Kuroko no Basket milik Fujimaki Tadatoshi, saya tidak mendapatkan keuntungan materiil apapun dari pembuatan fanfiksi ini.

alternative reality | alternative timeline

.

.

.

Lelaki yang Berjalan di Belakang.

satu; Momoi Satsuki; hari itu, dia datang


.

.

Akan datang suatu hari dimana masa lalu berjalan di sampingmu dan tidak ada jalan lain selain menyambutnya dengan sebuah 'halo'

.

.

Adalah suatu malam di awal musim dingin ketika aku mendengar ketukan di pintu rumahku.

Ketukan itu tidak kasar seperti yang ia dengar dari film bergenre thriller. Tidak pula lembut seperti ketukan seorang pria dalam film-film romansa. Aku tertegun sebentar sebelum tik tik tik pada jarum jam menyadarkanku bahwa ini sudah pukul setengah satu malam. Aku memang sedang memersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi dan sudah biasa tidur larut, namun selama masa persiapan yang sudah berjalan seperti selamanya ini, tidak pernah pada larut malam begini ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku.

Aku yakin, baik ibu maupun ayahku sedang berkelana di taman bunga tidur ciptaan-Nya sehingga tidak akan mendengar apapun. Aku memainkan pena di tanganku dan memandang sekali lagi soal matematika yang belum kupecahkan. Dalam hati aku tertawa. Dulu, biasanya aku tidur larut itu untuk meramu pola latihan atau mencari informasi lawan main klub basket Touou untuk pertandingan selanjutnya, bukan untuk mengerjakan soal matematika dan menimbang-nimbang untuk membuka pintu yang diketuk pada tengah malam.

Ketukan itu masih terdengar.

Konstan.

Buka pintunya atau jangan, ya?

Hampir saja aku berpikir untuk membangunkan kedua orang tuaku ketika suara ketukan itu tiba-tiba berhenti.

Tanpa kusadari, sedari tadi aku memainkan jariku. Mereka kini basah oleh keringat gelisah. Aku mencoba melihat ke luar melalui jendela kamarku namun hanya gelap yang terlihat. Aku agak takut, tentu saja. Sebagai perempuan yang sedang banyak pikiran dan terjaga sendirian, tentu saja keadaan ini sungguh menambah kebingungan.

Berbagai kemungkinan mulai berseliweran di kepalaku, namun semakin banyaknya hal yang kupikirkan semakin membuatku ingin berlari menghampiri pintu dan membukanya. Aku tidak suka dirundung rasa tegang dan bingung seperti ini. Kautahu, terkadang lebih baik memberanikan diri sekali daripada terperangkap dalam teka-teki pikiran sendiri. Dan itulah yang kulakukan malam itu.

Bergerak dari meja belajar, menuruni tangga dan membuka pintu itu dalam sekali sentakan.

Kupikir, malam itu, ketika aku membuka pintu, aku akan melihat salju-salju yang berjatuhan seperti serpihan bunga dandelion. Karena … ketika aku memegang knop pintu, aku merasakan suatu kerinduan dan harapan yang seperti hendak dipertemukan.

Dan malam itu, di balik pintu itu, dia datang.

Aomine Daiki, sahabatku sejak aku bisa mengingat, berdiri dengan wajah yang sayu.

Dalam sekali lihat, aku tahu jaket hitam yang ia gunakan tidak bisa menahan udara dingin awal musim dingin. Ujung hidung dan kupingnya sedikit memerah dan ia menatapku.

Tidak mengatakan apapun, dia hanya berdiri di sana dan memandangku.

"Mau apa kau kemari? Rumahmu ada di sebelah sana kalau kau mau tahu," kataku setengah bercanda, namun dia tidak bereaksi. Senyumku pudar sedikit.

"Mau masuk?" tawarku kemudian.

Ia mengangguk, dan bibirnya tetap mengatup.

Aku membiarkan sahabatku yang jangkung itu masuk dan menutup pintu. Dia langsung duduk di sofa dan aku langsung memersiapkan cokelat panas untuknya. Keheningan di antara kami kali ini terasa janggal. Aku tahu, biasanya aku selalu cerewet padanya—astaga, banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padanya seperti darimana kau? Kenapa berkunjung malam-malam? Kenapa tidak belajar untuk ujian masuk? Kenapa tidak mengontak dulu kalau mau datang? tapi malam ini, entah kemana larinya suaraku. Aku melihat punggung lelaki itu yang tidak tertutupi badan sofa dan seketika aku menjadi enggan mengatakan apapun.

Aku meletakkan secangkir kopi panas di meja dan sahabatku, Aomine, hanya mengikuti gerakanku dengan mata biru tuanya, sama sekali tidak menatap mataku. Baru saja aku ingin mengeluarkan sederet pertanyaan, dia menengokkan kepalanya ke arah jendela di sampingnya, ke luar. Aku mengikuti gerakannya namun aku tidak bisa melihat apapun selain lampu jalanan yang menerangi jalanan yang kesepian.

"Jadi …." Kataku memulai pembicaraan sambil mengalihkan pandangan dari jendela, "ada apa?"

Tapi, Aomine tidak melepaskan pandangan dari jendela.

Dari jarak yang cukup dekat ini bisa kulihat garis wajahnya mengeras. Dahinya berkerut dan matanya nampak lelah namun mencoba tetap fokus.

Tapi, tidak.

Dia sedang tidak fokus.

"Aomine-kun?" panggilku. Aku tidak kaget mendengar ada rasa khawatir dalam nada suaraku barusan karena keadaan Aomine malam ini pantas dikhawatirkan.

Aku mengenalnya sepanjang hidupku dan kali ini, aku merasa tidak mengenalnya.

Dia nampak berbeda, bukan seperti Aomine yang biasa kulihat baik di lapangan maupun di luar lapangan. Bukan seperti sahabatku yang gemar mengoleksi majalah dewasa, dan bukan pula seperti sahabatku yang mulai bosan dengan kemenangan.

Dia kemudian menatapku dan aku merasakan sakit ketika mataku bertemu matanya dan mata biru tuanya itu seakan mengatakan, aku juga tidak tahu siapa diriku.

"Orang tuamu sudah tidur, Satsuki?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk, masih tidak bisa mengenali siapa orang yang duduk di hadapanku.

"Kau … ada apa? Kenapa?" tanyaku tidak sistematis. Malam ini dia tidak mengejek kekuranganku. Lelaki itu malah menyesap cokelat panas buatanku dalam diam.

"Ada sesuatu yang menggangguku," ucapnya pelan dan terkendali. Namun, ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar putus asa dan aku kali ini aku benar-benar yakin, ada yang salah dengan sahabatku ini.

Lelaki itu kembali menatap jendela dengan gusar dengan tatapan yang tak pernah kulihat muncul pada bening bola matanya. Tatapan yang menyiratkan kerinduan, harapan, namun … dibungkus dengan keraguan dan keputusasaan.

Apakah pernah aku melihat Aomine seperti ini sebelumnya?

Kini, aku merasa asing dengan sahabatku sendiri.

Ia kemudian kembali menatapku dan berkata dengan perlahan, "Ada seorang lelaki, Satsuki."

Oke, ini tidak—belum—terdengar seperti masalah yang besar. Tapi, entah mengapa jantungku berdebar tidak mengenakkan, seperti tengah membisikkan sesuatu dalam bahasanya yang tidak kumengerti.

"Y-ya? Lalu …?" aku tidak tahu kemana percakapan ini akan berjalan—dan bila saja aku tahu, aku mungkin tidak akan pernah membuka pintu untuknya.

Tapi, malam ini, aku membuka pintu untuknya, dan mendengar sahabatku menghela napasnya dan berkata, "dan ia selalu berjalan di belakangku."

Aku merasakan jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat. Aku menatap sahabatku tidak percaya, "Astaga … kau dikuntit?"

Oke, aku tahu Aomine bukanlah lelaki-terbaik-sedunia, bahkan mungkin pada sekali waktu ia terlihat seperti berandalan. Tapi aku tahu, bahwa jauh jauh jauh dalam dirinya, Aomine tidaklah jahat. Ia hanya terlalu fokus dengan ambisinya, bertingkah sesuka hatinya dan sedikit malas mengerjakan tugas. Tapi … apakah itu lantas menjadikannya target untuk dikuntit?

Aomine tidak menjawab. Ia meletakkan cangkir merah muda pucat itu di meja lalu menatapku dalam-dalam. Aku memerhatikan bagaimana bola mata biru tua yang biasanya hangat oleh semangat atau dingin tertutupi tirai ambisi itu terlihat berbeda malam ini. Ada sebuah kilatan ketidakberdayaan yang membuatku ingin menangis atau berlari. Aku tidak ingin Aomine seperti ini, aku tidak ingin sahabatku yangseperti ini.

Ketika pada detik selanjutnya Aomine membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, aku tahu, apapun yang ia katakan bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi, sungguh, aku tidak pernah berpikir bahwa saat ini akan datang.

"Dan lelaki itu begitu mirip dengan Tetsu."

Aomine sudah mengatakannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hari ini, masa lalu menghampiri kami, memegang ujung kaos kami, membuat kami melihat ke belakang.

Dan ini adalah cerita kami dan seorang lelaki yang berjalan di belakang kami

.

.

.

.

.


a/N:

hai, salam kenal. akhirnya saya bisa menulis di fandom ini juga.

untuk semuanya, kenalkan nama saya carnadeite, biasa dipanggil deite. sudah lama saya tidak menulis tapi saya harap tulisan saya kali ini setidaknya layak untuk dibaca. cerita ini sudah lama sekali saya rancang dan baru di hari-hari super sibuk ini saya bisa mengetiknya. saya tunggu komentar dan kritikan atas karya saya yang satu ini. dan sampai ketemu di chapter selanjutnya!