Genevieve Café, bangku paling pojok kanan di bawah pohon...
"Kau tahu Naruto, emm... Kurasa lebih baik kita putus saja..."
Sakura memandang pacarnya takut-takut, mengaduk-aduk fruit punch-nya. Tangannya yang satu lagi memainkan ujung rambutnya yang sudah mulai memanjang. Perasaannya benar-benar cemas, takut pacarnya itu marah. Bagaimana pun, Naruto adalah sahabatnya sejak SMP. Mereka resmi menjadi pasangan kira-kira 2 tahun lalu, saat mereka masuk SMA. Sakura tak ingin hubungannya dengan Naruto akan merenggang akibat kalimat yang baru saja ia ucapkan. Sudah cukup hanya 'dia' yang meninggalkanku, pikir Sakura kalut.
Naruto diam saja, merunduk, menatap banana split-nya putus asa, berharap es krim tiga rasa itu dapat memberikan solusi untuknya. Naruto sudah tahu hal ini, begitu sepupunya sudah pulang dari Austria, hanya tinggal menunggu hari saja Sakura akan memutuskannya.
"Emm... Naruto?" panggil Sakura pelan. Naruto mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar. Sebisa mungkin terlihat ceria, seperti kesehariannya saja.
"Ya, kurasa ini memang jalan terbaik, Sakura," ucap Naruto, berusaha agar suaranya terdengar meyakinkan, mengangguk-anggukan kepalanya pertanda setuju. "Kau tahu, kalau kita masih melanjutkan hubungan ini, kurasa akan pecah Perang Dunia ke-3. Kau tahu betapa seringnya kita bertengkar."
Sakura tampak senang Naruto tidak marah, tapi senyumnya tampak tidak meyakinkan. Sakura menyadari senyum yang Naruto berikan pada gadis itu hambar. Tak ceria. "Kau tidak marah, Naruto?" tanya Sakura.
Naruto tersenyum lagi, tapi ketika melihat wajah Sakura yang terlihat tidak yakin, senyumnya memudar. Dia bersandar ke kursinya dan menjungkitkannya. Kursi itu berdiri hanya pada dua kaki belakangnya saja sekarang. Naruto bisa memandang langit musim semi sekarang. Naruto menghela napas dan mulai berbicara, "Yah, aku tahu kau akan mengatakan hal ini, Sakura. Cepat atau lambat, akan ada salah satu dari kita mengucapkan hal itu. Apalagi... yaah... kau tahu sendiri... Setelah Sasuke pulang dari Aus—"
"Aku memutuskan hubungan ini bukan karena Sasuke, Naruto!" seru Sakura keras. Dan agak terlalu cepat juga, sebenarnya.
"Karena dia ataupun bukan, aku yakin kita akan segera putus," ujar Naruto tenang, kelewat tenang malah. Tidak terlihat seperti Naruto, yang biasanya meledak-ledak kalau sedang marah. "Aku tahu kau mencintainya sejak kita masuk SMP, Sakura..."
"Kubilang aku—"
"Tidak, dengarkan aku dulu, Sakura. Please?" pinta Naruto. Tidak tega sih, sebenarnya, melihat mata Sakura sudah berkaca-kaca. Naruto paling tak tahan melihat seorang gadis menangis, terutama orang yang sangat disayanginya seperti Sakura. Tapi, dia harus menyampaikan segala perasaannya. Atau dia akan menyesal selamanya. "Aku selalu mengamatimu sejak SMP. Dan kulihat kau selalu memandang kakak sepupuku. Aku tahu kau menyukainya. Dan aku juga tahu kalau Sasuke membalas perasaanmu. Saat itu aku hanya bisa menjadi sahabatmu, aku tahu itu, Sakura...
"Aku hanya bisa menghiburmu sebagai sahabat saat Sasuke memutuskan hubungan kalian. Tak bisa menjalin hubungan jarak jauh, katanya. Sasuke bodoh... Padahal dia hanya ingin konsentrasi belajar di sana. Dan kau tak menyadarinya, Sakura? Kalian berdua memang bodoh..." Naruto menggeleng-geleng kepala seakan-akan dialah yang paling benar.
"Dan begitu Sasuke sudah pergi ke Austria, aku manfaatkan baik-baik kesempatan itu. Aku nyatakan perasaanku padamu waktu Nyugaku Shiki, dan aku terkejut kau menerimanya. Aku meyakinkan diri sendiri kalau kau ternyata memang menyayangiku. Padahal... Itu karena kau berusaha melupakan Sasuke kan?"
Sakura sudah menangis sekarang, air mata mendesak keluar dari matanya yang sehijau rumput dan dedaunan di pagi hari. "Naruto..."
Naruto melanjutkan, "Walaupun status kita sudah berubah menjadi sepasang kekasih, hubungan kita sehari-hari masih sama seperti sebelumnya, layaknya sahabat... Kau pasti menyadarinya, kan? Dan kalau kabar Sasuke pulang musim panas ini sampai di telingamu, kurasa kau akan segera mengucapkan kalimat itu, Sakura. Kau masih menunggu dia kembali."
"Ma, maaf..." Sakura terisak-isak di balik lengannya. "Aku, aku tidak tahu kau mengetahuinya, Na, Naruto... Maafkan aku... Naruto..."
"Heeeii!!" panggil Naruto, mengguncang-guncangkan bahu Sakura keras-keras. "Mana Sakura yang asli, hah? Kembalikan Sakura, alien bodoh! Sakura yang asli tidak akan cengeng seperti ini!"
Sakura tertawa tertahan. Pipinya masih basah. Naruto tersenyum, lalu mengusap pipi Sakura, mencoba mengeringkannya. "Hei, aku tidak marah kok. Mana mungkin aku marah pada sahabatku sendiri?"
Sakura tersenyum lemah. "Kau tidak marah? Kita masih bisa jadi sahabat lagi, kan Naruto?"
Naruto pura-pura tersinggung dan memakan—lebih tepatnya meminum—banana split-nya yang sudah mencair. "Baka! Tentu saja kita masih jadi sahabat! Aku kan baik hati! Asal kau tahu, Haruno Sakura, Uzumaki Naruto tidak akan menangis meraung-raung hanya karena masalah seperti ini! Aku tidak seperti kau, Sakura! Kau kan cengeng!"
Sakura tertawa, benar-benar tertawa. "Yah, kau benar. Aku memang cengeng."
Naruto tersenyum lebar menatap Sakura. Ya, katanya berusaha meyakinkan diri sendiri, asal Sakura bahagia, aku juga bahagia.
...bohong...
Naruto segera naik ke kamarnya begitu sampai di rumah dan mulai memantul-mantulkan bola ke dinding kamarnya yang penuh poster pemain sepak bola terkenal. Papanya, yang seorang pemegang saham di salah satu perusahaan elektronik terkemuka, merasa terganggu. Tentu saja, mengingat ia baru saja pulang dari Nagasaki dan sudah setengah jalan menuju alam tidur, tiba-tiba terdengar suara berisik dari atas, kamar anak tunggalnya.
"Hei, Naruto! Diamlah!" seru Minato, ayah Naruto. "Aku capek!"
Suara bola yang menabrak dinding masih terdengar. "Naruto! Bisa tidak kau diam?"
Masih juga terdengar. Dengan mata dan hati yang berat, Minato keluar dari kamarnya dan naik ke kamar anaknya. "Hei Naruto..."
Tanpa diketuk, dibukanya pintu. Dan ketika dilihat anaknya hanya melamun, memantul-mantulkan bola ke dinding, terheran-heranlah dia. Apakah MU baru saja kalah? Tapi tadi malam tidak ada pertandingan... Apa nilainya jelek ya? Rasanya nilai rapor semester kemarin biasa saja... Tidak ada perubahan... Tapi kalau turun pun, Naruto tak akan semurung ini. Hh... Dasar remaja...
Minato masuk dan duduk di tepi kasur, di sebelah Naruto. "Ada masalah?"
Naruto menggeleng.
"Kau mau cerita, Naruto?"
Naruto menggeleng lemah.
"Masalah cewek?"
Naruto diam saja.
Bingo, batin Minato.
Minato menarik napas sebelum mulai berbicara, "Perempuan itu memang memusingkan, atau merepotkan menurut Shikaku dan anaknya. Kadang mereka bisa benar-benar membuat bingung kita, menjadi baik dan manis seperti malaikat, cerewet seperti burung beo, dan juga mereka bisa galak sesangar singa."
Naruto menatap bingung papanya, tak mengerti apa yang dimaksud papanya. Bolanya dipegang saja, berhenti dipantul-pantulkan. Minato menarik napas lagi. "Tapi, di balik semua itu, kau akan mengerti bahwa perempuan itu istimewa. Ada sesuatu, sesuatu yang benar-benar spesial, menarik, di dalam diri tiap perempuan. Sesuatu yang akan membuatmu terkagum-kagum, terperangah, terkaget-kaget, tapi juga membuatmu merasa tertarik padanya."
"Apa itu?" ujar Naruto pelan.
Minato mengangkat bahunya. "Tidak ada yang tahu. Papa juga tak tahu kenapa Papa malah menikah dengan Mamamu. Waktu Papa kecil, Papa benar-benar kesal dengan Mamamu, tapi aku malah menikahi Mamamu."
"Waktu Papa kecil?" ulang Naruto heran, mulai memperhatikan omongan Minato.
"Papa dan Mama bertetangga sejak kecil, dan dialah yang selalu bermain dengan Papa," terang Minato sambil memutar bola matanya membayangkan masa kecilnya yang betul-betul suram. "Sebenarnya hanya dia yang bermain, sih. Dia bermain bola dengan anak-anak lain, dan Papa hanya menonton di pinggir lapangan. Dan setiap kami pulang, kami harus melewati rumah Yamamoto-san yang punya anjing galak. Tapi malah Mamamu yang menjagaku, padahal kan aku lelaki.
"Dan Mamamu selalu mengejek Papa pengecut. Sampai SMP pun Papa masih kesal dengan Mama," kata Minato. "Mamamu pindah ke Osaka saat SMA, dan kami tak pernah bertemu lagi. Tapi, saat di universitas, Papa bertemu kembali dengannya, dan kami malah jatuh cinta. Setelah bertahun-tahun tak bertemu, rasanya Kushina menjadi lebih dewasa, atau anggun..." gumam Minato menerawang, seakan kembali ke masa-masa indahnya di universitas.
"Jadi? Apa yang istimewa dari Mama? Dia kan tomboy."
"Itulah keanehannya. Papa dulu kesal sama Mama, tapi setelah lama berpisah, Papa malah sadar kalau Papa ternyata kangen Mamamu yang nakal, urakan, dan tomboy. Tidak setiap wanita kan, punya sifat seperti itu? Itu ciri khas tiap wanita. Setiap wanita itu unik. Dan begitu kau tahu keunikan itu, kau akan tergila-gila padanya, Naruto."
Minato tersenyum puas, merasa dirinya bijak sekali. Jarang-jarang dia berbicara panjang lebar tentang perempuan, terlebih dia menceritakannya pada anak lelaki satu-satunya itu. Tapi senyumnya menghilang melihat Naruto malah tambah murung. "Apa Papa salah ngomong?"
Naruto menggeleng kepala. "Aku sudah menemukannya, Pa. Tapi dia malah pergi ke cowok lain."
Minato manggut-manggut. Jadi itu masalahnya. Pasti Sakura-lah yang dimaksud Naruto. "Kalau begitu, cari yang lain saja? Perempuan tidak cuma dia saja."
"Masalahnya," Naruto keras kepala, "bagaimana aku menemukan wanitu unik itu sementara sudah ada yang tepat di depan mataku sendiri?"
"Biarkan saja, kalau begitu," sahut Minato santai, mengamati meja belajar anaknya yang sangat berantakan. "Kehidupan ini seperti air. Saat ini kau masih di hulu sungai. Awan yang akan menjadi peneduhmu ternyata tertiup angin, dan yang harus air lakukan adalah mengalir. Lupakan awan itu. Pergilah ke hilir dan terus mengalir. Dan jika saatnya tiba, kau akan bertemu awan yang tepat."
Minato tersenyum menyemangati.
"Kau bisa melakukannya Naruto. Kau akan segera menemukan awan yang tepat."
Minna-san, inilah fic aku yang pertama. Aku sudah berusaha keras agar fic ini layak dipost, dan aku sangat mengharapkan kritik dan saran para senpai semua. Terima kasih ya!!
