pukul dua belas malam
Semua karakter VOCALOID yang ada di sini adalah milik Yamaha Cooporation dan perusahaan lainnya.
.
.
Pintu itu tetap tak terbuka. Padahal sebentar lagi, pukul dua belas malam akan berdentang. Dia harus pergi.
"Aku di depan pintu."
.
.
— sebuah teriakan tanpa arti oleh pria yang tersesat
happy reading.
.
.
Pintu itu tetap tak terbuka bagaimanapun dia menunggunya.
Dia masih berdiri di hadapan pintu itu. Malam berada pada puncak kengeriannya, namun dia seakan tak acuh terhadapnya. Dia menatap benda datar itu, lama sekali. Dia tidak merasa lelah. Atau mungkin dia memang lelah. Dia lelah menunggu. Hanya batin yang mampu menjerit.
Pria itu mengetuk pintu. Alih-alih bersuara, dia tidak merasakan bagaimana permukaan pintu itu berbenturan dengan kepalan tangannya. Dia mati rasa. Ya, atmosfer dingin yang menusuk tulang mungkin telah melumpuhkan syarafnya. Sekali lagi dia mengabaikan.
Dia memanggil nama wanita itu. Terdengarlah suara paraunya, namun dia terkejut karena dia tidak ingat siapa namanya. Suara miliknya melupakan nama, meski mungkin hati masih mengingat. Telinganya tak mendengar apapun melainkan gumaman yang tak berverbal.
Apa yang terjadi?
Dia pun menatap langit di belakangnya. Bulan membentuk titik terang yang bulat sempurna dengan menyeramkan. Pasukan serdadu cahaya lainnya tak tampak di manapun selain dirinya. Angin malam berhembus perlahan, memainkan helaian ungu itu, mengejeknya.
Pria itu tidak bergerak dari tempatnya. Dia tidak bisa memasuki pintu itu. Seolah ada yang memberikan batas tak kasat mata yang absolut. Dia mulai gusar, lantas akhirnya dia beranjak. Dia memperhatikan jendela samping yang buram. Pikirannya sontak berpikir bahwa tak ada apapun di sana.
Dia kembali pada pintu utama. Menatapnya sekali lagi sebelum mendengus kesal.
Kenapa dia ada di sini? Dia sama sekali tidak ingat. Hanya wanita itu yang mampu ditampung oleh otak miliknya saat ini. Namun selain sosoknya, dia tidak ingat apapun.
Nama.
Dia harus memanggil nama itu. Dia tak bisa pergi dari sini, sebelum dia bertemu dengan wanita itu. Kunci satu-satunya yang dia miliki saat ini. Dia bingung, dia mulai putus asa. Dia tidak tahu bagaimana caranya mengeluarkan suara dari celah bibirnya.
Digerakkan oleh alam bawah sadarnya sendiri, dia mencoba membuka mulut. Berharap bahwa pita suaranya mampu meneriakkan sesuatu yang bahkan tidak dia ketahui. Perlahan matanya terbelalak tatkala sadar akan suatu hal.
Dia tak bisa meneriakkannya.
Dia tak bisa memanggilnya.
Dia tak bisa berbicara.
Dia bisu.
"...!"
Dieratkanlah kepalan tangannya. Kekesalan menumpuk, menciptakan adrenalin dalam perutnya. Dia paling benci sekali jika sudah merasa putus asa seperti ini. Tak adakah yang bisa dilakukannya saat ini?
Dia bersender pada tiang penyangga teras rumah. Dia nyaris menangis. Dia kesal, dia sedih, dia galau... dia rindu.
Burung hantu pun menertawakannya dari balik gelapnya pepohonan.
Dia... tak bisa pergi.
Karena jika itu dilakukan, dia akan benar-benar pergi. Selamanya.
Namun bulan yang tersenyum itu mulai menakutinya. Mengirimkan sinyal bahaya, mengusirnya dari tempat itu. Makhluk malam saling berbisik, mungkin mulai menggosipkan kehadirannya yang tak diharapkan.
Mungkinkah waktunya hampir habis? Sama halnya dengan Cinderella yang harus beranjak dari mimpi indahnya tatkala jam dua belas malam telah berdentang nyaring?
Dia mencoba meneriakkannya sekali lagi. Untuk terakhir kalinya. Kegalauan pun benar-benar tercurah dalam air matanya. Siapa yang peduli dengan harga diri lelaki di saat seperti ini?
"... li!"
Selesai.
Dia kehilangan seluruh kesempatannya. Dia harus pergi. Alih-alih tempat tujuannya, dia tak tahu untuk apa dia pergi. Dia hanya merasa... ini bukan tempatnya.
Lantas dibalikkanlah tubuh tegapnya. Dia menatap sekali lagi pada pintu di seberang sana. Hati kecilnya masih menyimpan harapan besar, bahwa pintu itu akan terbuka untuknya.
Samar-samar terdengar suara halusinasi. Seseorang memanggilnya, mungkin wanita itu. Dia tercengang, namun semuanya sudah terlalu terlambat. Tak ada jalan kembali. Dunianya terlanjur tercelup dalam hitam.
Waktu begitu kejam. Dia tak bisa mengelak dari takdirnya yang tirani. Sang ksatria tak diijinkan untuk menemui permaisurinya.
.
.
Apakah dia akan sempat?
.
.
"... Gakupo!"
Pukul dua belas malam. Semuanya usai. Selamat tinggal!
.
.
31072016. PDBM1. YV
