Vocaloid © Crypton Future Media, Yamaha, Internet, et cetera.

Warning cliché. Kesamaan ide, harap dimaklumi.

Submitted to #BrilliantWords: Upon a Day dari nabmiles di grup Vocaloid Fanfiction. Prompt yang dipakai adalah Morning – Breakfast Time.


bread

[ n: a baked food made from a mixture of flour and water ]

story only: 434


Biasanya, ketika matahari muncul dan kabut pagi telah sempurna hilang, rumah itu begitu hidup. Dengan ibu yang berkelontangan di dapur, menyiapkan sarapan untuk para penghuni; ayah yang membolak-balik lembaran koran pagi; serta Akaito dan Kaito yang sibuk dengan perang mereka sendiri.

Bunyi gedebuk, teriakan mengaduh, serta pekik kesal ketika salah satu dari mereka (Akaito dan Kaito) kehilangan jatah roti sudah jadi hal lumrah. Dan orangtua mereka tak pernah berkomentar. Meski kadang, satu-dua teguran masih suka dilayangkan. Jika pertengkaran keduanya dirasa sudah keterlaluan, tentu saja.

Karena itu, saat hari ini Kaito turun ke bawah, dia langsung mengerutkan alis karena beberapa hal. Pertama; ia mendapati roti di atas piringnya belum berkurang satu, kedua; kursi di hadapannya kosong. Sosok berambut merah yang biasanya mengisi kursi itu kini absen.

"Abang mana?" Seharusnya Kaito bertanya seperti itu. Tapi dia malah membungkam mulut. Memilih langsung duduk, menikmati sarapan.

Roti panggang mentega itu enak dan renyah seperti biasa. Tapi di lidah Kaito, mereka sedikit hambar pagi ini. Entah ini efek Kaito yang sedang dalam masa pemulihan dari radang tenggorokannya, ataukah karena presensi kakaknya yang menghilang. Kaito tidak mengerti.

Dia memasukkan roti itu dalam satu gerakan, memaksakan diri menelan.

Kaito sedang berusaha.

Anak itu tumbuh bersama kakaknya. Setiap hari, setiap waktu, tak pernah ada sejengkal pun momen yang dilewat.

Akaito anak pintar yang disenangi guru dan kawan-kawan. Kaito tidak terlalu pintar, tapi dia belajar lebih tekun dari siapapun. Akaito menonjol dan bersinar dengan begitu menyilaukan. Kaito lebih tenang, sinarnya lebih temaram.

Mereka begitu berbeda. Karena itu setiap hari selalu saja berkelahi. Bahkan sampai ke hal-hal terkecil. Tapi tak pernah ada yang marah berlebihan. Karena mereka mengerti satu hal: memang begitulah persaudaraan mereka bekerja.

Tanpa usapan kepala, pelukan, dan pernyataan sayang yang frontal. Cukup dengan tendangan di kaki, jitakan di kepala, sabetan handuk di punggung, atau bahkan layangan jari tengah.

Begitulah cara persaudaraan mereka bekerja: sederhana. Dan Kaito sudah terlanjur terbiasa.

Dengan keabsenan kakaknya yang kini pergi menuntut ilmu ke luar kota, hari-hari Kaito otomatis jadi berbeda. Tak ada perebutan kamar mandi lagi. Tak perlu berjuang mempertahankan roti lagi. Tak perlu balap lari sampai ke gerbang sekolah lagi.

Ide untuk menghapus seluruh kegiatan sia-sia yang selama ini ia lakukan terdengar menyenangkan. Tapi ada kosong yang terasa janggal.

Kaito menghela napas setelah menghabiskan susunya dalam tiga kali tegukan. Setelah menaruh gelas kosong di meja, ia meraih tas.

"Aku berangkat!" Dia berkata sembari berjalan menuju pintu, memakai sepatu.

Hari ini, tepat dua minggu kakaknya pergi. Dan Kaito masih merasa janggal harus mengawali hari seorang diri.

Kau hanya harus menyesuaikan diri, Kai, dia memberi sugesti. Kau hanya perlu menyesuaikan diri.


FIN


Kritik dan saran yang membangun amat sangat dinanti.

Sign,

devsky