lagi-lagi suara itu kembali membawanya berpijak. "Lihat yang dibelakang itu bukankah lavender?! Lavender!"

Jeongguk memberhentikan lamunannya. Malam ini bukan waktu yang tepat untuk resah dan nanar. Ia ingin membuat Taehyung gembira dan tidak ada satupun yang bisa menghalanginya termasuk emosi labilnya sendiri.

"hmm, itu lavender." Bibir Jeongguk melengkung mengukir senyum. Taehyung juga sepertinya sudah keluar dari fase gundah sejenaknya dan kembali menjadi Taehyung yang penuh energi. Jeongguk suka semua versi Taehyung tapi Taehyung yang berlebihan energi selalu menjadi favoritnya.

"Apakah rambutku terlihat seperti itu?" tanyanya bergantian berpaling dari Jeongguk kemudian kederetan bunga lavender.

"Kalian benar-benar mirip. Apa kau jelmaan bunga lavender, hyung?"

Semburat merah dipipi Taehyung, cengiran lebar yang menghiasi wajahnya, mata yang melengkung akibat senyuman yang terlalu lebar, hidung yang mengkerut mengajukan protes kalau ia bukan bunga lavender, serta tahi lalat diujung hidungnya yang terlihat mencolok tiap kali Taehyung mendengus malu. Semuanya itu adalah bayaran yang sebanding untuknya. Ini yang dia cari. Ini yang dia inginkan sepanjang malam.

Jeongguk tidak akan ragu membayar mahal jika ia bisa memiliki semua itu untuknya seorang.

Memiliki Kim Taehyung.

Jadi Jeongguk meraih tangannya. Mengabaikan tatapan mata bertanya Taehyung untuk sekarang. Membawa lelaki itu berjalan hingga ketepi atap. Menginjakan kaki tanpa ragu diatas rerumputan sintetis lembut yang mungkin dihargai melebihi harga sewa kamar sempitnya. Menuntun Taehyung menuju pagar yang membatasi mereka dengan bermeter-meter jauhnya tanah dibawah.

Taehyung tidak berbicara. Setelah sampai kebagian tepi gedung, ia meletakkan tangannya diatas pagar yang berukuran dua pertiga tubuhnya itu kemudian melihat kesekelilingnya.

Taehyung mengigit bibir. Lidahnya kelu. Karena tiba-tiba saja Seoul dengan beribu-ribu cahayanya terlihat jauh lebih luas dari yang selama ini ia pikirkan. Dari yang selama ini ia telah capai.

Gedung-gedung pencakar langit entah kenapa terlihat lebih menarik dimatanya malam ini. Mungkin karena Taehyung dan mereka berada pada level yang sama.

Jalanan tol Seoul penuh dengan sinar yang menyilaukan dari lautan kendaraan yang berlalu lalang. Tidak pernah berhenti dan tidak akan berhenti.

Semua bangunan dari semua ukuran, mungkin sebuah restoran besar, atau mungkin sebuah rumah kecil milik seorang nenek tua, semuanya memancarkan cahaya yang berpadu dengan gelapnya malam musim dingin dan menjadi pemandangan terhebat yang pernah Taehyung lihat.

Itu belum seberapa karena tepat diatas kepalanya, ada hal yang lebih terlihat menakjubkan.

Bintang-bintang.

Mereka berkilau tepat kearahnya. Imajinasi Taehyung bermain mengatakan bintang-bintang itu sedang memandikannya. Taehyung tidak tau apapun dengan pasti, tapi melihat bintang-bintang membuatnya bermimpi. Karena ia tidak butuh mata yang bisa melihat warna untuk dapat merasakan gemerlap bintang dilangit. Mereka menari dan berseri untuk siapapun.

"Gukkie.." Taehyung tidak bisa menemukan suara normalnya. Entah kenapa sesuatu seperti menahan lehernya sehingga yang keluar hanyalah nada serak.

Mungkin cahaya kota membuat Taehyung terlarut atau bisa saja ulah benda langit diatas kepalanya yang terlalu membutakan, tetapi tangan hangat yang menggenggamnya ternyata sudah tidak ada disana. Kehangatan itu tanpa sadar diganti dengan angin dingin yang membelai telapaknya.

Jeongguk tiba-tiba saja tidak ada disampingnya.

Dan udara bertiup lebih kencang dari biasanya.

Pria itu bisa saja turun untuk kepergi kekamar kecil atau melakukan hal lain yang penting untuk segera diurus. Jeongguk cepat atau lambat akan kembali kesini, Taehyung yakin itu.

Tapi satu hal baru yang Taehyung sadari ada dalam dirinya malam ini dengan kota Seoul dibawah kakinya dan langit luas diatas kepalanya, bahwa ia tidak ingin Jeongguk menghilang dari sisinya.

Beberapa saat kemudian Taehyung mendengar suara pintu dibuka. Jeon Jeongguk kembali, tentu saja. Bagian yang aneh adalah Jeongguk kembali dengan tangan yang penuh. Sebuah selimut, sebuah kotak, sebotol wine dan dua cup kecil tampak bertengger manis dikedua tangannya. Taehyung menghampiri lagi-lagi dengan wajah yang bingung.

"Untuk apa itu semua? Apa kita akan berpesta disini?"

Jeongguk mengangguk sembari meletakkan semua barang-barang itu kererumputan.

"Tentu saja. Kita tidak mungkin melewatkan ulang tahunmu tanpa perayaan apapun, bukan?"

"Ulang ta,- astaga!" Sepertinya semua sudah terlihat masuk akal bagi Taehyung sekarang. Ternyata memang tidak ada toko alat seni dari awal dan Jeongguk melakukan ini semua untuk ulang tahun yang bahkan dia sendiri tidak begitu peduli. "Gukkie, kau benar-benar tidak perlu melakukan ini, kau tau?"

"Tapi aku mau melakukannya." Jeongguk bergumam kecil dengan tangan yang kini tengah membuka kotak didepannya.

Sebuah kue.

Lengkap dengan lilinya.

"Sekarang kemari dan tiup lilinmu, hyung."

Jadi disinilah mereka menghabiskan hari ulang tahun Taehyung. Duduk berdampingan direrumputan, mengenakan selimut menutupi kedua bahu mereka karena malam hanya akan semakin dingin, ditemani potongan cheese cake yang sudah berantakan, dan wine yang menghangatkan tubuh.

Mungkin melakukan ini tidak senorak yang ia pikirkan sebelumnya.

Jeongguk mengelus tengkuknya sendiri dibalik selimut. Bahu kedua orang itu bersentuhan. Jarak tubuh mereka begitu dekat. Jika sudah begini, bahkan wine didarahnya tidak akan bisa menyamai hangatnya memiliki Taehyung disamping tubuhnya.

Suara klakson-klakson mobil dibawah terdengar samar-samar. Tapi helaan nafas yang lolos dari bibir Taehyung bisa tertangkap jelas ditelinganya. Indera Jeongguk seolah menjadi awas pada setiap gerak-gerik Taehyung. Pria itu penuh kejutan dan Jeongguk mungkin tak selalu siap menerimanya.

Termasuk ketika Taehyung menyandarkan kepalanya ke bahu Jeongguk.

"Gukkie." suara Taehyung memberat. Membelai telinga Jeongguk dan membuatnya ingin larut. "Aku serius, trimakasih untuk ini semua."

Berat kepala Taehyung terasa nyaman dibahunya. "Tidak masalah, hyung. Ini bukan apa-apa."

Aku ingin memberimu yang lebih istimewa.

Hening kembali. Namun bukan kesunyian yang kaku. Kedua hati orang itu penuh dan nyaman. Lavender dan iris disekeliling mereka menguarkan bau yang harum. Satu lagi yang membuat malam ini menjadi lebih sempurna.

"Ngomong-ngomong apa yang Yoongi-hyung katakan padamu?"

"Ah, itu?" Jeongguk baru teringat kejadian diapartemen Taehyung tadi. Pertanyaan yang bahkan belum sempat dijawabnya. "Dia bertanya apa aku pernah memberi komentar buruk tentang pakaian yang kau kenakan."

Tawa kecil terdengar dari Taehyung. "Sudah kuduga. Sori, Guk. Dia memberi pertanyaan itu hampir ke semua temanku."

Jeongguk mengangkat alisnya. "Benarkah? Kenapa?"

"Karena mataku yang seperti ini, kadang-kadang sulit untuk memilih baju yang akan kupakai. Jika aku melihat baju itu sudah cukup bagus untukku, orang lain malah akan melihatnya berbeda. Mereka pernah mengataiku konyol dan culun karena pilihan warnaku. Yang terburuk, mereka pernah menganggapku alien yang datang dari planet lain."

Jeongguk menahan nafas. Apa ada semacam cara untuk kembali ke masa lalu dan menemui orang-orang itu lalu memukul mereka dikepala kalau bisa.

Taehyung bergerak sedikit membenarkan posisinya tapi tidak berniat mengangkat kepalanya dari bahu Jeongguk. Sesuatu yang membuat Jeongguk berterimakasih dalam hati karena sebenarnya ia masih ingin Taehyung bersandar padanya.

"Yoongi-hyung adalah tetanggaku bahkan saat aku masih tinggal di Daegu. Dia satu-satunya orang yang tidak pernah sekalipun melempar komentar jelek tentang apapun yang aku pakai. Entah kenapa dia selalu memujiku bahkan berlagak seperti fashion designer pribadiku. Jadi setiap kali aku pulang dengan hati yang sedih karena disekolah mendapatkan ejekan tentang pakaianku, aku akan pergi ke hyung dan dia akan membuatku bertingkah seperti model terkenal. Saat itu juga aku melupakan komentar dan ejekan itu. Hingga sekarang, karena hyung, aku tidak pernah lagi takut memilih pakaianku dengan warna apapun."

Dalam sekejap, pendapat Jeongguk tentang pria dengan tatapan penuh intimidasi itu berubah seratus delapan puluh derajat. Ia salah berpikir bahwa Yoongi orang yang keras ketika cerita Taehyung barusan mengungkapkan sebegitu lembutnya Yoongi yang sebenarnya. Setidaknya pada Taehyung.

"Syukurlah Yoongi-ssi ada disana."

Taehyung mengangguk. Ia mengangkat kepalanya dari bahu Jeongguk dan mempertemukan mata mereka berdua. "Dan syukurlah Yoongi-hyung melanjutkan studinya di Seoul dan membuatku mengikuti jejaknya. Karena kalau tidak aku tidak akan bisa merayakan ulang tahunku disini. Dibawah bintang, diatas Seoul, ditengah taman atap gedung, dan disampingmu."

Lihatlah bagaimana Taehyung membuat senyumnya. Setiap kali bibir itu melengkung keatas, pipinya menjadi membuntal keluar. Deretan giginya menjadi terpampang jelas. Saking lebarnya senyum itu, Jeongguk takut suatu hari nanti wajah Taehyung akan lelah dan memutuskan untuk tidak lagi mengenakannya.

Jeongguk benar-benar takut.

Ada desiran kuat datang dari dalam diri Jeongguk. Sesuatu yang mendesak, sesuatu yang menyorong hebat tubuhnya. Mata Jeongguk turun dari netra Taehyung, menyusuri hidung bangirnya, lalu berhenti di kedua belah bibir itu. Keheningan boleh menjadi latar yang mengitari mereka, tapi otak Jeongguk sedang berada dalam kekacauan yang hebat sekarang. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya ia begitu ingin mencium seseorang sebegini hebatnya.

Apakah dengan memiliki bibir itu, kekacauan didalam dirinya akan mereda?

Ada beberapa waktu dimana Jeongguk mendengarkan kata hatinya dan dibeberapa waktu itulah dimana Jeongguk seakan hidup. Ia tidak pernah menyesali keputusannya tiap kali Jeongguk menyerah pada hatinya.

Mungkin sekarang Jeongguk juga tidak akan menyesalinya.

Karena itu Jeongguk membulatkan tekadnya. Mengangkat tangan kananya dan meraih tengkuk Taehyung perlahan. Memastikan bahwa pria dihadapannya itu mengerti akan sinyal yang ia kirim melalui gesturenya dan jika Taehyung tidak ingin melakukannya, Jeongguk akan menerima itu dengan senang hati.

Tetapi Taehyung tidak menunjukan respon menolak apapun. Bagaimana bisa Jeongguk berpikir jernih jika ternyata hyungnya itu juga sedang melihat kearah bibirnya. Wajah Jeongguk memanas. Tengkuk Taehyung dibawah kulitnya juga terasa hangat.

"Hyung? Bolehkah?" Parau dan hampir tidak terdengar jika saja wajah mereka tidak sedekat sekarang.

Anggukan kecil dari Taehyung. Hanya itu yang Jeongguk butuhkan.

Sedekat ini, mereka bisa menghirup aroma lavender dari udara satu sama lain.

Jeongguk menghapus jarak terakhir, mempertemukan bibirnya dan Taehyung. Dan ia rasa ini adalah puncak dari malamnya.

Berciuman dengan Taehyung tidak menyalakan kembang api di hatinya.

Berciuman dengan Taehyung membuatnya merasa sederhana. Hanya ada rasa bahagia yang penuh didadanya. Sesimpel itu.

Berciuman dengan Taehyung tidak melepaskan sejuta kupu-kupu diperutnya. Tidak, ia tidak akan mendeskripsikannya seperti orang-orang dimabuk cinta.

Berciuman dengan Taehyung lebih seperti membuat gejolak Jeongguk yang sebelumnya bergerak liar kesana kemari tiba-tiba berhenti dan menyatu kembali. Seperti Jeongguk berada tepat di jalurnya. Bahwa tidak ada yang salah. Bersama dengan Taehyung hanya terasa begitu benar.

Jeongguk menarik kecupannya. Berniat melihat kedalam mata Taehyung lagi. Ia berharap dirinya tidak menemukan sedikitpun keraguan dimata Taehyung karena Jeongguk tidak bimbang sama sekali.

Jeongguk ingin ini. Ingin Taehyung.

"Gukkie…" panggil Taehyung lemah. Matanya sayu. Jari-jarinya terangkat dan menyentuh rahang Jeongguk.

Jika Jeongguk bilang Taehyung bisa membuatnya gila, Jeongguk tidak bercanda.

Genggamannya ditengkuk Taehyung semakin kuat. Ia menarik pria itu untuk kembali mempertemukan bibir mereka. Kali ini lebih dengan tenaga. Jeongguk mengecup, mencium, bahkan sesekali menggigit bibir Taehyung. Tangan satunya meraih pipi Taehyung seakan menahan pria itu untuk tetap disana. Jeongguk menggerakan kepalanya, memperdalam ciuman. Perlakuannya itu menghasilkan rintihan kecil dari Taehyung. Membuat Jeongguk semakin meledak-ledak.

Mereka terus berbagi ciuman hingga suhu tubuh sudah terlalu panas dan paru-paru keduanya mengeluh meminta oksigen yang cukup. Baru saat itulah Jeongguk dan Taehyung memberhentikan hubungan bibir antar bibir mereka.

Saat wajah keduanya kembali mengambil jarak mereka diam sejenak untuk mengatur nafas. Namun beberapa detik kemudian Taehyung tertawa. Dengan cepat Taehyung melingkarkan kedua tangannya dipinggang Jeongguk, membuat selimut yang menyelubungi mereka jatuh dari bahu karena pelukan tiba-tiba itu, dan menenggelamkan kepalanya didada Jeongguk hingga ia bisa mendengar dengan jelas lajunya detak jantung Jeongguk sekarang. Persis seperti jantung Taehyung.

Walaupun perlahan, Jeongguk membalas pelukan itu. Mengeratkan tubuh Taehyung kedalam dekapannya. Tersenyum walaupun ia tau Taehyung tidak bisa melihat wajahnya.

Lalu Taehyung mengangkat dagunya. Kedua mata yang beberapa saat lalu terlihat sayu kini berganti lebih menggoda. Ia tersenyum miring. "Apa barusan caramu untuk membuat kita ofisial?"

Jeongguk ikut menyeringai walaupun matanya penuh dengan binar. "Hanya jika kau tidak keberatan, hyung."

"Sangat sangat tidak keberatan." Dengan itu, Taehyung mengambil kecupan sekali lagi.

.

i purple you

.

7 – chil

Jatuh cinta pada Kim Taehyung ikut membuatnya jatuh cinta pada warna ungu.

Pertanyaan sederhana itu muncul dikepalanya ketika mereka selesai menyantap habis dua mangkuk jajjangmyeon di apartemen Taehyung saat memutuskan mengambil waktu rehat sejenak dari tumpukan tugas perkuliahan yang sekarang berserakan dimeja ruang tamu Taehyung.

Mereka baru saja selesai saling mengecup diatas sofa dengan Taehyung yang duduk dipangkuannya.

"Kenapa ungu?" Jeongguk bertanya tanpa alasan. Taehyung tidak pernah melihat bagaimana warna ungu sebenarnya, tetapi pacarnya itu selalu saja menyebut ungu warna terindah dan warna favoritnya.

"Apa kau tau apa arti dari warna ungu, Gukkie?" Taehyung balik bertanya sambil memainkan daun telinga Jeongguk yang bertindik dengan jari-jarinya. Kebiasaan baru pria itu tiap kali dia punya kesempatan.

Jeongguk mengangkat bahu. Kedua tangannya tidak lepas dari pinggang Taehyung, mengelus naik turun dari luar kaus pria itu. "Tidak begitu banyak, aku tak pernah mendalami arti warna sebaik dirimu."

Taehyung mengerutkan hidungnya. Ragu menerima itu sebagai pujian dari Jeongguk yang hanya tau cara menggoda. Tangannya beralih melingkar dileher Jeongguk.

"Aku pernah membaca bahwa ungu selama ini digambarkan sebagai kekayaan, royalty, kemewahan, spritualisme, dan misteri." Ya, Jeongguk juga seringkali berpikiran seperti itu tiap melihat warna ungu.

"Tapi rasanya bagiku, yang pengetahuannya tentang ungu hanya sebatas warna terakhir dari pelangi, iris, lavender, dan rambutku, aku kadang senang berpikir bahwa ungu memiliki arti lebih dari itu."

"Ungu terdengar lebih seperti, 'aku akan percaya dan mencintaimu sapanjang masa'."

Jeongguk tiba-tiba ingin memoles seluruh dunia dengan warna ungu.

"Sepertinya, aku lebih suka arti yang seperti itu, hyung."

Kemudian senyuman Taehyung berubah nakal. "Benarkah? Padahal aku hanya mengada-ada, Gukkie."

"Hyungieee!"

.

i purple you

.

8 – phal

Tidak masalah.

Jeongguk akan percaya dan mencintainya sepanjang masa.

THE END.

.

.

.

.

.

.

.

.

Author notes : AKU TAU ULANG TAHUN TAEHYUNG UDAH LEWAT BANGET NGET NGET. TAPI AKU PENGEN TETAP BUAT FANFIC INI UNTUK NGERAYAIN MY BABY PRECIOUS TAEHYUNGIE's BIRTHDAY.

He is kind, he is excellent, he is hard working, he has been trough many hard times, he is super strong, and I wish he knows that the world doesn't deserve him, I wish he knows how much we ARMYs love him.

Taehyung, thank you for being born.

You purple us.

We purple you.

.

.

.

MAKASIH BANGET YANG UDAH MAU BACA, kalian the best!

MENURUT KALIAN GIMANA? PERLU AKU KASIH SEQUEL?