Bagian I: Hadiah Pernikahan
"8 tahun pernikahan,"
Baekhyun mengulang sekali lagi sebaris kalimat miliknya yang tertulis pada kalender. Senyum tertarik lembut sedang jemari mengusap tulisan itu perlahan.
Tidak terasa, sudah 8 tahun Baekhyun mengikat janji suci itu, bersama Chanyeol yang juga merupakan pemilik biologis malaikat-malaikat kecil yang ia lahirkan.
Rasanya seperti baru kemarin, nyatanya telah berlalu begitu saja. Jackson bahkan sudah berusia 7 tahun sedang Jesper hendak memasuki umur ke 5 beberapa bulan lagi.
Baekhyun meletakkan kembali kalender di atas meja rias lalu membuka laci dan mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Baekhyun telah merencanakan sebuah pesta kecil-kecilan merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Makan malam bersama anak-anak lalu meniup lilin di atas tart yang ia buat siang tadi. Baekhyun juga tak melupakan sebuah hadiah untuk Chanyeol yang telah ia siapkan sejak minggu lalu.
Hadiah itu Baekhyun simpan di dalam kotak, ukurannya kecil dengan pita keemasan yang menghias cantik. Baekhyun membukanya dan lagi melebarkan senyum ketika mendapati isinya masihlah serupa.
Test pack dengan dua garis. Positif.
Baekhyun belum memberitau Chanyeol perihal kehamilannya yang ketiga. Baekhyun berpikir untuk memberikan kejutan dan inilah saat yang tepat. Baekhyun mulai membayangkan bagaimana reaksi Chanyeol dengan kehamilannya. Masih terekam jelas dalam ingatan ketika Baekhyun mengandung Jackson dan Jesper dulu, senyum sumringah dengan ucapan syukur bertubi Chanyeol ucapkan. Chanyeol begitu bahagia, katanya dengan Baekhyun ia merasa sempurna.
Baekhyun tak mampu menahan senyum lebih lebar lagi. Bayangan wajahnya yang terpantul pada cermin di depannya terlihat konyol pun dengan dentuman dalam dada. Baekhyun berubah tak sabar, sedang dalam imajinasi mulai merangkai sendiri akan tanggapan Chanyeol nanti.
Kotak kado itu Baekhyun simpan kembali di dalam laci. Pewarna bibir diraihnya kemudian memoleskan cairan itu pada tipis miliknya. Baekhyun tak benar-benar suka memakai riasan. Rasanya pun sudah lama sekali, mengingat sebagian besar waktunya hanya di habiskan di rumah. Namun malam ini berbeda, ini adalah hari istimewa.
Baekhyun telah memasak banyak. Membuat kue dan menata meja makan dengan cantik.
Hari telah beranjak malam, setengah jam lagi akan memasuki waktu makan malam. Kebetulan yang sempurna karena ini adalah akhir pekan itu artinya Chanyeol akan berada di rumah. Baekhyun menerka Chanyeol tengah berada dalam perjalanan pulang sekarang.
Baekhyun menggenggam besi pada roda kursi yang ia duduki lantas mendorongnya keluar dari kamar. Suara deritan ban beradu dengan lantai menemani Baekhyun menuju kamar yang lain. Pintu kamar itu terbuka, memperdengarkan dengan jelas suara ricuh yang berasal dari dalam sana.
"Pa! Pa!" Itu adalah Jesper yang berseru pertama kali ketika sosok Baekhyun tertangkap inderanya. Baekhyun tersenyum lebar sedang tangan menarik tuas rem pada kursi roda membuat benda itu berhenti.
Bocah yang akan berusia 5 tahun itu baru selesai mandi, tubuhnya masih terlilit handuk yang kemudian dihempaskan begitu saja pada lantai. Jesper berlari, menyongsong Baekhyun dan melompat menaiki paha Baekhyun.
"Hei Jesper sudah mandi?" Baekhyun menyambut dalam pelukan. Titik air pada tubuh kecil itu terserap oleh sweater yang Baekhyun kenakan membuatnya menjadi lembab.
"Hm hm, bersama Njek hyung!" Jawab Jesper. Tangan kecilnya mengarah pada Jackson di depan lemari, melompat meraih piyama di dalam sana.
"Benarkah? Lihat siapa yang sudah besar ini?" Baekhyun berdecak main-main sembari menarik gemas hidung kecil Jesper. Si bungsu itu tergelak senang dan kembali mengusak wajahnya pada dada Baekhyun.
"Pa bolehkah aku memakan kuenya sekarang?" Jackson bertanya seraya mendekati Baekhyun. Ia memungut handuk milik Jesper dan menyerahkan kain lembab itu kepada Baekhyun.
"Terima kasih sayang," Baekhyun menerimanya. Benar bersenang hati dengan sifat pengertian sulungnya itu.
"Njes juga mau Pa!" Jesper berseru.
"Tunggu Dadda pulang, oke?" Baekhyun memberikan penolakan halus.
Jackson mengangguk mengerti sedang Jesper merengut sembari menjatuhkan diri di atas bahu Baekhyun kembali. Rambutnya yang basah dan berantakan itu menggelitiki Baekhyun.
"Tapi Dadda sangat lama." Katanya disana.
"Dadda dalam perjalanan," ucap Baekhyun, lebih kepada harapannya dalam hati. Ia menarik senyum lagi mengusap rambut Jesper. "Duduklah, Papa akan mengeringkan rambutmu." Baekhyun menepuk pinggiran tempat tidur.
Jesper menurut. Duduk dengan patuh membiarkan Baekhyun mengurusi dirinya.
"Njek kau bisa mengeringkan rambutmu sendiri bukan?" disela Baekhyun melempar tanya pada anak sulungnya.
"Iyups!" Jackson menjawab. "Aku juga sudah berpakaian dan memakai minyak rambut." Ucapnya bangga. Ia mengusap rambutnya yang telah dipoles mengkilat lalu berpose dengan ibu jari dan telunjuk dibawah dagu.
"Bagus," puji Baekhyun sembari tertawa. "Sekarang biarkan Papa menciummu."
Jackson lekas mendekati Baekhyun dan memberikan sebuah kecupan pada pipi. Harum bau dari minyak rambut anak-anak yang Jackson pakai menguar, menusuk hidung Baekhyun.
"Harumnya~"
"Njes juga harum!" si bungsu tak ingin kalah. Ia mendongak, menatap Baekhyun dengan binari serupa akan carrier cantik itu.
"Oh benarkah, coba mana?" Baekhyun mencondongkan dirinya pada Jesper dan segera mendapatkan kecupan lain pada pipinya. "Hm~ Njes harum sekali!" Puji Baekhyun. Ia berbalik menciumi tiap jengkal wajah itu dan mendapatkan tawa bahagia Jesper disana.
Dibelakangnya Jackson memanjat kursi roda yang Baekhyun duduki dan memeluk leher lelaki yang telah melahirkannya itu dengan erat.
"Papa juga harum." Kata Jackson dibelakang sana. "Papa juga cantik."
"Papa sangat cantik!" imbuh Jesper.
Baekhyun tertawa oleh pujian itu.
"Terima kasih, Jagoan."
Baekhyun membantu Jesper mengenakan piyamanya setelah itu dan merapikan tataan rambut Jackson pula. Baekhyun telah memberitau jika mereka akan memiliki sedikit pesta dan menikmati kue setelah makan malam, membuat dua bocah itu terpekik senang dalam antusias.
Setelah keduanya siap berbenah, Baekhyun membiarkan Jackson dan Jesper menonton kartun di televisi selagi menunggu kepulangan Chanyeol sedang dirinya berada di dapur. Baekhyun memeriksa selagi lagi hidangan di meja makan juga kue tart di kulkas sebagai hidangan penutup.
Baekhyun tak menyadari jika ia sudah selama itu berada disana, tenggelam seorang diri dan rengekan anak-anak menyadarkan ia akhirnya.
"Dadda lama sekali, bolehkah kami makan sekarang?" Jesper merengek nyaris menangis. Baekhyun reflek melihat jam di dinding dan terperangah melihat pukul tertera. Nyaris jam 9, jam makan malam sudah lewat dan Chanyeol... belum pulang.
Baekhyun menaruh sesal dalam dirinya membiarkan anak-anak kelaparan. Baekhyun ingin menahan, setidaknya untuk beberapa menit lagi berharap Chanyeol telah berada di rumah.
Namun nyatanya tidak.
Baekhyun membiarkan Jackson dan Jesper menikmati makan malam terlebih dahulu sedang ia bersikeras untuk menunggu Chanyeol. Chanyeol mungkin pulang sedikit terlambat, bukan masalah... mereka bisa makan malam bersama nantinya. Kue tart yang merupakan kue perayaan ulang tahun pernikahan dihabiskan setengah oleh kedua anaknya itu dan Baekhyun menghabiskan waktunya dengan memperhatikan keduanya, sesekali melirik pada jam di dinding tanpa menyentuh piringnya sedikit pun.
Hidangan pada meja makan bersisa setengah ketika Jackson dan Jesper selesai dengan makan malam mereka. Jackson berada di kamar, menyelesaikan pekerjaan sekolahnya seperti yang Baekhyun pinta sedang si bungsu Baekhyun ajarkan membaca.
Jam tidur anak-anak berlalu dengan cepat. Malam semakin tinggi dan nyatanya Chanyeol tak juga pulang. Baekhyun menghubungi namun operator menyambut panggilannya, mengatakan jika status panggilan Chanyeol sedang tak aktif.
Baekhyun tak ingin menaruh kecewa tentang makan mereka yang gagal. Itu bukan apa-apa, hanya sebuah perayaan yang tak tak wajib untuk dilakukan. Chanyeol memiliki pekerjaan, pria itu bisa saja lembur dan ponselnya mati... berulang, lagi Baekhyun menyakinkan dirinya sendiri.
Baekhyun menyeret tubuhnya dari kursi roda menaiki tempat tidur dan menempatkan dirinya setengah berbaring. Ia menatap ponsel lama, tepatnya pada gambar latar Jackson dan Jesper yang tersenyum lebar pada kamera dan mengusapnya dengan lembut.
"Papa?" Pada celah pintu yang terbuka sosok Jesper terlihat.
"Jesper? Mengapa belum tidur?" Baekhyun bertanya sembari meletakkan ponselnya pada nakas.
Jesper tak segera memberikan sahutan. Kaki kecilnya mendekati tempat tidur lalu memanjat naik menuju Baekhyun.
"Boleh Njes tidur disini?" Matanya yang bulat setengah terbuka menatap Baekhyun penuh harap. "Dadda tidak pulang?" Tanyanya lagi.
"Dadda pulang sedikit terlambat,"
"Boleh Njes menemani Papa disini sampai Dadda pulang?" Jesper bertanya lagi.
"Tentu sayang." Baekhyun menarik tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukannya lantas berbaring bersama.
Baekhyun mulai bersandung menyanyikan lullaby untuk Jesper mengantar si bungsu itu dalam mimpi. Tangannya mengusap helai rambut Jesper, sedikit memberi pijatan menyenangkan pada puncak kepala itu.
Diantara kedua orangtuanya, Jesper lebih dekat juga manja kepada Baekhyun. Bahkan jika Chanyeol berada di rumah saat waktu senggang dan Jackson memilih menghabiskan waktunya dengan pria yang ia panggil Dadda itu, maka Jesper akan tetap menempeli Baekhyun walau ia melakukan hal yang sama setiap harinya.
Baekhyun ingat ketika Jackson mulai masuk sekolah dan hubungan mereka merenggang dalam jarak. Itu adalah saat yang menyedihkan bagi Baekhyun, Jackson menangis mengatakan jika teman-temannya selalu di jemput oleh Papa atau Ibu mereka sedang Jackson selalu di jemput oleh sopir Chanyeol.
Jackson meraung mengatakan Baekhyun tak sayang padanya dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama Jesper. Jackson berteriak sampai Jesper ikut menangis ketakutan dan apa yang Baekhyun lakukan adalah reflek menenangkan Jesper yang kala itu berumur 2 tahun.
Jackson berlari masuk kamar dan Baekhyun bahkan tak bisa bergerak sedikitpun dari tempatnya dengan sepasang kaki lumpuh yang ia miliki. Chanyeol yang menghampiri Jackson dan sayup tangisan anak pertamanya itu membuat Baekhyun semakin membenci dirinya, membenci keadaannya yang membuat semuanya menjadi sulit.
Baekhyun ingin; mengantar dan menjemput Jackson ke sekolah, menghabiskan waktunya diluar bersama anak-anak namun tak bisa ia lakukan. Kakinya mati rasa, sarafnya tak berfungsi dan apa yang bisa Baekhyun lakukan adalah bergantung pada kursi roda sepanjang hari.
Jackson memusuhinya saat itu. Seminggu adalah neraka dan Chanyeol memberikan pengertian kepada si sulung. Chanyeol lalu berjanji tak hanya mengantar Jackson ke sekolah saja tapi juga menjemputnya dengan janji takkan mendiami Baekhyun lagi.
Jackson melunak, ia tersedat dalam sisa tangis lalu jatuh tertidur 10 menit kemudian.
"Maafkan aku..." hanya itu yang bisa Baekhyun katakan setelah Chanyeol kembali ke kamar. "Aku benar-benar payah," matanya panas lagi dan Baekhyun membiarkan Chanyeol melihat tangisnya kembali.
"Kau tidak," Chanyeol menjawab cepat. Ia bertumpu satu kaki di lantai, berlutut di depan Baekhyun. "Jangan meminta maaf karena itu bukan kesalahan."
"Aku hanya tak mau Jackson malu karena memiliki Papa yang lumpuh," Baekhyun menggigit bibirnya yang bergetar.
"Ya Tuhan Baekhyun... itu tidak benar sayang." Chanyeol memeluk Baekhyun cepat. Membawa kepala itu bersandar pada dadanya membiarkan air mata Baekhyun membasahi bajunya. "Kau adalah Papa terhebat, Papa terbaik. Jackson menyayangimu, dia beruntung memilikimu. Jadi kumohon, buang pikiran itu jauh-jauh dari pikiranmu, oke?"
Chanyeol memiliki seribu kalimat penenang yang selalu Baekhyun butuhkan. Baekhyun memiliki masa yang sulit dan Chanyeol selalu berada disana membantunya mengenyahkan semua beban itu.
"Aku berjanji akan berusaha lebih keras untuk terapi," Baekhyun tak hanya menyakinkan Chanyeol namun juga dirinya sendiri.
"Jangan paksakan dirimu." Chanyeol mengecup pelipis Baekhyun berulang, turun pada pipinya dan berakhir pada bibirnya.
Asin terkecap dalam indera ketika lunak mereka menyatu dan Chanyeol merasakan betul bagaimana bibir itu bergetar di atas bibirnya.
"Untukku, kumohon berhentilah menangis." Chanyeol berbisik. "Untukku, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Bisakah kau lakukan itu untukku Baek?" Ia melirik Baekhyun mengusap bening pada wajah itu lalu menarik dagunya lembut guna dapat bertemu pandang dengannya.
"Keadaanmu yang sekarang bukanlah kesalahanmu. Bahkan jika kau buta juga tuli, kau tetap Park Baekhyun-ku, suamiku yang cintaiku, Papa dari anak-anakku yang kucintai. Untuk itu, berhenti menyesal terhadap dirimu sendiri sayang... aku tetap mencintaimu dalam keadaan apapun."
Itu adalah penyesalan Baekhyun yang lain. Chanyeol begitu sempurna. Pria itu adalah sumber kebahagiannya, kekuatannya dan dia pantas mendapatkan seseorang yang lain. Saat terpuruk bagi Baekhyun membawa kalut dirinya untuk menyerah bahkan untuk pernikahan mereka. Akan sampai kapan memangnya Chanyeol akan bertahan dengan dirinya yang cacat seperti ini?
Namun Baekhyun lagi bertanya dalam dirinya, bagaimana dia melanjutkan hidupnya, melewati masa sulit hidupnya tanpa kehadiran pria itu, pria yang merupakan suaminya, sumber dari semua kebahagiannya?
"Aku mencintaimu Chanyeol."
Pria yang menjadi cinta pertamanya dan akan selalu menjadi satu-satunya yang ia cintai dalam hidupnya.
Ingatan itu seolah menjadi kantung energi membawa Baekhyun bangkit dari rendah hati yang ia miliki. Semuanya masih sama walau terkadang ego dirinya menekan bagaimana semua itu tak lagi terasa serupa.
Chanyeol menjadi lebih sibuk, dulu Chanyeol akan memilih membawa sisa pekerjaannya ke rumah kini akan memilih lembur di kantor. Dulu Chanyeol akan mengirim pesan mengatakan ia akan pulang terlambat kini membiarkan kotak pesan Baekhyun kosong tanpa pemberitahuan apapun.
Baekhyun tak ingin menyalahi apalagi menuntut lebih terhadap Chanyeol.
Ini bahkan bukan kali pertama terjadi. Chanyeol memiliki pekerjaan yang membuatnya tak pulang di saat tertentu. Baekhyun telah memaklumi hal itu dan Baekhyun juga merasa baik-baik.
Mungkin karena kehamilan yang tengah ia hadapi, perubahan hormonal juga emosi membuat semuanya menjadi lebih rumit. Baekhyun pun menyadari bagaimana ia menjadi lebih sensitive, semua adalah Chanyeol dan bagaimana perasa dirinya mulai mengetuk kesadaran Baekhyun akan jarak yang mulai terbentang di antara mereka.
Bagaimana Baekhyun harus mengatakan jika nyatanya Chanyeol... mulai berubah. Perlakuannya mungkin juga perasaannya.
e)(o
Chanyeol tak pulang bahkan di keesokan harinya. Baekhyun melihat ponselnya dan tak menemukan satupun pesan ataupun panggilan dari Chanyeol. Baekhyun lagi bertanya, apakah Chanyeol memiliki perjalanan bisnis ke luar kota dan lupa memberitaunya? Atau Chanyeol memberitau sebelumnya namun Baekhyun melupakan hal itu.
Baekhyun memutuskan untuk mengirim pesan, bertanya tentang keberadaan Chanyeol dan menunggu balasan sembari membereskan kamar.
Ini akhir minggu. Jackson tak berangkat ke sekolah dan Jesper adalah yang paling bersemangat. Mereka selalu memiliki proyek kecil di halaman belakang setelah sarapan, bermain dalam bak pasir yang Chanyeol buat dan membangun kastil disana.
Baekhyun akan memantau sembari merawat tanamam hias miliknya. Dulu, Chanyeol akan bergabung pula. Ia akan memangkas rumput yang meninggi juga membersihkan daun yang rontok.
Mengingat hal itu, membuat Baekhyun tersenyum tanpa sadar. Ia teringat tentang ponselnya di kamar juga balasan yang mungkin telah ia terima dalam Chanyeol.
Kursi roda yang Baekhyun duduki ia dorong pelan masuk ke dalam rumah, menuju kamar dan meraih ponsel miliknya. Layar masih sama. Tanpa pesan atau panggilan.
Chanyeol pasti sangat sibuk... Baekhyun membatin seorang diri. Ia berpikir untuk menghubungi pertama kali namun tak jadi ia lakukan ketika ketukan sol sepatu terdengar menapak lantai.
Sosok Sooyoung berada disana. Ibu Chayeol, mertuanya.
"Ibu disini?" Baekhyun menyimpan ponselnya lagi dan menuju Sooyoung. Ia tersenyum sumringah dalam sapaan dan dibalas tipis oleh wanita paruh baya itu.
"Dimana anak-anak?" Sooyoung mengedarkan pandangannya keseluruh rumah mencari dua cucunya itu.
"Di halaman belakang, sebentar aku akan memanggil agar mereka bisa menyapa Ibu." Baekhyun menggenggam besi pada roda kursinya bersiap mendorong saat Sooyoung mencegah cepat.
"Tak apa, aku akan menyapa mereka nanti."
"Ah," Baekhyun berguman paham. "Apa Ibu ingin teh?" Ia menawarkan.
"Aku bisa membuatnya nanti," Sooyoung kembali menolak. "Bisakah kita bicara sebentar?" Sooyoung bertanya seraya berjalan menuju belakang Baekhyun, mendorong kursi roda menantunya itu pada ruang tengah.
"Tentu saja," jawab Baekhyun. "Terima kasih, Bu." Ucapnya tertuju pada bantuan Sooyoung. Wanita itu hanya mengangguk pelan lalu menempatkan dirinya duduk di sofa berhadapan dengan Baekhyun.
"Apa Chanyeol di rumah?" Sooyoung bertanya.
"Chanyeol lembur semalam," Baekhyun menjawab dalam dusta, kenyataan ia pun tak tau dimana dan apa yang dilakukan oleh suaminya itu.
Sooyoung kembali mengangguk sebagai tanggapan. Retinanya menangkap Baekhyun lekat penuh perhatian menatap seluruh lekukan pada paras itu. Baekhyun cantik. Dia masih secantik dulu. Sooyoung bahkan tak menemukan sesuatu yang berubah darinya, kecuali... keadaan lelaki mungil itu kini.
"Sepertinya Chanyeol belum memberitaumu ya?" Sooyoung lebih dalam menerka dalam pertanyaannya.
"Memberitau apa?" Baekhyun balik bertanya dalam bingung.
Sooyoung tak segera menjawab. Ia beringsut lebih dekat pada Baekhyun, meraih tangannya dan menggenggam kumpulan ruas jari cantik itu dan mengusapnya lembut.
"Kau mungkin akan membenciku, Baek. Kau mungkin akan berpikir betapa jahatnya aku padamu. Tak apa, kau bisa melakukannya..."
"Apa maksud Ibu?" Baekhyun bertanya tak mengerti.
Sooyoung menjeda sesaat kembali menatap Baekhyun di depannya.
Baekhyun menunggu dalam kerutan bingung yang semakin mencekung tajam. Itu aneh bagaimana dentuman perlahan bertalu dalam dada membuat perasaannya berubah tak nyaman tiba-tiba.
"Kau tau jika Chanyeol telah menjadi CEO saat ini, pekerjaannya menuntut Chanyeol harus berpergian jauh tiap hari dan Chanyeol takkan bisa melewati semua itu seorang diri,"
Baekhyun mengangguk membenarkan, kaku seolah lehernya telah berkarat tak ia pergunakan dalam waktu yang lama.
Sooyoung menatap Baekhyun penuh sesal lalu melanjutkan, "Dan keadaanmu yang sekarang jelas tak bisa mendampingi Chanyeol..."
Satu dentuman keras itu menyentak ulu hati Baekhyun dengan telak. Keras sekali, sampai paru-parunya menyempit menahan oksigen seketika. Baekhyun mengerti... kemana arah pembicaraan ini.
Sooyoung membicarakan tentang keadaannya yang cacat. Lumpuh yang hanya bisa menggantung seluruh harinya di atas kursi roda.
Mungkin rekan kerja Chanyeol mengolok pria itu karena keadaannya. Dirinya adalah aib dan tanpa Baekhyun ketahui dan Chanyeol menanggung malu setiap harinya.
Bagaimana bisa Baekhyun luput memikirkan hal itu.
Pikirnya semua masih baik-baik saja. Semua masihlah berjalan seperti apa adanya.
"Aku sudah membicarakan hal ini pada Chanyeol. Dan Chanyeol menolak untuk melakukan poligami terhadapmu Baek." Sooyoung berkata lagi.
Baekhyun seketika tercekat.
Poligami... diam-diam tanpa Baekhyun ketahui Chanyeol telah merencanakan pernikahannya yang lain. Sejak kapan? Mengapa tiba-tiba dan mengapa Chanyeol tak pernah membicarakan hal ini dengannya?
"Aku tau kau telah melalui banyak hal yang sulit. Bukan hanya kau, tapi juga Chanyeol. Tapi kumohon padamu Baekhyun... untuk semua kebaikan diantara kalian, tak bisakah kau melepas Chanyeol?"
Baekhyun mendengar retak hatinya. Nafasnya bergulung berat dalam imajinasinya, nyatanya kaku tubuh adalah apa yang Sooyoung lihat. Baekhyun bergeming bahkan untuk respon yang ia berikan terhadap mertuanya itu.
"Chanyeol harus memiliki seseorang yang mampu mendampinginya, yang bisa menemaninya kemanapun ia pergi." Sooyoung mendesah, kepala tertunduk menatap jalinan tangan mereka yang menyatu. "Tapi Chanyeol menolak untuk poligami dan dia bilang dia juga tak bisa menceraikanmu karena anak-anak, untuk itu aku datang padamu dan memohon... tolong Baekhyun... bercerailah dari Chanyeol."
Baekhyun tak tau harus seperti apa memberikan reaksi. Pandangannya mendadak kabur lalu tiba-tiba basah oleh air matanya sendiri.
"A-aku-" Baekhyun bahkan tergagap pun tak ada kata yang ia miliki untuk menjawabi wanita yang merupakan Ibu dari pria yang ia cintai itu.
"Cepat atau lambat Chanyeol akan memberitau hal ini. Chanyeol..." Sooyoung memejamkan matanya selama 3 detik, menggigit bibirnya pelan sedang dalam hati menyakinkan dirinya sendiri.
"Sebenarnya Chanyeol telah menjalin hubungan dengan seseorang yang lain,"
Kali ini, Baekhyun melihat tombak berkarat menghunus dadanya. Rasanya menyakitkan sekali, nyawanya seolah dicabut paksa dan betapa kejamnya Sooyoung memilih untuk buta tak melihat bagaimana hancurnya Baekhyun.
Ingatan dalam otak Baekhyun menciptakan imajinasi akan semua hal yang telah berlalu. Tepatnya bagaimana semua sifat Chanyeol yang mulai berubah, waktu senggangnya yang berkurang, Chanyeol selalu memiliki raut wajah lelah tiap kali pulang. Ia pulang malam, menyempatkan diri untuk melihat anak-anak lantas tidur setelahnya. Pembicaraannya dengan Baekhyun hanyalah basa-basi terdengar, Baekhyun memaklumi dan membiarkan Chanyeol walau sedih menyelimuti perasaannya.
Baekhyun kadang bertanya apa kesalahannya pagi hari saat Chanyeol hendak berangkat ke kantor. Mungkin masakannya yang kurang enak atau tutur katanya yang menyinggung perasaan pria itu. Baekhyun memupuk rasa bersalah untuk dirinya sendiri. Chanyeol mulai jengah, bosan harus memiliki Baekhyun si cacat yang menjadi suaminya. Chanyeol mungkin malu dan Sooyoung benar Baekhyun bahkan tak berguna sebagai pasangan hidup.
Baekhyun mengatakan hal ini beberapa kali pada Chanyeol saat semua hal buruk ini terjadi. Chanyeol menenangkannya, meyakinkan dirinya dan Baekhyun bertahan dengan semua kalimat itu.
Namun kini waktu juga perhatian yang Chanyeol berikan mulai mengikis dan seharusnya Baekhyun tak terkejut. Bagaimanapun kini semua menjadi beralasan karena... Chanyeol tak lagi mencintainya.
"Mereka akan segera melangsungkan pernikahan, tepat setelah Chanyeol menceraikanmu."
bersambung
Terima kasih sudah membaca fiksi ini dan sampai bertemu di chapter 2 :D
