"nghhh... ku-kumohon Claude, lepaskan aku." Suaraku terengah. Lelaki yang ada dihadapanku sedang mencium lengkuk leherku sambil mengeluarkan desahan nafsu.
"Kau adalah suami bibiku. Kumohon, Jangan lakukan ini terhadapku."
Tetapi laki-laki bermata emas itu tidak menghiraukan permohonanku dan terus mencumbuku tanpa menghiraukan isak tangis yang aku keluarkan, seperti menutup rapat-rapat indra pendengarannya. Kau seperti iblis dimataku.
"Seseorang... Tolong aku..."
Kuroshitsuji by Yana Toboso
WARNING :
AU. OOC. typo(s), some EYD mistakes. Slight inappropriate incest theme between Claude and Ciel. POV Transitions. Adult content.
Yaoi/Shounen ai!
don't like, don't read!
Ciel POV.
Matahari sudah mulai nampak dibalik tirai kamarku, seakan mengintipku agar segera bangun dalam mimpi indahku. Akupun menggerakkan badanku dan meregangkan otot-otot kaku selama aku tertidur.
Hari ini adalah hari dimana aku menjajaki bangku kuliah semester awal. Sambil bermalas-malasan aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhku.
Disana aku hanya terdiam dibawah air shower sambil tertunduk. Rintik-rintik air yang turun dari beberapa helai rambut kelabuku jatuh tepat dilantai kamar mandiku yang berwarna biru. Aku sedang memikirkan sesuatu. Memikiran apa yang seharusnya tidak pantas aku pikirkan, tapi semua itu membuat aku bergidik ngeri seperti sebuah mimpi buruk.
"Cieeell..."Aku tersentak kaget membuyarkan semua pikiran yang membuatku trauma. Seseorang memanggil namaku dari lantai dasar."Kau sudah bangun? Makanan sudah siap." teriaknya lagi.
"Sudah, Aku akan segera kesana." jawabku singkat.
Lalu aku buru-buru menyelesaikan mandi pagiku dan langsung mengenakan pakaian kemeja putih sesuai dengan ukuran tubuhku. Lalu celana panjang berwana hitam yang tidak terlihat kusut serta sepatu pantophel hitam yang sudah aku bersihkan dua hari yang lalu.
Merasa semua perlengkapan telah siap, aku langsung berlari keluar kamar dan menuruni anak tangga menuju meja makan, tapi seketika itu ekor mataku menangkap seseorang yang membuatku trauma selama 2 tahun ini. Dia adalah...
"Pagi, paman Claude." Sapaku dingin, lalu aku menarik kursi dan langsung duduk persis didepannya, mengambil setangkup roti yang sudah disediakan oleh bibiku tersayang.
Seseorang yang aku panggil paman itu adalah suami dari bibiku, Hannah Faustus. Lalu dia sendiri bernama Claude Fautus. Mereka sudah menikah setahun yang lalu. Tapi pernikahan mereka adalah awal dari jurang kematian bagi kehidupanku.
"Apa rencanamu hari ini, Ciel?" suara bibiku membuyarkan lamuanku.
Aku hanya tersenyum dan mengunyah roti selai coklat kesukaanku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya di depan lelaki yang ada dihadapanku yang sedang membaca koran dengan gaya 'cool', tapi menurutku itu adalah alat agar tau semua 'aktifitasku'. Bibiku hanya menghela nafas seperti paham jawabanku.
"Jangan pulang larut malam." Pesannya padaku dan aku balas dengan anggukan.
"Aku pergi dulu." Saat aku akan beranjak dari kursi makan, dahiku berkedut kesal karna ada suara yang memanggil namaku dengan tatapan tak berdosa.
"Kita berangkat bersama, Ciel." Sebuah senyuman terukir disana dan membuatku jengkel.
"Terima kasih, paman. Aku bisa berangkat sendiri." Tanpa memperdulikan jawabannya, aku melenggang pergi mempertebal panggilannya terhadapku. Sungguh aku tidak perduli dengan mereka -kecuali bibiku- karna sangat mengganggu kehidupanku selama setahun ini.
~DISTRESS~
Normal Pov
Anak laki-laki bermata diamond menutup bukunya tanda dia sudah selesai dengan materi yang diberikan oleh dosen. Dia menghela nafas dan menatap langit biru yang setara dengan warna matanya. Posisinya saat ini sangatlah menguntungkan, karna bangku yang Ciel duduki sekarang ada dipojok paling belakang persis disamping jendela yang dapat memperlihatkan keramaian lalu lalang tempat Ciel kuliah saat ini.
Hari ini London sangatlah cerah. Ciel langsung beranjak dari tempat duduknya menuju cafe sambil menjinjing buku -mengulang materi- hari ini. Sungguh hari ini Ciel sangat lelah dengan rutinitas kuliahnya, kenapa? Karna hari ini adalah perkenalan semua teman dan para dosen setiap jurusan yang ada dikampus elit tersebut.
Flashback
Hari ini perkenalan seluruh mahasiswa Jurusan Bisnis dan Manajemen dengan dosen pembimbing mereka.
"Selamat pagi. Saya Mr. Aberline. Saya adalah dosen pembimbing kalian." Mr. Aberline memperkenalkan diri.
Para mahasisiwa mendengarkan dengan khidmat mendengar program-program yang disampaikan oleh dosen pembimbing mereka. Kecuali Ciel yang menopang dagu dengan satu tangannya menghadap ke arah samping jendela.
Dilihat dari wajahnya Ciel tidak begitu tertarik dengan program-program yang disampaikan Mr. Aberline. Yang terpenting adalah isi materi dari program-program tersebut.
"... pengetahuan yang diperoleh dari materi seperti keuangan perusahaan, pemasaran dan strategi manajemen. Akan mendapatkan keuntungan dari perbankan investasi dan konsultasi bisnis..."
Mata birunya hanya melirik sebentar ke arah dosen pembimbingnya itu dan beralih kembali keluar jendela. Ciel tidak menyadari seseorang yang berada disamping Mr. Aberline sedang memperhatikannya dari jauh.
'Anak itu? Dari sekian banyak mahasiswa sedang mendengarkan 'ceramah' Mr. Aberline. Dia hanya menatap keluar jendela? Sangat mencolok.'
Tapi saat mata Ciel yang melirik tadi membuat seseorang yang memperhatikannya dari tadi hanya bisa tertegun sebentar. Biru. Matanya berwarna biru langit. Walau Cuma sekilas, dia tahu warna mata itu dari jauh.
Setelah selesai memberitahukan program jurusannya. Mr. Aberline langsung memperkenalkan seseorang yang setia menemaninya saat ini.
Seorang asisten dosen kepercayaan Mr. Aberline. Sesosok manusia sempurna dengan rambut ravennya serta mata merahnya yang tajam.
Asisten dosen ini masihlah seorang mahasiswa semester 5 dengan jurusan yang sama, tapi karna kepintarannya dia dipercaya menjadi asisten Mr. Aberline. Dia menatap kesetiap mahasiswa dari bangku depan hingga belakang. Tersenyum.
"Halo semua. selamat pagi. Perkenalkan, nama saya adalah..."
Pendengaran Ciel langsung hilang terbawa lamunan hingga dia tidak sadar siapa nama asisten dosen yang sedang memperkenalkan diri itu.
End of flash back
Bosan? sangat. Ciel yang ehm... tidak pandai bergaul dan tidak suka keramaian mengutuk kegiatan tersebut. Lebih baik dia membaca buku ditempat sepi daripada bersosialisasi dengan orang-orang yang menurut dia tidak penting.
"Ciel..." Ciel langsung menoleh ke belakang dan dilihatnya seorang anak laki-laki -seumurannya- berlari kearahnya sambil melambaikan tangan. Ciel langsung membuang muka dan mempercepat langkah kakinya. Tahu Ciel akan menjaga jarak, anak laki-laki berambut pirang itu semakin gencar mengejarnya tapi Ciel tidak perduli hingga dia sampai di sebuah cafe yang ada di kampusnya.
"hh..hh..hh.. kau tidak menungguku, Ciel," Protes anak laki-laki itu sambil menetralisir nafasnya yang ngos-ngosan. Setelah oksigennya kembali seperti semula, anak laki-laki itu menatap Ciel dan berkata "Kenalkan, namaku Alois Trancy."
Laki-laki bernama Alois tersebut tersenyum ke arah Ciel dan duduk di hadapan Ciel. Orang yang dapat senyuman hanya diam saja, malah tidak peduli. Entah kenapa semenjak berada didalam kelas, Alois sangat tertarik dengan kepribadian Ciel yang menurutnya sangat menggemaskan.
"Ada apa?" tanya Ciel dingin. Orang yang ditanya hanya senyam senyum saja. Sepertinya Alois tidak memperdulikan sikap Ciel yang bisa dibilang 'jangan ganggu aku'
"Berteman denganmu." Jawab Alois cuek.
Ciel hanya menghela nafas, seingatnya anak laki-laki dihapannya ini adalah anak yang bersampingan dengan tempat duduknya. Karna selama dikelas, Ciel tidak memperdulikan siapa teman-teman kelasnya. Mungkin terlalu fokus dengan materi dosen.
"Kau tinggal dimana?" Tanya Alois membuka pembicaraan sambil menyeruput capucinno yang sudah dia pesan.
"Aku tinggal tidak jauh dari kampus ini." Jawab Ciel tanpa melirik Alois seinci-pun. Yang dapat jawaban hanya mengangguk mengerti sambil tertawa cekikian. Dia tidak mau mengacaukan 'Mood' anak berambut kelabu yang sedang sibuk membaca buku.
Koridor Kampus lantai 3
Sesosok lelaki tampan dengan gaya cool berjalan melewati para mahasiswi yang memuja-muja namanya "Gyaaa... Sebastian.. Sebastian..."
Nama yang dipuja-puja itu hanya menghela nafas, sepertinya dia mulai bosan dengan rutinitas 'para pemuja' yang selalu meng-elu-elukan namanya selama 3 tahun ini.
Sebastian Michaelis. Seorang pria berwajah putih pucat dan bermata ruby serta senyumnya yang bikin kaum hawa 'klepek-klepek' adalah idola para perempuan semester 5 serta asisten dosen di University Of London.
Lalu sahabatnya Ronald Knox yang sedari tadi berada disamping Sebastian hanya tertawa cekikikan melihat tingkah 'aneh' anak mahasiswi memuja Sebastian.
"Kau tambah tenar 'aja, Seb?" tanyanya cuek.
Ronald dan Sebastian sudah lama berteman semenjak masuk ke University Of London. Ronald satu jurusan bareng Sebastian dibagian bisnis dan manajemen. Mereka sepertinya susah untuk dipisahkan. Karna dimana ada Sebastian pasti ada Ronald, begitu pula sebaliknya.
Mereka begitu melengkapi karna sifat mereka sangatlah berbeda Sebastian si rambut raven yang tergolong cool , pintar dan juga misterius beda dengan Ronald bermata hijau dan rambut orange, serta sifatnya selalu ceria, agak ceroboh dan sama pintarnya dengan Sebastian.
Sebastian hanya menghela nafas. Bingung menjawab apa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabatnya itu.
"Aku mulai bosan, Ron. Dengan aktivitas mereka. Aku merasa ingin mengasingkan diri." Ratapnya menyesali.
Sebastian juga bingung apa yang mereka lihat dalam dirinya? Dia hanyalah mahasiswa biasa. Yaahhh... walau dia adalah anak tunggal dari perusahaan Michaelis yang terkenal dalam bidang minyak dan gas. Tetap saja Sebastian tidak mau orang-orang melihat dirinya sebagai calon ahli waris perusahaan Michaelis. Tetapi sebagai seorang manusia biasa tanpa embel-embel marga keluarganya.
Tetapi roda takdir merubah segalanya. Merubah hidup seseorang menjadi lebih baik, menjadi lebih berarti dan menjadi lebih manusiawi.
BRAKK!
Tanpa sengaja Sebastian menabrak anak laki-laki sedang berjalan melewatinya dan membuat anak laki-laki itu dan buku yang dibawanya terjatuh.
"Ah... ma-maafkan aku."
Cepat-cepat Sebatian memunguti buku yang terjatuh karna ulahnya yang ceroboh. Sesaat sebelum kejadian Sebatian berbicara dengan Ronald dengan posisi dia sedang berbelok ke sebuah tikungan untuk menuruni anak tangga tapi apa daya terjadilah hal yang tak diinginkannya.
Anak yang ingin Sebastian tolong langsung menoleh kearahnya. Tatapannya begitu tajam. Menandakan dia sedang kesal tapi tidak untuk Sebastian. Saat mata merahnya bertemu dengan mata berwarna biru langit membuat dia terpaku. Sebastian jadi ingat dengan seorang mahasiswa yang dia datangi pagi ini dengan Mr. Aberline.
"Tolong kembalikan buku saya." Permintaan maaf Sebastian dijawab dingin oleh anak tersebut.
Sebastian terdiam. Masih mengamati lekuk wajahnya dari mata, hidung, serta bibir ranumnya. Ditambah ukuran tubuhnya menurut orang awan seperti anak berumur 13 tahun. Sebenarnya Ciel sudah berumur 17 tahun. Walaupun demikian menurut Sebatian, kesan pertama yang dilihat olehnya adalah anak ini penuh emosi, dingin, keras kepala dan agak tertutup.
Sebastian langsung mengembalikan buku itu dengan wajah datar. Beda dengan orang yang bersangkutan. Dia langsung mengambil paksa dan melenggang pergi tanpa mengucapkan kata terima kasih.
"Wow... siapa anak itu? Perkataannya sangat dingin." Ronald membuka suara, membuat lamuan Sebastian blur seketika.
"Sepertinya dia calon mahasiswa yang akan aku ajarkan di dalam kelas." Jawab sebastian sambil terus menatap anak laki-laki itu hingga sosoknya menghilang diantara lautan manusia.
'Dia tidak mengenaliku? Benar-benar dia tidak memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dari Mr. Aberline.'
"Halo, Mr. Michaelis..." Sapa anak yang bernama Alois. Sebastian dan Ronald langsung menoleh ke arah yang memanggil. "Maafkan ketidak sopanan temanku, ya?" sambungnya lagi sambil tersenyum.
Tapi pertanyaan mereka langsung buyar mengingat anak ini meminta maaf demi temannya? Sungguh anak yang baik. Kenapa Alois berani demikian, karna Ciel sudah menerima pertemanannya.
"Ah.. yah, tidak masalah.." Jawab Sebastian cuek. Tiba-tiba Sebastian teringat sesuatu. "Oh ya, kau mahasiswa Jurusan bisnis dan manajemen, kan?" tanya Sebastian dengan seringai yang mencurigakan. "Kalau tidak salah tempat dudukmu bersampingan dengan anak tadi. Benar?" tanyanya penasaran.
"Benar, Mr. Michaelis. Ada apa?" Alois memiringkan kepalanya dengan wajah bingung.
"Jadi, temanmu itu namanya siapa?" Sungguh ada rasa penasaran dengan anak bermata biru itu. "Maaf, saat perkenalan tadi wajah kalian tidak familiar dimataku. Jadi, aku belum mengingatnya." Sambungnya lagi.
"Tidak apa. Mr. Michaelis. Karna kami masih baru disini. Oh ya, temanku itu bernama Ciel Phantomhive." Jawab Alois tenang.
"Hmm.. Ciel Phantomhive..." Dari nada Sebastian diketahui dia merencanakan sesuatu. "Lalu siapa namamu?" tanyanya lagi.
"Aku Alois Trancy. Dan sepetinya anda sangat populer ya?" Alois tersenyum. Mereka hanya menghela nafas. Sesuai dugaan mereka, Sebastian akan menambah fansnya tahun ini.
Kantor University Of London
Sebastian POV.
Saat ini aku sedang bersamanya. Ciel Phantomhive. Setelah mengajar tadi, aku meminta tolong padanya. Membantuku mengurus data anak-anak Jurusan tempat aku mengajar. Karna Mr. Aberline sedang ada rapat, tugas beliau langsung aku gantikan.
Dia mengangguk setuju. Dia mau membantuku. Sekarang aku sedang berhadapan dengannya. Jarak kami hanya dibatasi oleh satu buah meja guru dengan tumpukan berkas-berkas data.
Tidak ada yang buka suara diantara kami. Keheningan saat ini didukung dengan para dosen yang sudah pulang lebih awal. Hanya ada suara gesekan-gesekan kertas yang dibolak balik dan disusun dengan rapih.
"Mr. Michaelis..." tiba-tiba dia memanggil namaku. Aku yang sedang mengamati data mahasiswa langsung mendongakkan kepalaku dan menatap anak yang kulihat menghentikan aktivitasnya.
"Maaf atas kelancanganku saat dikoridor tadi." Wajahnya tertunduk lalu membuang muka begitu saja. Yang aku tahu dari Alois. Dia telah menjelaskan kepadanya bahwa yang menabraknya tadi adalah asisten dosen jurusan mereka. Mungkin jika Alois tidak menjelaskan padanya, dia akan akan membenciku. Aku harus berterima kasih padanya.
Lalu ada lagi kesanku yang kedua untuk anak ini. Sepertinya dia memiliki harga diri yang tinggi. Jika semua persepsiku digabung. Anak ini tidak mau orang lain mendekatinya. Tapi karna apa?
"Aku sudah memaafkanmu. Lain kali kau tidak mengulanginya lagi, Ciel."
Dia hanya menghela nafas. Dan melanjutkan kembali aktifitasnya tanpa bersuara lagi.
Rrrrrr...
Aku langsung menatap sebuah handphone berwarna biru yang berada diatas meja. Ternyata punya dia. Saat aku melihat dia membuka layar handphonenya ada rasa terkejut diwajahku. Wajahnya yang tadi menunjukkan padaku kesan seperti seorang raja, berubah menjadi pucat pasi. Keringat dingin menjalar dipelipisnya. Sepertinya dia mengalami shock. Sebenarnya email apa yang dia terima?
"Kau tidak apa-apa, Ciel?" tanyaku tiba-tiba.
Dia langsung terkejut dan menaruh handphonenya kembali ke tempat semula serta buru-buru mengusap keringat dipelipisnya dengan cepat.
"A-ah, ya. Aku tidak apa-apa. Mr. Michaelis." Dia menutupi rasa shocknya dengan terus membereskan data-data yang sudah sembilan puluh persen hampir selesai.
Aku tidak merespon lagi. Sebenarnya aku penasaran tapi hari ini aku sudah mengetahui bermacam-macam ekspresi yang dia tunjukkan padaku. Aku tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang menarik dari anak yang ada dihadapanku ini sekarang.
~DISTRESS~
Ciel POV
Sayup-sayup terdengar suara mobil berlalu lalang. Seperti malam-malam sebelumnya London masihlah ramai. Tempat tinggalku yang tidak jauh dari jalan raya membuat suara disana terdengar sampai ke kamarku.
"Hoaamm... "
Aku meregangkan otot-otot kepalaku kekanan kiri. Sungguh materi yang diberikan oleh Mr. Aberline sangatlah memusingkan. Aku tutup bukuku yang sudah bergelut lebih dari satu jam. Aku hempaskan tubuhku ke kursi dan mendongakkan kepalaku ke atas menatap langit-langit berwarna putih sambil memjamkan mata memikirkan sesuatu. Memikirkan ayah dan ibuku.
"Ayah... Ibu... bagaimana keadaan kalian disana?"
Rrrrr...
Mataku langsung tertuju ke meja belajarku, disana terlihat handphoneku sedang bergetar menandakan ada panggilan masuk. Wajahku berkenyit ada nomer asing yang terpampang dilayar handphoneku. Seingatku yang mengetahui nomerku itu, Bibi Hannah, Bibi Angelina, Paman dan Alois, lalu siapa yang menelponku saat ini? Sedikit ragu aku menekan tombol warna hijau.
"Ha.. halo?" jawabku takut
"Hai Ciel." Jawab disebrang sana. Suara cowok.
"Ya? Siapa?" Tanyaku penasaran.
Siapa dia? Kenapa bisa tahu nomerku? Bukan aku pelit memberikan nomerku ke orang asing tapi yang kuberikan nomer adalah orang yang menurutku bisa dipercaya.
"Aku Sebastian Michaelis." jawabnya tenang.
Aku menghela nafas. Aku ingat saat dikantor tadi siang, Mr. Michaelis meminta nomer handphoneku untuk kepentingan dadakan. Ada apa Mr. Michaelis menelponku?
"Ada apa? Kenapa anda menelpon, Mr. Michaelis?" tanyaku dingin. Walau aku sudah sedikit berinteraksi denganya. Tetap saja diluar kampus aku masih belum terbiasa.
"Panggil Sebastian saja, Ciel. Kau terlalu formal." Aku menghela nafas lagi. Memijit keningku agak pusing.
Bolehkah seperti itu? Biarpun dia yang meminta, tetap saja dia adalah pembimbingku.
Saat aku bergerumuh dengan fikiranku tanpa aku sadari ada seorang masuk ke kamarku tanpa suara sama sekali. Dia menutup pintu perlahan dan hanya ada suara 'ceklek' dengan volume terkecil. Aku yang sedang membelakangi pintu tidak menyadari seseorang yang sudah menghampiriku dari belakang dan terlihat ada seuntai senyum terlintas diwajahnya.
"Oke. Aku akan memanggilmu Sebas-" ucapanku terhenti sejenak.
Aku terdiam. Ada sebuah tangan memegang pundakku. Telpon diseberang sana terus memanggil-manggil namaku, tapi tak kuhiraukan. Lalu saat aku menolehkan wajahku kebelakang. Aku hanya bisa terbelalak dan mengutuk diriku sendiri karna tidak mengunci pintu kamar sebelum memulai belajar tadi.
"-Tian... " akhirnya aku meneruskan perkataanku yang sempat tertunda dengan suara yang begitu kecil.
"Kau sedang sibuk, Ciel?" seseorang yang ada dibelakangku membuka suara. Membuat aku bergidik ngeri dan sontak aku langsung berdiri dari tempat dudukku dan menjauhkan diriku darinya.
"Mau apa kau, paman?" tanyaku dingin. Tanpa babibu lagi aku langsung mematikan handphone dan memutuskan hubungan dengan Sebastian.
"Hari ini kau manis sekali, Ciel."
Tanpa memperdulikan pertanyaanku, dia menatapku dari atas sampai bawah. Aku yang sedang mengenakan piyama langsung melangkah mundur dengan beberapa langkah. Sungguh. Yang ada dihadapanku sekarang ini seperti serigala kelaparan yang siap memangsa siapa saja didepannya.
"Kau membuat aku bergairah, Ciel."
Dia menghampiriku. Aku yang terjebak antara tembok dan meja belajar berusaha untuk terus mundur agar tidak tersentuh olehnya. Sungguh aku begitu takut. Bayang-bayang dahulu terlintas lagi dalam benakku. Dia... akan melakukannya lagi...
"Paman, kenapa bisa kesini? Bukankah bibi Hannah sedang berada dikamar?" tanyaku lagi sambil terus menghindar.
"Dia sudah tidur, Ciel. Bukankah tadi aku sudah mengirim email padamu?" Sergahnya dan langsung menangkap lenganku dengan kasar lalu menarikku kedalam pelukannya.
Aku jadi teringat kembali isi email yang aku terima saat mengerjakan tugas dengan Sebastian.
From : Paman Claude
Ciel. Nanti malam aku akan datang ke kamarmu.
Wajahku langsung memucat. Aku sangat shock akan tindakannya dan aku langsung berontak untuk melepaskan diri darinya, tapi seseorang yang sudah kuanggap keluarga ini malah mempererat pelukannya dan mencium keningku. Aku terbelalak. Kenapa dia melakukan ini terhadapku? Sebenarnya dari dulu aku tidak tahu apa yang dia mau.
Tiba-tiba tangan kanannya menyentuh daguku dan memaksaku untuk menatapnya. Disana aku melihat mata emas dilapisi kacamata sedang menatapku dengan penuh nafsu. Kau tau apa yang dia lakukan terhadapku? Dia mencium bibirku yang ranum dengan kasar dan sontak aku langsung menamparnya dengan tanganku yang terbebas saat dia memegang daguku.
Dia memegang pipinya tanpa ekspresi. Menatapku tajam.
Aku yang sudah lepas dari pelukannya hanya bisa menatapnya horor. Tanpa berfikir lagi aku langsung membuka pintu kamarku yang sempat dikunci olehnya. Aku berlari menuruni anak tangga dan keluar dari rumah yang sempat membuat aku shock seketika. Badanku begitu lemas. Aku langsung ambruk didepan rumah dengan posisi terduduk. Aku tidak tau harus bagaimana sekarang. Aku peluk diriku sendiri sambil terisak
"To-tolong aku... " Lirihku tanpa suara.
~DISTRESS~
Sebastian Pov
"Oke. Aku akan memanggilmu Sebas-" potong suara diseberang sana.
Aku terdiam dengan tatapan bingung. Kenapa dia langsung berhenti? Kucoba memanggil-manggil namanya tapi tak kunjung dijawab. Sebenarnya ada apa? Sebelumnya anak itu biasa saja.
Akhirnya dengan idiotnya aku berusaha menempelkan alat komunikasi itu ketelingaku dengan erat agar suara dia terdengar olehku. Setelah bersusah payah samar-samar aku menangkap suara yang membuatku bingung dan aneh. Setelah itu telpon terputus, Aku langsung menatap layar ponselku yang sudah tidak ada lagi tulisan 'Calling'. Ada apa ini sebenarnya? Apakah terjadi sesuatu dengannya? dan juga suara yang kutangkap tadi adalah...
'Mau apa kau, Paman?'
~DISTRESS~
"Ciel. Tolong kau rapihkan semua tugas yang sudah diberikan oleh Mr. Aberline." Sebastian telah selesai mengajarkan para mahasiswanya mengenai pemasaran.
Ciel yang mendapat tugas dari dosen pembimbingnya langsung beranjak dari kursi dan mengambil semua tugas-tugas teman kelasnya yang ada diatas meja sang pembimbing. Agak kesusahan, Ciel mencoba merapihkannya kembali dan melesat keluar kelas mengikuti langkah pembimbingnya dari belakang.
Brakk!
Setumpuk proposal sudah ada diatas meja Mr. Aberline. Ciel kelelahan dan langsung jatuh terduduk kebangku yang sudah disiapkan. Gimana tidak lelah? Ciel membawa 40 proposal tebal dari lantai 3 ke lantai dasar tempat para dosen kumpul dikantor.
'Sial, aku dikerjain oleh Sebastian' rutuknya dalam hati.
Tapi yang orang yang Ciel rutuki hanya diam saja. Tanpa ada rasa berdosa Sebatian menyuruhnya lagi.
"Tolong kau periksa. Siapa saja yang belum mengumpulkan proposal ini."
Lalu Sebastian memberikan absensinya ke arah Ciel lalu dia menjelaskan apa yang harus Ciel lakukan.
Setelah itu keheningan terjadi diantara mereka berdua kecuali suara-suara berisik para dosen yang sedang istirahat.
Tiba-tiba konsentrasi Sebastian terganggu karna dia masih penasaran kejadian semalam. Dengan memberanikan diri, Sebastian bertanya kepada anak yang ada dihadapannya sekarang.
"Semalam, ada sesuatu yang terjadi?"
Ciel yang sedang serius menceklis nama mahasiswa yang sudah mengumpulkan tugas, langsung terlonjak kaget.
"Apa maksud anda, Mr. Michaelis? Maaf, semalam saya mematikan handphone mendadak karna saya ketiduran." tanya Ciel pura-pura tidak tahu. Sebenarnya dalam hati dia sudah sangat ketakutan.
Sebenarnya Sebastian tahu. Ciel menutupi kebohongannya. Memang kalau dilihat dari posisinya Sebastian lancang ingin tahu urusan anak yang ada dihadapannya ini. Tapi... ada sesuatu yang ganjil.
"Bagaimana bisa saat kau tidur ada suara 'Kau mau apa, Paman?' " tebak Sebastian dengan menirukan perkataan Ciel yang dia dengar semalam.
Ciel yang mendengar hal itu langsung terkejut. Dia bingung. Keringat dingin terlihat dari wajahnya.
"I...itu..."
.
.
.
TBC.
A/N : Salam Kenal. Saya Messy. Ini adalah fic pertama saya di fandom Kuroshitsuji. Bagaimana pendapat kalian? seru? ngebosenin? atau yang lain? mohon kritik dan saran yang membangun ^_^
Terima kasih yang sudah menyempatkan membaca fic ini.
