"TWILIGHT"
Remake dari sebuah novel berjudul TWILIGHT oleh Stephenie Meyer.
Yang kemudian di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Lili Devita Sari
Diremake dengan sedikit perubahan untuk penyesuaian cerita. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari cerita ini. Hak cipta sepenuhnya milik penulis. Dan saya hanyalah me-REMAKE dengan menggunakan penyesuaian.
IT'S SO DAMN YAOI. IF YOU HAVE HOMOPHOBIC/HATE YAOI JUST CLICK BACK AND GO AWAY. IT'S SO EASY.
HUNHAN
RATED: T
Beberapa peran (baik karakter dan nama) akan diubah untuk penyesuaian cerita. Saya mohon maaf apabila ada yang tidak berkenan.
Dilarang men-copy paste FF ini meski ini hanyalah hasil remake dari sebuah Novel dan bukan cerita hasil dari diri saya sendiri. Kalian mungkin belum pernah merasakan meremake dari novel ke bentuk ketikan secara manual itu sangatlah melelahkan. Jadi mohon tolong dihargai.
Note: karena ada yang review dan bilang masih bingung, atau belum dapat feelnya HunHan. Jadi saya akan merombak ulang remake ini untuk karakternya dari chapter awal, kecuali beberapa orang untuk memudahkan pembaca. untuk setting tidak akan saya ubah. Karena mungkin ada dari kalian yang udah baca dari chapter 1 dan ada sedikit perbedaan dalam cerita. Mohon maaf apabila kurang nyaman.
..Chryssans289..
The most main Character Idetified:
1). Bella Swan /genderbender/: Xi Luhan (male)
2). Carlisle Cullen: Oh Junmyeon
3). Esme Cullen: Oh Esme
4). Edward Cullen: Oh Sehun
5). Emmet Cullen: Oh Chanyeol
6). Alice Cullen: Oh Taeyeon
7). Rosalie Hale /genderbender/: Byun Baekhyun (male)
8). Jasper Hale /genderbender/: Byun Baekhee (female)
9). Luhan's Mom: Xi YiFei
10). Jacob Black: Wu Yi Fan
Other cast is on going..
.
.
Enjoy!
.
.
BAB I: PANDANGAN PERTAMA
.
.
.
Ibuku mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Phoenix 23⁰C langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan kaos favoritku tanpa lengan; aku mengenakannya sebagai lambang perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka.
Di Semenanjung Olympic di barat laut Washington, sebuah kota kecil bernafa Forks berdiri dibawah langit yang nyaris selalu tertutup awan. Di kota terpencil ini hujan turun lebih sering dibandingkan di tempat lainnya di Amerika Serikat. Dari kota inilah, dan dari bayangannya yang kelam dan kental, ibuku melarikan diri bersamaku ketika aku baru berusia beberapa bulan. Di kota inilah aku dipaksa menghabiskan satu bulan setiap musim panas sampai aku berusia empat belas tahun. Ketika itulah aku akhirnya mengambil keputusan tegas; dan sebagai gantinya selama tiga musim panas terakhir ini, ayahku, Charlie, berlibur bersamaku di California selama dua minggu. Ke kota Forks-lah sekarang aku megasingkan diri keputusan yang kuambil dengan ketakutan yang amat sangat. Aku benci Forks.
Aku mencintai Phoenix. Aku mencintai matahari dan panasnya yang menyengat. Aku mencintai kotanya yang dahsyat dan megah.
"Luhan," Ibuku berkata untuk terakhir kali dari ribuan kali ia mengatakannya sebelum aku naik pesawat. "Kau tidak perlu melakukan ini."
Ibuku mirip diriku, kecuali rambut panjang tergerainya dan garis usia di sekeliling bibir dan matanya. Aku merasa sedikit panik ketika menatap mata kekanak-kanakannya yang lebar. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku yang penuh kasih, labil, dan konyol ini sendirian? Tentu saja sekarang ia bersama Phil, jadi ada yang membayar tagihan-tagihannya, akan ada makanan di kulkas, mobilnya takkan kehabisan bahan bakar, dan ada orang yang bisa di teleponnya bila ia tersesat, tapi tetap saja...
"Aku ingin pergi," aku berbohong. Aku tak pernah pandai berbohong, tapi aku tetap mengatakan kebohongan ini begitu sering hingga sekarang nyaris terdengar meyakinkan.
"Sampaikan salamku untuk Charlie."
"Akan kusampaikan."
"Sampai bertemu lagi," ibuku berkeras. "Kau bisa pulang kapanpun kau mau—aku akan segera datang begitu kau membutuhkanku."
Tapi di matanya bisa kulihat pengorbanan dibalik janji itu.
"Jangan khawatirkan aku," pintaku. "Semua akan baik-baik saja. Aku sayang padamu, Ma."
Ibuku memelukku erat-erat beberapa menit, kemudian aku naik ke pesawat, dan iapun pergi.
Memakan waktu empat jam untuk terbang dari Phoenix ke Seattle, satu jam lagi menumpang pesawat kecil menuju Port Angeles, lalu satu jam perjalanan darat menuju Forks. Perjalanan udara tidak mengusikku; tapi satu jam dalam mobil bersama Charlie-lah yang agak ku khawatirkan.
Secara keseluruhan Charlie lumayan baik. Perasaan senangnya sepertinya tulus, ketika untuk pertama kali aku datang dan tinggal bersamanya entah selama berapa lama. Ia sudah mendaftarkan aku ke SMA dan akan membantuku mendapatkan kendaraan pribadi.
Tapi tentu saja saat-saat bersama Charlie terasa canggung. Kami sama-sama bukan tipe yang suka bicara, dan aku juga tidak tau harus bilang apa. Aku tau ia agak bingung atas keputusanku—sebab seperti ibuku, aku juga tidak menyembunyikan ketidaksukaanku pada Forks.
Ketika aku mendarat di Port Angeles, hujan turun. Aku tidak melihatnya sebagai pertanda—hanya sesuatu yang tak terelakkan. Lagipula aku sudah mengucapkan selamat tinggal pada matahari.
Charlie menungguku di mobil patrolinya. Yang inipun sudah kuduga. Charlie adalah Kepala Polisi bagi orang-orang baik di Forks. Tujuan utamaku dibalik membeli mobil, meskipun tabunganku kurang, adalah karena kau menolak diantar berkeliling kota dengan mobil yang memiliki lampu merah-biru diatasnya. Tak ada yang membuat laju mobil berkurang selain polisi.
Charlie memelukku canggung dengan satu lengan ketika aku menuruni pesawat.
"Senang bertemu denganmu, Lu." Katanya, tersenyum ketika spontan menangkap dan menyeimbangkan tubuhku.
"Kau tak banyak berubah, bagaimana YiFei?"
"Mama baik-baik saja. Aku juga senang bertemu denganmu, Dad." Aku tidak diizinkan memanggilnya Charlie bila bertatap muka.
Aku hanya membawa beberapa tas. Kebanyakan pakaian Arizona-ku tidak cocok untuk dipakai di Washington. Ibuku dan aku telah mengumpulkan apa saja yang kami miliki untuk melengkapi pakaian musim dinginku, tapi tetap saja kelewat sedikit. Barang bawaanku muat begitu saja di bagasi mobil patroli Dad.
"Aku menemukan mobil yang bagus buatmu, benar-benar murah," ujarnya ketika kami sudah berada di mobil.
"Mobil jenis apa?" aku curiga dengan caranya mengatakan 'mobil bagus buatmu', seolah itu tidak sekedar "mobil bagus".
"Well, sebenarnya truk, sebuah Chevy."
"Dimana kau mendapatkannya?"
"Kau ingat Billy Wu di La Push?" La Push adalah reservasi Indian kecil di pantai.
"Tidak."
"Dulu dia suka pergi memancing bersama kita di musim panas." Charlie menambahkan.
Pantas saja aku tidak ingat. Aku mahir menyingkirkan hal-hal tidak penting dan menyakitkan dari ingatanku.
"Sekarang dia menggunakan kursi roda." Charlie melanjutkan ketika aku diam saja, "Jadi dia tidak bisa mengemudi lagi, dan menawarkan truknya padaku dengan harga murah."
"Keluaran tahun berapa?" dari perubahan ekspresinya aku tahu ia berharap aku tidak pernah melontarkan pertanyaan ini.
"Well, Billy sudah merawat mesinnya dengan baik—umurnya baru beberapa tahun kok, sungguh."
Kuharap Dad tidak menyepelekan aku dan berharap aku memercayai kata-katanya dengan mudah. "Kapan dia memebelinya?"
"Rasanya tahun 1984."
"Apa waktu dibeli masih baru?"
"Well, tidak. Kurasa mobil itu keluaran awal '60-an—atau setidaknya akhir '50-an." Dad mengakui malu-malu.
"Ch-Dad, aku tidak tau apa-apa tentang mobil. Aku tidak akan bisa memperbaikinya kalau ada yang rusak, dan aku tidak sanggup membayar montir."
"Sungguh, Luhan, benda itu hebat. Model seperti itu tidak ada lagi dijaman sekarang."
Benda itu, pikirku... sebutan itu bisa dipakai—paling jelek sebagai nama panggilan.
"Seberapa murah yang Dad maksud?" bagaimanapun aku tidak bisa berkompromi soal yang satu ini.
"Well, sayang. Aku sebenarnya sudah membelikannya untukmu. Sebagai hadiah selamat datang." Charlie melirikku dengan ekspresi penuh harap.
Wow. Gratis.
"Kau tak perlu melakukannya Dad. Aku berencana membeli sendiri mobilku."
"Aku tidak keberatan kok. Aku ingin kau senang disini."
Ia memandang lurus kejalan saat mengatakannya. Charlie merasa tak nyaman mengekspresikan emosinya. Aku mewarisi hal itu darinya. Jadi aku memandang lurus kedepan ketika menjawab.
"Ah, Dad. Thanks. Aku sangat menghargainya." Tak perlu kutambahkan bahwa aku tak mungkin bahagia di Forks. Dad tidak perlu ikut menderita bersamaku. Dan aku tak pernah meminta truk gratis—atau mesin.
"Well, sama-sama kalau begitu." Gumamnya, tersipu oleh ucapan terimakasihku.
Kami masih bicara tentang cuaca yang lembab, dan itulah sebagian besar topik percakapan kami. Selebihnya kami memandang keluar jendela dalam diam.
Tentu saja pemandangannya indah; aku tak bisa menyangkalnya. Semua hijau: pepohonan dengan batang-batang tertutup lumut, kanopi diantara cabang-cabangnya, tanahnya tertutup daun yang berguguran. Bahkan udaranya tersaring diantara dedaunan yang hijau.
Terlalu hijau—sebuah planet yang asing.
Akhirnya kami tiba di rumah Charlie. Ia masih tinggal di rumah kecil dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku pada awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka miliki—masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah berubah, tampak truk baruku—well, baru buatku. Truk itu berwarna merah kusam, dengan bemper dan kap yang melekuk dan besar. Yang membuatku amat terkejut, aku menyukainya. Aku tak tau apakah benda itu bisa berjalan, tapi bisa kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenisnya sangat kokoh yang tidak mungkin bisa rusak—jenis yang mungkin dapat kau temukan di lokasi kecelakaan dengan cat tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah dihantamnya.
"Wow, Dad, aku suka! Thanks!" sekarang hari-hari menakutkan yang akan menjelang akan menakutkan lagi. Aku takkan dihadapkan pada pilihan berjalan dua mil ke sekolah hujan-hujan atau menumpang mobil patroli polisi.
"Aku senang kau menyukainya." Kata Charlie parau, sekali lagi merasa malu.
Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barang-barangku keatas. Aku mendapatkan kamar di sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat familier, itu kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu, dinding biru cerah, langit-langit lancip, tirai berenda kekuningan yang membingkai jendela—semua ini bagian masa kecilku. Satu-satunya perubahan yang dibuat Charlie adalah mengganti tempat tidur bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja seiring pertumbuhanku. Di meja itu sekarang ada komputer bekas, dengan modem tersambung pada kabel telpon yang menempel sepanjang lantai hingga colokan telepon terdekat. Ini permintaan ibuku, supaya kami mudah untuk berkomunikasi. Kursi goyang dari masa bayiku masih ada di sudut.
Hanya ada satu kamar mandi kecil dilantai atas, dan aku harus memakainya dengan Charlie. Aku berusaha tidak terlalu memikirkan keadaan itu, yeah, kami sama-sama lelaki.
Salah satu hal terbaik tentang Charlie adalah, ia tidak pernah membuntutuiku. Ia membiarkanku sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tidak mungkin kudapatkan dari ibu. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung keluar jendela, memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika aku harus memikirkan esok pagi, tapi mungkin tidak, karena sekali lagi, aku adalah seorang laki-laki yang tidak seharusnya menangis terlalu sering.
Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid, yaitu 357—sekarang 358; sementara murid SMP di tempat asalku dulu adalebih dari tujuh ratus orang. Semua murid di sini tumbuh bersama-sama—kakek-nenek mereka menghabiskan masa kecil bersama. Aku akan jadi seorang pria baru dari kota besar, mengundang penasaran, orang aneh.
Barangkali takkan begitu jadinya bila aku berpenampilan seperti layaknya anak-anak dari Phoenix. Tapi secara fisik aku tak akan pernah cocok berada dimanapun. Aku harus berkulit coklat, sporty, pirang—pemain voli, atau kapten basket mungkin—oke yang satu ini mustahil—segala sesuatu yang cocok dengan kehidupan di lembah matahari.
Sebaliknya aku malah berkulit putih, bahkan tanpa mata biru atau rambut merah, meskipun sering terpapar sinar matahari. Tubuhku terlalu langsing—atau kurus—untuk ukuran seorang pria yang beranjak dewasa, tak berotot, lembek, jelas bukan tipikal seorang atlet; aku tidak memiliki kemampuan koordinasi antara tangan dan mata untuk berolahraga tanpa mempermalukan diri sendiri—dan melukai diriku serta siapapun di dekatku.
Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku mengambil tas keperluan mandiku dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah perjalanan yang melelahkan seharian. Aku memandang wajahku dicermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan kusut. Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak sehat. Kulitku bisa saja cantik—bening, nyaris transparan—tapi semua itu tergantung warna. Disini aku tidak memiliki warna.
Memandang pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui sedang membohongi diriku sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau tak bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus orang, kesempatan apa yang kupunya disini?
Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali sebenarnya hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan ibuku, orang yang paling dekat denganku dibandingkan siapapun di dunia ini, tidak pernah selaras denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadang-kadang aku membayangkan apakah aku melihat hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin ada masalah dengan otakku.
Tapi penyebabnya tidak penting. Yang penting adalah akibatnya. Dan besok adalah permulaan.
...
Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku selesai menangis (pada akhirnya aku menangis juga). Hujan terus menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap juga dari kesadaranku. Aku menarik selimut tua itu menutupi kepala, kemudian menambahkan bantal-bantal. Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur, ketika hujan akhirnya berubah menjadi gerimis.
Pagi harinya kabut tebal yang biasa kulihat dari jendela kamarku, dan bisa kurasakan klaustrofobia merayapi tubuhku. Disini aku tidak pernah bisa melihat langit, seperti di kandang.
Sarapan bersama Charlie berlangsung hening. Ia mendoakan supaya aku berhasil di sekolah. Aku berterimakasih padanya, meski tau doanya akan sia-sia belaka. Keberuntungan selalu menjauhiku. Charlie berangkat duluan, menuju kantor polisi yang menjadi istri dan keluarganya. Setelah ia pergi aku duduk di meja kayu ek persegi tua itu, di salah satu dari tiga kursi yang tak serasi, mengamati dapur kecilnya, dengan dinding panelnya yang gelap, rak-rak kuning terang, serta lantai linoleumnya yang putih. Tak ada yang berubah. Delapan belas tahun yang lalu ibuku mengecat rak-rak itu dengan harapan bisa membawa sedikit kecerah di rumah. Diatas perapian bersebelahan dengan ruang keluarga yang mungil, tampak berderet foto-foto. Yang pertama foto pernikahan Charlie dan Ibuku di Las Vegas, kemudian foto kami dirumah sakit setelah aku lahir yang diambil oleh seorang perawat , diikuti rangkaian fotoku semasa sekolah hingga tahun lalu. Aku malu melihatnya—aku harus mencari cara supaya Charlie mau memindahkannya ke tempat lain, setidaknya selama aku tinggal disini.
Rasanya mustahil berada dirumah ini, dan tidak menyadari bahwa Charlie belum bisa melupakan ibuku. Itu membuatku tidak nyaman.
Aku tidak mau terburu-buru ke sekolah, tapi aku tidak bisa tinggal dirumah lebih lama lagi. Aku mengenakan jaketku—yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan menerobos hujan.
Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah kuyup ketika meraih kunci rumah yang selalu disembunyikan di bawah daun pintu, dan menguncinya. Suara decitan sepatu boot anti airku yang baru membuatku takut sendiri. Aku merindukan bunyi keretakan kerikil saat aku berjalan. Aku tidak bisa berhenti dan mengagumi trukku lagi seperti yang kuiinginkan; aku sedang terburu-buru keluar dari kabut lembab yang menyelubungi kepalaku dan hinggap di rambutku dari balik tudung jaket.
Di dalam truk nyaman dan kering. Entah Billy atau Charlie pasti telah membersihkannya, tapi dari jok berlapis kulit coklat itu samar-samat masih tercium bau tembakau, bensin, dan peppermint. Mesinnya langsung menyala, dan aku lega dibuatnya, tapi derunya keras sekali. Yah, truk setua ini pasti memiliki kekurangan. Radio antiknya masih berfungsi, nilai tambah yang tak terduga.
Menemukan letak sekolah tidaklah sulit, meskipun aku belum pernah kesana. Bangunan sekolah, seperti kebanyakan bangunan lainnya, letaknya tak jauh dari jalan raya. Tidak langsung ketahuan itu sekolah sih; hanya papan namanya yang menyatakan bangunan itu sebagai SMA Forks, yang membuatku berhenti. Bangunannya seperti sekumpulan rumah serasi, dibangun dengan batu-bata warna marun. Ada banyak sekali pohon dan semak-semak sehingga awalnya aku tak bisa mengira-ngira luasnya. Dimana aura institusinya?aku membayangkan sambil bernostalgia. Dimana pagar-pagar berantai dan pendeteksi logamnya?
Aku parkir di depan bangunan pertama yang memiiki papan tanda kecil diatas pintu, bertuliskan 'TATA USAHA'. Tak ada yang parkir disana, sehingga aku yakin itu daerah parkir khusus. Tapi aku memutuskan akan bertanya di dalam, daripada berputar-putar di bawah guyuran hujan seperti orang tolol. Dengan enggan aku melangkah keluar dari trukku yang nyaman dan hangat, menyusuri jalan setapak dari bebatuan kecil berpagar warna gelap. Sebelum membuka pintu aku menghirup napas dalam-dalam.
Di dalam keadaan cukup terang, dan lebih hangat dari yang kuharap. Kantornya kecil, ruang tunggunya dilengkapi kursi lipat berjok, karpet bersemburat jingga, pemberitahuan dan penghargaan bergantungan di dinding, sebuah jam dinding besar berdetak keras. Tanaman ada dimana-mana dalam pot plastik besar, seolah pepohonan yang tumbuh rimbun di luar masih belum cukup. Ruangan itu dibagi oleh dua konter panjang. Berantakan karena keranjangan-keranjang kawat penuh kertas. Pamflet-pamflet warna terang direkatkan di depannya. Ada tiga meja dibalik konter, salah satunya dihuni wanita bertubuh besar berambut merah yang mengenakan kacamata. Ia mengenakan T-shirt ungu, yang membuatku merasa pakaianku berlebihan.
Wanita berambut merah itu mendongak, "Bisa kubantu?"
"Aku Xi Luhan," kataku. Kulihat matanya berkilat kejut. Tak diragukan lagi, aku akan segera menjadi topik gosip. Putra mantan istri kepala Polisi yang bertingkah akhirnya pulang.
"Tentu saja," katanya. Ia mengaduk-aduk tumpukan dokumen di mejanya hingga menemukan apa yang dicarinya. "Ini jadwal pelajaranmu, dan peta sekolah." Ia membawa beberapa lembar kerja ke meja konter dan memperlihatkannya padaku.
Kemudian ia menjelaskan kelas-kelas yang harus kuambil, sedangkan rute terbaik menuju masing-masing kelas pada peta, dan menyerahkan lembaran kertas yang harus ditandatangani masing-masing guru. Pada akhir jam pelajaran nanti aku harus menyerahkannya kembali. Ia tersenyum dan berharap, seperti Charlie, aku senang berada di sini, di Forks. Aku balas tersenyum untuk meyakinkannya sebisaku.
Ketika aku keluar lagi menuju truk, murid-murid lain berdatangan. Aku mengemudi mengelilingi sekolah, mengikuti barisan mobil-mobil lain. Aku senang mobil-mobil lainnya juga sama tuanya seperti trukku, tak ada yang bagus. Di tempat asalku, aku tinggal di pemukiman kelas bawah di distrik Paradise Valley. Melihat Mercedes baru atau Porsche di parkiran murid sudah biasa bagiku. Di sini, mobil terbagus adalah Volvo yang bersih mengkilap, dan jelas mencolok. Tetap saja aku mematikan mesin begitu mendapatkan tempat parkir, sehingga suaranya yang keras tidak menarik perhatian.
Aku mempelajari petanya di dalam truk, berusaha mengingatnya; berharap aku tak perlu berjalan sambil terus memeganginya seharian. Aku memasukkan semua ke tas, dan menyandang talinya ke bahu, dan menarik napas panjang. Aku bisa melakukannya, aku setengah membohongi diriku. Tak ada yang bakal menggigitku. Akhirnya aku menghembuskan napas dan melangkah keluar truk.
Kubiarkan wajahku tersamarkan tudung jaket ketika berjalan melintasi trotoar yang dipenuhi remaja. Jaket hitam polosku tidak mencolok, aku menyadarinya dengan perasaan lega.
Begitu sampai di kafetaria, gedung tiga dengan mudah kutemukan. Angka "3" hitam besar dicat di kotak persegi putih di pojok sebelah timur. Aku mendapati napasku pelan-pelan berubah terengah begitu mendekati pintunya. Aku berusaha menahan napas ketika mengikuti dua orang yang mengenakan jas hujan unisex melewati pintu.
Kelasnya kecil. Orang-orang di depanku berhenti tepat dimuka pintu untuk menggantungkan jas hujan mereka di tiang gantungan yang panjang. Aku mencontoh mereka. Mereka dua orang gadis, yang satu berambut pirang, yang lain juga berkulit pucat, rambutnya coklat muda. Setidaknya warna kulitku tidak bakal mencolok disini.
Aku menyerahkan lembaran tadi pada seorang guru, laki-laki tinggi botak yang di mejanya terdapat papan nama bertuliskan Mr Mason. ia melongo menatapku ketika melihat namaku—bukan respon yang membangun—dan tentu saja wajahku memerah seperti tomat. Tapi setidaknya ia menyuruhku duduk di meja kosong dibelakang tanpa memperkenalkanku pada teman-teman sekelas. Sulit bagi teman-teman baruku untuk menatapku dibelakang, tapi entah bagaimana mereka bisa melakukannya. Aku terus menunduk, memandangi daftar bacaan yang diberikan guruku. Bacaan dasar; Brontë, Shakespare, Chaucer, Faulkner. Aku sudah pernah membaca semuanya. Menyenangkan... dan membosankan. Aku membayangkan apakah ibuku mau mengirimkan folder esai-esai lamaku atau apakah menurut dia itu sama dengan menyontek. Aku berdebat dengannya dalam benakku sementara guru terus berbicara di depan kelas.
Ketika bel berbunyi, suaranya berupa gumaman samar. Seorang cowok kurus dengan kulit bermasalah dan rambut hitam licin bagai oli bersandar di lorong dan berbicara padaku.
"Kau Xi Luhan, kan?" ia kelihatan seperti orang yang kelewat suka menolong, tipe angota klub catur.
"Luhan," aku meralatnya. Semua orang dalam jarak tiga kursi berbalik menghadapku.
"Habis ini kau masuk kelas apa?" tanyanya.
Aku harus memeriksa dulu di dalam tasku. "Mmm, Pemerintahan, dengan Jefferson, di gedung enam."
Aku tak bisa melihat kemanapun tanpa beradu pandang dengan mata-mata yang penasaran.
"Aku akan ke gedung empat, aku bisa menunjukkannya padamu." Jelas tipe yang kelewat suka menolong. "Aku Chen," tambahnya.
Aku tersenyum hati-hati. "Terima kasih."
Kami mengambil jaket dan menerobos hujan, yang sudah reda. Aku berani bersumpah beberapa orang di belakang kami berjalan cukup dekat supaya bisa menguping. Kuharap aku tidak menjadi paranoid.
"Jadi, ini sangat berbeda dengan Phoenix heh?" tanyanya.
"Sangat."
"Disana sering hujan, kan?"
"Tiga atau empat kali setahun."
"Wow, seperti apa rasanya?" ia membayangkan.
"Cerah," ujarku
"Kulitmu tidak terlalu coklat, tergolong pucat malahan."
"Ibuku setengah albino."
Ia mengamati wajahku dengan waswas, dan aku mendesah. Kelihatannya awan dan selera humor tidak pernah selaras.
Beberapa bulan saja ditempat ini, aku pasti sudah lupa bagaimana caranya bersikap sinis.
Kami berjalan lagi mengitari kafetaria, ke gedung-gedung di sebelah selatan dekat gimnasium. Chen mengantarku sampai ke pintu, meskipun papan tandanya jelas.
"Semoga berhasil," katanya ketika aku meraih gagang pintu.
"Barangkali kita akan bertemu dikelas lain." Ia terdengar berharap, itu membuatku merasa agak aneh.
Aku tersenyum samar dan masuk.
Sisa pagi itu berlalu kurang lebih sama. Guru trigonometriku, Mr Varner, yang bakal kubenci juga karena mata pelajaran yang diajarkannya, adalah satu-satunya yang menyuruhku berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri, aku tergagap, wajahku merah padam, dan tersandung sepatu bootku sendiri ketika menuju kursiku.
Setelah dua pelajaran, aku mulai mengenali beberapa wajah di masing-masing kelas. Selalu ada yang lebih berani dari yang lain, yang memperkenalkan diri dan bertanya mengapa aku menyukai Forks. Aku mencoba berdiplomasi, tapi secara keseluruhan aku hanya berbohong. Setidaknya aku tidak pernah membutuhkan peta.
Seorang gadis duduk disebelahku baik di kelas Trigono dan bahasa Spanyol, dan ia berjalan menemaniku menuju kafetaria saat makan siang. Tubuhnya mungil, lebih pendek daripada aku yang 172 senti, tapi rambut gelapnya yang sangat ikal berhasil menyamarkan perbedaan tinggi kami. Aku tak ingat namanya, jadi aku tersenyum dan mengangguk ketika ia mengoceh tentang guru-guru dan pelajarannya. Aku tak berusaha memerhatikannya.
Kami duduk diujung meja yang dipenuhi beberapa temannya. Ia memperkenalkanku pada mereka. Aku langsung lupa nama-nama mereka begitu ia mulai mengobrol dengan mereka. Mereka tampak kagum dengan keberaniannya berbicara denganku. Pria dari kelas Bahasa Inggris, Chen, melambai padaku dari seberang ruangan.
Disanalah, duduk di ruang makan siang, berusaha memulai pembicaraan dengan tujuh orang asing yang penasaran, ketika aku pertama kali melihat mereka.
Mereka duduk di sudut kafetaria, sejauh mungkin dari tempat dudukku. Mereka berlima. Mereka tidak bicara, juga tidak makan, meskipun di depan mereka masing-masing ada satu nampan makanan yang tak tersentuh. Mereka tidak terpana menatapku, tidak seperti kebanyakan murid lainnya, jadi rasanya aman memandangi mereka tanpa takut bakal beradu pandang dengan sepasang mata yang kelewat penasaran. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku.
Mereka tidak terlihat seperti yang lain. Dari tiga laki-laki, yang satu bertubuh besar—berotot seperti atlet angkat besi profesional namun tidak berlebihan, rambutnya gelap lurus. Yang lain lebih pendek, lebih langsing, berkulit pucat dan rambutnya berwarna baby pink seperti gulali, dia punya mata pupy yang cantik. Yang terakhir kurus—tapi aku jauh lebih kurus darinya, tubuhnya tegap dengan bahu yang lebar dan terlihat sangat kokoh, rambutnya berwarna perunggu yang terlihat berantakan. Ia lebih kekanakan daripada yang dua lagi, yang kelihatannya lebih pendiam dan beraura tenang.
Yang wanita kebalikannya. Yang jangkung tatapannya hangat. Tubuhnya indah, seperti yang kalian lihat di sampul Sports Illustrated edisi pakaian renang, sosok yang membuat setiap wanita tidak percaya diri hanya dengan berada diruangan yang sama. Rambutnya keemasan, tergerai lembut di punggung. Gadis yang satu lagi bertubuh pendek seperti peri, sangat kurus, perawakannya mungil. Rambutnya hitam kelam dan dipotong pendek sebatas leher.
Namun toh mereka sama persis. Mereka pucat pasi, paling pucat dari semua murid yang hidup di kota tanpa matahari ini. Lebih pucat daripada aku, si albino. Mata mereka sangat gelap, begitu kontras dengan mereka yang berambut pirang. Mereka juga memiliki kantung mata—keunguan, memar seperti bayangan. Seolah-olah mereka melewati malam panjang tanpa bisa tidur, atau baru saja hampir sembuh dari patah hidung mereka, semua garis tubuh mereka lurus, sempurna, dan kaku.
Tapi bukan semua itu yang membuatku tak bisa berpaling. Aku memandang wajah mereka karena wajah mereka begitu berbeda, namun sangat mirip, semuanya luar biasa, keindahan yang memancarkan kekejaman. Mereka wajah-wajah yang tak pernah kuharapkan bakal kulihat kecuali dihalaman majalah fashion. Atau dilukis seorang pelukis ahli sebagai wajah malaikat. Sulit memutuskan siapa yang paling indah—mungkin wanita berambut pirang yang sempurna itu, atau pria yang berambut perunggu.
Mereka semua mengalihkan pandangan—dari satu sama lain, dari murid-murid lain, dari segala sesuatu sejauh yang kulihat. Ketika aku memerhatikan, si wanita mungil berambut pendek bangkit membawa nampan—kaleng sodanya belum dibuka, apelnya masih utuh—dan berlalu sambil melompat cepat dan indah. Gerakan yang bisa dilakukan di landasan pacu. Aku terus mengawasinya, mengagumi langkah luwesnya yang bagai penari, sampai ia menaruh nampannya di tempat nampan kotor dan melayang lewat pintu belakang, lebih cepat dari yang kupikir mungkin dilakukannya. Mataku tertuju kembali ke yang lain, yang sama sekali tak beranjak.
"Siapa mereka?" aku bertanya pada wanita dari kelas Spanyol-ku, yang aku lupa namanya.
Ketika ia mendongak untuk melihat siapa yang kumaksud—tiba-tiba salah satu pria dari kelompok itu memandang kearahnya, pria yang bertubuh kurus dan berwajah kekanakan, mungkin yang paling muda. Ia melihat kearah wanita disebelahku hanya beberapa detik, lalu matanya yang gelap mengerjap kearahku.
Ia berpaling dengan cepat, lebih cepat dari yang bisa kulakukan, meskipun karena malu aku langsung menunduk saat itu juga. Sekilas tadi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan—seolah temanku telah menyebut namanya, dan ia memandang sebagai reaksi spontan, telah memutuskan untuk menjawab.
Wanita disebelahku tertawa tersipu, menunduk memandangi meja seperti aku.
"Itu Oh Sehun dan Oh Chanyeol, serta Byun Baekhyun, si pria mungil berambut gulali, dan yang berwajah sempurna dengan rambut pirang itu Oh Taeyeon. Yang baru saja pergi namanya Byun Baekhee; mereka tinggal bersama Dr Oh dan istrinya." Ia mengatakannya dengan berbisik.
Aku melirik pria tampan itu, yang sekarang sedang memandangi nampannya, mencubit-cubit bagelnya dengan jari-jari panjangnya yang pucat. Mulutnya bergerak sangat cepat, bibirnya yang sempurna nyaris tidak terbuka. Yang tiga lagi masih membuang muka, sibuk dengan urusan masing-masing.
Aku menemukan sedikit hal menarik ketika pandangan mataku mendapati si pria mungil dengan rambut gulali memainkan tangan besar si pria berambut hitam lurus. Tangan mereka begitu kontras seperti anak dan ayah, si mungil dengan tangannya yang kecil dan berjemari lentik, sementara si pria besar punya tangan yang sepertinya mampu meremukkan tulang-tulang di tubuhku dalam sekali gerakan. Mereka terlihat seperti ayah dan anak, atau kakak dan adik, tapi interaksi mereka terlihat semakin intim ketika si pria yang lebih besar mengusap sudut bibir si pria mungil. Ah, mungkin itu hanyalah cara mereka mengungkapkan kasih sayang—well, apa peduliku?
Mereka punya nama yang tidak populer, pikirku. Nama-nama yang dimiliki generasi kakek-nenek. Tapi barangkali disini nama-nama itu populer—khas nama-nama kota kecil? Aku akhirnya ingat wanita di sebelahku bernama Jessica Jung, nama depan yang sangat umum. Di kelas Sejarah di tempat asalku, ada dua wanita yang bernama Jessica.
"Mereka... sangat tampan dan cantik." Dengan susah payah aku menyatakan komentar yang mencolok itu.
"Benar!" Jessica setuju seraya terkekeh lagi. "Dan mereka selalu bersama-sama—Chanyeol dan Baekhyun, maksudku." Suaranya mewakili keterkejutan dan ketidaksetujuan.
"Yang mana diantara mereka yang bermarga Oh?" tanyaku. "Mereka tidak kelihatan seperti satu keluarga..."
"Oh, memang tidak, Dr Oh masih sangat muda, kira-kira dua puluhan atau awal tiga puluhan. Mereka semua anak-anak adopsi. Yang bermarga Byun adalah sepasang kembaran laki-laki dan perempuan—Byun Baekhyun dan Byun Baekhee—mereka anak angkat."
"Mereka kelihatannya agak terlalu tua untuk menjadi anak angkat."
"Sekarang memang, Baekhyun dan Baekhee umurnya delapan belas, tapi mereka sudah hidup bersama Mrs Oh sejak masih delapan tahun. Mrs Oh bibi mereka atau seperti itulah."
"Mereka baik sekali—mau memelihara semua anak-anak itu, ketika mereka masih kecil dan segalanya."
"Kurasa begitu," Ujar Jessica enggan, dan aku mendapat kesan ia tidak menyukai sang dokter dan istrinya untuk alasan tertentu. Dari caranya memandang anak-anak adopsi itu, aku menduga alasannya adalah iri. "Kurasa Mrs Oh tidak bisa punya anak,"Jessica menambahkan, seolah-olah komentarnya mengurangi kebaikan hati mereka.
Sepanjang percakapan mataku mengerjab lagi-dan lagi ke meja tempat keluarga aneh itu duduk. Mereka terus memandang dinding dan tidak makan.
"Apa mereka sejak dulu tinggal di Forks?" tanyaku. Aku yakin pernah melihat mereka di salah satu kunjungan musim panasku di sini.
"Tidak," kata Jessica, nadanya mengindikasikan bahwa seharusnya itu sudah jelas, bahkan bagi pendatang baru seperti aku. "Mereka baru saja pindah kesini dua tahun yang lalu dari sekitar Alaska."
Aku merasakan sebersit rasa iba, sekaligus lega. Iba karena, betapapun cantik dan tampannya mereka, mereka adalah pendatang, jelas tidak diterima. Dan lega karena aku bukan satu-satunya pendatang baru disini, dan juga pasti bukan yang paling menarik bila dilihat dari standar apapun.
Saat aku mengamati mereka, yang paling muda, salah satu yang bermarga Oh, mendongak dan beradu pandang denganku, kali ini ekspresinya memancarkan rasa penasaran yang nyata. Ketika aku pelan-pelan mengalihkan pandangan, tampak olehku bahwa tatapannya mencerminkan semacam harapan yang tak terpuaskan.
"Pria berambut coklat kemerahan itu siapa?" tanyaku. Aku mengintip kearahnya lewat sudut mata, dan ia masih menatapku, tapi tidak melongo seperti murid-murid lain seharian ini—ekspresinya sedikit gelisah. Aku kembali menunduk.
"Itu Sehun. Dia tampan tentu saja, tapi jangan buang-buang waktu. Dia tidak berkencan. Kelihatannya tak satupun wanita disini cukup cantik baginya." Jessica mendengus, sikapnya jelas pahit. Aku membayangkan kapan Sehun menampiknya.
Aku menggigit bibir untuk menyembunyikan senyum, lalu aku kembali memandang Sehun, Ia sudah memalingkan wajah, tapi rasanya pipinya seperti tertarik, seolah-olah ia juga tersenyum.
Beberapa menit kemudian mereka berempat meninggalkan meja bersama-sama. Tak diragukan lagi mereka sangat anggun—bahkan si pria berambut lurus yang bertubuh tinggi besar. Aku kecewa menyaksikan kepergian mereka, yang bernama Sehun tidak menoleh kearahku lagi.
Aku duduk di meja bersama Jessica dan teman-temannya lebih lama, daripada kalau aku duduk sendirian. Aku tidak ingin terlambat tiba dikelas pada hari pertamaku di sekolah. Salah satu kenalan baruku, yang dengan baik hati mau mengingatkan lagi bahwa namanya Angela, juga mengambil kelas Biologi II bersamaku pada jam berikutnya. Kami berjalan ke kelas bersama-sama tanpa bicara. ia juga pemalu.
Ketika kami memasuki kelas, Angela duduk di meja lab yang bagian atasnya berwarna hitam, persis yang dulu sering kutempati. Ia sudah punya teman sebangku. Malah sebenarnya semua meja telah terisi, kecuali satu yang masih kosong. Di sisi gang tengah, aku mengenal Oh Sehun dari rambutnya yang tidak biasa, duduk di sebelah kursi yang masih kosong.
Saat aku menyusuri gang untuk memperkenalkan diri kepada guru dan memintanya menandatangani kertasku, aku diam-diam memperhatikan Sehun. Ketika aku melewatinya, tiba-tiba duduknya jadi kaku. Ia menatapku lagi, mataku bertemu pandang dengan sepasang mata dengan ekspresi paling aneh—tdak bersahabat, gusar. Bergegas aku memalingkan wajah, terkejut, wajahku merah padam. Aku tersandung kakiku sendiri dan nyaris terjerembab hingga tanganku meraih ujung meja. Wanita yang duduk disitu terkekeh pelan.
Saat itulah aku memperhatikan bahwa matanya berwarna hitam—hitam legam.
Mr Banner menandatangani kertasku dan menyerahkan sebuah buku tanpa berbasa-basi tentang perkenalan. Bisa kukatakan kami bakal cocok. Tentu saja dia tidak punya pilihan lain kecuali menyuruhku menempati kursi kosong ditengah kelas. Aku terus menunduk ketika menempatkan diriku di sisinya, bingung oleh tatapan antagonis yang dilemparkannya padaku.
Tanpa mengangkat wajah, kuatur bukuku di meja lalu duduk, tapi dari sudut mata bisa kulihat posturnya berubah. Ia menjauh dariku, duduk diujung kursi, memalingkan wajah seolah-olah mencium aroma yang tidak enak. Diam diam aku mengendus rambutku yang cukup panjang, sudah sampai ke tengkuk, aku belum sempat memotongnya. Aromanya seperti stroberi, aroma shampo kesukaanku. Sepertinya baunya cukup enak. Aku menarik pelan poniku yang mulai panjang lalu kujatuhkan ke dahi hingga rasanya sampai menusuk-nusuk mataku. Dan kemudian aku mencoba kembali berkosentrasi pada pelajaran.
Tapi sialnya pelajaran saat itu mengenai anatomi seluler, sesuatu yang sudah pernah kupelajari. Meski begitu aku tetap mencatat dengan teliti, dan selalu menunduk.
Aku tidak bisa menahan diri dan sesekali mengintip lewat celah rambutku ke pria aneh disebelahku. Sepanjang pelajaran ia tak pernah duduk santai diujung kursinya, sejauh mungkin dariku. Aku bisa melihat ia meletakkan tangannya yang mengepal diletakkan di paha kiri, otot-ototnya menyembul dibalik kulit pucatnya. Untuk yang satu ini, ia juga tak pernah santai. Lengan panjang kaus putihnya digulung sampai siku, dan mengejutkan karena lengannya kekar dan berotot di balik kulitnya yang pucat. Ia tidak kelihatan sekurus itu ketika berdampingan dengan kakaknya yang berperawakan besar.
Pelajaran kali ini kelihatan lebih lama dari yang lain. Apa itu karena sekolah sudah hampir usai, atau karena aku sedang menunggu kepalan tangannya mengendur? Tangannya terus terkepal, ia duduk bergeming sampai-sampai ia seolah-olah tidak bernapas. Apa yang salah dengannya? Apakah ini perilaku normalnya? Aku mempertanyakan penilaian Jessica yang ketus saat makan siang tadi. Barangkali wanita itu tidak sebenci yang kupikir.
Tak mungkin ada hubungannya denganku. Ia sama sekali tak mengenalku.
Sekali lagi aku mengintip, dan menyesalinya. Ia sedang menatapku, matanya yang hitam penuh rasa jijik. Ketika aku mengalihkan pandang, menciut dikursiku, tiba-tiba frase 'bila rupa bisa membunuh' melintas dibenakku.
Bel berbunyi keras, membuatku terperanjat. Sehun bangkit dari duduk. Dengan luwes ia berdiri—ia lebih tinggi daripada yang kukira—memunggungiku, dan ia sudah keluar dari pintu sebelum yang lain beranjak dari kursi mereka.
Aku duduk membeku, menatapnya tak berkedip melalui mata rusaku. Ia jahat sekali. Ini tidak adil. Perlahan-lahan aku mulai membereskan barang-barangku, mencoba mengenyahkan kemarahan yang mulai menyelimuti, sebab khawatir air mataku akan menggenang. Untuk beberapa alasan emosiku melekat erat dengan saluran air mataku. Saat sedang marah aku biasanya menangis, kebiasaan yang memalukan terutama untuk seorang laki-laki.
"Apa kau Xi luhan?" Terdengar suara pria bertanya. Aku mengangkat kepala dan melihat seorang pria bertampang tegas sekaligus tampan, rambutnya yang pirang pucat di-gel membentuk spike yang teratur. Ia tersenyum ramah. Ia jelas tidak menganggap bauku tidak enak.
"Luhan," ralatku tersenyum.
"Aku Kai Alexander, kau bisa memanggilku Kai."
"Hai, Kai." Aku tersenyum aneh mendengar namanya yang aneh.
"Kau butuh bantuan mencari kelasmu selanjutnya?"
"Sebenarnya aku mau ke gimnasium. Kurasa aku bisa menemukannya."
"Itu juga kelasku berikutnya." Ia tampak senang, meskipun itu bukan kebetulan yang luar biasa di sekolah kecil seperti ini. Oh, orang aneh dengan nama yang aneh.
Kami berjalan beriringan ke gimnasium; ia ternyata pria yang senang mengobrol—kebanyakan topik pembicaraan kami berasal darinya, memudahkan segalanya buatku. Ia tinggal di California sampai umur sepuluh tahun, jadi ia tau bagaimana perasaanku tentang matahari. Dari pembicaraan kami, aku jadi tau ia juga sekelas denganku di Bahasa Inggris. Ia orang paling ramah yang kutemui hari ini.
Tapi ketika kami memasuki gimnasium, ia bertanya,"Jadi, kau menusuk Oh Sehun dengan pensil atau apa? Aku tak pernah melihatnya bersikap seperti itu."
Aku menciut. Jadi, aku bukan satu-satunya yang memerhatikan hal ini. Dan rupanya itu bukan perilaku Sehun yang biasanya. Aku meneruskan untuk berpura-pura tidak tau.
"Maksudmu pria yang duduk di sebelahku di kelas Biologi?" tanyaku polos.
"Ya," katanya. "Dia kelihatan kesakitan atau apa."
"Aku tidak tau,"timpalku, "Aku tidak pernah bicara dengannya."
"Dia aneh." Kai masih terus berjalan bersamaku. "Kalau aku cukup beruntung bisa duduk denganmu, aku bakal ngobrol denganmu."
Aku tersenyum padanya. Ia cukup bersahabat dan memesona. Tapi itu tidak cukup mengobati sakit hatiku.
Guru senam kami, Pelatih Clapp, memberikan seragam untukku. Ia tidak menyuruhku mengganti pakaian dengan seragamku untu kelas hari ini. Di tempat asalku, pelajaran olahraga hanya selama dua tahun. Disini pelajaran olahraga wajib selama empat tahun. Secara harfiah, Forks bagiku adalah neraka di bumi.
Berturut-turut aku menyaksikan empat pertandingan voli. Mengingat jumlah cedera yang telah menimpaku—dan yang kutimbulkan—ketika bermain voli, aku jadi merasa agak mual.
Akhirnya bel terakhir berbunyi. Aku berjalan pelan ke kantor tata usaha untuk mengembalikan kertas-kertas yang sudah ditandatangani. Hujan sudah reda, tapi angin bertiup kencang dan lebih dingin. Aku memeluk diriku sendiri.
Sehun berdiri di meja di depanku. Aku mengenali rambut berwarna perunggu yang berantakan itu. Sepertinya ia tidak memperhatikan kedatanganku. Aku berdiri merapat ke dinding belakang, menunggu petugas resepsionist selesai.
Sehun sedang berdebat dengannya, nada suaranya rendah dan indah. Dengan cepat aku menangkap inti perdebatan mereka. Ia sedang berusaha menukar pelajaran Bologi dari jam ke enam ke jam lain—jam mana saja.
Aku sama sekali tak percaya keinginannnya memindahkan kelas Biologi-nya karena berhubungan denganku. Pasti sesuatu yang lain, sesuatu yang terjadi sebelum aku memasuki kelas itu. Raut wajahnya tadi pasti karena sedang jengkel semata. Tak mungkin orang asing ini bisa tiba-tiba sangat tidak menyukaiku.
Pintunya terbuka lagi, dan angin dingin tiba-tiba berhembus ke dalam ruangan, meniup kertas-kertas di meja, meniup poniku hingga tersingkap keatas. Wanita yang masuk langsung melangkah ke meja, meletakkan catatan di keranjang kawat lalu keluar lagi. Tapi punggung Sehun menegang, dan perlahan ia berbalik menatapku—wajahnya luar biasa tampan—tatapannya menghujam dan sarat kebencian. Seketika aku merasakan ketakutan yang amat sangat, hingga bulu kuduk di tanganku meremang. Tatapannya hanya sedetik, tapi membuatku membeku lebih dari angin yang dingin. Ia berbalik lagi ke resepsionist.
"Kalau begitu lupakan saja," Katanya terburu-buru dengan nada selembut beledu. "Aku mengerti ini tidak mungkin. Termakasih banyak atas bantuan anda." Dan ia berbalik tanpa memandangku lagi, lalu lenyap dibalik pintu.
Aku berjalan pelan ke meja, wajahku pucat dan bukannya memerah. Kuserahkan kertas yang sudah ditandatangani.
"Bagaimana hari pertamamu, Nak?" tanya resepsionist lembut.
"Baik," aku berbohong, suaraku lemah. Ia kelihatan tidak percaya.
Ketika tiba di lapangan parkir, hanya tinggal beberapa mobil disana. Truk itu rasanya seperti tempat perlindungan, nyaris mirip rumah yang kumiliki di lubang hijau yang lembab ini. Aku duduk sebentar di dalamnya, hanya menerawang keluar kaca depan. Tapi ketika aku kedinginan dan membutuhkan kehangatan, kuselipkan kuncinya dan mesinpun menyala. Aku pulang ke rumah Charlie sambil menahan air mata sepanjang perjalanan.
.
.
.
BAB I: End.
.
Ada yang bingung dengan karakter :
- Rosalie Hale (female)/genderbender/: Byun Baekhyun (male)
-Jasper Hale (male)/genderbender/: Byun Baekhee (female)
Kalo masih biar biar saya jelasin. Di novel, Rosalie sama Jasper Hale ini saudara kembar cowok-cewek, Rosalie cewek dan Jasper cowok. Kenapa saya buat genderbender, maksudnya kalo di novel Rosalie itu cewek, tapi disini saya buat dia jadi cowok, yaitu si Baekhyun ini. Kenapa saya buat begitu, di cerita, Rosalie Hale sama Emmet Cullen itu sepasang kekasih. Jadi saya pengen pasangin si Chanyeol sama Baek tapi dalam konteks YAOI dan BUKAN STRAIGHT. Hahaha, dasar maruk, ga tau malu! iya saya emang orangnya suka-sukaan.
Dan begitupun sebaliknya buat si Jasper. Karena itu ceritnya kembaran cowok-cewek, dan Baek udah cowok, jadi saya buat Jasper berperan jadi Byun Baekhee, kembaran cewek dari Baekhyun. Intinya Baekhyun sama Baekhee itu kembaran cowok-cewek.
Begitupun Luhan. Kalo Bella Swan di novel seorang wanita, maka disini Bella yang diganti jadi Luhan adalah seorang PRIA, COWOK, LELAKI, atau apapun itu namanya.
Kalo masih ga ngerti yaudah, tinggal dibaca doang, haha.
Last, semoga kalian ga bosen baca tiap babnya. Karena setiap bab itu berisi sekitar ±6K Word! Bayangin, Novelnya aja lebih dari 500++ halaman. Jadi kalau satu bab menghabiskan 25 lembar dalam novel, cerita ini bakal end lebih kurang sekitar Chapter 20-an. Hahaha, semoga kalian ga mabok baca setiap Chapter yang isinya ±6K word.
Dan mohon sangat mohon, kalo masih mau lanjut, tolong dong di review, boleh kasih masukan dan kritik, sekedar komen, atau tanyain yang ga ngerti. Apa lagi yang bisa aku minta dari kalian selain review? Bukannya sok ngemis review, hanya aja, coba deh, kalian bayangin duduk berjam-jam di depan laptop, nyalin dari novel ke bentuk ketikan secara MANUAL itu sangat sangat sangat melelahkan, dan itu semua saya lakukan demi kepuasan batin dan untuk readersdeul tercinta. Butuh waktu 2 hari non stop untuk nyelesaiin satu bab doang. Fiuhh, capekkkk. So, please review, faf, and follow, chingudeull.
Full love from Chrys~
.
.
.
Chryssans289
14/06/2017
